Part 3

1184 Kata
Cakrawala mulai berwarna jingga dan perlahan menggelap. Gadis cantik itu masih melupakan jalan pulang. Ia memainkan tanganya berjalan lambat. Lampu-lampu temaram jalanan sudah mulai nyala, itu artinya sebentar lagi akan gelap. Kedua mata coklat tuanya mulai berair. Ia sangat takut gelap atau lebih tepatnya takut sosok menyeramkan di balik kegelapan. Pikiranya semakin kalut saat melihat seorang wanita berambut panjang menggunakan dress berwarna putih. Keringat dingin semakin deras mengelucur, saat wanita tersebut mendekat ke arahnya. Ia tidak dapat melihat jelas wajah wanita tersebut karena tertutup oleh rambut panjangnya. “Emm ... Dek, Kak, Tante, boleh saya tanya?” cicit Meesa saat wanita tersebut berpas-pasan denganya. “Muka gue setua itu apa di panggil tante? Masih imut-imut gini masa di panggil tante sih,” gerutu gadis di samping Meesa. Meesa bernafas lega, ternyata itu adalah gadis seumuranya. Tadi menunduk karena ia sedang bermain ponsel. “Maaf, kamu cantik kok. Cantik banget malah, gak tua sama sekali. Emm ... aku mau tanya jalan, kamu tau rumah blok f nomor 15? Yang rumahnya lantai tiga cat warna biru muda?” tanya Meesa hati-hati. Perempuan tersebut tertawa, apakah gadis di hadapanya itu sedang nyasar? Terlihat dari mata belo yang nampak berair itu. “Rumahnya Nenek Denallie?” “Nah iya! Kamu tau rumah Nenek aku?” “Samping rumah gue sih itu. Lo nyasar?” tebak perempuan itu tepat sasaran. Meesa menggaruk lehernya yang tak gatal, “hehehe iya. Kamu bisa tunjukin jalanya?” “Ya udah yok, gue juga mau pulang.” “Terima kasih, kalau boleh tau nama kamu?” “Gavesha Gian, panggil aja Gavesha atau Vesha,” ucap Gavesha menerima uluran tangan Meesa. “Aku Lavanya Meesa, panggil aja Meesa.” “Lo kaku banget sih, pakai lo-gue aja biar santai. Bye the way, lo cucunya Nenek Denallie?” “Maaf, aku baru pindah dari Semarang. Jadi gak terbiasa pakai lo-gue. Nanti aku coba, tadi juga ada laki-laki yang gak sengaja aku tabrak. Dia juga bilang kalau aku kaku banget, emang aku sekaku itu ya?” terang Meesa begitu lugu. “Eh enggak kok. Ya udah, senyaman lo aja. Cuman emang, aku-kamu kedengeranya aneh aja gitu.” “Iya gak papa. Aku cucunya nenek yang pertama, yang dari Semarang. Baru pindah hari ini. Kamu mau jadi temen aku? Aku gak punya kenalan soalnya di sini hehe.” “Santai. Lo lucu ya, ih gue gemes banget sama pipi lo.” Gavesha memperagakan ingin mencubit pipi gembul Meesa. Meesa tertawa renyah, banyak yang mereka bicarakan di perjalanan. Gavesha juga dengan ramah menunjukan jalan antar ke blok biar Meesa tidak tersesat lagi. Sampai akhirnya Gavesha mengantarkan Meesa sampai depan gerbang rumah neneknya. “Terima kasih ya, Gavesha.” “Sama-sama, lain kali bawa peta biar gak nyasar lagi.” “Hehehe.” “Ya udah gue duluan, udah magrib juga,” pamit Gavesha. “Hati-hati.” “Ya elah, rumah gue samping lo.” Meesa terkekeh, ia melambaikan tanganya ke arah Gavesha yang ingin masuk ke perkarangan rumahnya. Setelah memastikan Gavesha masuk, baru Meesa meminta agar satpam membukakan pagar untuknya. Seorang pria berkepala empat itu pun membukakan gerbang untuk nya dengan terburu-buru. “Ya Allah, Non Meesa dari mana aja toh. Ibu sudah nunggu non dari tadi. Takut terjadi apa-apa sama non, sampai Mas Rafa mau di suruh cari non,” tutur Pak Setyo satpam rumah Denallie. “Hehehe, tadi Meesa sempet nyasar pak,” lugu Meesa jujur. “Astagfirullah, tapi non gak papa kan?” “Alhamdulillah. Tadi ada orang baik yang nunjukin jalanya ke Meesa. Itu lho tetangga sebelah, namanya Gavesha,” terang Meesa. “Oh Non Gavesha. Ya udah non, non langsung masuk aja udah di tunggu ibu.” “Baik pak, terima kasih udah di bukain pagarnya, permisi,” pamit Meesa begitu sopan. “Sama-sama non.” Pak Setya begitu kagum pada Meesa. Gadis cantik, lugu, sopan, ramah, dan lucu. Dia selalu mengucapkan terima kasih terhadap hal-hal kecil, membuatnya di sukai banyak orang. Apalagi senyum manisnya yang selalu ia tunjukan. Jarang ada gadis yang sesopan dan selugu itu saat ini. Sementara di depan pintu ternyata Denallie dan Elakshi sudah menunggu Meesa. Denallie tersenyum hangat ke arah cucu kesayanganya yang sedari tadi ia khawatirkan tersebut. “Kamu dari mana aja? Kok pulang sampai magrib gini?” tanya Denallie membelai rambut indah Meesa. “Lava tadi jalan-jalan bentar. Terus beli es krim di depan. Tadi sempet nyasar, mangkanya lama hehehe,” jelas Meesa yang membuat khawatir Elakshi dan Denallie. “Terus gimana keadaan kamu? Kamu baik-baik aja kan? Gak ada yang jahatin kamu di jalan? Kenapa kamu tadi gak telfon bunda atau ayah aja biar di jemput?” tanya Elakshi begitu beruntun. “Satu-satu dong bun. Pusing Meesa harus jawab yang mana,” celetuk Meesa renyah. “Meesa gak papa, tadi Meesa di tolong sama tetangga sebelah. Namanya Gavesha, dia kayanya semuran sama Meesa. Meesa gak bawa hp, soalnya hpnya lagi di cas,” lanjut Meesa menerangkan. “Ya sudah, sekarang kita siap-siap buat salat. Meesa salat kan?” “Ya salat atuh, Nek. Kalau gak salat nanti masuk neraka,” jawab Meesa polos. Denallie dan Elakshi tergelak, mereka tertawa mendengar jawaban polos dari Meesa. Akhirnya mereka pun mengajak Meesa masuk dan bersiap untuk salat berjamaah. Magrib kali ini di imami oleh Jayendra. Di shaf pertama ada Kaivan, Rafa, Rafandra, dan Radhika. Sementara di shaf kedua ada Denallie, Elakshi, Ekavira, Anwa dan Meesa. Seusai salat Meesa berdiam dulu dengan Denallie. Denallie tengah membaca al quran seperti biasa, sementara Meesa membaca surah Ar Rahman. Lantunan merdu bersahutan antar bacaan Denallie maupun Meesa. Sedari dulu Meesa selalu di ajarkan dan di didik dengan ilmu agama yang mumpuni. Tak heran jika sifat gadis itu begitu mulia dan tidak ada secelah kotor di hatinya. Seusai membaca al quran, Meesa bergegas pergi ke dapur untuk menemani Elakshi dan yang lainya menyiapkan makan malam. Makan malam hari ini Elakshi dan Agnia memasak sup daging, perkedel, dan ayam goreng. Meesa di perintahkan untuk mengulek sambal. Dengan hati-hati ia nampak lihai memegang ulekan. “Meesa, kamu taruh semua ini di meja makan. Biar tante teruskan saja sambalnya,” ujar Aginia. “Baik, Tante.” Meesa mulai menata makanan di meja makan. Tak lupa juga ia menyiapkan empat belas peralatan makan. Maklum rumah ini adalah rumah keluarga. Ada setidaknya tiga kepala keluarga. Ekavira dan Kaivan memang belum menikah. Ekavira sibuk dengan karirnya dan Kaivan masih melanjutkan pendidikanya di salah satu universitas negeri yang terkenal di Jakarta. Setelah meja makan siap, perlahan semua anggota keluarga duduk di meja makan. Meesa menyalimi Davanka dan Pranaya selaku suami Anwa dan Agnia yang baru saja pulanng kerja. “Meesa ya? Makin cantik aja kamu,” tegur Davanka begitu ramah. “Hehehe, Om Dava bisa aja. Om juga makin ganteng aja.” “Ini Meesa? Wah datang kapan?” tanya Pranaya saat Meesa menyalimi laki-laki itu. “Tadi siang, Om.” “Oh, cantik.” “Terima kasih, Om.” Semua orang memang mengenal Meesa sebagai gadis yang murah senyum dan ramah. Tutur kata lembut dan tersaring membuat siapa saja yang mendengarnya adem. Setelah berkumpul semua, akhirnya makan malam di mulai. Tidak ada pembicaraan, semua sibuk dengan makanan masing-masing.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN