Hari H

3820 Kata
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, padahal rasanya baru kemarin Alra melakukan sesi pemotretan untuk foto pra-wedd, sekarang dia akan memulai sesi utama, pernikahan. Alra sudah siap dengan gaun putih bersih berkilau. Gaun itu begitu pas di tubuh mungilnya. Gaun yang menjuntai sekitar 2 meter seperti ekor itu, membuatnya tampak seperti seorang putri. Belum lagi rambut ikal panjangnya digulung dan menyisakan beberapa helai di samping telinga, menambah kesan dewasa dan imut secara bersamaan. Riasan wajahnya tidak berlebihan. Kakinya gemetar. Tangannya tak berhenti meremas tangkai bunga mawar putih dalam genggaman. Kalau saja Aryatak menegurnya, bisa-bisa bunga itu rusak di tangannya. “Rileks, Sayang. Bunganya jangan dirusak, dong.” Alra menatap Arya, lalu tersenyum. Ia mulai tenang sekarang. Pintu gereja terbuka, menandakan pengantin wanita harus masuk. Entah kenapa, rasa gelisah itu lagi-lagi menghampiri. Arya yang menyadari itu memeluk putrinya dari samping, memberi kehangatan. Seketika, rasa gelisah itu hilang dari diri Alra. Keduanya berjalan di karpet merah, melewati para tamu. Alra tersenyum walau terkesan terpaksa. Di sana dia melihat Diyo tengah berdiri dengan tuksedo putih yang senada dengan gaunnya, sedang menatapnya datar. Hal itu membuat Alra merasa begitu gugup. Saat sudah berhadapan, dengan wajah datarnya Diyo mengambil alih tubuh Alra. Alra spontan menggandeng lengan Diyo seperti yang diajarkan bundanya.  Keduanya berjalan menuju altar. Di sana, seorang pendeta dengan jubah sucinya tengah tersenyum ke arah keduanya. Setelah mengucapkan janji suci pernikahan dan bertukar cincin, semua orang bertepuk tangan senang. Alra tersenyum bahagia kala matanya bertemu pandang dengan bundanya yang juga tersenyum ke arahnya. Saat ini, kedua pihak keluarga tengah berfoto ria untuk diabadikan. Dengan berbagai pose, dari yang terkesan formal hingga foto konyol.   Acara resepsi pernikahan sengaja tidak dibuat. Berhubung pernikahan ini adalah rahasia, pihak keluarga hanya melakukan makan malam di restoran mewah di sebuah ruang private. Mereka hanya mengundang  kolega bisnis dan keluarga dekat. Juga beberapa teman dekat Diyo yang dia undang secara pribadi. . Alra sudah mengganti pakaiannya, tapi masih mengenakan gaun. Namun, kali ini hanya sampai tumit kaki. Gaun berwarna merah darah itu membuatnya semakin menawan, dan tidak nyaman dalam waktu bersamaan. Ditambah high heels setinggi 10 cm membuat kakinya terasa sakit. Akan tetapi, demi kelangsungan acara jamuan ini, ia terpaksa memasang tampang baik-baik saja. Setelah acara makan malam selesai, orang-orang di sekitar Alra membahas hal-hal yang tidak ia ketahui, membuatnya merasa bosan. Ia meliriki Diyo, yang kadang menimpali pembicaraan itu dengan singkat. Dengan takut-takut, Alra mencolek lengannya. Diyo yang merasa ada sesuatu menyentuh lengannya pun menoleh. Ia mengerutkan alisnya. “Aku bosan di sini, Om. Kita ke sana aja, ya?” ajak Alra dengan wajah memelas. Diyo yang sebenarnya juga merasa bosan pun mengangguk. Ia permisi pada orang-orang dan langsung menggenggam tangan Alra. Akhirnya,  ia terbebas dari manusia-manusia tadi. Ternyata Diyo tak mengajaknya ke luar ruangan seperti yang dibayangkannya. Dia hanya membawanya berpindah tempat ke meja para anak muda seusianya. Hal itu membuat Alra canggung. “Wiihh. Selamat, Bro. Nikah juga, akhirnya,” timpal pria berjas hitam yang duduk di depan Diyo. Diyo hanya menatap datar, tak berminat menimpali. “ Masih aja kayak gitu. Jangan datar-datar mulu, lah. Entar istri lo lari, tahu rasa lo!” timpal yang lainnya. Semua orang mulai mengatainya, membuatnya geram saja. Diyo menyesal telah datang ke tempat itu, terpaksa ia harus mendengar orang-orang ini membicaraknnya. Bahkan istrinya pun ikut-ikutan tertawa. Seketika Diyo merasa kesal, tapi tak berminat melakukan apa pun.   ***   Tepat setelah jamuan itu selesai, kedua pihak keluarga memutuskan untuk pulang ke kediaman keluarga laki-laki. .Alra berjalan dengan lambat karena merasa begitu lelah. Dia berada paling belakang karena ditinggalkan oleh yang lainnya. Sesampainya di depan keluarganya yang ternyata sudah duduk di sofa, Alra izin ke kamar. Entah bagaimana, Alra naik begitu saja setelah mendapat izin. Setiba di lantai dua, ia bingung sendiri. Tidak tahu harus memilih kamar yang mana? Alra kembali turun, membuat semua orang memandangnya heran. “Kenapa balik lagi?” tanya Diah. “Alra tidur di mana?” Pertanyaan polos itu meluncur dari bibir Alra begitu saja, membuat beberapa orang di sana terkekeh-kekeh geli. “Ya, di kamar Diyo, dong, Sayang. Emang di mana lagi?” jawab Airin. Alra membelalak kaget. Tanpa sadar dia menggeleng kuat. “Enggak mau.” Diyo hanya melihat gadis itu dengan datar. Dia sama sekali tidak peduli, tapi ia juga tidak ingin tertahan di sini lebih lama lagi. Alhasil, ia langsung menarik Alra dan membawanya dengan paksa. Setibanya di dalam kamar Diyo yang didominasi abu-abu, Alra menggeram kesal. “Om apaan, sih? Ngapain bawa aku ke sini? Pokoknya, aku enggak mau tidur sama Om. Titik enggak pakai koma!” “Yang mau tidur sama kamu siapa?” balas Diyo dingin. Setelahnya ia pergi menuju kamar mandi, tepat setelah mengambil pakaian ganti. Alra yang ditinggal begitu saja hanya melongo. Sekarang, apa yang akan dia lakukan? Andai ini adalah kamarnya, ia pasti akan mengambil laptop dan menonton drama di sana. Alra mengembuskan napas pelan. Daripada berdiri di sini seperti orang bodoh, ia memilih mengambil bantal dan selimut dari atas ranjang dan membawanya menuju sofa. Gadis itu berbaring di sana, menatap langit-langit kamar berwarna putih bersih. Pikirannya juga menerawang jauh. Apa ini adalah akhir dari segala mimpi yang ia bangun? Atau justru awal dari angan yang tak pernah diduga? Entahlah, Alra sendiri bingung untuk menafsirkannya. Bagaimanapun, ia adalah seorang remaja berusia tujuh brlas tahun tahun yang memiliki mimpi di masa depan, memiliki sesuatu yang ingin dicapai, dan gadis kecil yang masih ingin dimanja. Tanpa sadar air matanya mengalir. Meskipun tanpa suara, tapi siapa pun tahu bahwa gadis itu sedang menangis. Termasuk Diyo yang baru saja keluar dari kamar mandi. Entah kenapa ada sedikit rasa kasihan,  tapi ia enyahkan pikiran itu sejauh mungkin. Diyo sendiri juga tidak pernah menginginkan pernikahan ini─yang entah bagaimana ujungnya. Apakah berakhir bahagia atau justru berakhir tragis? Seperti pasangan baru pada umumnya, hari ini Diyo dan Alra akan melakukan pindahan. Sebenarnya, ini terlalu cepat bagi Alra, tapi itu juga lebih baik. Menurutnya tinggal sendiri lebih baik, dibanding tinggal dengan mertua. Alra tidak tahu saja, bahwa tinggal dengan seorang Diyo Geovano begitu membosankan. “Om enggak berniat bantuin gitu?” Diyo yang tengah asik dengan dunianya itu, akhirnya berpaling juga. Ia melihat Alra yang tengah berusaha menancapkan paku di dinding. Gadis itu tampak begitu kesusahan, membuat Diyo menghela napas kasar. “Sini.” Alra kaget mendengar itu. Dia melirik sedikit ke arah Diyo yang tengah mengulurkan tangan untuk mengambil alih pekerjaannya. Tentu saja dengan senang hati ia menerima. Keduanya bertukar posisi. Tepat ketika Diyo akan menancapkan paku itu dengan martil, Alra berteriak, “Berhenti!” Diyo berhenti, lalu menatap Alra tajam. “Kenapa?” “Itu harusnya agak ke bawah lagi. Sedikit lagi aja, Om!” Diyo melakukan seperti yang diperintahkan Alra, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Setelah selesai dengan urusan paku-memaku yang memakan banyak waktu, sekarang Alra sibuk memajang foto. Diyo tidak peduli sama sekali. Kadang hanya melirik gadis itu yang asik dengan dunianya. Setelah selesai, Alra pun mendekati Diyo yang tengah asik dengan laptopnya.  “Om?”  panggil Alra seraya mencolek bahu Diyo pelan. “Hm?” “Bagus enggak aku pajang fotonya?” “Bagus,” jawab Diyo tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. Hal itu membuat Alra geram. Mana ada orang menilai sesuatu tanpa melihatnya? “Om, lihat dulu, baru bilang bagus.” Dengan malas Diyo melihat ke arah pajangan foto itu. Matanya langsung menangkap pigura foto paling besar yang dikelilingi pigura yang jauh lebih kecil. Bukan itu yang menjadi fokusnya saat ini, tapi gambar dalam foto itu. Di sana terdapat seorang pria yang merangkul gadis yang kelihatannya sudah sah menjadi istrinya. Diyo heran. Apa itu pacar Alra? Masa dipajang di rumah suami? Alra yang melihat arah pandang Diyo malah cengengesan. “Dia emang ganteng, Om. Enggak heran kalau Om juga kesemsem sama dia.” Diyo yang mendengar itu ingin sekali muntah. Dia kesemsem sama pria di sana? Dikira dia penyuka sesama jenis, ya? “Biasa aja,” jawabnya datar dan malas. “Biasa? Muka Om tuh yang biasa,” jawab Alra tak terima. Diyo tak ingin menanggapi, tapi melihat foto itu membuatnya terusik. Foto itu menghadap langsung ke arah ranjang. Saat Diyo akan tidur, itu pasti akan terlihat dengan jelas olehnya. Diyo mengembuskan napas panjang sebelum bertanya, “Pacar kamu?” Alra yang mendengar pertanyaan itu ingin sekali menyemburkan tawanya. Jangankan berpacaran, bertemu saja dia belum pernah. Namun, Alra jadi usil dan mengiakan ucapan Diyo dengan semangat. “Iya, Om. Kami pacaran. Ganteng, ya, pacar aku?” Diyo melirik Alra sekilas. Mata Alra berbinar menatap foto itu. Entahlah, Diyo jadi merasa bersalah. Padahal dia juga tak pernah menginginkan pernikahan ini. “Om?” panggil Alra karena pria yang duduk di sofa itu melamun. Alra ikut duduk di samping Diyo meskipun dalam jarak yang jauh. “Apa?” “Om enggak marah, kan, aku pajang itu?” Diyo mengembuskan napas pelan. Dia tidak marah sama sekali. Toh, dia tidak peduli dengan siapa gadis itu berpacaran atau apa pun yang dilakukan Alra. Hanya sedikit heran, kenapa memajang foto pacar di rumah suaminya? “Enggak papa, Om?” tanya Alra lagi, sebab Diyo tak kunjung menjawab. Diyo menatap gadis di sampingnya datar. Gadis itu menatapnya dengan pandangan harap-harap cemas. Kadang gadis itu mengerjapkan matanya sok imut. “Ya, enggak papa,” jawab Diyo akhirnya. “Beneran, Om?” “Hm.” “Om ternyata baik banget, ya. Makasih, loh, Om sudah mengizinkan aku pajang foto sama pacar  di sini,” papar Alra geli. Entah kenapa ia jadi ingin mengerjai Diyo. Sebenarnya Alra heran, bagaimana mungkin Diyo tidak tahusoal pria di foto itu? Pria itu terkenal se-Asia. Aneh, bukan? Jangan-jangan pria di sampingnya ini bukan berasal dari Bumi, tapi Pluto? “Pacar, ya?” ucap Diyo seolah menerawang. Dia menatap Alra datar. “Masa pajang foto pacar di rumah suami?”  ucapnya tak sadar. “Eh?” Alra gelagapan sendiri mendengarnya, sebelum akhirnya Alra melepaskan tawanya yang membahana. Sementara itu, Diyo bingung. Apanya yang lucu? Bukankah yang dikatakan Diyo itu benar? Itu tidak wajar, kan? Foto pacar di rumah suami. “Diam! Memangnya ada yang lucu?” Diyo jadi tidak tenang juga kalau gadis ini menertawakannya. Dengan sisa tawanya yang masih ada, bahkan membuat perut Alra sakit, akhirnya dia menjawab, “Om tuh yang lucu.” “Apa?” tanya Diyo bingung. “Om tadi bilang, 'masa pajang foto pacar di rumah suami?'. Nah, itu yang lucu.” Diyo masih tidak menangkap maksudnya. “Lucu di mana?” Sepertinya, Diyo tidak menyadari kalau ia terlalu banyak bicara di depan Alra. Alra mengembuskan napas lelah. “Gini, ya, Om. Dia itu ...,” Alra menunjuk foto besar di sana. “Memangnya, Om enggak kenal?”  tanyanya lagi. Dengan polos Diyo menggeleng. “Masa? Dia terkenal, loh, Om. The Prince of Asia, itu julukan dia,” jelasAlra. Melihat wajah Diyo yang tidak berubah, membuat Alra gemas sendiri. Meskipun masih tampang datar, tapi sedikit-banyak ia paham, bahwa Diyo saat ini tengah bingung. “ Namanya Lee Min Ho. Artis Korea Selatan, bukan pacar aku. Boro-boro pacar, ketemu aja belum pernah.” “Artis?” Alra mengangguk semangat. “Belum ketemu?” Lagi-lagi Alra hanya mengangguk. Diyo tak lagi bertanya. Ia pusing. Belum ketemu apanya, padahal jelas-jelas di foto, pria itu tengah merangkul Alra. Pada akhirnya, Diyo memilih tidak peduli dan  pergi begitu saja meninggalkan Alra sendiri. Alra bingung, kenapa Diyo langsung pergi begitu saja. Kemudian ia beralih menatap foto yang menjadi alasan perbincangan panjang antara dirinya dengan sang suami. Ia kembali ingat sewaktu Elis memberinya foto itu sebagai hadiah. Alra yang memang mengidolakan sosok Lee Min Ho sangat senang saat mendapat hadiah itu. Foto Lee Min Ho yang diedit tengah merangkulnya dengan latar taman bunga di Pulau Jeju. Foto itu benar-benar terlihat nyata. Mungkin hanya mereka yang mengerti masalah editing, tahu foto itu asli atau bukan. Tentu saja Diyo yang hanya sibuk dengan bisnis dan memang bersifat bodo amat untuk hal yang tidak penting, tidak akan tahusoal itu. Mengingat itu, membuat Alra lagi-lagi terkekeh. Maafkan dia yang menertawakan suaminya. Setelah urusan beres-beres selesai, Alra memilih duduk di sofa ruang tamu. Mungkin karena seharian bekerja, ia jadi merasa lapar juga. Dia pun melirik Diyo yang tengah asik dengan dunianya, seolah-olah tak ada siapa pun di ruangan itu selain dirinya. Entah kenapa, hal itu membuat Alra kesal. Mungkin sebab dirinya tidak terbiasa berdiam dalam hening. Alhasil, ia pun beranjak dari duduknya dan berdiri tepat di depan Diyo yang tengah serius dengan laptop-nya. “Om?” panggil Alra pelan. “Apa?” “Makan, yuk!” ajak Alra masih dengan suara pelan. Diyo yang mendengar itu mendongak, menatap Alra yang berdiri di depannya. Dia menghela napas. Sejujurnya dia juga merasa lapar, tapi akan canggung rasanya jika dia meminta gadis kecil di depannya ini menyiapkan makan siang untuknya. Selain itu, memangnya gadis belia seperti dia bisa apa? “Ya, sudah. Makan sana!” Alra bersungut kesal saat Diyo lagi-lagi fokus pada pekerjaannya itu. Alra mengerucutkan bibirnya kesal. Perutnya sudah meronta minta diisi, tapi pria di depannya justru tidak peduli. “Enggak ada apa-apa di dapur,” ujar Alra. Toh, jika ia hanya bersungut kesal, makanan tetap tak akan datang. “Masak sana!” balas Diyo asal. Lagi-lagi Alra dibuat keki karena jawaban asal pria di depannya. Entah mendapat keberanian dari mana, Alra langsung menutup laptop di pangkuan Diyo, membuat lelaki ituterkejut. Dia menatap Alra datar dan tajam. Hal itu berhasil membuat Alra gelagapan sendiri. “Maaf, Om, tapi aku beneran lapar. Lagi malas masak juga. Cape dari tadi beresin rumah,” jawab Alra sedikit takut. Diyo sedikit menyernyit. Kalimat 'beresin rumah' yang diucapkan gadis di depannya ini sedikit membuatnya bingung. Emangnya apa yang dia lakukan? Sejak awal, rumah ini sudah tertata, hanya perlu membersihkan sedikit. Dari yang Diyo lihat, Alra justru kebanyakan sibuk dengan pigura-pigura foto. Lagi-lagi Diyo hanya mampu menghela napas lelah. Seharusnya, ia tahu risiko menikah dengan gadis remaja yang baru menginjak dewasa ini. Diyo merogoh kantong celananya dan mengambil satu lembar uang seratus ribu rupiah,  kemudian memberikannya kepada Alra yang sejak tadi memperhatikannya. Alra tersenyum senang menerima uang itu. “Temenin, Om. Aku, kan, belum tahu tempat makan di sini.” Diyo lagi-lagi menghela napas pasrah. Meladeni gadis kecil seperti ini tak pernah terbayang olehnya. Namun, ia menyerah dan menurut juga. Diyo meletakkan laptop ke atas meja, lalu beranjak dari duduk. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Diyo langsung pergi begitu saja meninggalkan Alra yang masih terpaku. Alra kemudian mengikutinyadi belakang. Meskipun dalam benaknya masih ada pertanyaan, Diyo mau atau tidak ikut bersamanya. Diyo terus berjalan tanpa memedulikan Alra di belakangnya. Dengan santai ia berjalan dengan langkah lebar, keluar kompleks perumahan, menuju tempat makan di pinggir jalan yang terkenal enak. Dia juga cukup sering ke sana, sebab jaraknya pun lumayan dekat dari kantor ia bekerja. “Om, kita mau ke mana?” tanya Alra setelah berhasil menyamakan langkah lebar Diyo walaupun dengan berlari kecil. Diyo melirik sejenak ke arah Alra, yang baru dia sadari tinggi Alra tidak sampai sebahunya. Ahh, bukankah mereka lebih terlihat seperti keponakan dan paman, dibanding suami dan istri? “Makan,” jawab Diyo akhirnya. Alra manggut-manggut mengerti. “Tapi kita mau makan di mana?” Diyo diam, tak berniat menjawab. Bukankah jawabannya sudah jelas?. Karena terus diabaikan, Alra memilih diam. Diyo berhenti di depan sebuah warung makan nasi padang sederhana. Meskipun sederhana, tapi, tempat ini sangat ramai. Maklum, jam makan siang. Diyo masuk dan disambut senyum oleh pemilik warung tersebut. Seperti biasa, Diyo hanya mengangguk tanpa membalas senyum itu. Tentu saja si pemilik sudah terbiasa dan tidak merasa tersinggung, sementara Alra yang melihat itu justru tidak terima. Dia mencolek Diyo yang sudah duduk di kursi kosong. “Om, enggak sopan banget, sih. Kalau disenyumin balas, dong. Bukan malah cuek kayak gitu,” ceramah Alra yang sudah duduk di samping Diyo. Diyo melirik sekilas, tapi tak menjawab apa pun. Tepat ketika Alra akan kembali membuka suara, seorang wanita yang kira-kira berusia dua puluh lima tahun datang. “Mau pesan apa?” tanyanya dengan mata menatap Diyo lekat. Sangat kentara sekali bahwa ia mengagumi pria itu. “Biasa,” jawab Diyo. Wanita itu mengangguk seraya tersenyum, kemudian beralih kepada Alra yang terlihat gelagapan. Dia tidak tahu harus memesan apa. “Hm, samain sama punya Om Diyo aja, Kak,” jawabnya kemudian. Dia yakin bahwa selera Diyo pasti enak. Wanita itu mengangguk, kemudian matanya beralih ke arah Diyo. “Keponakannya cantik, ya.” Diyo menatap wanita itu sekilas, lalu beralih pada Alra. Ia sendiri bingung. Keponakan? Apa yang dimaksud wanita ini adalah dirinya? “Tapi, saya bukan─” Ucapan Alra terpotong karena Diyo menyela. “Cepat. Saya lapar.” Wanita itu mengangguk lalu pergi. Alra kesal. Dia tidak terima dianggap keponakan oleh pria berhati dingin ini. “Om apaan, sih? Padahal aku tadi mau bilang kalau aku bukan ponakan Om. Aku mana mau disebut ponakan orang kayak Om. Dingin, enggak punya hati.” “Lalu? Kamu mau bilang saya suami kamu?” tanya Diyo pelan, tapi menusuk. Beruntung tempat itu ramai, sehingga tak ada yang begitu peduli dengan obrolan orang lain. Alra gelagapan. Tentu saja dia tidak mau dibilang istri muda. Alra refleks menggeleng. Melihat itu, Diyo hanya diam, sementara Alra lebih memilih memperhatikan sekitar. Kadang ia melirik Diyo yang hanya diam saja. Alra yang tidak suka berdiam diri, apalagi di tempat ramai seperti ini, tidak tahan untuk tidak berbicara. “Om sering ke sini?” “Ya.” Alra manggut-manggut mengerti. “Aku pikir Om itu orangnya gengsian. Enggak suka makan di tempat begini, tapi nyatanya enggak.” Diyo hanya diam. Tidak tahu harus bagaimana merespons. “Om, kenapa suka makan di sini?” “Enak.” “Seenak apa? Lebih enak daripada yang di restoran mewah itu?” “Iya,” jawab Diyo asal. Alra berbinar. “Benarkah? Wah, ini, sih, namanya rejeki nomplok Om. Dari rasa, enggak kalah sama di restoran mewah. Dari porsinya juga jauh banyakan ini. Kalau aku, ya, Om prinsipku mah sederhana. Kalau bisa dapat yang murah, enak terus bikin kenyang, ngapain beli yang mewah tapi cuma enak di lidah?” “Oh.” Alra yang mendengar respons itu mendengus kesal. “Dasar es,” ucapnya pelan, tapi masih dapat didengar Diyo. Tak lama, wanita tadi datang dengan nampan di tangannya. Segera ia meletakkan makanan itu di depan mereka. Alra berbinar, ternyata makanan pilihan Diyo adalah kesukaannya.   ***   Setelah makan siang, Alra dan Diyo pulang. Tentu saja Alra membeli dua bungkus lagi untuk makan malam. Jujur saja, ia tidak percaya diri menyajikan makanan untuk Diyo. Meskipun makanan tadi tak seenak di restoran mewah seperti yang Diyo bilang, tapi itu masih masuk kategori enak untuk Alra, dan ia tidak mengerti bagaimana memasak makanan seenak itu. “Bosan banget,” keluh Alra. Dia melirik Diyo yang lagi-lagi berkutat dengan laptopnya. Alra mendengus pelan. Daripada mati kebosanan, ia memilih berkirim pesan dengan kedua sahabatnya dalam grup chat w******p, The Power of girls. Kadang ia terkekeh-kekeh geli membaca lelucon-lelucon dari kedua sahabatnya itu,  sampai tertawa lebar karena begitu lucu. Diyo yang melihat itu hanya diam. Akan tetapi, dia terganggu dan memilih pergi ke ruang tamu. Sepertinya, dia butuh ruang kerja pribadi. The Power of Girls Marta CY Ada murid baru Alra. Alra Lee Oh, ya? Elis Dksoo Cogan, Bro. Ganteng banget! Marta CY Gebet, woi! Mumpung jomlo! Alra Lee Siapa yang jomlo? Elis Dksoo Idih, sok punya pacar si Alra Marta CY Pacar gelap kali. Alra Lee Enggak pacar, tapi suami. Besok aku cerita. Jangan sekarang. Setelah mengirim pesan itu, Alra tak lagi bermain ponsel, dan  mengabaikan getar pemberitahuan pesan masuk baru. Dia tahu, pasti kedua sahabatnya itu syok saat ia mengatakan demikian. Alra melihat jam dan ternyata sudah pukul 17.00. Dia menghela napas. Waktu ternyata begitu cepat berlalu. Dengan langkah pasti, Alra turun dari ranjang, kemudian pergi ke kamar mandi. Dia hendak berendam setidaknya satu jam saja.     ***   Diyo telah selesai dengan urusan kantornya. Sejujurnya ia lelah karena harus memantau karyawannya. Diyo lebih suka saat melihat mereka bekerja secara langsung. Itu lebih memuaskan. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 18.00. Saat kembali ke kamarnya untuk mandi, ia  cukup dibuat bingung saat dirinya tidak mendapati Alra di mana pun. Berusaha untuk tidak peduli, Diyo memilih mengambil handuk di lemari dan masuk ke kamar mandi. Diyo terkejut kala matanya melihat gadis itu tengah berendam di bath tub seraya tertidur. Diyo laki-laki normal. Ketika melihat gadis dengan keadaan t*******g penuh busa, membuat jiwa laki-lakinya terpacu. Dia menghela napas, lalu menyiram gadis itu dengan air dari shower. Saat itu juga Alra sadar. Matanya mengerjap, berusaha menyesuaikan cahaya. Tepat saat ia sudah sadar sepenuhnya, matanya menangkap Diyo menatapnya datar. Alra kaget dan refleks berteriak,”Ah! m***m!” Diyo yang mendengar itu mendengus. Ia memilih pergi dan menunda acara mandinya. Selang beberapa menit, Alra keluar dengan piyama bergambar Doraemon. Dia menatap Diyo sinis. “Dasar m***m! Harusnya, Om ketuk dulu baru masuk. Om udah melanggar privasi orang lain,” ucap Alra. “Siapa suruh pintu tidak dikunci?” “Kebiasaan. Dari dulu juga jarang ngunci kamar mandi.” “Berarti itu salah kamu.” Alra tidak terima disalahkan. “Kenapa jadi aku yang salah? Om, kan, bisa ketuk dulu sebelum masuk.” Diyo malas jika harus berdebat soal hal tidak penting. Alhasil, ia memilih berlalu dan masuk ke kamar mandi. Alra yang ditinggal, mengentakkan kakinya kesal. Tepat setelah makan malam dengan menu yang sama seperti siang tadi, Alra akan segera tidur. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 20.00. Dia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit kamar berwarna putih bersih. Ia suka warna putih. Alra tersenyum kecil, kemudian matanya beralih melihat pigura foto yang paling mencolok di sana. Fotonya yang diedit bersama Lee Min Ho. Dirinya terkekeh-kekeh geli kala mengingat kejadian siang tadi. Khayalannya tentang kejadian siang itu buyar, sebab merasakan ranjang itu bergoyang. Ternyata Diyo naik dan merebahkan diri di ranjang besar itu. Seketika Alra khawatir dan beranjak duduk, lalu menatap Diyo ngeri. “Om ngapain?” tanya Alra. “Tidur.” “Di sini? Sama aku?” “Hm.” Alra menggeleng. “Enggak boleh. Mana bisa begitu. Om tidur di sofa.” Diyo menatap Alra. “Kenapa? Ini kamar saya.” “Ini juga kamar aku,” jawab Alra tak mau kalah. “Ya, sudah.” “Ya, sudah apanya? Om tidur di sofa. Masa iya tidur di ranjang, berdua.” Alra jadi membayangkan hal-hal aneh. Biar bagaimanapun ia adalah remaja 17 tahun yang sudah mengalami pubertas. Alra menggeleng keras, berusaha mengenyahkan pikiran itu. Diyo yang melihat gelagat aneh itu tersenyum sinis. “Tenang. Saya tidak suka anak kecil.” “Anak kecil? Aku sudah tujuh belas tahun. Pokoknya, aku enggak mau tidur seranjang sama Om. Om m***m!” Diyo mengernyit. m***m? Justru ia merasa seperti pria paling baik. Daripada membalas ocehan tak bermutu itu, Diyo memilih berbalik dan tidur. Alra menjadi makin kesal. Dia mengambil bantal dan menyusunnya menjadi pembatas. “Kalau lewat batas ini, Om aku hukum.” Alra langsung mengambil posisi tidur nyaman, Sementara itu, Diyo yang sejak tadi memang belum tidur, hanya mendengarkan semua ocehan gadis itu dalam diam. Sadar atau tidak, ia tersenyum kecil. Bukankah gadis itu memang sedikit menggemaskan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN