POV Lisa
Retak.
Hariku kini di isi dengan melihat sepasang kekasih yang selalu memadu kasih.
Setiap malam Rahul dan Vanesha selalu keluar malam, entah untuk dinner, atau apa. Dia tidak mengajakku dengan alasan aku sedang hamil besar, tidak bisa kelelahan dan terkena angin malam.
Begitupun dengan tidur, setiap malam Rahul memilih tidur dengan Vanesha, berhubungan dengan Vanesha. Dengan alasan yang sama, karena aku hamil besar tidak bisa untuk diajak berhubungan badan. Dia hanya akan datang ke kamarku ketika aku mengganggilnya karena kontraksi di perutku.
Rahul memang memberikan nafkah lahir kepadaku, tetapi untuk nafkah batin, dia lebih condong ke Vanesha. Hampir setiap malam yang ku tahu mereka melakukan hubungan. Yang membuatku menangis dalam diam.
Aku merasa seperti nyamuk di sini, yang seperti menonton kisah romantis secara live setiap hari.
"Malam ini Aa' tidur denganku, ya? " tawarku.
"Tidak bisa Lisa, Vanesha sedang tidak enak badan, Aa' harus menungguinya. "
"Tapi tadi siang dia terlihat baik-baik aja A', " selalu ada alasan yang di lontarkan suamiku.
Dan benar, malamnya Vanesha muntah-muntah, setelah di tes pack, dua garis biru terlihat, Vanesha hamil.
Aku semakin sakit dibuatnya, perhatian Rahul selalu lebih condong ke Vanesha. Bahkan Rahul tidak mengizinkan Vanesha membereskan rumah, dia selalu memanjakan istri keduanya. Lain halnya denganku, mungkin karena janin yang tumbuh di rahim Vanesha dari benihnya.
Seiring berjalannya waktu, hubunganku dengan Rahul semakin merenggang, aku merasa seperti janda, tidak memiliki suami.
"Lisa, kami akan menginap di rumah orangtua Vanesha untuk beberapa hari, kamu akan di temani Olif selama kami tidak disini, " tutur Rahul yang sedang menggandeng Vanesha hendak pergi.
"Tapi A' kata dokter minggu ini usia kandunganku memasuki hari kelahiran loh, kalau Aa' pergi bagaimana? " aku keberatan.
"Kan masih minggu depan, Lis. Kami cuman beberapa hari saja, Vanesha rindu dengan ibunya, Aa' harus menurutinya. "
"Maaf ya Mbak, ini kemauan bayinya. " ucap Vanesha dengan wajah merasa tidak enak.
Aku hanya menghembuskan nafas menanggapi dan berlalu dari mereka.
Sudahlah, terserah mereka.
Malam harinya perutku terasa sakit sekali, sakit yang tak biasanya. Olif pun menghampiriku,
"Kak, kak Lisa kenapa kak? "
"Perutku sakit sekali Dek,"
"Aku telfon ayah dulu ya kak, "
Setelah ayah datang, aku di bawa ke rumah sakit, aku akan melahirkan hari ini. Namun aku harus di caesar.
"Kondisi tubuhnya tidak memungkinkan untuk bisa melahirkan normal, harus di operasi. " begitulah kata dokter.
"Untuk memiliki persetujuan operasi, kami harus memiliki tanda tangan dari suaminya. "
Nomor Rahul tidak bisa di hubungi berkali-kali, sedangkan aku sudah di antara hidup dan mati.
Ayah pun menggambil keputusan untuk lakukan saja operasinya, ia akan bertanggung jawab, dan juga sebagai wali.
Dan, lahirlah seorang anak perempuan.
Seorang anak yang tak berdosa, yang menyebabkan hilangnya cinta suamiku. Melihat wajahnya yang tenang di balik selimutnya, aku menyesal karena pernah mempunyai niat untuk menggugurkannya.
3 hari di rumah sakit, suamiku itu tak kunjung datang. Mungkin dia sedang menikmati waktu bahagianya bersama istri kedua dan calon bayinya. Sedangkan aku disini, sendiri, menahan sakit fisik, sakit batin.
"Kemana suamiku, Yah? " ayah hanya diam.
"Bu, kemana Rahul? " aku beralih ke ibu.
Ibu hanya menjawab, Rahul tidak bisa ditelfon, di rumah orangtua Vanesha juga tidak ada, kata tetangganya, mereka pergi jalan-jalan.
Rahul telah membohongiku, dia bilang hanya menginap beberapa hari karena rindu, tapi nyatanya jalan-jalan, dia sedang bahagia disana sedangkan aku?
Tok tok tok
Terdengar suara pintu diketuk, tak lama kemudian menampakkan seorang wanita yang sangat ku kenal. Vera, sahabat kecilku.
"Selamat ya nona cantik, sekarang sudah jadi ibu, "ucapnya sambil memelukku singkat dan meletakkan buket bunga di sampingku.
"Terima kasih, Ver. " balasku tersenyum.
Vera melihat kiri-kanan seperti mencari sesuatu,
"Dimana suamimu, Lisa? Dia tidak menemani? "
Aku menggeleng pelan.
"Lisa, sebenarnya aku tidak ingin memberitahu ini kepadamu, tetapi kamu berhak tahu, " Vera terlihat gugup.
Vera mengeluarkan HP dari tas nya, dia menunjukan sebuah foto. Foto Rahul bersama Vanesha sedang makan malam di sebuah cafe, mereka terlihat serasi sekali dengan baju warna senada, dan terdapat kue yang di terangi nyala lilin angka 25 yang bertulis 'Happy birthday Vanesha'.
Ya, ternyata mereka pergi merayakan ulang tahun Vanesha, dan mungkin juga melakukan bulan madu mereka yang tertunda. Aku hanya diam melihat foto itu dengan mata yang memanas.
"Kamu tidak terkejut melihat ini, Lis? Betul ini suamimu kan? " tanya Vera merasa heran karena Lisa tak bereaksi melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain.
"Aku sudah tahu, Ver. Wanita itu adalah maduku. Rahul menikah lagi saat kandunganku berusia 7 bulan, dan kami sudah tinggal serumah selama 3 bulan dengan maduku itu. "
Vera terlihat sangat terkejut, dia tidak mengetahui aku menjalani rumah tangga poligami.
"Kenapa suamimu tega? Em, maksudku, kau rela di madu? Namun kan itu harus adil, menurutku ini tidak adil, dia bermesraan bersama istri keduanya, seharusnya menemani istri pertama melahirkan. Dia tega meninggalkanmu melahirkan sendirian? "
Ah, andai Vera tahu anak ini bukanlah anak Rahul. Tapi, setidaknya jika kau tidak peduli dengan anak ini, fikirkanlah diriku Rahul.
Aku menyerah, aku tidak sanggup, sampai sini aku sudah cukup paham bahwa aku tak lagi di butuhkan. Cintanya telah hilang, cintanya telah di gantikan bunga baru.
Kalau nanti Vanesha melahirkan anak Rahul, tambah sakit lagi aku, sudah pasti anak mereka yang lebih di perhatikan Rahul, tidak anak haram yang lahir dari rahimku.
Keputusanku sudah matang, aku telah siap, setelah Rahul kembali, aku akan meminta cerai.
Aku akan menghidupi anakku sendiri, walau tanpa ayah. Jika aku terus bertahan tinggal di rumah terkutuk itu, sama seperti aku membiarkan diriku tinggal di kandang singa.
Rahul kembali, menjengukku di rumah sakit, tanpa wajah khawatir.
"Sudah ku bilang aku tidak akan menceraikanmu Lisa, " aku telah menyampaikan niatku kepadanya.
"Kecuali jika kamu yang meminta, maka aku akan menceraikanmu. "
Saat itu, jatuhlah talakku.
Setelah menjatuhkan talak, Rahul berlalu dengan raut wajah yang sulit ku artikan. Menyesalkah ia, atau hanya sekedar kasihan?
Sekarang yang tersisa hanyalah rasa sabar sekuat baja, sekarang aku telah di buang, salah satu rasa sakit cinta adalah ketika orang yang kita cintai telah berubah.
Aku di talak, ketika melahirkan.
Terima kasih ayah, bunda, olif, terima kasih telah menerimaku dengan baik. Terima kasih Rahul, terima kasih pernah mencintaiku begitu tulus, walau akhirnya kita tak satu, aku tak akan kembali, akan ku lupakan setiap lembar kisah kita, dan kututup rapat di palung terdalam. Semoga kau bahagia bersama Vanesha, istri keduamu. Tidak, sekarang telah menjadi istri satu-satunya milikmu. Semoga kau di karuniai anak yang pintar dan sehat.
Aku pergi, dengan hati yang telah kau sakiti.