Delapan

1022 Kata
Richard berjalan santai dari kamar mandi dengan rambut basah. Sepertinya pria itu baru saja mandi demi menghilangkan hasratnya yang terpaksa harus dia lenyapkan malam ini. Sebuah handuk melingkar disekitar pinggangnya. Olivia yang sejak tadi memerhatikan gerak-gerik pria itu dari atas ranjang hanya bisa menahan napasnya. Apa lagi setiap kali memerhatikan bentuk tubuh Richard yang begitu sempurna. Six pack? Begitu biasanya orang-orang menyebutnya, kan?           “Berhentilah menatapku seperti itu kalau kau tidak ingin melakukan sesuatu yang paling tidak kau inginkan malam ini.” melalui cermin, Richard menatap Olivia penuh intimidasi.           Olivia sendiri merasa malu karena ketahuan sedang memerhatikan tubuh Richard. Pria itu sedang berdiri didepan cermin sambil mengeringkan rambutnya dengan sebuah handuk yang lain. “Aku bisa menjamin seratus persen kalau aku tidak akan mungkin tiba-tiba menerkammu.” Cetus Olivia untuk menyembunyikan rasa malunya.           Hanya sebuah dengusan pelan yang diberikan Richard sebagai jawaban. Setelah mengeluarkan sebuah boxer berwarna hitam dan memakainya, Richard turut bergabung bersama Olivia. Mereka berdua duduk diatas ranjang dengan punggung yang menyandar pada susunan bantal-bantal. Selimut telah menutupi tubuh mereka higga sebatas pinggang.           Olivia tidak tahu mengapa dirinya merasa sangat canggung saat ini. Rasanya aneh hanya duduk diatas ranjang dengan seorang pria tanpa melakukan hal apapun. Ya, tentu saja karena mereka memang sedang tidak bisa melakukannya. Kalau tidak, Olivia yakin Richard tidak akan berpikir dua kali untuk membiarkannya duduk tenang seperti ini.           “Besok Alex akan menemuimu.”           Olivia memutar wajahnya untuk memandang Richard yang juga sedang menatap padanya.           “Kau ingat perjanjian yang ada diantara kita?” kepala Olivia mengangguk sekali. “Aku membutuhkan tanda tanganmu sebagai bukti perjanjian.”           Dahi Olivia berkerut. “Tanda tangan?” ulangnya.           “Ya. Dan Alex akan mengurus segala bentuk hukum dalam perjanjian itu.”           Entah mengapa, ada perasaan marah dan kecewa yang dirasakan Olivia setelah mendengar perkataan Richard. Rasanya Richard telah mencurigainya. Tapi Olivia sadar diri, tentu saja Richard harus mendapatkan jaminan seperti itu. Pria itu sudah mengeluarkan banyak uang untuk membelinya dan jika tidak ada hukum yang terlibat dalam perjanjian terkutuk itu, Richad pasti berpikir kalau Olivia akan kabur dan membawa semua uangnya.           Olivia tersenyum masam. “Tenang saja, aku tidak akan pernah kabur darimu dan membawa semua harta yang telah kau berikan padaku sekalipun tidak ada hukum yang terlibat didalam perjanjian ini. Tapi semua itu terserah padamu saja. Aku akan melakukan apapun yang kau minta karena sekarang kau telah membeliku.” Diraihnya ujung selimut, lalu bersiap-siap untuk tidur dengan tubuh yang membelakangi Richard.           Setiap kali Olivia memikirkan tentang tubuhnya yang selalu saja berakhir dengan transaksi jual beli, rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam selalu menggeluti perasaannya. Dia tidak munafik. Dia sama seperti seluruh wanita dibelahan bumi ini yang mempunyai keinginan, mimpi dan kehidupan yang bahagia. Tapi setiap kali menyadari seperti apa dirinya, jangankan untuk mengharapkan kehidupan yang bahagia, untuk bermimpipun Olivia takut karena tahu semua mimpi itu tidak akan terwujud.           Sekarang, yang ada dibenaknya adalanya, biarlah mimpi-mimpinya tidak akan pernah terwujud asalkan dia bisa mewujudkan semua mimipi adiknya. Tidak peduli akan serusak dan semenyedihkan apa dirinya dimasa mendatang, asalkan Angela dapat mengecapi kebahagian hidupnya, Olivia rela mengorban kehidupannya. Demi menebus rasa bersalahnya pada kedua orangtuanya.   ***   Sikap diam Olivia mengganggu Richard. Sejak pembicaraan mereka tadi malam tentang surat perjanjian itu, Richard menemukan Olivia yang murung pagi ini. Bahkan sejak tadi yang di lakukan Olivia hanya mengorak arik bacon di atas roti panggangnya. "Pagi, sir." Alex menyapa setelah berdiri tidak jauh dari mereka. "Pagi." Jawab Richard. "Pagi, Mr. Sinclaire." Richard melirik Olivia yang tersenyum tipis pada Alex namun senyumannya menyurut ketika matanya jatuh menatap map coklat di tangan Alex. Dia kembali menunduk, menatap piringnya yang berantakan dengan tatapan murung. Jadi karena itu, batin Richard mengerang. “Sir, saya sudah menyiapkan surat..." intrupsi Alex terhenti saat Richard tiba-tiba saja berdiri sambil membersihkan sekitar bibirnya. "Buang saja surat itu, aku tidak membutuhkannya lagi." Richard berujar dingin. Olivia menautkan kedua alisnya. Dia tahu betul Alex ingin mengatakan surat perjanjian, dan tadi malam Richard sendiri yang bilang kalau pagi ini mereka akan menandatanganinya lalu mengapa sekarang... "Ya, sir, saya mengerti." Alex bukanlah anak buah yang suka membantah. Jadi apa pun yang di perintahkan Richard akan selalu dia laksanakan. Sambil membenahi pakaiannya Richard berujar. "Aku akan pulang untuk menjemputmu makan siang, selama aku tidak ada kau bebas melakukan apapun." Senyuman Olivia sudah ingin mengembang namun saat Richard menoleh padanya dan mengucapkan dengan nada tegas, "tetapi hanya di rumah saja. Jangan keluar tanpa aku, mengerti?" Ya, tuan pemarah. Richard tidak mau bersusah payah menunggu jawaban Olivia karena Olivia harus menjawab Ya. Dia mulai bergegas, namun baru saja berjalan beberapa langkah, Olivia memanggilnya. "Rich..." Richard berbalik dan menatapnya. Olivia tersenyum manis, sangat manis sampai Richard merasa dadanya menghangat, sebuah perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Sama seperti ketika dia merasa terganggu dengan wajah muram Olivia pagi ini. "Terima kasih... untuk... semuanya." Ucap Olivia terbata. Richard menghela napas pendek, melirik Alex untuk memberitahunya sesuatu. Alex mengerti dan segera melangkah pergi. Kemudian dia menghampiri Olivia yang masih duduk di tempatnya semula. "Olivia, dengar..." bisiknya. Tubuhnya sedikit menunduk agar dia dapat memerhatikan wajah Olivia dengan lekat. "Aku tidak suka wajah murungmu, aku lebih senang melihat wajahmu yang seperti biasanya. Jadi... jika ada yang mengganggumu, entah itu karena aku atau apapun, cukup katakan saja, dan jika hal itu masih tidak melanggar aturan hidupku, maka aku akan mengabulkan apa pun yang kau mau. Kau dengar aku?" Mata Olivia mengerjap beberapa kali ketika dia merasa matanya mulai berkaca-kaya. "Ya..." "Jadi tidak ada lagi wajah murungmu?" "Tidak ada." "Promise me?" "I'm promise." "Good." Richard mengecup dahi Olivia sekali sebelum memeluk Olivia dan menyandarkan wajah gadis itu di sekitar perutnya. Dia merasakan tangan Olivia yang membalas pelukannya erat. "Habiskan sarapanmu. Aku tidak mau mendengar laporan dari philip kalau kau menyisakan sarapanmu." Bisiknya lagi. "Oke." Olivia melepaskan pelukan mereka. Lalu dia memandang bagian pakaian Richard yang sedikit kusut karena pelukan mereka, tangannya terulur untuk membenarkan letak tatanannya. "Sayang sekali harus kusut karena pelukanku." "Aku suka segala hal yang kusut karena pelukanmu." Balas Richard dengan wajah tanpa ekspresinya. Mata lentik Olivia meliriknya ke atas. Pria itu juga memandanginya. Olivia berdehem dan tersenyum nakal, "oke..." gumamnya sebelum berdiri tegak. Kemudian kedua tangannya merangkum wajah Richard dan menariknya mendekat. "Mari kita buat salah satu bagian tubuhmu sedikit kusut pagi ini." Bibirnya mencumbu bibir Richard yang menyambutnya dengan senang hati. Richard mengangkat tubuh Olivia melalui pinggang rampingnya, meletakkan tubuh ringan itu di atas meja makan lalu mulai mencumbu wajah hingga leher Olivia yang dapat di gapai oleh bibirnya.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN