15. Return

1077 Kata
15. Return   Selesai dengan acara ketakutan juga tangisnya, entah kenapa gadis itu justru tertidur dengan sendirinya. Padahal ia masih dalam posisi duduknya, bahkan tubuhnya tidak oleng sedikit pun.   Arga menggaruk rambut belakangnya keheranan. Bagaimana bisa gadis itu tidur dalam posisi terduduk dengan badan yang tak oleng sedikit saja.   Tapi, tanpa pikir panjang juga, Arga segera menarik bahu Moza kebelakang secara perlahan agar memudahkan ia untuk memindah gadis itu kekamar.   Kejadian beberapa menit lalu membuatnya sempat terkejut, bahkan sempat membuatnya menabrak meja karena terburu buru. Teriakan Moza yang nyaring itu bahkan juga bisa membuat jantungnya bergemuruh seperti lari maraton.   Namun, tak ada yang perlu dirisaukan hari ini. Moza tidak nekat dan mau mendengarkannya kali ini.   Senyum getir Arga sedikit terlukis saat ia menatap wajah Moza yang tidur di hadapannya. Gadis ini sebenarnya baik baik saja, tapi trauma entah apa itu membuatnya jadi seperti ini.   Seketika pikirannya pun melayang kearah pria itu, andai sejak awal Moza tak bertemu dengannya. Andai sejak awal pria itu bukan seorang yang penting bagi Moza, dan andai Moza tidak terpengaruh dengan kata manis penuh bisa beracun itu. Semua ini tak akan terjadi, Moza akan baik dan tak akan semenderita sekarang.   Tapi, itu hanyalah sebuah kata andai. Semua sudah terjadi sekarang, dan tak akan ada yang bisa memutar balik waktu yang telah lewat. Tak akan ada yang bisa, dan itu pasti.   Ia meletakkan Moza secara perlahan dikasurnya, memcoba membuat gadis itu tak terusik dengan pergerakannya. Dipandanginya sekali lagi wajah polosnya sambil tersenyum kecil.   "Lama tidak melihatmu tidur pulas seperti ini, Mocha" gumannya tersenyum simpul.   Arga menaikkan selimut itu kembali menutupi tubuh Moza, tidak mungkin ia membiarkan gadis itu kedinginan dengan suhu dingin rumahnya yang satu ini.   Dengan segera ia menjauh dari sana dan mengeluarkan ponselnya.   "Hallo, Miel..."   "Hallo, Tuan. Sudah ada tugas lagi untukku? 4 ekor tikus saja tidak cukup untukku dalam sehari..."   "Ada, akan ada lebih banyak yang mereka kirimkan. Mereka semua bersenjata, aku harap kau senang dengan tugasmu ini" ucap Arga dengan nada tegas yang tidak diketahui siapapun kecuali orang orangnya.   "Aku rasa, itu akan menyenangkan Tuan. Tapi, apa boleh aku pergi ke rumah sakit Tuan?"   "Untuk apa?"   "Kau tau, Tuan. Teh buatan pelayanmu rasanya aneh. Biasanya aku menambahkan setengah kantong darah, tapi sekarang sudah habis"   Mendengar keluhan yang disertai curhatan dari Miel itu, Arga dengan cepat langsung membatin. 'Dasar maniak darah...'   "Baiklah, tapi jangan sampai membuat orang curiga. Aku bisa saja membuatmu jadi pajangan tiang lampu di depan rumah"   "Baik, Tuan Sadis..."   Sambungan telefon itu tiba tiba terputus, Arga berdecak melihat gelagat orang yang baru direkrutnya menjadi bodyguard itu. Sunguh kurang ajar pada Tuannya, bahkan dengan berani memutuskan telefon lebih dulu.   Semua ini belum dimulai, ini hanya pembukaan. Ia hanya ingin memberi sedikit kejutan pada pria itu.   . . .   Langit yang cerah, angin semilir, dan aroma khas pagi hari. Semua terasa pas dan sempurna, namun nyatanya tidak. Tidak dengan raut kosong juga wajah datar itu.   Ia sama sekali tak menunjukkan ekspresi apapun selain memandangi pohon pohon di pinggiran jalan. Mereka tampak seperti melewatinya dengan begitu cepatnya.   "Moza, apa yang kau lamaunkan?" tanya bu Riska yang tetap fokus pada jalanan.   Moza menoleh kearah bu Riska, meninggalkan pemandangan dibalik kaca mobil. Ia tetap tak mengatakan apapun selain menatap bu Riska dengan tatapan kosongnya.   Sebenarnya Moza hanya bingung, ia tiba tiba saja terbangun disini beberapa menit yang lalu. Dan lagi sudah memakai seragam juga menuju ke sekolah.   "Moza?"   Moza kembali mendongak, menatap bu Riska yang sedikit melirik kearahnya. Ia hanya tersenyum lalu menggeleng untuk memberi jawaban.   "Baiklah, nanti saat sampai. Jangan panik, okey?" ucap bu Riska yang mulai mendekati kawasan sekolah.   Moza hanya mengangguk pelan, wajahnya masih tampak mengerikan dengan lingkaran hitam dibawah mata itu.   . . .   Royyen menatap orang itu sedari tadi dengan bosan, tak ada semangat dari beberapa hari ini. Hanya mengeluh dan meratapi nasipnya seperti di film india.   Royyen menepuk nepuk lengan itu beberapa kali, sungguh sungguh bosan. Tak ada yang bisa dilakukannya selain mengikuti Aland, bukannya dia tak ada kegiatan lain. Tapi Aland sendiri yang selalu menyeretnya kesana kemari sambil meratapi nasip.   "Tan, bosen nih. Malakin adek kelas yok..." ajak Royyen, berharap manusia putus hidup itu bergerak.   "Malakin adek kelas itu dosa, entar masuk bk, dirumah dimarain mama" ucap Aland dengan wajah anehnya.   "Aneh lu, biasanya aja lu juga malakin" ejek Royyen sambil tertawa garing.   Aland tidak merespon, ia malah memejamkan matanya dan membiarkan dirinya terkapar di lorong sekolah. Bahkan Royyen tau, mereka yang melewatinya pasti membatin jika Aland sudah gila, tidak waras atau sebagainya.   Tidur ditengah tengah jalan, mungkin dia sudah mengalahkan rekor tempat untuk tidurnya Arga. Arga mungkin masih bisa tidur di taman, ditempat parkir, atau di toilet. Sedangkan sepesies satu ini di jalan, kurang apa Royyen sebenarnya. Ia bahkan rela menunggu makhluk ini tidur dijalan.   "Land, beneran bosen nih... Masa' iya gue nungguin lo meratapi hidup gini" ucap Royyen mulai jengkel.   "Gk peduli, lo harus tetep disini! Titik gk pakek tanya"   "Anjir lu..." umpat Roy.   Tak mendapat tanggapan dari Aland ia pun hanya diam sambil memperhatikan sekitar sambil beberapa kali mendengus kesal. Namun gerumbulan didepan sana itu membuatnya penasaran, apa yang mereka lihat sampai bergerumbul seperti itu.   "Woy, lu!" panggil Royyen sedikit Berteriak.   Entah siapa itu menoleh lalu menunjuk dirinya sendiri. "Ck, iya lu. Emang nih Setan!" ucap Royyen sambil dengan sengaja memukul punggung Aland.   "Sialan lu!" umpat Aland namun kembali tidur.   Royyen kembali menatap anak tadi yang tetap berdiri disana. 'Nih bocah oon ato gimana? Dipanggil tetep disitu aja!'   "Sini, emang gue bisa molor sampek situ? Nih Setan nahan gue!" gerutu Royyen.   Melihatnya mendekat, Royyen pun bertanya. "Ngapain mereka? Ada yang berantem?" tanya Royyen penasaran.   "Oh, itu. Ngak, Moza udah balik sekolah lagi... Biasa, dia kan populer" ucapnya.   "Oh, gitu..."   Royyen pun menoleh kearah Aland, berniat memberi taunya. Namun apa yang akan ia katakan, Setan itu saja sudah hilang dari tempatnya.   "Moza aja langsung semangat, dasar siAland" gerutu Royyen lalu bangkit dan menuju ke sana juga.   Sedangkan bocah itu hanya diam disana seperti orang bodoh.   . . .   "Moz..." panggilan itu tak sampai berakhir.   Mendengar kata Moza kembali saja ia sudah semangat, ia mungkin akan bisa melontarkan sejuta gombalnya dengan wajah mendrama. Namun apa yang dilihatnya, bukan seperti Moza. Bukan gadis judes yang akan meneriakinya saat datang dihadapannya.   Ia jadi bingung sekarang, kenapa rautnya seperti itu. Kenapa ia ketakutan melihat semua siswa dan siswi yang menyambutnya datang kembali kesekolah. Apalagi wajah itu begitu kacau, bahkan nampak jelas lingkaran hitam dibawah matanya.   'Apa ada sesuatu yang tak aku ketahui? Kenapa dia seperti itu?' batin Aland kebingungan.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN