1. Sick
Hari ini sangatlah cerah, langit tampaknya sedang bergembira entah untuk apa. Segumpal awan putih layaknya kapas itu tampak berlalu lalang tertiup angin semilir, menari nari diatas langit biru sambil menikmati drama yang terjadi dibawah sana.
Angin bertiup perlahan, menyapu wajah seorang gadis berwajah jengah dengan hati hati. Alis menukik itu menaut dalam seakan ingin menyatu, tampak tidak tahan dengan keheningan yang cukup lama diterimanya. Seolah seseorang yang berada di hadapan gadis itu telah bisu secara tiba tiba, dan hanya dapat memandangnya dalam keraguan.
Gadis itu menaikkan sebelah alisnya. “Apa yang ingin kau katakan? Kau membuang waktuku” ucapan bernada ketus dengan tatapan tajam itu memecah keheningan yang sedari tadi melanda.
“Tunggu, aku akan mengatakannya”
Mendengar logat lawan bicaranya yang terdengar familiar, membuatnya tersenyum paham sekarang, matanya mulai memincing. “Jika yang kau ingin kau lakukan adalah menyatakan perasaan. Maaf saja, aku tidak tertarik dengan hal itu” sahutnya mendahului lawan bicaranya.
Gadis itu pergi dari hadapan seorang siswa yang memandangnya dengan raut kecewa. Dalam perjalanannya kembali, gadis itu mengatur nafasnya perlahan sambil memeluk dirinya sendiri sekuat tenaga.
‘Kau bisa, kau harus terbiasa’ batinnya mencoba tersenyum samar untuk menguatkan dirinya sendiri.
Benar, tidak ada satupun orang yang tau jikalau tangan gadis itu sedang bergetar hebat, ataupun wajahnya yang perlahan memucat, bahkan jalannya yang mulai teseok seok ingin terjatuh. Tidak ada yang tau, seorang pun tidak akan menyadarinya.
Dia berjalan sendirian dilorong sepi menuju kelasnya, dia takut dengan semua keramaian sekolah ini. Tapi mungkin ini adalah hari sialnya karena ada segerombol siswa yang lewat sambil menyapanya bersamaan, membuatnya seketika menelan ludah ketakutan tanpa berani melempar balik sapaan mereka.
Gadis itu berlari menjauh, dia tau keadaannya mulai memburuk sekarang. Dia butuh obatnya namun ada pelajaran yang menunggunya. Segenap tenaga dia mencoba kuat walau lutut itu sebenarnya sudah sangat kelu dan sangat susah digunakannya hanya untuk sekedar berjalan.
Sambil mengikuti ujung dinding yang menjadi tumpuannya, dia menarik nafasnya dan mengaturnya. Dapat dilihatnya pria itu disana dan ia mencoba untuk menghiraukannya.
Dia memasuki kelasnya dengan segera dan langsung menuju bangkunya yang berada di pojok belakang. Gadis itu meriuk ketakutan disana, dan tiba tiba menangis tanpa suara. Dia sudah mencoba menahannya namun semua tetap sama saja, tidak ada yang berubah dari usahanya.
Tatapan heran semua siswi dikelasnya membuatnya seperti terpojok, bahkan pria itu malah tersenyum kearahnya. ‘Jangan melihat kearahku’ pikirnya parau.
Semua bisikan itu mengganggunya, membuatnya semakin ketakutan. Tidak ada kebenaran dari semua ucapan mereka, hanya ada sebuah kebohongan besar yang mereka buat dengan asumsi mereka sendiri.
Gadis itu menggigit bibirnya kuat kuat, mencoba menahan teriakan yang ingin dikeluarkannya sedari tadi. Semua siswi itu hanya melihatnya, mereka tidak tau apa yang gadis itu rasakan dan alami.
‘Tolong aku!’ batinnya berteriak.
Cklak
“Ada apa ini ribut ribut? Suara kalian terdengar sampai dikelas sebelah” marah seorang guru yang baru saja memasuki kelas.
Tidak ada yang menjawab pertanyaannya selain teralihnya atensi itu kearah Moza. Gadis itu menangis ketakutan sambil menutup telinganya rapat.
“Panggilkan bu Riska cepat, kenapa kalian hanya diam tak melakukan apapun!” perintah guru itu terlihat marah, sudah biasa Moza seperti itu namun tetap tidak ada yang tau penyebabnya.
.
.
.
Moza terduduk diatas single bed uks sendirian, tidak ada siapapun selain dirinya disana. Keadaannya sudah lebih baik dari yang sebelumnya, dan gadis itu sedang menunggu seseorang yang biasanya selalu bersamanya diuks ini.
Cklak
Pintu uks itu terbuka, menampilkan seorang wanita berusia 20-an keatas yang sedang tersenyum ramah kearah Moza. Wanita yang tak lain bernama bu Riska itu berjalan mendekat sambil membawa segelas teh hangat.
Bu Riska menaruh gelas itu pada nakas kecil disebelah single bed yang diduduki Moza, lalu mendudukkan dirinya pada sebuah kursi yang letaknya memang ada disebelah nakas tadi.
“Apa sudah merasa baikan?” tanya bu Riska dengan senyum ramahnya yang belum luntur dari wajahnya sedari awal. Wanita itu adalah seorang penjaga uks, orang yang tau semua seluk beluknya, dan mungkin calon ibu dari Moza sendiri.
Moza mengangguk dengan kepala yang masih setia menunduk, gadis itu terlihat memainkan jari sambil meremat remat rok yang dipakainya dengan raut yang tak dapat digambarkan. Antara takut, bingung, dan yang lainnya.
Bu Riska meraih tangan bersuhu dingin itu, menggenggamnya berharap dapat menyalurkan kehangatan. “Moza, apa yang kau keluhkan saat ini?” tanya wanita itu lembut dan terkesan tidak memaksa.
“Aku takut, dia datang bagaikan mimpi paling buruk yang pernah kualami. Dia seram, juga buta. Kata manis yang keluar dari setiap kalimatnya adalah kepahitan yang sebenarnya. Tidak ada yang pernah benar, jika dia salah maka akupun juga. Tubuhku gemetar ketakutan dan kesakitan. Rasanya seperti dituding oleh ribuan tombak yang siap menancap kapan saja” ucap Moza sambil menautkan alisnya, menjelaskan apa yang dirasakannya dengan kata kata yang sedikit sulit untuk dipahami.
Bu Riska hanya mengangguk dan tersenyum, dia mungkin bukan psikiater, namun sedikit dia mengerti apa yang coba gadis itu katakan kepadanya. Wanita itu mengusap pelan kedua tangan Moza yang berada digenggamannya.
“Moza, ibu tau kau sudah berusaha. Tapi cobalah untuk lebih dekat lagi dengan mereka, seperti mengobrol atau bertukar sapa. Ibu tau kau takut, tapi cobalah sesekali. Ibu tidak akan memaksa jika kau benar benar tidak bisa melakukannya” bu Riska memberikan saran dengan tatapan lembutnya.
Namun Moza yang melihat itu malah menggeleng, dia merasa tidak akan bisa melakukan hal sekecil itu.
“Moza, tidak semua dari mereka buta seperti yang kau bilang. Tidak ada kepahitan diucapan mereka, ti-“ ucapannya terpotong saat dengan tiba tiba Moza menepis tangannya.
Wajah gadis itu kembali memucat, deru nafasnya tidak beraturan, dan dia menggeleng dengan kerasnya. Menolak semua pernyataan bu Riska untuk membantunya.
“Tidak, monster berwajah manusia itu. Menghukumku, meremukanku sebelum dirangkai ulang” rancau Moza meringsut mundur menjauhi bu Riska.
Gadis itu menangis, seluruh tubuhnya bergetar hebat. “Pergi, pergilah!” seru Moza ketakutan, dapat bu Riska lihat bahwa pandangan gadis itu terus beralih mengikuti sesuatu yang sedang menakutinya.
Bu Riska mendekat, meraih tubuh Moza yang ketakutan dan didekapnya. Membisikkan beberapa kata penenang agar gadis itu tidak melakukan hal lain yang berbahaya bagi tubuh dan kesehatannya.
.
.
.
Moza lagi lagi sendirian didalam uks, duduk termenung didepan jendela uks yang terhubung dengan taman sekolah. Jendela itu terbuka lebar, mempersilahkan angin semilir itu untuk masuk dan menemaninya yang sendirian.
Dia mengadah keatas, menatap langit yang masih sama seperti tadi pagi. “Blue like ocean, white like cotton” gumannya sambil membuang nafas panjang.
‘And you like a sweet doll’ suara bisikan itu terngiang dibenaknya.
Moza tiba tiba meremat kepalanya yang terasa sakit, terasa ingin pecah setelah mendengar suara itu. Semakin dirasakan kepalanya terasa lebih sakit dari yang sebelumnya, nafasnya pun mulai kembali memburu. Alisnya menaut merasakan semua itu, di mata berwarna ocean itu terpancar ketakutan yang sangat jelas.
“Tidak!” teriaknya saat melihat sekelebat bayangan seorang pria muncul tepat dihadapannya.
Terlihat sangat nyata dan mengancam. Wajah penuh seringai itu menatap buas kearahnya, dengan sebelah tangan yang memegang sebilah pisau.
Moza bangkit dari duduknya dan berlari menjauh kebingungan, walau jauh dalam kenyataan pria itu hanyalah sebuah halusinasinya saja. Gadis itu tidak bisa membantah kenyataan tentang rasa takutnya.
“Tidak, aku mohon” rancau gadis itu terlihat semakin kacau.
Gadis itu menoleh kebelakang saat pinggangnya menabrak pinggiran meja, dia terpojok. Dengan emosi tidak terkendali dia meraih apapun dimeja itu lalu melemparnya kearah bayangan itu muncul.
Suara benda pecah dan benda padat yang jatuh menggema ruangan itu. Moza berlari kecelah lain namun tetap kembali terpojok.
‘Oh my sweet doll, how adorable you are’ ucap pria itu sambil memainkan pisaunya dengan santai.
Moza meriuk dipojok ruangan, menyembunyikan kepalanya didalam 2 lututnya yang tertekuk. Menutup telinganya erat, berharap jika suara itu akan menghilang dari kepalanya.
Brak!
Pintu itu terbuka sangat keras saat wanita itu mendengar tangisan Moza dari luar. Dia panik luar biasa saat melihat keadaan ruang uks sudah kacau dan mendapati Moza menangis sampil menutup telinganya erat disudut ruangan.
Bu Riska langsung saja menghampiri Moza mencoba menenangkannya. “Moza, Moza. Tenang, kendalikan dirimu”
Moza mengangkat sedikit kepalanya, namun bukan bu Riska yang dilihatnya melainkan pria itu dengan wajah mengerikkannya.
“Tidak, pergi!” teriak Moza mendorong bu Riska menjauh.
“Moza, sadar ini ibu” ucap bu Riska lembut sambil mengusap pucuk kepala gadis itu, masih belum menyerah untuk menenangkan Moza.
Moza mendongak untuk yang kedua kalinya dan semua perlahan kembali kebentuk semula, dia menatap bu Riska minta pertolongan. Dia sudah tidak sanggup merasakan semua ini, Moza tidak bisa menahannya lagi. Tubuhnya terlampau lelah dengan semua halusinasi yang terus mengentayanginya.
Bu Riska memeluknya erat, membiarkan Moza meredakan emosinya dan menenangkan dirinya. Wanita itu pun juga mengharapkan hal yang sama, dia ingin Moza berhenti merasakan semua itu, tapi bagaimana caranya.
.
.
.
“Iya, keadaan Moza tampaknya kembali memburuk”
“...”
“Saya masih tidak tau apa penyebabnya, saya juga baru mengetahuinya saat ada beberapa siswi memanggil ke uks”
“...”
“Iya, baik. Terima kasih atas saran anda bu, saya akan secara rutin membawanya therapy” akhir bu Riska menutup telefon saat percakapan seudah selesai.
Wanita itu mengalihkan pandangannya kepada Moza yang sudah diberinya obat tidur. Dia tersenyum namun raut sedihnya tak dapat disembunyikan begitu saja. Di usapnya kepala Moza lembut, memandangi wajah cantik juga manis itu.
“Siapa yang membuatmu sampai seperti ini Moza, kenapa kau tidak jujur saja” tanya bu Riska namun hanya keheningan yang menyapanya, hanya angin lewat yang menjawabnya.
Dia membuang nafas panjang, bu Riska sangat menyayangi Moza. Sudah berulang kali wanita itu ingin mengadopsi Moza, namun gadis itu menolak karena takut dengan suaminya.
Bahkan sudah berulang kali dia membujuknya namun tetap penolakan yang didapatkannya, bu Riska sampai kehabisan kata untuk mengatakan apapun lagi. Namun dalam semu dia sudah menjadi ibu yang baik untuk Moza.
Dan yang dapat dilakukannya selain menjadi ibu adalah, menyelamatkan gadis itu dari arrhenphobia dan skizoaffectif. Dia akan berjuang menyembuhkan Moza dari penyakit mentalnya.
.
.
.
Tbc