Tiga setengah tahun telah berlalu, meninggalkan kenangan menyakitkan itu.
Sebuah usaha melupakan, terkadang harus nekat, pergi menghilang dan berhenti mencari tahu. Kita hanya perlu melakukan, terbiasa, dan hingga akhirnya terlupa.
Walaupun kamu tidak mau membiarkannya pergi, kamu tidak bisa melakukan apapun kecuali membiarkannya pergi.
Putriku sudah cukup besar untuk ku titipkan ke ibu, aku bekerja paruh waktu untuk mencukupi kebutuhan anakku, meski ayah masih sanggup menghidupi namun aku tak ingin terlalu membebaninya.
Aku bekerja sebagai pelayan dan pencuci piring di sebuah resto, pekerjaan ini cukup melelahkan namun aku tak boleh mengeluh, hidupku kedepannya hanya bermodal semangat.
Pada suatu hari, aku bertemu dengan orang yang tidak ingin aku temui, makan siang di resto tempatku bekerja, Rahul dan Vanesha.
Rahul terlihat kaget ketika aku yang melayani pesanan mereka, aku melihat mantan suamiku itu memangku seorang anak laki-laki, sudah bisa di tebak itu adalah anak mereka.
Melayani mantan suami dan keluarga barunya, bohong bila kau baik-baik saja.
Aku menyadari Rahul sesekali mencuri pandang kepadaku, dengan tatapan yang sulit di artikan, wajahnya berubah ketika tau aku yang melayani mereka, tidak seperti sebelum memasuki resto yang terlihat sangat bahagia.
Perasaan apa ini? Perasaanku berubah seketika, tidak, kau tidak boleh memikirkannya lagi. Rahul yang kukenal telah mati.
Setelah Rahul dan Vanesha selesai dan pergi, aku permisi untuk ke kamar mandi. Lutut ku terasa lemas sekali, tak kuat menompang tubuhku. Aku terduduk cukup lama di lantai toilet.
Mengapa harus bertemu mereka? Rasa sakit itu tidak bisa di lupakan. Masih cemburukah aku?
Sore menjelang pulang kerja, tiba-tiba salah satu teman karyawan memanggilku.
"Lisa, bos memanggilmu, "
"Aku? " aku menunjuk diriku sendiri.
Dia mengangguk sebagai jawaban.
Ada apa bos memanggil? Tumben sekali. Tak perlu waktu lama aku pun menemui di ruangannya.
"Bos panggil saya? "
"Iya. " jawabnya singkat.
"Ehm, ada apa ya bos? " aku sedikit khawatir karena biasanya setiap yang di panggil bos selalu mempunyai masalah.
"Mulai besok kamu tidak perlu bekerja lagi, " tegasnya.
"Hah, kenapa? Maksudnya? "
"Kamu saya keluarkan, di pecat. "
"Maaf bos, tapi salah saya apa? Tolong jangan pecat saya, saya sangat butuh pekerjaan ini, saya mohon. " aku menunduk memohon. Bagaimana aku akan memenuhi kebutuhan putriku jika aku di pecat, hanya pekerjaan ini satu-satunya harapanku. Aku hampir menangis.
"Kalau soal itu silahkan bicarakan dengan teman saya, " bos berdiri dan berlalu meninggalkanku di ruangannya.
Teman? Untuk menjawab kebingunganku, seorang laki-laki memasuki ruangan. Rahul?
Jadi dia penyebab aku di pecat. Tidak cukupkah dia menyakitiku dulu, sekarang dia juga ingin menghancurkan hidupku. Salah apa sebenarnya aku padanya.
"Kamu! Manusia seperti apa sebenarnya dirimu, tega sekali kamu melakukan itu kepadaku, tidak cukupkah kau menghancurkan hatiku? Sekarang kau ingin menghancurkan hidupku juga, pekerjaan ini sangat berharga bagiku! " aku meninggikan suaraku.
"Lisa, tenang dulu, tidak seperti itu maksudku, " dia mencoba menahan tanganku yang ingin memukulnya.
"Apa salahku padamu, Hul? Tidak bisakah kau tidak mencampuri kehidupanku! "
"Lisa, aku berniat baik kepadamu, dengarkan dulu. Ternyata kau disini, aku selalu mencarimu dimana-mana,"
"setelah hampir empat tahun lamanya, akhirnya aku menemukanmu. " ucapnya dengan mata berkaca.
Akhirnya aku menurutinya untuk duduk. Dan dia mengeluarkan berkas-berkas yang tidak aku ketahui. Dia menyodorkan satu kertas kepadaku bertuliskan sertifikat.
"Apa ini? " tanyaku.
"Aku ingin memberikan distro ku kepadamu, " jawabnya.
Seperti paham akan kebingunganku dia pun menjelaskannya.
"Aku sudah bilang sama ayah bunda ku, dan mereka menyetujuinya, kamu tidak perlu bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupmu, di sana sudah ada karyawan dan kamu tinggal menggajinya saja. Anggap saja ini sebagai maafku. " jelasnya.
Apa dia sudah hilang akal? Memberikan sebuah distro dengan cuma-cuma? Hanya karena melihatku bekerja tadi siang?
"Kau sudah menalakku, dan aku pergi tidak membawa anakmu, jadi sudah tak ada kewajiban darimu untuk kehidupanku. "
"Lisa, terimalah kali ini, kamu tanda tangan di sertifikat itu, dan secara resmi distro itu akan menjadi milikmu,"
"Aku mungkin dulu kurang memberimu nafkah batin, dan sekarang aku tidak mau kamu merasakan kurang materi, apalagi kamu seorang perempuan dan mempunyai anak. "
Aku tidak mengerti dengan Rahul, mengapa dia mudah sekali memutuskan?
Ku baca surat itu dengan teliti, tak ada syarat yang harus aku berikan.
"Aku tidak akan pergi sebelum kau menandatangi itu. "
"Itu artinya kau memaksa, "
"Aku memang memaksa. "
"Bagaimana dengan Vanesha? Apa dia tau? Apa dia keberatan? " seketika aku teringat Vanesha, bagaimana nanti kalau dia tidak terima?
"Apa yang dia dapat lebih dari itu, dia tidak akan keberatan. Aku mohon Lisa, terimalah. Jika kau tak mau menganggap ini sebagai maafku, terimalah ini sebagai ganti rumah pernikahan kita yang sudah menjadi milik Vanesha sekarang. "
Aku menjadi curiga kepada Rahul, mengapa dia seperti ini, apa nanti suatu saat dia memanfaatkan ini untuk meminta balas budi, atau hal lainnya yang menguntungkan dia? Astagfirullah, aku tidak ingin berburuk sangka.
Namun aku juga butuh ini, aku tidak bisa memenuhi kebutuhan anakku dengan hanya bekerja di resto, apalagi semakin dia dewasa semakin banyak kebutuhannya.
"Aku akan tanda tangan ini, dengan satu syarat, "
"Jangan pernah temui aku lagi, aku tidak tahu bagaimana kau bisa disini, jika kau datang, terpaksa aku akan pergi jauh lagi. " Rahul menghela nafas dan menunduk. Pandangannya kabut.
Baiklah, aku anggap ini sebagai rezeki. Ku tanda tangani surat itu.
Wajah Rahul terlihat bahagia ketika aku menandatangani surat itu.
Aku pulang dengan wajah penuh syukur, putriku, ibu bisa menjagamu seharian sekarang.
Mungkin kamu akan tumbuh tanpa ayah, namun akan ibu pastikan kamu tidak akan kekurangan materi.
Aku teringat akan orang yang menghamiliku lagi, sebenarnya siapa dia? Mengapa aku begitu sayang kepada anak ini, padahal dia telah menghancurkan separuh hidupku, dan membuatku kehilangan orang yang ku cinta.
Aku menjelaskan semua kepada ayah dan ibu tentang pemberian Rahul tadi, mereka juga sama sepertiku awalnya bingung dan ragu, namun mereka perlahan percaya mengingat baiknya keluarga Rahul kepada keluargaku.
Aku menggendong putriku yang masih sibuk bermain dengan boneka barbie nya, dia telah tumbuh cantik, sudah mulai pandai bicara, ibu harap semoga besar nanti ketika bicaramu sudah fasih kamu tidak menanyakan ayahmu ya nak.
Aku menggendongnya keluar di teras rumah, sesekali dia tertawa, tawa nya sangat lucu yang memperlihatkan gigi s**u nya yang baru tumbuh beberapa.
Tanpa sadar ada seorang lelaki yang mengawasi mereka dari dalam mobil dengan senyum terukir di wajahnya.