Om Saja yang Ketuaan

3396 Kata
Alra terbangun dari tidur nyenyaknya. Meskipun awalnya berpikir kalau ia tak akan bisa tidur dengan nyaman, tapi ternyata salah. Ia bahkan tidur sangat sangat nyaman. Alra duduk, memperhatikan sekitar yang baru ia sadari hanya ada dirinya. Ke mana perginya si Om Dingin itu? Daripada terus berpikir, menghabiskan waktu, Alra memilih beranjak menuju kamar mandi. Hari ini ia akan kembali memulai aktivitasnya seperti sedia kala.  Bersekolah. Sejujurnya ia rindu suasana kelas. Setelah selesai bersiap dan mengenakan seragam sekolah, Alra segera turun ke lantai bawah. Berjalan menuju dapur, tak ada siapapun, tak menemukan apapun di meja makan. Ahh, harusnya ia sadar, ini bukan rumah di mana setiap pagi akan ada yang menyiapkan sarapan untuknya. Alra mendesah kesal. Kalau begini, bisa-bisa ia akan terkena penyakit mag.  Selain itu, kenapa si Om Dingin itu tidak menyiapkan sarapan? Atau setidaknya memberinya uang saku. Sekarang  ia tak menemukan apa pun untuk dimakan. Mungkin ini awal dari kehidupan barunya setelah pernikahan. Tanpa sarapan dan berangkat sendirian. Setiba di sekolah, Alra langsung menuju kelas. Tidak sabar bertemu dengan kedua sahabat gilanya itu. Dalam hati, Alra berpikir, bagaimana jika status barunya diketahui seisi sekolah? Apa yang akan terjadi? Apa ia akan dikeluarkan? Tanpa sadar Alra menggelang keras. Berusaha mengenyahkan pikiran negatif yang tiba-tiba saja membelai hatinya. Entah karena tidak fokus pada jalan, atau mungkin karena alasan lain, Alra tak sengaja menabrak seseorang. Ia gelagapan. Perlahan mendongak. Alra berteriak dalam hati kala matanya melihat sosok berkulit putih dengan mata sedikit sipit. Seperti lelaki yang selalu ia bayangkan. Lelaki itu menatap Alra bingung. "Sorry, Oppa," ucapnya tak sadar. Lelaki itu langsung tersenyum. Hal itu membuat Alra salah tingkah. Senyumnya benar-benar manis. "Oppa?" tanya lelaki itu pelan, yang masih bisa didengar Alra. Gadis itu tersenyum canggung. Harusnya ia tidak terbawa suasana tadi. "Daniel Choi. Kalau lo mau tahu nama gue," ucap lelaki itu seraya mengulurkan tangan. "Alra," balasnya.   Daniel tersenyum. "Gue duluan, ya,"  ucapnyasambil berlalu. Alra terpaksa mengangguk. Padahal, masih ingin berlama-lama dengan cowok itu. Akan tetapi, menahannya di sini pun tidak mungkin. Mereka kan tidak saling kenal. Sepertinya lelaki itu murid baru di sekolah ini, seperti kata Marta malam itu saat chat. Setelah mengenyahkan pemikiran tentang lelaki tadi, Alra melanjutkan langkahnya menuju kelas. Setibanya di kelas, Alra langsung disambut dengan kegaduhan yang sudah ia rindukan. Alra berteriak kegirangan dan segera berlari menghampiri kedua sahabatnya. Seperti tidak bertemu bertahun-tahun, mereka bertiga berpelukan dan berteriak heboh. Untung, semua teman sekelasnya sudah hafal tingkah aneh ketiga gadis itu. Jadi, mereka bersikap biasa saja. *** Saat di kantin, seperti biasa mereka makan semangkuk bakso. Ketiganya memang penyuka daging bulat itu. Alra yang tengah asik mengunyah , tak sengaja melihat keberadaan seseorang. Dengan antusias Alra memukul meja pelan dan menatap kedua temannya tak santai. "Apa, sih?” tanya Elis kesal, merasa terganggu karena tingkah heboh Alra. Sementara Marta diam saja tak peduli. "Itu," jawab Alra sambil menunjuk seorang cowok yang tengah bercengkrama dengan teman-temannya. Elis dan Marta serempak menoleh. "Itu Daniel. Kenapa?"  tanya Marta tenang. "Ganteng banget. Tipe gue banget tahu," ucap Alra menggebu seraya menatap Daniel dengan mata berbinar. Tak lupa senyum yang setia menghiasi wajah cantiknya.  Namun, seolah teringat sesuatu, Alra berhenti tersenyum. Apa sekarang ia masih bisa menyukai seseorang? Ketika saat ini sudah bukan lagi seorang jomlo.  Tanpa sadar, Alra menghela napas lelah, membuat kedua sahabatnya menoleh ke arahnya. "Why?" tanya Marta yang diangguki oleh Elis. "Lo berdua percaya enggak sama pesan yang gue kirim semalam?" "Yang mana?" tanya Elis berusaha mengingat. Namun, nihil. "Yang gue bilang kalau gue udah punya suami." 1 detik 2 detik 3 detik   "Hahaha! Ya enggaklah. Gila kali lo udah nikah," jawab keduanya diikuti tawa keras. Alhasil, meja mereka jadi bahan perhatian, terutama Daniel yang menatap meja Alra dengan bingung. Alra menatap Marta dan Elis tajam. "Bisa enggak ketawanya biasa aja?" Di sela tawanya, Marta masih sempat berucap sorry. Sementara Elis masih terkekeh pelan, membuat Alra kesal sendiri. Elis yang tersadar, segera menghentikan kekehannya dan mulai memasang wajah serius. "Maaf, deh. Lagian lo becandanya kelewat ngakak." "Lo kira gue bercanda?" tanya Alra tak santai. Entah kenapa ia jadi sedikit marah sekarang. Beruntung, mereka tak lagi jadi bahan sorotan. Marta dan Elis kaget. Tak menyangka Alra akan marah seperti itu. "Emangnya lo beneran udah …." Marta sengaja menggantungkan kalimatnya karena takut didengar orang lain. Sebagai gantinya dia menyatukan dua jarinya untuk menggambarkan kata menikah. Dengan lesu Alra mengangguk, membuat Marta dan Elis kaget bukan main. "Beneran?" tanya Elis memastikan lagi. "Iya Elis yang katanya mirip Lisa. Gue udah 'itu'.  Lo ingat kan kemarin gue enggak sekolah? Nah, gue lagi menggelar acara nikahan. Gue dilarang ngundang temen karena masih SMA," terang Alra. "Gue masih enggak bisa percaya," ungkap Marta. "Gue juga,"  lanjut Elis. "Lo kira cuman lo dua yang enggak percaya? Gue juga kali. Gue sampe sekarang masih ragu kalau gue udah nikah." "Lo enggak lagi bercanda kan, Ra? Sumpah, ini enggak ada humornya." "Ish! Gue tahu lo berdua bakal bilang gitu. Enggak bakal percaya sama gue. Harusnya gue enggak usah bilang tadi," ucap Alra kesal, membuat kedua temannya merasa bersalah. "Oke. Kita bakal percaya kalau lo nunjukin buktinya." "Nih!" Alra menunjukkan sebuah kalung berbandul cincin nikah, membuat Marta dan Elis tak kuasa menahan keterkejutannya.  Lagi-lagi, ketiganya jadi bahan sorotan. *** Diyo menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja. Sejak dulu,  ia memang seorang yang pekerja keras. Jadi tak perlu heran kalau dirinya cukup terkenal di kalangan pebisnis. Pintu ruangannya tiba-tiba terbuka dan menampilkan seorang wanita yang tak lain adalah Airin.  Diyo menghela napas. Ibunya datang pasti bermaksud lain.   "Kenapa, Ma?" "Mama enggak boleh ngunjungin putraMama?" "Bukan gitu." Airin terkekeh kecil. Putranya paling tidak bisa melihatnya marah. "Kamu masih kerja?" tanyanya. "Iya." "Enggak bisa ditunda dulu? Jemput istri kamu gih. Dua puluh menit lagi jam pulang sekolah." "Dia kan bisa pulang sendiri." Airin menatap putranya tajam. "Enggak bisa. Kamu kan suaminya. Harusnya kamu jemput dia." Diyo menghela napas lelah."Diyo sibuk." "Kan ada sekretaris kamu yang bisa gantiin bentar. Pokoknya Mama enggak mau tahu, kamu harus jemput dia. Kalau kamu enggak mau---" ucapan Airin terpotong saat Diyo tiba-tiba berdiri dan mengambil kunci mobilnya. "Diyo jemput dia sekarang biar Mama puas," ucap Diyo menahan kekesalannya. Sementara Airin tersenyum  puas. *** "Lo dijemput enggak tuh sama suami lo?" tanya Marta menggoda. "Ya kali. Gue udah bilang kan kalau dia itu dingin.  Enggak punya hati," balas Alra berapi-api. “Jadi penasaran gue. Suami lo juga ganteng banget," puji Elis. Memang mereka pernah bertemu sebelumnya. Namun, saat itu Alra mengatakan kalau mereka adalah keponakan dan paman. Akan tetapi, semua sudah Alra jelaskan kepada kedua sahabatnya secara terperinci.. Toh, mereka memang sudah biasa berbagi cerita. "Kalau gitu gue duluan, ya," ucap Elis tatkala melihat ibunya datang menjemput. Alra dan Marta hanya melambaikan tangan ke arah Elis. "Lo enggak pulang, Mar?" tanya Alra. "Pulang, kok. Tapi ntar sore. Gue ada les hari ini." "Rajin, ya kamu," goda Alra. "Harus dong." Keduanya pun tertawa. Namun, tawa itu terhenti tatkala sosok Daniel Choi berdiri di samping Alra.  Daniel yang memiliki tubuh tinggi, jadi terlihat semakin tinggi saat berdiri di samping Alra.   "Mau bareng, Al?" tanyanya lembut. Marta mesem-mesem sendiri. "Bawa aja tuh,"  katanya, membuat Daniel terkekeh. Sementara Alra menatap Marta kesal. "Gimana? Mau enggak diantar sama Oppa? goda Daniel teringat kejadian pagi tadi.  Hal itu membuat Alra malu sendiri. Dengan salah tingkah ia berjalan menjauhi Daniel. "G-gue pu-pulang sendiri aja," katanya gugup. "Yah, Oppa kecewa nih," ucap Daniel dengan nada dibuat sesedih mungkin. "Ih. Malu gue dengernya. Kejadian tadi mending dilupain. Oke?" Daniel terkekeh pelan. Dia mengacak rambut Alra gemas. "Gue duluan kalau gitu. Besok-besok Oppa  antar, ya," ucapnya seraya berlalu pergi. Alra bernapas lega setelah kepergian Daniel. Dia sama sekali tak menyangka kalau Daniel ternyata suka bercanda seperti itu. "Udah deket aja nih sama Daniel?" goda Marta. "Lo tahu kalau gue udah nikah. Gue harus berusaha buat enggak suka sama dia,"  ucap Alra lemah. Marta diam saja, tidak tahu harus bagaimana merespons. Sementara di seberang, Diyo melihat semua itu. Interaksi antara Alra, dan seorang cowok putih itu.. Setelah cowok tadi pergi, ia melajukan mobilnya lagi, dan berhenti tepat di depan Alra. Gadis itu menatap Diyo dengan bingung, sementara Marta takjub. "Masuk!" suruh Diyo dingin setelah membuka kaca mobil. Dengan kaku Alra masuk setelah pamit pada Marta. Saat akan menutup kaca mobilnya, Marta terlebih dulu menjulurkan kepalanya, membuat Diyo mengurungkan niat dan menatapnya bingung.. "Jagain sahabat saya, ya, Suaminya Alra." "Kamu beri tahu dia?" tanya Diyo setibanya di rumah. Sebab di mobil tadi keduanya hanya diam seperti orang yang tidak saling kenal. Dengan polos, Alra mengangguk lalu hendak pergi. "Kenapa?" tanya Diyo, berhasil membuat Alra berbalik. Alra menatap bingung. Hal itu membuat Diyo sedikit kesal. "Soal pernikahan." Dua kata, tapi sudah cukup menjelaskan maksudnya. Alra mengerti ke mana arah pembicaraan itu, tapi yang terbersit dalam pikirannya hanya ada satu. "Memang kenapa?" Diyo memijit kepalanya pelan. Gadis ini polos, bodoh, atau bagaimana? "Kenapa kamu memberitahu dia? Haruskah?" "Alra kan cuma curhat. Emang enggak boleh? Bunda Alra bilang, kalau ada masalah harus dicurhatin, jangan dipendem sendirian. Itu sakit banget." Jawaban itu bukanlah jawaban yang Diyo harapkan. "Berapa orang?" tanyanya mengalihkan. "Apanya?" tanya Alra bingung. Pria di depannya benar-benar aneh dalam berbicara. Singkat, padat, dan tidak jelas. "Yang tahu," jawab Diyo sabar. Bukankah menghadapi gadis belia harus sabar seperti orangtua?. "Maksud Om, yang tahu soal pernikahan ini?" tanya Alra memastikan. Diyo mengangguk sekali. Melihat itu Alra menarik napas panjang. "Cuma dua, kok. Marta sama Elis. Marta itu yang tadi udah ketemu sama Om. Kalau Elis yang kemarin-kemarin Om lihat." Diyo bergumam bingung. "Om tahu Elis, kan? Itu yang kemarin Alra ajak buat ketemu Om di sekolah. Yang waktu kita mau ...."Ucapan Alra menggantung karena Diyo yang memotongnya tanpa perasaan. "Saya tidak peduli. Kamu makan saja sana." Diyo tentu saja kesal. Ia hanya bertanya satu, tapi gadis itu menjawab seribu. Alra diam dan mulai kesal karena cerita seru itu berhenti sebelum usai. Ia menatap Diyo sinis sampai akhirnya berteriak, "Dasar Om tua m***m dingin!" teriaknya heboh lalu berlari ke kamar. Sementara Diyo terdiam menatap Alra yang masih sempat memeletkan lidah ke arahnya. Dalam hati, Diyo bertanya, benarkah dia menikah dengan gadis itu? *** Malam menjadi hal paling Alra benci. Seperti saat ini, ia berkutat di meja makan dengan memegang perutnya yang lapar. Tadi siang pun, ia hanya makan roti isi, tanpa sentuhan nasi. Haruskah sekarang kembali tak mengisi lambung dengan sesuap nasi? Jawabannya hanya satu. Tidak! Alra menghela napas lelah. Memasak bukan keahliannya. Ia tak ingin membuat ikan sehat menjadi arang untuk kesekian kalinya. Lalu, Alra harus bagaimana? Tiba-tiba dia mendengar langkah kaki. Langsung saja berlari dan terkejut bukan main kala di depannya berdiri sosok yang dirindukan. "Bunda!" teriaknya heboh. Bunda  tersenyum menyaksikan sifat kekanakan putrinya. Segera ia memeluk Alra erat, melepas rindu. "Bunda, kok enggak bilang-bilang mau ke sini?" tanya Alra di sela-sela makan malamnya. Bunda memang datang dengan membawa bekal, karena tahu putri kecilnya tak mengerti dalam urusan masak-memasak. "Biar kejutan," jawab bunda tersenyum kecil. Alra balas dengan tersenyum, kemudian matanya melirik Diyo yang sangat serius dengan kegiatan makannya. Lagi-lagi tersenyum penuh arti. "Om Diyo pasti iri sama aku." Diyo melirik Alra sejenak, lalu memilih tak peduli. Gadis ini kan memang banyak tingkah. Alra yang merasa dicueki jadi semakin gencar untuk menjaili. "Bunda Alra baik banget datang ke sini. Mama Om mana?" Bunda tersenyum mendengar itu. Anaknya benar-benar tidak tahu situasi saat bertanya. Diyo bingung dengan ucapan Alra. Apakah dirinya terlihat seperti anak kecil yang harus selalu didatangi ibunya? "Saya bukan anak kecil yang iri hanya karena hal sepele." "Hal sepele?!" tanya Alra tak santai. Hampir saja ia berceloteh kalau Bunda tidak memerintahkannya untuk diam. "Kalau makan enggak boleh bicara." Alra mengerucutkan bibirnya. Kenapa tak ada yang berpihak padanya? *** "Bunda udah mau pulang?" tanya Alra sedih. Bunda mengangguk lalu memeluk anaknya. "Kamu harus baik-baik loh sama suami kamu. Harus sopan. Harus nurut," kata Bunda memberi nasihat sebelum akhirnya melepas pelukan itu. "Ngapain sopan sama nurut? Om dingin kayak dia cocoknya di--" "Alra!"  tegur Bunda memotong ucapan anaknya. Alra tentu saja kesal. Bunda beralih pada Diyo yang sejak tadi hanya diam tak menanggapi. Bunda tersenyum dan menatap Diyo penuh harap. Diyo mengerti soal itu. Ia harus menjaga gadis labil yang tengah kesal yang sekarang menjadi istrinya. Setelah Bunda pergi, Alra menatap Diyo kesal. Sementara yang ditatap memilih untuk tidak peduli. "Kenapa Bunda jadi belain Om terus? Biasanya Bunda cuma ngebela Alra. Kenapa sekarang cuma Om?" tanya Alra tak terima.  Mendengar penuturan itu membuat Diyo pusing sendiri. Ada apa dengan gadis ini?   "Saya enggak mengerti masalah kamu apa. Tapi saya minta jangan bersikap kekanakan," ucap Diyo datar dan menatap Alra tanpa ekspresi. Hati Alra mencelus. Dia merasa gugup sekaligus takut ditatap seperti itu. Akan tetapi, jiwa dalam dirinya terus memaksa untuk berdebat. Ditambah Alra tidak terima dikatakan kekanakan oleh pria di depannya itu. "Aku yang kekanakan atau Om yang ketuaan?" Diyo terdiam, menatap Alra jengkel. Gadis kecil ini benar-benar pandai dalam berdebat. Ah, lebih tepatnya pandai melawan. "Sudahlah. Berbicara dengan anak kecil hanya membuang waktu." Alra benar-benar jengkel. Dia bukan anak kecil. "Aku bukan anak kecil, asal Om tahu. Om saja yang ketuaan plus mesum." Alra teesenyum menang seolah yang dikatakannya barusan adalah hal bagus yang patut dibanggakan. Sedangkan Diyo sudah ada di batas kesabaran. Diyo menunduk, menyamakan tinggi dengan Alra yang bahkan tidak sampai sebahunya itu. Mendekatkan wajah ke arahnya, dan Alra refleks memundurkam wajah dan hampir saja terjerembab ke belakang, kalau saja tangan lebar Diyo tak segera menahan pinggangnya. Alra terbelalak kaget. Jantungnya berdegup tak keruan saat berada sedekat ini dengan Diyo. Cowok itu juga merasakan hal yang sama. Sejujurnya, memeluk pinggang ramping gadis ini tak tertera dalam rencana awal. Akan tetapi, ia akan tetap melanjutkan rencananya itu. Sebab kalau tidak, gadis ini pasti akan semakin merajalela. Diyo semakin memangkas jarak di antara dirinya dan Alra, sampai bibirnya tepat di samping telinga Alra. Dengan suara dingin dan datar andalannya, ia memulai aksi. "Sekali lagi, jangan pernah menyebut saya tua apalagi m***m. Kalau kamu melawan, akan saya tunjukkan m***m itu seperti apa." Dengan cepat Diyo melepaskan Alra dan berlalu begitu saja. Meninggalkan Alra yang terpaku menyentuh dadanya yang masih bergemuruh. "Serem banget sih itu Om-Om". *** Insiden kemarin membuat kedua insan itu menjadi canggung satu sama lain. Seperti pagi ini, mereka sarapan dalam diam. Jika biasanya Alra akan berceloteh tanpa henti, maka pagi ini ia hanya diam. Sesekali melirik Diyo yang serius dengan sarapannya. Namun, kebisuan itu tampaknya harus tersudahi, tatkala Alra mulai berdeham singkat. "Ehm. Masakan Om enak," ungkap Alra. Ini bukan karena sekedar membuka suara, memang jujur dari hati. "Makasih." Alra mengangguk seraya tersenyum. "Gimana kalau Om ajarin aku masak? Kalau Om ada waktu." Jantung Alra berdetak cepat. Apalagi saat Diyo menatapnya datar. Dalam hati Alra berteriak agar Diyo tidak memarahinya. "Oke." Syukurlah, Alra tidak jadi menyumpahi pria suaminya jika lelaki itu menolaknya. Alra memilih menghela napas untuk menenangkan dadanya karena jawaban Diyo yang acuh tak acuh itu. "Om bisanya kapan?" "Entah." "Kok entah? Harus jelas dong, Om!" Diyo menghela napas pelan. Kenapa gadis ini begitu berisik? "Kalau saya ada waktu saja." Alra mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oke, deh." Keadaan kembali hening. Keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Diyo berdiri dan berjalan ke arah dapur dengan membawa piring kotornya. Alra yang melihat itu segera menghabiskan makannya dan ikut berdiri. *** "Makasih, Om." Hanya anggukan kecil lalu pergi. Begitulah Diyo. Tentu saja Alra sudah cukup terbiasa dengan semua itu. Makanya, ia hanya menghela napas pelan untuk meredakan hatinya yang masih panas. Dengan santai, Alra berjalan menuju kelasnya. Tepat saat akan masuk ke kelas, seseorang mencekal tangannya. Alra kaget. Segera berbalik dan mendapati cowok putih bermata sipit itu tengah menatapnya dengan senyuman. Itu membuat jantung Alra tak bisa diam. Ia gugup. "Daniel," ucapnya. Daniel tersenyum cerah. Entah kenapa melihat Alra benar-benar terasa bahagia. "Udah mau masuk aja?" tanya Daniel sambil masih tersenyum. Alra mengangguk saja. Kenapa di depan lelaki ini ia tidak mampu berbicara? "Boleh pinjam HP lo bentar?" Alra bingung. "Buat?" "Ada, deh." Alra menatap Daniel bingung tapi tetap memberikannya ponselnya. Daniel menerimanya dengan senang hati, kemudian mengotak-atik ponsel itu. Alra tak bisa melihat apa yang dilakukan lelaki itu pada ponselnya, karena Alra yang tingginya hanya sebatas bahu Daniel. "Nih," ucap Daniel mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya. Alra dengan cepat mengambilnyadan melihat-lihat apa yang berubah. "Gue udah simpan nomor gue di situ. Kalau ada apa-apa lo bisa hubungin gue." Alra gelagapan. Dia mendongak menatap Daniel yang ternyata juga menatapnya. Ya ampun, jantung aku kenapa gini? "Kalau gitu gue pergi. Semangat, ya belajarnya," pamit Daniel. Sebelum benar-benar pergi, terlebih dulu ia mengacak-acak rambut panjang Alra. Alra memegang kepalanya yang baru saja disentuh Daniel. Alra tanpa sadar tersenyum. Pipinya merah dan, bayangan Diyo tiba-tiba terlintas di kepalanya. Bagaimana mungkin ia jatuh cinta pada orang lain, sementara dirinya sudah bersuami? *** Diyo tak pernah menyangka kalau Diah akan datang ke kantornya. "Ada apa?" Diah menghela napas berat. Matanya menatap Diyo penuh harap. "Kamu tahu kan minggu depan saya, suami saya, dan orangtua kamu akan berangkat ke Singapura?" Diyo mengangguk. Melihat itu Diah kembali melanjutkan kalimatnya. "Sejujurnya saya masih ragu buat pergi. Itu pasti butuh waktu lama. Dan saya harus meninggalkan Alra. Sebelumnya saya tidak pernah meninggalkannya. Paling lama cuma satu minggu. Itu pun dia terus menelepon dan merengek minta saya pulang." Diah tersenyum. Dia menatap Diyo dalam. "Saya harap kamu bisa jaga dia. Dia emang manja, kekanakan, dan terlalu pecicilan. Tapi, dia juga tahu batasan.  Seenggaknya dia udah sedikit dewasa mungkin?" Terlihat keraguan dalam kalimat Diah yang terakhir. Diyo terdiam. Wanita yang merupakan ibu mertuanya ini terlalu berbelit-belit. Tentu saja, sekarang ia tahu darimana sifat Alra datang. "Jadi?" tanya Diyo ingin memperjelas maksud wanita ini. "Saya harap, selama saya pergi nanti, kamu jagain dia. Kamu sabar sama sifat dia yang kekanakan. Juga, kamu jangan terlalu maksain dia. Emm, maksud saya ... jangan paksa dia untuk ...." "Untuk?" "Melakukan hubungan suami-istri." Diyo terbelalak. Ah, apa ia terlihat seperti p*****l? "Kalau masalah itu Anda tak perlu khawatir." Diah tersenyum canggung. Dia jadi berpikir bagaimana putri kecilnya tinggal bersama pria dingin ini. "Iya. Sa---tidak, Bunda percaya sama Nak Diyo." *** Diyo baru saja pulang dari kantor. Tadi ia tidak menjemput istrinya. Lagipula, ini Jakarta, angkot ada di mana-mana. Tepat saat Diyo tiba di kamar, apa yang dilihatnya benar-benar membuat sakit kepala. Bagaiman bisa bantal berserakan di lantai? Tempat tidur juga keadaannya benar-benar memprihatinkan. Diyo langsung membereskan semuanya. Dia paling benci dengan hal-hal yang tidak pada tempatnya. Akhirnya selesai juga. Membereskan itu semua ternyata tidak begitu lama. Hanya saja ada hal yang masih mengganjal. Di mana Alra? Memilih untuk tidak peduli, Diyo langsung menuju kamar mandi. Dan …. "Apa yang kamu lakukan?" *** Alra capai. Sungguh. Tadi saat akan naik angkot, tapi selalu saja penuh.  Ah, kalau begini ia jadi menyesal menolak ajakan Daniel tadi. Alra berjalan lunglai. Ia terpaksa pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Lagipula, jaraknya hanya 5 km, masih bisa ditempuh dengan jalan kaki. Akan tetapi, baru sebentar saja, Alra sudah lelah. Ia melihat halte, kemudian duduk di sana. Di situ, hanya ada ia sendirian. Sampai akhirnya tak sengaja mendengar suara anjing. Bukan berupa gonggongan. Jadi, Alra tebak itu pasti anak anjing . Alra mencari-cari asal suara dan menemukan anak anjing berwarna kecokelatan tengah meringkuk di dalam selokan. Segera ia menolong anjing itu., tak peduli seragamnya akan kotor. Alra tersenyum. Ia memang suka dengan hewan yang terkenal setia itu. Jadi, Alra berniat akan membawanya pulang. Alra tiba di rumah setelah hampir satu jam menunggu angkot tadi. Ia putuskan untuk tidak berjalan kaki. Terlalu lelah. Ia membawa anak anjing itu ke samping rumah, kemudian menyiramnya dengan air untuk menghilangkan sedikit bau dan kotorannya. Alra baru sadar, ternyata anjing itu berwarna putih.. Berapa lama anjing itu terjebak di sana sampai mengubah warnanya? Alra merebahkan diri di kasur. Ia melihat anak anjing itu masih meringkuk seperti sebelumnya. Ia benar-benar tidak tega melihatnya, jadi salahkan saa hatinya yang terlaku peka. Dengan cekatan ia membawa anak anjing itu ke kamar mandi, untuk memandikannya. Akan tetapi,  anjing itu malah berlari. Alra mengejarnya, dan anjing itu berhasil melompat ke kasur. Dengan cepat ia juga melompat ke kasur, membuat bantal terhempas ke lantai dan seprai jadi kusut. Cukup lama mereka berkejar-kejaran, sampai akhirnya Alra mendapatkan anjing itu. Sepertinya anjing itu tidak suka dimandikan. Alra harus bersusah payah hanya untuk membersihkan anjing itu. Alra membawanya ke kamar mandi. Ia memegangnya seerat mungkin, agar tidak kembali terlepas. Baru saja akan memakaikan shampo di bulu anjing itu, pintu kamar mandi terbuka. "Apa yang kamu lakukan?" Alra terbelalak. Pertama kalinya Diyo berteriak di depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN