Ternoda dan Menikah
Tanggung Jawab yang Tertukar
***
"Awww, ampun, Buk!"
"Dasar kamu, bikin malu keluarga! Mau ditaruh di mana muka ibuk, hah! Susah payah ibu besarkan kamu malah sengaja melempar muka ibuk dengan kotoran!"
Ibu terus saja menyeret tubuhku dengan membabi buta. Aku sakit selama 3 hari dan ibu membawaku ke dokter umum terdekat, saat diperiksa, dokter itu mencurigai aku hamil, sehingga meminta aku melakukan test kehamilan. Bagaikan di sambar petir, ternyata aku hamil. Ibu murka, dia langsung mengajak pulang. Turun dari angkot di ujung gang Ibu langsung menyeret tubuhku seperti sekarung beras. Pakaianku penuh tanah, kotor dan basah , terdapat luka lecet di beberapa bagian karena ibu menyeretku di jalanan setapak yang banyak lubang. Hujan baru reda dari dari atas sana. Aku hanya bisa menangis memohon pengampunan.
Tetangga kanan kiri yang melihat langsung berkerumun karena penasaran.
"Buk, ampun Buk!"
Aku terus memohon, memegang kedua kaki ibu erat. Tangisku tak terbendung lagi, aku bingung bagaimana menjelaskan ini semua padanya. Sampai di depan rumah, Ibu melepaskanku. Tertatih aku mencoba berdiri, menahan perihnya hati dan tubuh ini. Ibu yang biasanya sangat penyayang, kini seperti monster yang menyeramkan.
"Aku sampai menjadi tukang cuci dari rumah ke rumah untuk membiayaimu sekolah, kini setelah sebesar ini, tega kau lakukan semua ini padaku, Ve?"
"Maafkan, Ve, Buk."
Aku menangis seraya memegang kedua kakinya. Salah satu tetangga yang melihat mendekat.
"Ada masalah apa ini, Leni?
"Tanya saja sama anak sialan ini. Bikin malu!"
Mbok Sopiah, tetangga yang cukup dekat dengan ibu mengambilkanku air minum. Ia juga mengobati luka dan meminjamkan pakaian ganti untukku.
"Sekarang bicara sama Mbok, siapa bapak dari anak yang ada di rahimmu, Nak."
"Venya nggak tau, Mbok."
Dahinya mengernyit, ia bingung dengan keteranganku.
"Kok bisa nggak tahu?"
"Waktu itu, saat pulang sekolah. Ada seorang pria berjalan sempoyongan. Dia mendekatiku, lalu menarikku ke semak-semak. Laki-laki itu menodaiku, Mbok."
Aku tertunduk dalam mengingat kejadian itu.
"Astaghfirullah." Mbok Sopi langsung memelukku. "Kamu nggak cerita sama Ibuk?"
"Nggak Mbok, takut kena marah, takut ibuk sedih," sahutku dengan suara serak. Perih itu kembali menyambangi d**a ini.
"Ya Allah, Nak. Tapi sekarang dia menyalahkanmu. Apa kamu kenal siapa laki-laki itu?"
"Nggak kenal, Mbok."
"Ya sudah, nanti biar Mbok yang bicara sama ibumu, kamu makan dulu, kasian calon anakmu, dia nggak salah apa-apa."
"Venya belum siap punya anak mbok. Apa kita gugurkan saja?"
"Astaghfirullah, nyebut Nduk. Ingat sama dosa, anakmu tidak salah apa-apa. Dia hanya titipan dari Tuhan kita. Jangan tambah dosamu dengan melenyapkan anak itu. Rawat dia, kasihi dia, kasian. Di luar sana ribuan pasangan mengharap buah hati seperti ini."
"Tapi Venya masih pengen sekolah, Mbok." Aku terus saja menangis.
"Sabar, Nak. Ini ujian, nanti mbok coba datang ke sekolah untuk bicara dengan kepala sekolahnya, ya."
Aku mengangguk. Hingga malam aku tidak berhenti menangis. Sesekali kuremas perut ini. Aku kesal dengan diriku sendiri, mengapa aku tidak bisa menghindar hari itu. Saat itu aku jatuh pingsan, ketika bangun, aku sudah ada di bawah sebuah pohon yang ada di pinggiran semak semak itu. Sudah satu Minggu di sini, Ibu belum juga menemuiku. Pihak sekolah juga tidak mau lagi menerimaku. Ya Allah, laranya rasa hati ini. Aku kangen ibu, ingin pulang, tapi mbok Sopi melarangku. Katanya, mungkin ibu belum bisa menerima semua musibah ini.
Pintu kamar yang ada di rumah mbok Sofi diketuk oleh seseorang, masuklah Mbok Sofi dengan seulas senyuman.
"Nduk, malam ini ada seorang pria datang. Katanya, dia menaruh hati padamu sejak dulu, jadi berniat ingin mempersuntingmu. Dia sekarang ada di rumahmu, menemui ibumu."
Aku tertunduk. "Apa dia masih mau menerimaku setelah tahu kondisiku saat ini mbok? Bagaimana dia bisa mengenal dan menyukaiku?
Aku mulai menangis.
"Ceritanya panjang. Kamu yang sabar, kita serahkan sama Allah diatas sana. Tadi, mbok dengar ibumu menyetujuinya dan meminta keluarga besar pria itu datang bertandang kalau memang dia serius dan tidak main-main denganmu. Mbok berharap ibumu jujur dengan keadaanmu saat ini."
***
"Apa? Jadi kamu nggak bilang kalau Venya sedang hamil?" tanya mbok Sofi marah.
"Mana mungkin aku mengatakannya, Mbak? Kalau dia nggak jadi nikahin Venya gimana? Nama baikku jadi taruhannya, Mbak. Nama baikku! Almarhum bapaknya seseorang yang tersohor di kampung ini. Mas Adi sudah dianggap guru oleh semua orang di desa ini. Aku nggak mau mereka menganggap kami gagal mendidik anak menjadi gadis yang sholehah, aku nggak mau mbak!"
"Kenyataannya anakmu gadis ini memang sholehah! Dia hamil karena musibah, bukan kemauannya!"
"Halah! Itu alasannya saja untuk menutupi dosanya. Dia cuma mau cari aman, Mbak."
"Leni! Aku saja yang mengenal Venya sejak kecil yakin kalau dia tidak berbohong, bagaimana kamu yang seharusnya melindunginya malah tidak percaya?!" bentak Mbok Sofi.
Malam itu terjadi pertengkaran yang hebat antara mbok Sofi dan ibu. Aku hanya bisa menangis mendengar keributan mereka. Hidup bertetangga bertahun-tahun lamanya baru kali ini mereka bertengkar, semua karena aku. Dulu, bapak dan suami mbol Sofi juga berteman dekat. Tidak lama setelah kepergian bapak, pakde Karwo juga menyusul. Tinggallah kami bertiga di sini. Hingga kini tidak ada yang tahu kalau aku sedang hamil kecuali ibu dan mbok Sofi, mereka heran mengapa aku tiba-tiba berhenti sekolah. Baik mbok Sofi dan ibu sama-sama menjawab kalau kami tidak punya biaya untuk melanjutkannya.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya, Venya binti Adi Hadiyat dengan Mas Kawin yang tersebut tunai!"
Dua saksi mengatakan sah, akhirnya aku sah menjadi istri dari seorang lelaki yang bernama Arka. Ibu mengatakan supaya aku langsung dibawa ke rumah mereka saja, dengan berbagai alasan. Akhirnya besoknya, Mas Arka membawaku ke rumahnya yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Sekitar 4 jam perjalanan. Aku heran, dari semua keluarganya, mengapa hanya Mas Arka yang bersikap ramah dan sopan padaku. Keluarga dan mertua juga malam itu nampak sinis jika melihatku.
Setelah 4 jam perjalanan akhirnya kami sampai. Rumah dua lantai berwarna putih terlihat elegan berdiri di depan sana. Mas Arka turun lebih dulu, kemudian aku menyusul. Aku membawa tas berukuran besar, melihatku sedikit kesusahan Mas Arka mengambilnya dari tangannya. Sampai di depan pintu ia menekan bel beberapa kali. Pintu terbuka, seorang wanita paruh baya tersenyum menyapa.
"Bik, Mami sama Papi ada di rumah?"
"Nggak ada, Pak."
"Oh ya udah." Mas Arka menoleh ke arahku. "Masuk yuk!"
Aku tersenyum tipis saat melihat wanita paruh baya ini. Kami melangkah masuk secara beriringan, kemudian tiba-tiba aku menangkap sosok yang tak asing di ingatan. Seorang pria dengan celana pendek tanpa memakai baju sedang asik bermain game di ruang tengah. Ia menoleh, lalu tersenyum kecil.
"Halo selamat datang!" sapanya santai, lalu kembali sibuk dengan gamenya.
Aku terdiam, cukup lama. Kuamati wajah dan tubuh itu dengan seksama, hingga dadaku serasa sesak. Aku ingat kejadian hari di mana mahkotaku telah direnggut secara paksa oleh seorang pria. Tanganku mengepal, mataku memanas, dadaku naik turun menahan amarah. Dia ... dia orangnya! Mengapa ia terlihat biasa saja, tanpa rasa berdosa ketika melihatku? Sebenarnya siapa dia di rumah ini?
"Ve, kita perlu bicara di kamar," bisik lelaki yang kemarin sah menjadi suamiku ini.
Mas Arka langsung saja menarik lengan. Sampai di kamar aku mematung di depan pintu. Aku menolak masuk, tapi Mas Arka langsung menarik tanganku.
"Kau ingat sesuatu?" tanyanya berdiri di belakang tubuhku.
"Ya ... Dia bajing** yang sudah mengambil kehormatanku!" ucapku tertahan menahan amarah. Air mataku mulai berjatuhan, aku tidak bisa lagi menahannya. "Siapa dia?"
"Dia Beni--Adikku."
Aku langsung menghadap ke arahnya, menatap tajam wajah lelaki yang berdiri mematung di depan sana. Aku melangkah untuk mendekat, setelah tepat ada di depannya baru aku bertanya.
"Jadi Mas menikahiku karena kasihan?"
"Lebih tepatnya, aku merasa bertanggung jawab atas apa yang sudah Beni lakukan padamu. Dia tahu kalau saat itu dia sudah m*****i seseorang, tapi dia tidak ingat siapa. Beni masih kuliah semester dua, di universitas milik keluarga kami sendiri. Dia belum bisa diberi tanggung jawab sebagai seorang suami, meski aku memaksa dia menolak dan kedua orangtuaku mendukung keputusannya untuk melupakan kejadian itu, tapi aku masih punya hati. Aku tidak sampai hati melihatmu hancur seorang diri. Akhirnya aku memutuskan untuk menikahimu. Baik Beni dan kedua orangtuaku tidak ada yang tahu kalau kau adalah korban p*********n saat itu. Setidaknya yang tetanggamu tau, ada bapaknya jika kau melahirkan nanti. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya atas anak itu. Aku berjanji."
"Jadi, kau tahu kalau aku sedang mengandung anak dari adikmu?"
"Ya, aku tahu. Sebenarnya aku meminta seseorang untuk menyelidikimu."
Seketika aku memejamkan mataku. Perih sekali rasa hati. Astaghfirullahalazim ....