“Teman-temanmu menyenangkan.” Ujar Olivia. Dia sedang memangku sebuah buku yang baru saja dia ambil dari salah satu rak buku yang berada diruang kerja Richard. Olivia mengatakan ingin menemani pria itu bekerja disana, karena tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan dirumah itu selain melayani pria itu bercinta, mengisi perutnya jika merasa lapar, atau bersantai sepuasnya.
Richard menatapnya sekilas, lalu kembali menatap penuh fokus kedalam layar Laptopnya yang menyala, “Brian berbahaya, jangan terlalu dekat dengannya. Kate dan Daniel juga, jangan memercayai apa yang mereka katakan padamu. Dan Helena,” Richard berhenti berbicara untuk beberapa detik. “Kau bisa menjadikannya temanmu. Helena cukup baik untuk menjadi seorang teman.”
Olivia menahan kekehan gelinya setelah mendengar penuturan Richard. Meski sedang sibuk bekerja, pria itu tetap saja bisa membagi konsentrasinya dengan memberikan larangan padanya tentang siapa yang boleh dan tidak boleh didekatinya.
Merasa mulai bosan setelah membolak balik buku yang sama sekali tidak dimengertinya itu, akhirnya Olivia memilih mendekati Richard. Dia berdiri disamping kursi pria itu, menyipitkan kedua matanya pada layar Laptop Richard yang menampilkan sebuah grafik.
“Grafik?” gumamnya.
“Hm.” Balas Richard sekedar.
Merasa sedikit tertarik, Olivia mulai khusuk memerhatikan grafik itu. “Kenapa warnanya berbeda-beda?” tanya Olivia lagi.
“Meski kujelaskan padamu kau juga tidak akan mengerti,” balas Richard datar hingga Olivia mendesis pelan menatapnya. “Kembali ketempatmu dan jangan ganggu aku.”
Olivia mulai menyadari satu hal dari diri pria ini. Terkadang, Richard bisa menjadi sangat menyebalkan! Apa lagi jika menyangkut mengenai pekerjaannya. Ah… melihat bagaimana wajah seriusnya itu, Olivia dapat menebak kalau Richard pasti adalah seorang workaholic.
Seperti tidak memedulikan perintah Richard, Olivia kembali bertanya. “Memangnya setiap hari kau bekerja berapa lama?”
Tidak ada jawaban. Bibir Olivia mencibir pelan saat melirik Richard yang semakin tenggelam dalam pekerjaannya dan tidak merasa kalau diruangan itu ada manusia lainnya. Olivia memutar bola matanya kesal, menyeret langkahnya keluar dari ruangan itu dan lebih memilih menyinggahi dapur.
Perutnya terasa lapar.
Olivia membuka kulkas, mengambil sekotak es krim untuk dinikmatinya. Dia duduk dibalik pantry, menikmati sekotak es krim dengan wajah berbinar. Sudah lama sekali rasanya dia tidak merasa sebebas ini. Maksudnya, tidak perlu memikirkan tentang pekerjaannya dimalam hari demi mengumpulkan pundi-pundi uang.
Olivia mulai melakukan kebiasaan lamanya disaat senggang. Berkhayal. Memimpikan kehidupan yang tenang dimana dia dapat tersenyum melihat Angela, adiknya, tersenyum bahagia. Melihat Angela menikah, memiliki keluarga dengan anak-anak yang lucu. Lalu… dia akan menjadi seorang Bibi yang ramah pada keponakannya.
Bibir Olvia terangkat sempurna saat dia membayangkan hal itu. “Aku sudah gila.” Gumamnya.
“Siapa yang mulai gila, Nona?”
Olivia terkesiap ketika ada sebuah suara dibelakang tubuhnya. “Oh, Philip.” Desahnya lega.
“Apa aku mengejutkanmu?” tanya Philip. Satu-satunya pelayan wanita dirumah itu.
Olivia menggeleng pelan dan tersenyum sopan. “Kenapa kau masih disini? Kupikir kau sudah pulang.”
“Tidak, aku akan pulang pukul sembilan malam, Nona.” Jawab Philip dengan senyuman ramahnya. Philip adalah wanita paruh baya yang bertubuh sedikit gemuk. Tapi meski seperti itu, Philip sangat sigap mengerjakan semua pekerjaan rumah. Semuanya dia lakukan sendiri. “Kenapa tidak bersama Mr. William?”
Mendengar pertanyaan itu, sendok yang hampir mencapai mulutnya berhenti diudara. Olivia mendengus pelan, “Tuan pemarah itu sedang sibuk dengan pekerjaannya dan tidak ingin diganggu.” Rutuknya lalu kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda.
Philip memerhatikan Olivia dengan seksama. Bibirnya mengulum senyuman misterius. “Tuan William memang seperti itu jika sudah berhadapan dengan pekerjaannya. Bahkan, kalau saja tidak diingatkan, dia pasti akan melupakan jam tidurnya demi menyelesaikan semua pekerjaan itu.”
“Pantas saja wajahnya terlihat sangat kaku.”
Cibiran Olivia membuat Philip tidak dapat menahan tawanya yang juga diikuti oleh Olivia. Kedua wanita itu mulai terlibat obrolan ringan dan santai. Untung saja ada Philip yang mau menemaninya disana. Kalau tidak, entah apa yang bisa dilakukan Olivia selain menghabiskan sekotak es krim dihadapannya.
“Kau sudah lama bekerja disini, Philip?”
“Ya. Sejak Mr. William mulai meninggalkan rumah dan memutuskan untuk tinggal di sini.”
Ujung-ujung alis Olivia menyatu mendengar jawaban Philip. Richard meninggalkan rumahnya? Itu berati, pria itu masih memiliki keluarga, bukan? Dan dalam sepengetahuan Olivia mengenai pria yang telah menjadikannya sebagai wanita simpanan, Richard William tidak mempunyai keluarga. Bahkan dia sudah mencari diseluruh artikel dunia mengenai latar belakang pria itu dan tidak menemukan satu keterangan apapun mengenai keluarganya. Bahkan, semua artikel tentangnya mengatakan kalau kedua orangtua Richard sudah mati ketika dia berumur sebelas tahun.
“Rumah yang kau maksud itu… apakah rumah kedua orangtuanya?” Olivia bertanya penuh kehati-hatian. Dia sadar kalau sebenarnya itu bukan urusannya dan selama ini dia juga tidak pernah peduli tentang masalah orang lain. Tapi, rasanya saat ini dia benar-benar penasaran.
Philip yang tadinya masih setia tersenyum ramah pada Olivia, tiba-tiba saja sedikit menarik turun senyuman itu meski samar. Philip masih tetap tersenyum meski Olivia tahu ada sesuatu yang berubah dari senyumannya. “Bukan. Tidakkah Nona tahu kalau Mr. William sudah tidak mempunyai orangtua?”
Olivia mengangguk samar. “Aku tahu. Jadi, rumah siapa yang kau maksud tadi?” Olivia menggigit lidahnya didalam mulut ketika pertanyaan itu lagi-lagi terlontar. Ada apa dengannya? Kenapa mau tahu saja, huh?
“Rumah yang ditempati Mr. William sebelumnya. Dan saat Mr. William pindah kerumah ini, dia mempekerjakan aku.” Jelas Philip dengan begitu tenang dan masih terlihat sangat ramah dan hangat.
Bibir Olivia membentuk bulatan kecil. Malu karena dia sudah terlihat seperti seorang penggosip yang sangat ingin tahu urusan orang lain, Olivia tersenyum kaku.
“Ah, sudah pukul sembilan ternyata.” Gumam Philip pelan. wanita itu melepas Apron yang sepanjang hari ini melekat ditubuhnya dan tampak bersiap-siap untuk pulang. “Baiklah, Nona. Aku sangat senang bisa mengobrol seperti ini dengan anda. Tapi sekarang aku harus pulang. Kalau kau merasa lapar dimalam hari, kau bisa memeriksa kulkas dan mencari makanan ringan. Aku sudah menyiapkannya untukmu.”
Senyuman lebar Olivia merekah begitu saja. “Terima kasih.” Ucapnya manis sebelum Philip pergi.
Sepeninggalan Philip, Olivia segera beranjak dari duduknya untuk membuang kotak es krim yang sudah kosong itu kedalam tempat sampah. Lalu mencuci sendok yang tadi digunakan olehnya. Setelah selesai, ketika dia mengelap tangannya yang basah sambil berbalik kedepan, Olivia menemukan keberadaan Richard yang sedang memandanginya sambil menyandar pada sebuah tembok panjang yang ada disekitar dapur. Kedua tangannya bersedekap didepan d**a. Rambutnya yang semula terlihat rapi ketika Olivia meninggalkannya kini terlihat acak-acakan.
Sebelah alis Olivia terangkat keatas karena memerhatikan penampilan pria itu disana. “Kenapa kau ada disini?” tanya gadis itu. Tapi tidak ada tanda-tanda pria itu mau menjawabnya. Karena itu dia kembali bertanya. “Kau membutuhkan sesuatu?”
“Tadinya, ya.” Jawab Richard singkat tetapi berhasil membuat Olivia kebingungan.
“Dan sekarang?”
“Aku berubah pikiran.”
Bibir Olivia menghembuskan napas jengah saat kedua bola matanya berputar malas. Kenapa bicara berbelit-belit seperti itu.
“Ingin tahu apa yang kubutuhkan tadi?” masih ditempatnya dengan posisi yang sama, Richard kembali bersuara.
“Katakan saja kalau memang berniat mengatakannya.” Jawab Olivia dengan nada malas dan tidak tertarik. Dia lebih memilih mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam kulkas dan menegaknya.
“Melucuti seluruh pakaianmu dan menyeretmu keatas ranjang.”
Hampir saja Olivia menyemburkan seluruh air yang belum berhasil tertelan olehnya. Tapi dia sudah tersedak karena jawaban sialan Richard. Dengan gerakan terkesiap, Olivia memutar tubuhnya kebelakang dan kini pria itu sedang berjalan mendekatinya.
Degupan jantung sialannya lagi-lagi menggema. Olivia tidak habis pikir, kenapa jantungnya selalu meronta-ronta setiap kali mereka berdua dalam situasi yang intim seperti sekarang. Bahkan selama ini, selama dia bekerja dengan ratusan pria. Baik tua maupun muda, tampan ataupun jelek, tidak ada satupun yang berhasil membuat jantungnya menghentak-hentak seperti ini.
Richard sudah didepannya. Berdiri dengan kedua tangan yang bersembunyi dalam saku celananya. Mata pria itu menyala-nyala menatapnya. Sebuah tanda jika hasratnya benar-benar telah berkobar saat ini. Meski baru mengenal Richard dalam waktu yang masih terlalu singkat, tapi Olivia seperti sudah hapal betul semua arti tatapan ataupun gerak-gerik pria itu.
“Sayangnya, aku masih harus menunggunya hingga satu minggu kedepan.” Wajahnya berubah pias. Seperti sedang menekan sesuatu yang sebenarnya hampir melompat dari tempatnya.
Olivia mengerti kemana arah pembicaraan itu. Ya, seperti kata Rachel. Dia tidak boleh disentuh, atau lebih tepatnya, miliknya yang begitu didambakan oleh Richard tidak boleh disentuh selama satu minggu kedepan. Meski samar, Olivia yang masih memandang Richard dengan wajah merona, sempat mendengar pria itu mengumpat kasar sambil memalingkan wajahnya.
Olivia tersenyum geli. “Satu minggu harusnya bukan menjadi masalah besar bagimu karena kau tahu apa yang akan kau dapatkan setelah itu, kan?” hei, tidakkah Olivia mulai menjadi gila? Kemana Olivia yang selama ini selalu tegas menolak pria-pria yang berniat memasukinya tanpa pengaman? Dan tadi itu, bukankah dia seperti sedang menjanjikan hal yang memang sangat diinginkan Richard selama ini?
“Mudah bagimu mengatakannya tapi tidak bagiku yang merasakannya.” Ketus Richard.
“Itu masalahmu sendiri, Rich.” Dengan santainya Olvia berbalik untuk meletakkan botol minuman itu kedalam kulkas. Tepat ketika baru saja dia menutup pintu kulkas, tubuhnya terdorong kuat kedepan hingga terhempas pada pintu kulkas. Dia merasakan lengan Richard merambat disekitar pinggangnya, lalu menariknya kebelakang hingga Olivia merasakan sesuatu yang menonjol tepat disela-sela kedua pahanya.
Bibir Olivia meringis pelan. Bukan karena tubuhnya yang terhempas pada pintu kulkas itu, melainkan karena memikirkan apa yang sedang terjadi pada Richard saat ini.
“Kau bisa merasakannya?” bibir Richard menyentuh daun telinganya, napasnya yang terdengar memburu terasa menggelitik disana.
Olivia memejamkan matanya ketika gelenyar panas itu mulai menyulut ditubuhnya. Kedua tangannya yang bertumpu pada pintu kulkas kini mulai mengepal. Apa lagi saat Richard semakin mengeratkan rangkulannya diatas pinggang Olivia dan membuat gerakan kecil seperti sedang berusaha menggesekkan miliknya yang sudah begitu siap disana.
“Rich…” desah Olivia lirih.
“Ya, Olivia?” suara pria itu terengar parau dan serak meski tidak menghilangkan kesan suara seksinya.
“Kita tidak bisa melakukannya.” Olivia bersorak riang untuk dirinya sendiri karena dapat mengeluarkan kalimat paling warasnya disaat dia benar-benar ingin Richard segera menarik kebawah celananya untuk menyatukan diri mereka saat itu juga.
“Kenapa? Karena Rachel? Persetan dengan obat atau alat yang sudah dia tanamkan ditubuhmu. Aku menginginkanmu.”
Kedua tangan kokoh Richard memutar cepat tubuh Olivia hingga mereka saling berhadapan. Didorongnya sekali lagi tubuh Olivia hingga kali ini, punggungnyalah yang terhempas disana. Olivia tidak sempat mengeluarkan ringisannya karena bibirnya telah terbungkam dalam lumatan kasar Richard.
Lidahnya menari-nari didalam rongga mulut Olivia yang terbuka untuknya. Kedua tangannya tak ingin diam. Meremas kedua d**a Olivia yang begitu pas ditelapak tangannya dibalik bajunya, lalu merambat turun mengelus perut rata Olivia, memutar jari telunjuknya dengan segerakan sensual tepat diatas pusar hingga Olivia mendesah kuat dan melepaskan pagutan bibirnya karena menggelinjang geli.
“Ahh…”
Desahan itu membuat Richard menyeringai. Dan hasratnya semakin menjadi-jadi. Wajahnya menyeruak kedalam lekukan leher Olivia, menghirup bau tubuh Olivia yang telah bercampur keringat dengan tarikan napas yang dalam. Richard tidak tahu mengapa dirinya bisa setergila-gila seperti ini pada hal apapun yang bersangkutan dengan Olivia
Bahkan hanya dengan melihat Olivia mencuci sebuah sendok saja, dia sudah sangat menginginkannya.
Bibirnya bergerak nakal mengecapi keseluruhan leher jenjang yang menawan dan memabukkannya itu. Meninggalkan beberapa bekas kepemilikannya disana tanpa ragu. Seiring dengan itu, tangannya sudah bergerak liar merambat kebawah, menyentuh lembut s**********n Olivia yang beralaskan celana Jeans.
Jari tengah Richard bergerak maju dan mundur disana. Olivia mengerang keras, tidak lagi dapat menahannya. Bahkan kedua tangannya sudah mencengkram rambut Richard yang berada disela-sela jemarinya.
Hanya dengan seperti ini dia hampir sampai menuju kenikmatannya. Tapi Olivia kembali mengumpulkan kesadarannya. Meski sulit, dilepaskannya kedua tangannya dari rambut halus Richard dan beralih mendorong kedua bahu pria itu dengan susah payah.
Rasanya, Olivia sedang mendorong sebuah tembok yang begitu besar dan kokoh dan merasa sia-sia saja dengan apa yang sedang dia lakukan.
“Rich!” panggilnya sambil berusaha mendorong sekuat tenaga tubuh itu. “Richard, jangan!” Kedua mata Olivia terbelalak lebar saat Richard sudah menyentuh kancing celananya. “s**t! Aku sedang menstruasi, Rich!” teriaknya kuat disertai erangan frustasinya.
Tubuh Richard yang masih menempel ditubuhnya terasa membatu. Napas mereka yang sama-sama tersengal terdengar disana. Perlahan, Richard mengangkat kepalanya yang tadi masih bersemayam didalam lekuk leher Olivia.
Richard memandangi gadis itu dengan kedua mata sayunya yang menyedihkan dan juga wajah yang bersimbah keringat. Bagaimana tidak, hasratnya yang sudah diujung tanduk harus terhenti karena teriakan Olivia yang begitu mengejutkan.
“Kenapa kau tidak mengatakanya sejak tadi?” pertanyaan itu terdengar menyerupai geraman yang lemah.
“Bagaimana aku bisa mengatakannya kalau kau membungkamku dengan bibirmu.”
“Arrgghhh!”
Richard mengacak-acak rambutnya kesal. Lalu tanpa mengatakan apapun, segera pergi meninggalkan Olivia yang masih mematung menatap punggungnya. Pria itu menaiki tangga dengan wajah marahnya. Olivia dapat melihat rahang Richard yang mengeras.
Kini Olivia dapat menghembuskan napas leganya. Hampir saja dia melakukan sesuatu yang mengerikan disaat tamu bulanannya sedang datang. Membayangkannya saja Olivia sudah bergidik ngeri.
***