Angin yang berhembus di bulan September tahun ini agak sedikit hangat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Meskipun beberapa negara di benua Eguros sudah ada yang mulai turun salju. Sepertinya musim gugur tahun ini di Meeskatania agak sedikit datang terlambat. Mungkin karena isu pemanasan global yang akhir-akhir ini muncul kembali setelah propaganda dari Presiden Uni Eguros.
Dua bulan telah berlalu semenjak pengadilan memutuskan Sean tidak bersalah akibat pemalsuan transaksi yang dilaporkan oleh Roosevelt. Begitupun Joseph Roose. Ia sempat diperiksa beberapa kali oleh pihak kepolisian terkait pengakuannya yang sengaja membuat transaksi palsu itu. Namun justru polisi menahan seorang komisaris Roosevelt Corp atas laporan keterangan lanjutan dari Joseph Roose. Ia sekarang tetap bebas menghirup udara segar di Meeskatania. Berbeda dengan salah seorang komisarisnya yang harus mendekam di penjara selama 5 tahun ke depan.
Clair sempat mengikuti perjalanan kasus itu sampai benar-benar selesai. Meskipun akhirnya ia harus kecewa karena Joseph Roose justru bebas dari segala tuntutan. Bisa saja Clair melaporkan pembunuhan yang dilakukan Joseph Roose atas kematian Dylan Fiennes beberapa waktu lalu. Jasad Dylan Fiennes sudah ditemukan polisi di sebuah hotel tua di Zeeskatania yang sudah tidak beroperasi lagi. Namun hingga kini polisi belum menemukan bukti apapun atas pembunuhan itu. Hanya sebuah perekam suara rusak yang sebelumnya Clair gunakan di pengadilan. Itupun belum cukup kuat bagi Clair untuk melaporkan Joseph Roose pada polisi.
Clair hanya ingin menunggu momen yang tepat untuk mengungkap kejadian pembunuhan itu. Bukan untuk membalaskan dendam Dylan Fiennes. Clair benar-benar ingin melindungi Sean, Amanda, dan juga Nick Roose. Tidak ada yang mengetahui rencana apa yang akan dilakukan Joseph Roose selanjutnya. Yang pasti, Clair tidak akan tinggal diam jika itu kejadian lagi.
*
Kehidupan di kantor SEMA tidak begitu banyak berubah. Tetapi ada hal yang berbeda. Clair selalu datang bersama dengan Sean saat pagi hari. Begitupun saat jam pulang kerja. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama di kantor daripada di luar jam kerja. Sean tetap melaksanakan perannya sebagai seorang pemimpin perusahaan. Begitu juga Clair sebagai seorang bawahan.
Hari itu, Sean sedang mengendarai mobilnya yang melaju di jalan menuju rumah Clair untuk mengantarnya pulang. Tidak ada yang spesial hari itu, selain Clair yang baru saja memotong pendek rambutnya. Sedikit menggantung di atas bahunya.
Clair mengeluarkan sebuah cermin dari dalam tasnya. “Kependekan tidak, sih?” tanya Clair sambil bercermin dan mengurai rambutnya.
“Tidak, kok. Cocok sama mukamu yang sedikit bulat,” ejek Sean.
Clair melirik sinis dan memasang wajah cemberut ke arah Sean. “Kan. Bilang saja jelek dan tidak cocok.”
“Siapa yang bilang? Saya tidak bilang itu, ‘kan?” tegas Sean.
“Tapi responsmu begitu setiap aku tanya.” Clair menutup cerminnya agak keras dan menaruhnya lagi ke dalam tas.
Sean melambatkan laju mobilnya dan menepi di sisi kiri jalan.
“Bagaimanapun, saya melihatmu dengan cara saya sendiri.” Sean menatap mata Clair dengan penuh arti. “Tidak ada yang berubah. Kamu tetap spesial untuk saya.”
Clair menutupi sisi wajahnya sebelah kanan dengan tangannya. “Apa sih? Sejak kapan kamu jadi suka merayu begini?” Senyum Clair merona di balik telapak tangannya. “Sudah jalan lagi, nanti keburu malam,” sambungnya.
“Baiklah.” Sean membetulkan posisi duduknya untuk melanjutkan perjalanan.
Di tengah perjalanan menuju rumahnya, Clair melihat sebuah parade karnaval musim gugur yang diadakan tahunan di Buitenkatania. Mereka tengah menuju ke taman kota untuk merayakan musim gugur. Karnaval taman kota itu dipenuhi dengan berbagai macam kios yang menjual makanan khas musim gugur. Juga beberapa wahana permainan seperti kincir roda raksasa, jungkat-jungkit raksasa, memanah kartu, dan wahana yang lainnya.
Orang-orang sangat ramai berdatangan ke karnaval itu. Mereka membawa anak-anaknya untuk liburan akhir pekan sambil menikmati suasana malam di hari pertama musim gugur. Atau sekedar membeli makanan yang menggantung di jendela kios-kios di karnaval itu.
Clair menoleh ke arah Sean dengan senyum yang terlihat seperti sedang merayu. “Sean ...” rayunya halus sambil mengedipkan mata berkali-kali.
Sean tidak bisa menahan senyumnya lebih lama lagi setelah melihat tingkah Clair yang sedang mencoba merayunya untuk datang ke karnaval itu. “Astaga ....”
“Ya? Ya? Ya?” Clair mencoba meraih tangan Sean. “Sekali ini saja. Please—”
“Iya. Tapi jangan sampai larut malam. Jam 8 saya harus mengantarmu pulang,” tegasnya.
Clair mengangguk.
Sean memarkirkan mobilnya di dekat pusat taman kota. Mereka berdua melanjutkan berjalan kaki menuju pintu masuk karnaval. Antrian di pintu masuk itu agak sedikit panjang. Terlebih ini adalah hari pertama karnaval musim gugur itu dibuka untuk umum.
Melihat padatnya antrian itu, Clair memutuskan untuk meninggalkan Sean yang sedang dalam antrian. Clair berlari ke arah sebuah kios penjual topi. “Mas, saya mau yang itu.” Clair menunjuk sebuah bando yang bertuliskan ‘First Autumn Love’ melingkari kedua sisinya. “Saya mau beli 2.” Clair mengeluarkan beberapa uang dari dompetnya, hendak membayar kepada penjual.
“Kakak, kok tangan kakak bercahaya?” tanya seorang anak kecil yang tiba-tiba menghampiri Clair dan menunjuk tangannya.
“Eh?” Clair menoleh ke arah anak perempuan yang berdiri di sampingnya. Ia membungkukkan tubuhnya untuk menggandeng tangan anak itu. “Bercahaya bagaimana, cantik?” tanyanya.
“Tadi aku melihat tangan kakak berubah. Seperti mengeluarkan cahaya putih,” ucap anak perempuan itu.
Clair tersenyum. “Kamu salah lihat mungkin. Tuh lihat, di atas ada cahaya lampu yang memantul ke arah kita berdua.” Clair menunjuk ke arah sebuah lampu yang menyorot di atasnya.
Orang tua dari anak perempuan itu berjalan menghampiri Clair yang sedang mengobrol dengan putrinya. “Maaf ya, Mbak.” Mereka membungkukkan tubuhnya untuk meminta maaf. “Dia memang anak yang aktif. Maklum, masih usia 7 tahun.”
Clair hanya tersenyum ke arah mereka berdua.
“Mari, Mbak.” Mereka berjalan kembali meninggalkan Clair.
Clair tertegun mendengar apa yang diucapkan anak perempuan itu. Clair mulai mengkhawatirkan dirinya. Bukan cahaya lampu yang menyorotnya seperti apa yang ia katakan sebelumnya kepada anak perempuan yang ditemuinya tadi. Ini pertama kalinya bagi Clair mengalami hal tersebut setelah hampir dua tahun kepindahannya ke Meeskatania.
Clair memejamkan matanya. Mungkinkah bagi dirinya menyadari ini adalah sebuah awal ketidakselarasannya selama menempati Meeskatania. Ia tidak tau kapan waktu baginya itu tiba untuk kembali ke tempat asalnya. Clair menghela napas panjang.
Sean berjalan menghampiri Clair setelah mendapatkan tiket untuk masuk ke dalam karnaval itu. “Saya sudah mendapatkan tiketnya.” Sean menunjukkan kedua tiket yang dipegangnya itu kepada Clair.
Sean sempat menyadari ada sesuatu yang terjadi pada Clair selama ia mengantri.
“Ada apa, Clair?” tanya Sean mendapati Clair yang berdiri diam. “Kamu baik-baik saja? Atau mau pulang saja?”
Clair menggeleng. “Tidak. Ayo masuk ke dalam. Tapi sebelum masuk, kamu harus pakai ini dulu.” Clair memasangkan bando yang dibelinya kepada Sean. “Nah. Aku juga pakai. We’re now a head-couple.” Ia menautkan bando yang lainnya di atas kepalanya. Clair berlagak seperti seorang model yang sedang berpose bertolak pinggang.
Sean mencopot bando yang menempel di kepalanya. “Tidak cocok kalau saya memakai ini. Saya kan sedang menggunakan—”
Clair yang masih berpose menolak pinggang itu, melotot ke arah Sean. “Aku marah kalau kamu mencopot itu,” pangkas Clair cepat.
Sean mengerat asal-asalan bando itu kembali di kepalanya.
“Bukan begitu pakainya. Masa penjepitnya kamu taruh di depan dan di belakang.” Clair memperbaiki posisi bando yang salah.
Sean yang malu karena sekarang mereka berdua sedang menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya, mengikuti tangan Clair yang sedang memperbaiki bando. “Sini, biar saya melakukannya sendiri, Clair.” Sean menggenggam tangan Clair dengan sedikit keras.
*kraaak* *taakkk*
“Tuh kan ... jadi patah begini.” Clair cemberut memegang kedua bando yang sudah patah terbagi menjadi dua bagian.
Sean terlihat panik. Ia dengan cepat mencopot bando yang ada di kepala Clair, dan menautkan di kepalanya. “Maaf.”
Clair tertawa melihat tingkah Sean. “Kamu tuh, ya, kalau lagi panik pasti selalu bertingkah aneh.” Clair menggandeng tangan Sean untuk menuju pintu masuk karnaval musim gugur.
Lampu-lampu hias yang menyinari sepanjang jalan setapak di karnaval itu tampak berwarna kekuningan. Sean dan Clair saling menggenggam tangan menyusuri tiap-tiap wahana yang berada di sana. Malam itu, mereka berdua menghabiskan waktu bersama dengan perasaan penuh rasa bahagia. Seperti dua orang kekasih yang baru saja bertemu setelah lama berpisah.
Sean mendapatkan sebuah kalung yang ia dapat dari salah satu wahana permainan yang menawarkan hadiah jika seseorang berhasil menyelesaikan tantangannya. Di bawah kincir roda raksasa, Sean berdiri di belakang Clair untuk mengalungkan sebuah kalung yang didapatnya. Clair menyingsingkan beberapa helai rambutnya yang sedikit menutupi bagian pundaknya.
“Terima kasih untuk kalungnya, Sean. Meskipun kamu mendapatkannya susah payah,” ejek Clair membelakangi Sean yang sedang mengancingkan ikatan kalung yang melingkari lehernya.
Sean tertegun di belakang Clair. Dalam beberapa saat, sosok Amanda Roose terlintas di pikiran Sean. Sebelumnya, ia melakukan hal yang sama kepada Amanda. Memberinya sebuah kalung, dan memakaikannya untuk Amanda. Pun Sean mengkhawatirkan perasaan Amanda yang sudah mengetahui dirinya bersama dengan Clair. Seharusnya ia berada di samping Amanda dalam sementara waktu. Pikiran itu cukup mengganggu Sean beberapa kali. Terlebih setelah kejadian yang menimpa Amanda di hari persidangan.
Clair membalikkan tubuhnya, memeluk Sean yang berdiri di belakangnya. “Terima kasih. Aku sangat bahagia hari ini.”
“Sama-sama, Clair. Semoga kamu menyukainya.” Sean melepaskan pelukan Clair.
Clair hanya mengangguk.
“Sudah jam 8. Kita pulang sekarang, ya?” tanya Sean.
“Baiklah.”
Mereka kembali menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari pintu keluar. Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada kata yang keluar dari Sean maupun Clair. Ada perasaan yang sedikit mengganjal di antara keduanya setelah mengunjungi karnaval musim gugur di taman kota itu. Dan tak ada seorangpun yang ingin mengawali untuk memulai pembicaraan di dalam mobil. Sunyi, beberapa kali hanya suara bunyi klakson yang terdengar dari mobil di sekitar mereka.
Laju mobil yang dikendarai Sean itu melambat saat memasuki kawasan perumahan Clair. Setelah menepikan mobilnya tepat di ujung Jalan Cornelis 1, Sean turun dari mobilnya, disusul oleh Clair yang baru saja selesai merapihkan barang-barangnya di dalam mobil.
Clair berjalan perlahan menghampiri Sean. “Sean, terima kasih banyak untuk hari ini.” Clair melemparkan senyum kecil ke arah Sean.
Sean merasa bingung melihat sikap Clair yang tiba-tiba saja berubah setelah mengunjungi karnaval. Tidak ada penjelasan dari Clair tentang apa yang ia rasakan saat itu. Menebak-nebak juga hal sulit bagi siapapun jika tanpa kejelasan di saat-saat seperti itu.
“Clair, jika ada kesalahan yang saya lakukan padamu hari ini, saya benar-benar minta maaf,” ungkap Sean.
Clair menggenggam kedua tangan Sean. “Tidak ada yang salah dengan siapapun, Sean.”
“Lalu, kenapa kamu bersikap seperti ini? Apa yang terjadi padamu? Apa kamu ingin menjauhi saya setelah ini?” tanya Sean.
Clair berdiam diri cukup lama di hadapan Sean.
Angin yang berhembus malam itu sedikit membawa udara dingin, melewati celah di antara tubuh mereka berdua yang saling berpegangan tangan. Suara gonggongan anjing juga terdengar samar-samar dari kejauhan. Beberapa orang juga sudah mulai mematikan lampu pekarangan rumahnya. Hanya sedikit sinar lampu yang menyala dari masing-masing rumah.
Clair menghela napasnya. “Aku tidak tau ini waktu yang tepat untukku atau bukan ...”
Clair menarik tangan Sean dan mendekatkan tubuhnya. Clair menjawab semua pertanyaan Sean malam itu dengan sebuah ciuman di bibir Sean. Sean hanya terdiam dan memejamkan matanya.
Clair melepaskan ciumannya. “Saya sangat mencintaimu, Sean.” Sorot mata Clair sangat dalam menatap Sean.
“Saya juga cinta kamu, Clair.” Sean membalas ciuman Clair.
**
Clair menutup pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam. Semua orang di rumah itu sudah terlelap dalam tidurnya. Hanya Sean dan dirinya yang masih terjaga di dalam gelap rumah itu. Kikuk di antara keduanya membayangi suasana di kamar Clair malam itu.
“Lalu apa?” tanya Sean.
“Aku tidak tahu.” Clair terduduk di ujung kasurnya. Wajahnya sesekali terlihat memalingkan dari pandangan Sean. “Kontrak internship-ku di SEMA sebentar lagi akan selesai di akhir September ini.” Mata Clair terbelalak karena terkejut mendengar ucapannya sendiri tanpa sadar.
Mendengar itu, Sean juga tertawa. Entah kenapa di saat-saat seperti itu, pernyataan sembarang itu bisa terlontar dari mulut Clair. “Kenapa, Clair?” tanyanya.
Clair hanya bisa menggeleng tidak percaya. “Aku ... aku tidak ada maksud apa-apa mengatakan itu, Sean. Sumpah.” Jemari Clair membentuk huruf ‘V’ sebagai simbol sumpahnya.
Clair memutar badannya membelakangi Sean. “Aku tidak tahu jika setelah itu aku tetap bisa menemuimu lagi atau tidak,” sambungnya.
Sean mengeluarkan ponselnya. Menunjukkan pada Clair sebuah pengumuman yang dibuatnya beberapa hari lalu. “Kamu dan timmu sedang dalam pengurusan untuk menjadi pegawai tetap di SEMA.”
Clair meraup wajahnya. “Sean ... maaf ... aku benar-benar tidak bermaksud untuk berbicara ke arah sana,” sesalnya dengan suara yang terdengar samar dari balik kedua tangannya.
Tidak masalah sebenarnya bagi Sean. Di sisi lain, ia memahami tingkah laku Clair yang melakukan atau mengatakan hal-hal random di saat Clair sedang merasa canggung. Bahkan sebelumnya, Sean pernah melihat Clair melakukan hal yang di luar dugaannya.
Kekhawatiran Clair sekarang hanya jika ia tidak bisa menemui Sean setelah ia selesai masa magangnya. Sean rupanya paham akan itu. Meskipun sebelum mengadakan rapat keputusan untuk mengangkat Clair menjadi pegawai di perusahaannya itu butuh persetujuan dari petinggi lainnya, Amanda Roose.
Clair beranjak dari kasurnya dan berjalan mendekati Sean. “Terima kasih untuk segalanya, Sean.”
“Clair, itu bukan hal yang besar. Karena kamu juga membuktikan kepada siapapun tentang kejeniusan yang kamu miliki.” Sean menepuk pundak Clair. “Istirahatlah. Saya akan pulang ke tempat saya.”
“Kamu tidak ingin bermalam di rumahku?” tanya Amanda. “Kamu bisa di kamar yang berbeda denganku, kok.”
“Tidak. Saya rasa cukup sampai mengantarmu saja.” Sean melemparkan senyum kepada Clair dan hendak membuka pintu kamar yang terkunci.
Sean dengan tenang memilih untuk meninggalkan Clair dari kamar itu. Meski detak jantung Sean sempat berdebar kencang selama berada di dalam kamar itu bersama Clair. Hanya saja, hatinya tidak benar-benar berada di sana.
Clair mengekori Sean yang berdiri di belakang pintu kamarnya. “Sean ....”
“Clair ....” Pintu kamar yang memisahkan mereka berdua menutup perlahan. “Sampai jumpa di hari Senin.”
Sean menutup pintu kamar Clair dari luar, meninggalkan Clair seorang diri di dalam kamarnya. Suara langkah kakinya terdengar terburu-buru menuruni anak tangga di rumah itu.
“Bodoh. Bodoh. Bodoh,” rengek Clair berdiri di balik pintu kamarnya. “Kenapa aku mengajaknya masuk ke kamarku? Ah!” geramnya.
Clair membaringkan tubuhnya di atas kasur. Menutup wajahnya dengan bantal yang ia ambil dari tumpukan di sebelahnya. Seprainya agak sedikit berantakan akibat salah tingkahnya menyesali apa yang baru saja dilakukannya.
Clair uring-uringan di ranjangnya. “Apa yang hampir kuperbuat? Bagaimana kalau Amanda tahu? Kalau Lany tahu? Kalau Emma tahu?” tanya Clair yang menghardik dirinya sendiri.
“Ah. Kepalaku pusing.” Clair memegang kepalanya dan menjatuhkan posisi belunjurnya.
Kamar itu berubah menjadi dingin, seketika Clair menurunkan suhu pendingin ruangannya. Malam itu, Clair membiarkan salah satu lampu tidur yang ada di meja sebelahnya tetap menyala. Hal itu biasa ia lakukan agar dirinya bisa tidur terlelap dengan cepat.
***
Sabtu pagi itu, Clair bangun lebih awal untuk membantu asistennya memasak beberapa makanan favoritnya. Sandwich dengan satu lapisan beef dan roasted red pepper. Namun pagi itu ia memasak 2 porsi lebih banyak dari biasanya.
Emma baru saja tiba dari pasar membawa bahan baku untuk membuat sandwich. “Banyak banget, Mbak Clair. Mau mengadakan pesta?” tanya Emma.
“Tidak. Aku ingin mengajak Lany untuk makan bersamaku siang ini,” jawabnya.
“Oh iya, Mbak Clair. Tadi malam aku mendengar suara laki-laki di rumah ini.”
Clair menghentikan tangannya yang sedang memotong beberapa sayuran.
“Ada kawan Mbak Clair yang datang ke sini?” tanya Emma.
“Ah, tidak. Kamu salah mendengarnya, mungkin,” jawab Clair ragu-ragu.
Emma menaikkan kedua bahunya. “Entahlah. Mungkin Pak Ezra.”
Clair menghembuskan napas panjang, mengkhawatirkan Emma yang mengetahui kedatangan Sean kemarin malam. “Mbak Emma, boleh aku minta tolong untuk ambilkan ponselku di ruang tamu?”
Emma mengangguk dan berjalan ke arah ruang tamu. Tidak lama, Emma kembali ke dapur dan memberikan ponsel milik Clair. Ia segera menghubungi nomor Lany untuk memintanya datang siang itu.
“Halo, Clair.” Sapa Lany pagi itu dari suara seberang ponsel.
“Lany. Kamu sedang sibuk, tidak?”
“Tidak. Aku hanya di apartemenku saja hari ini. Ada apa, Clair?”
“Aku ingin mengajakmu makan bersamaku siang ini. Kamu bisa?”
“Baiklah. Aku siap-siap dulu kalau begitu.”
Clair tersenyum dari balik ponselnya. “Benar datang, loh. Aku tunggu.” Clair menutup panggilan telepon pagi itu.
Hati Clair sedikit merasakan resah jika tidak menceritakan tentang dirinya dan Sean kepada Lany. Terlebih, Lany adalah orang pertama yang menyadari ada sesuatu pada diri Clair terhadap Sean. Lany memang bukan tipe orang yang pintar untuk menerka-nerka. Hanya saja setiap dugaannya selalu benar kejadian.
2 jam sudah berlalu. Clair melangkahkan kakinya keluar pintu rumah. “LANY KATHLEEN.” Clair berlari dan memeluk Lany yang baru saja tiba di rumahnya beberapa saat lalu. “Aku kangen banget,” ungkap Clair dalam pelukan Lany.
Lany hanya tersenyum sambil mengusap rambut Clair. “Aku juga kanget banget, Clair.” Ia melepaskan pelukannya dan menatap mata Clair. “Pasti ada sesuatu yang terjadi padamu, ’kan?”
Clair mengangguk. Ia meraih tangan Lany dan menuntunnya masuk ke dalam rumah.
Harum dari beef dan juga roasted red pepper yang sebelumnya sudah dimasak Clair, tercium sangat semerbak mengelilingi ruang dapur. Clair meminta Emma untuk memotong sandwich-nya menjadi 3 bagian dalam bentuk segitiga dan menaruhnya di sebuah piring. Sedangkan ia sibuk membuka lemari penyimpanan yang tidak jauh darinya untuk mengambil sebotol wine dari sana.
“The best wine in the world.” Clair mencium aroma dari botol yang dikeluarkan dari lemari penyimpanan wine itu.
“Arbella Artois?” tanya Lany.
“Yap. Kita makan di atas saja, di kamarku,” ujar Clair sambil membawa sepiring sandwich dan wine di tangannya. “Mbak Emma. Tolong bantu aku membawakan sisanya.”
Lany hanya bisa menggelengkan kepalanya setelah membuka pintu kamar Clair. Melihat kondisinya yang masih berantakan dengan selimut yang tergeletak di lantainya. Sebisanya ia membantu Clair untuk membereskan kamarnya yang porak poranda seperti baru saja mengalami kejadian semacam vandalisme.
“Ya ampun, Clair. Rapih sekali kamarmu,” sindir Lany tertegun.
“Biar saja, Lany. Aku lagi malas merapihkan kamarku,” celetuk Clair sambil menaruh bawaannya di atas meja.
“Tapi tidak seperti ini juga, dong.” Dengan sabar Lany mengembalikan seprai dan selimut ke atas kasur.
Clair mengambil remot televisi dan menyetel sebuah film yang sedang berlangsung di salah satu stasiun televisi. “Kamu mau menonton apa, Lany?” tanya Clair.
“Sebenarnya ada apa, Clair?” tanya Lany yang terduduk di pinggir ranjang.
Clair mematikan kembali televisi yang baru saja dinyalakan. “Sean ...” ujar Clair dengan suara yang memelan. “Aku seperti berada dalam sebuah hubungan dengannya.”
“Kalian ... berpacaran?” tanya Lany.
Clair duduk mendekati Lany. “Belum ... maksudku tidak. Hanya saja Sean mengatakan dia mencintaiku.” Clair melirik ke arah Lany. “Dan aku juga mengatakan hal yang sama.”
“Clair—”
“Aku paham. Aku paham. Seharusnya aku memberitahumu secepatnya,” pangkas Clair cepat. “Tapi aku benar-benar selalu memikirkannya. Dan ... aku benar-benar merasa jatuh cinta padanya.”
Namun Lany justru merasa bahagia mendengar Clair yang juga mencintai Sean. Saat terakhir kali mereka berdua bertemu, Lany beberapa kali berusaha meyakinkan Clair yang saat itu terlihat sangat gelisah dalam keraguannya. Ia berpesan pada Clair, suatu saat nanti akan menemukan jawabannya. And she did well. Clair sudah menemukan jawaban dari ketakutan yang membayanginya.
“No. I’m proud of you.” Lany memeluk Clair yang duduk tak jauh di sebelahnya.
“Benarkah?” tanya Clair.
“Iya. Akhirnya kamu sendiri yang menemukan hal yang membuat kamu tenang,” bisik Lany.
“Tapi, ada sesuatu lagi yang belum aku ceritakan padamu.”
“Apa itu?”
Clair beranjak dari duduknya. Di hadapan Lany, ia berjalan bolak-balik seperti kebingungan untuk menceritakan rahasianya kepada Lany.
“Oke. Ini dia. Me and Sean ... we ... kissed.”
“YOU WHAT?”
Clair menautkan jemari tangannya. “And about last night. We almost had kind of ... sex.”
“KIND OF WHAT?”
“Hampir, ‘kan, aku bilangnya,” tegas Clair.
“AH, whatever. You’re always making me feel impressed, Clair.” Lany menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang.
“Saat itu benar-benar canggung, Lany.” Clair membaringkan tubuhnya di sebelah Lany. “Terus aku harus bagaimana? Sedangkan hari Senin nanti, aku harus bertemu dengannya.
“Aku tidak mau tahu.” Lany beranjak dari tidurnya dan mengambil potongan sandwich miliknya. “Oh sandwichku. Kamu bingung ya? Kamu dingin ya? Sini aku makan,” ujar Lany yang mengajak ngobrol sandwich itu seakan menyindir Clair.
Clair hanya bisa meraup wajahnya saat mendengar cibiran Lany.
Akhir pekan itu benar-benar menjadi dua hari yang spesial bagi Clair De Lune dan juga Lany Kathleen. Semuanya berlalu begitu saja saat mereka menghabiskan waktu bersama-sama di rumah Clair. Sudah hampir enam bulan semenjak terakhir kali mereka bertemu. Dua orang sahabat yang sebenarnya terlihat tidak begitu dekat, namun selalu berkesan setiap kali bertemu.
Clair meminta Lany untuk bergabung bersama dengannya di perusahaan SEMA. Pekerjaannya tidak berbeda jauh dengan bidang sebelumnya. Clair yakin Lany akan sanggup melakukannya. Ia hanya tidak ingin terpisah dalam waktu yang lebih lama lagi dengan Lany karena kesibukan masing-masing setelah keduanya menyelesaikan pendidikan strata-2 di kampus yang sama. Lany menyetujui permintaan Clair itu pada dirinya.
*