Part 1
Sayup-sayup suara azan subuh mulai berkumandang. Beberapa orang telah terbangun untuk menunaikan kewajiban mereka sekaligus bersiap memulai hari. Namun rupanya kedua bola coklat tua itu masih tertutup. Bahkan tubuh sedikit berisi tersebut masih nyaman terbalut dengan selimut.
Seorang pria yang telah berkepala tiga telah siap dengan sarung dan baju koko itupun tersenyum manis. Ia menyalakan lampu kamar ukuran lima kali empat meter tersebut. Dengan lembut dan penuh kasih sayang, ia membangunkan putri kesayanganya yang masih asik bermimpi.
“Sayang, bangun dulu. Sudah waktunya salat subuh, bunda sudah menunggu kamu di tempat salat,” ucapnya membangunkan putri semata wayangnya tersebut.
Perlahan kedua bola mata coklat tua tersebut mulai terbuka. Ia menutupi matanya dengan kedua telapak tanganya, masih berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang ada di kamar tersebut. Setelah beberapa saat, akhirnya nyawa gadis itu kembali terkumpul. Ia bangkit dari tidur, hendak mengucek matanya namun di cegah oleh pria di hadapanya.
“Jangan di kucek, nanti mata kamu merah. Sekarang, ambil wudu dan ayo salat berjamaah.”
“Siap, Yah.”
Dengan langkah yang cukup berat, gadis itu mulai melangkah ke kamar mandi yang memang berada di dalam kamar. Jayendra tersenyum, Meesa selalu menggemaskan di matanya. Putri semata wayangnya yang telah berusia lima belas tahun hendak enam belas tahun tersebut merupakan gadis yang sangat cantik dan lugu.
Lavanya Meesa yang berarti gadis cantik dengan umur panjang. Karena Meesa adalah anak tunggalnya, ia sengaja menamakan Meesa dengan harapan semoga putrinya tersebut dapat berumur panjang. Bahkan hingga nanti memberikan beberapa orang cucu untuknya.
“Meesa, cepat sedikit sayang. Ingat hari ini kita akan pindah ke Jakarta,” peringat Jayendra saat hendak meninggalkan kamar putrinya tersebut.
“Iya, Yah.”
Seusai mencuci muka dan gosok gigi, Meesa bergegas untuk mengambil wudu dan bersiap untuk salat. Ia berjalan sedikit tergesah-gesah menuju mushala kecil yang ada di rumahnya. Seorang wanita berkepala tiga yang telah menunggunya tersebut tersenyum sangat manis. Ia memberikan mukenah milik Meesa dan membantu gadis itu untuk memasangnya.
“Sudah?” tanya Jayendra memastikan.
“Sudah, Yah.”
Meesa mulai melantunkan iqamah, kemudian Jayendra selaku imam memulai salat terlebih dahulu. Meesa dan Elakshi mulai mengikuti Jayendra yang ada di hadapan mereka. Dengan khusu mereka bertiga mulai menjalankan kewajiban mereka.
***
Baskara mulai memancarkan sinarnya, nampak beberapa orang begitu sibuk mengemas barang ke bagasi. Ada beberapa koper dan kardus, bahkan kursi bagian belakang harus di lipat agar bagasi lebih luas.
Meesa baru saja keluar menyeret sebuah koper besar dan mencangklot tas yang sepertinya adalah tas sekolah. Elakshi yang melihat Meesa nampak keberatan menyeret koper tersebut pun menghampiri Meesa dan membantu gadis itu.
“Gimana, Sayang, sudah kamu cek semuanya?” tanya Elakshi pada putrinya tersebut.
“Udah, Bun.”
Elakshi tersenyum manis, ia mengusap surai hitam sebahu tersebut. Sebelum berangkat Jayendra kembali memastikan barang-barang yang akan mereka bawa. Setelah di rasa cukup mereka mulai menaiki mobil dan melakukan perjalanan yang akan terasa panjang.
Meesa menatap sebentar rumah yang telah ia tinggali selama lima belas tahun tersebut. Tidak sangka ternyata ia harus pindah karena memang ayahnya mendapatkan jabatan yang jauh lebih tinggi di kantor pusat. Elakshi yang melihat putrinya seperti tidak ikhlas ia menghampiri Meesa. Memeluk kedua bahu kecil itu meyakinkan.
“Nanti kalau liburan, kita bisa ke Semarang,” ucap Elakshi menyenangkan hati Meesa yang sepertinya tidak ikhlas untuk pindah.
“Bener, Bun?” tanya Meesa meyakinkan.
“Iya, Sayang.”
“Rumahnya gak jadi di jual?”
“Nggak, Sayang.”
Meesa tersenyum sangat manis. Ia masuk ke dalam mobil dengan perasaan lega. Jayendra yang melihat putrinya tersenyum bahagia pun ikut menerbitkan lengkungan kecil di bibirnya. Senyum Meesa akan selalu menjadi penyemangatnya.
“Sudah siap semua?”
“SIAP! YEAY KE JAKARTA!” pekik Meesa begitu bergembira.
Jayendra mulai menjalankan mobilnya, sesekali ia berbincang dengan Elakshi untuk rencana ke depanya. Sementara Meesa, ternyata perlahan ia terlelap. Pantas saja tidak ada lagi celetukan lugu dari gadis cantik berambut sebahu tersebut.
“Kamu sudah ada calon sekolah baru untuk Meesa, El?” tanya Jayendra mengingat pendidikan gadis itu yang sudah memasuki kelas sembilan SMP.
“Sudah, Mas. Aku udah nemu sekolah yang cocok, semoga aja Meesa suka.”
“Kapan kamu akan daftarkan dia? Tahun ajaran baru sudah di mulai bukan?”
“Inn syaa allah kalau gak besok ya lusa, Mas.”
Jayendra menggenggam tangan Elakshi erat, ia sangat mencintai istrinya tersebut. Seseorang yang sempurna menurutnya. Ia dapat mengatur segala urusanya maupun urusan Meesa dengan baik dan terjadwal.
Setelah lima jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di ibu kota. Bahkan kedua bola mata coklat tua itupun juga telah terbangun. Ia menatap hiruk priyuk ibu kota yang nampak sangat ramai.
Untuk sementara waktu sampai waktu tidak di tentukan memang mereka akan tinggal di rumah nenek. Meesa senang mendengarnya, nanti ia akan menghabiskan waktu dengan nenek. Ia akan memasak kue bersama, sama seperti masa kecilnya dulu.
Akhirnya mereka sampai di salah satu blok komplek mewah. Beberapa menit lagi mereka akan sampai di rumah milik nenek. Cukup lima menit akhirnya mereka sampai di sebuah rumah berlantai tiga tersebut.
Ternyata sudah ada seorang wanita paruh baya yang telah berusia setengah abad lebih menunggunya di depan pintu. Dengan gak sabaran Meesa turun dari mobil langsung memeluk Denallie.
“Eh cucuku, Lava. Gimana kabar kamu? Udah besar ya sekarang. Dulu tingginya cuman segini, sekarang tingginya melebihi nenek,” ujar Denallie sambil memperagakan tinggi Meesa yang dulu lebih rendah darinya.
“Kan Lava tumbuh ke atas, Nek.”
Meesa terkekeh, memang sedari dulu Denallie selalu memanggilnya Lava. Katanya jauh lebih di ingat, mengingat gadis itu sangat menyukai cake lava. Setiap ia membuat kue pasti ia selalu mengingat cucu pertamanya tersebut.
“Tumbuh ke atas gimana, badan kaya gajah bengkak gitu,” sinis Agnia.
Entah kenapa memang Agnia sedari dulu tidak pernah menyukainya. Namun Meesa tidak pernah mengambil hati, ia hanya akan tersenyum manis meskipun sebenarnya hatinya begitu perih mendengar penuturan Agnia.
“Eh Tante Agni ada di sini,” ujar Meesa begitu ramah menyalimi Agnia.
“Iya lah, ini rumah gue.”
“Husss ... Agnia, jangan bersikap seperti itu pada Lava,” peringat Denallie.
Agnia tak menghiraukan Denallie, ia melenggang pergi menyambut kakak pertamanya yang baru saja turun dari mobil tersebut. Elakshi dan Jayendra menyalimi Denallie, kemudian mereka masuk untuk makan siang. Kebetulan Denallie telah menyiapkan banyak makanan untuk kedatangan Meesa. Tak lupa juga ia membuat cake lava kesukaan gadis itu.
“Gimana, Meesa? Kamu suka dengan cake nya?” tanya Denallie.
“Suka banget nek! Rasanya selalu sama.”
Denallie tersenyum hangat, “mau nambah, Sayang?”
“Nek, Rafa juga mau,” seru Rafa sepupu Meesa anak dari Agnia.
“Buat Rafa aja, Nek. Meesa udah cukup kok.”
“Ya sudah.”
Ada tiga pasang mata yang menatapnya tidak suka. Namun gadis berbola mata coklat tua tersebut masih terus memamerkan senyum lugunya. Senyum yang sangat manis dan membuat semua orang yang melihat senyuman itu menghangat hatinya.