Putri masih menatap Nando. “Aku kecil sekali kah sampai dia ndak liat aku di depannya?” ujarnya dalam hati. “Eh tunggu, kok dia tau namaku?”
“Maaf,” ucap Nando pelan lalu mengulurkan tangannya.
Putri mengerutkan dahi tanpa meraih tangan Nando. Lalu menahan tubuhnya dengan tangan agar bisa berdiri tapi dia tak bisa. Suara ringisan terdengar dari bibirnya.
Sontak Nando mengapit tubuh Putri tepat di sela ketiak. Lalu mencoba mengangkat tubuh Putri. Tapi Putri malah menepis tangannya.
“Lepas!” ucap Putri. “Jangan pegang-pegang!”
“Eh, aku cu...,”
Ucapan Nando berhenti karena seorang senior datang. “Ngapain kalian disini?”
“Dia jatuh, Kak,” jawab Nando cepat.
“Sudah tau jatuh kenapa ndak ditolong, ha?” ujar perempuan berjilbab putih tersebut seraya membantu Putri berdiri. “Gimana? Bisa?” tanyanya pada Putri.
“Sakit, Kak,” ucap Putri pelan.
“Kayaknya keseleo. Sebentar aku panggil tim kesehatan. Tunggu disini ya,” ucap senior itu lagi tapi baru akan melangkah dia berteriak. “Ko, Riko. Panggil anak KSR! Ada yang cedera disini.”
“Oke, sebentar,” teriak lelaki yang berada tak jauh dari mereka bertiga.
“Kamu kenapa bisa jatuh?” tanya senior tersebut. “Lain kali hati-hati kalau jalan.”
Putri melirik sinis pada Nando. “Aku ditabrak, Kak.”
Senior yang bernama Nurfatimah tersebut melirik pada Nando yang berdiri di sampingnya. “Kamu nabrak dia? Iya?”
Nando menunduk, “Iya, Kak. Tadi aku...”
Lagi lagi pembicaraannya dipotong oleh Nurfatimah. “Jadi kau yang nabrak dia? Terus dibiarkan begitu aja, iya? Ndak ditolong? Heran deh aku. Muka aja ganteng tapi kelakuan minus. Sudah, pergi sana. Biar aku temani dia sambil nunggu bantuan datang.”
“Astaga,” desis Nando.
“Sana!” perintah senior itu lagi. “Atau kau mau dihukum? Iya? Sudah buat orang celaka, tapi ndak mau bantu.”
Nando hanya diam tapi dalam hati dia merutuk. “Kok jadinya begini sih? Aku tadi mau bantu loh tapi Yasmin yang ndak mau. Ini senior pula, kita mau jelaskan tapi motong pembicaraanku terus.”
“Nyari gara-gara memang nih anak ya?” ucap Nurfatimah. “Disuruh pergi malah jadi patung disitu. Mau jadi patung beneran, iya?”
“Maaf, Kak,” ucap Nando. “Kalau gitu, saya permisi,” ujarnya lalu melangkahkan kaki, ingin beranjak dari tempat tersebut. Tapi tiba-tiba lengannya ditahan oleh Nur.
“Kau disini aja,” ucap senior tersebut.
“Eh? Apa maksudnya ni?” pikir Nando. “Tadi disuruh pergi, sekarang malah disuruh disini aja,” ucapnya dalam hati seraya melihat Putri yang sejak tadi duduk di jalan.
“Iya, Kak.” Hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Nando.
Tak lama, dua orang lelaki datang memeriksa keadaan Putri. Lelaki bertubuh berambut cepak memegang kaki Putri.
“Aduuh,” rintih Putri.
“Keseleo, Bang,” ucapnya pada lelaki di sebelahnya. “Abang bisa obati?”
“Waduh, aku ndak bisa. Nanti malah salah urat pula,” akunya. “Kita bawa aja ke ruang kesehatan. Nanti tanya ke teman-teman lain siapa yang bisa sembuhkan.”
Putri dibawa ke ruangan kesehatan menggunakan tandu. Sementara Nando masih bersama dengan Nurfatimah.
“Buka dulu papan namamu itu,” perintahnya.
Nando menyerahkan papan namanya. Putri menerimanya lalu menulis sesuatu di papan nama tersebut.
Aku salah
Aku minta maaf
“Maksudnya, Kak?”
“Pakai ini terus berdiri di dekat pohon disana,” perintahnya.
Nando melihat ke arah telunjuk Nufatimah mengarah. “Saya berdiri disitu, Kak?” tanya Nando memastikan.
“Iya, kamu disitu sampai cewek yang tadi mau maafkan kamu,”ucapnya.”Sudah, kesana berdiri!”
Perlahan Nando berjalan menuju sebatang pohon dengan tinggi satu meter. Lalu berdiri tepat di depannya.
“Ingat, jangan kemana-mana sampai cewek tadi itu sembuh dan maafkan kamu!”
“Iya, Kak,” ucap Nando lemas. “Mimpi apa aku semalam sampai dapat musibah kayak gini,” gumamnya pelan.
Nando berdiri cukup lama. Tak ayal beberapa mahasiswa baru melirik padanya, termasuk teman sekelompoknya. Entah tatapan iba atau tatapan geli. Yah, semua mahasiswa baru memiliki deritanya masing-masing tapi dengan bentuk dan porsi yang berbeda.
Tapi jika senior yang melihat Nando, dia tentu diserbu berbagai pertanyaan. Nando hanya menjawab seadanya. Tak ayal, ada senior yang mengajak Nando foto bersama.
Bukannya berasa artis yang diajak foto sams fans, aku malah ngerasa kayak tahanan yang diajak foto sama polisi,” pikir Nando. “Sabar Do, sabar.”
Pagi ini penderitaanmu lengkap sudah. Mana Yasmin kelihatannya jengkel betul lagi. Bagaimana bisa pedekate kalau begini?” ujarnya dalam hati.
Semakin lama berdiri, semakin sering Nando merutuki dirinya. Hingga dua jam berlalu, kakak pembimbing Nando datang dan memintanya bergabung dengan teman-temannya karena sebentar lagi mereka akan dibawa ke ruangan untuk mengikuti materi.
Begitu bergabung dengan teman sekelompoknya, dia diberondong dengan berbagai pertanyaan. Membuat Nando semakin pusing dan berucap, “Nnati ya kujawab. Sumpah, aku capek berdiri daritadi.”
Teman-temannya terkekeh, begitu juga dengan pembimbingnya.
Tak lama, mereka pun memasuki ruangan besar yang sering disebut Hall C oleh penduduk kampus. Ruangan yang berada di lantai tiga gedung Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidkan tersebut setiap tahun menjadi tempat untuk melaksanakan ospek. Tepat pukul delapan pagi, semua mahasiswa baru telah berada di dalam ruangan tersebut untuk mendengarkan materi dari petinggi-petinggi kampus.
Begitu siang hari, tepatnya pukul dua belas mereka istirahat sejenak untuk makan siang, meregangkan badan serta sholat bagi yang beragama Islam. Di saat itulah, Nando kembali ditanya oleh teman-temannya.
Nando menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pagi itu.
“Jadi cewek itu marah sama kau?” tanya Narti.
“Iyalah Narti yang imut, siapa coba yang ndak marah kalau ditabrak. Eh, sampai keseleo pula,” jawab Linda. “Kalau aku jadi tuh cewek, pasti aku marah juga.”
“Tapi kalau aku ndak bakal marah disenggol sama cowok ganteng kayak Nando, mana baik pula, hehe,” ujar Narti terkekeh.
Mastang melempar bekas pembungkus nasi ke arah Narti. “Dasar genit!”
Narti terkekeh, teman-temannya tertawa. Nando hanya menggelengkan kepala.
“Tapi kau sudah minta maaf kan, Do?”tanya Samsul sembari meneguk air mineral.
Nando mengangguk pelan. “Sudah tapi kayaknya ndak dimaafkan.”
“Asal sudah minta maaf, terserah dari dia mau maafin apa ndak,” ucap Samsul. “Jadi, sudah. Jangan dipikirin lagi. Makan yang banyak jadi nanti bisa kuat kalau dihukum lagi, hahaha.”
“Asem kau,” umpat Nando. “Itu pertama dan terakhir kalinya aku kena hukuman. Pokoknya ndak akan lagi deh.”
“Semoga aja ya, Do,” ucap Lala.
Sementara tak jauh dari situ, terhalang oleh satu lingkaran kelompok mahasiswa baru, Putri dan teman-temannya juga sedang membicarakan hal yang sama. Tapi dari sudut pandang korban.
“Masih sakit, Put?” tanya Maya, salah satu temannya Putri.
“Ndak sakit sudah,” jawabnya sembari tersenyum.
“Aku tuh heran kok bisa ada cowok ndak tau diri kayak gitu?” ujarnya Maya. ”Bukannya minta maaf malah nyari kesempatan megang-megang kau.”
“Kenapa kau ndak lapor ke kakak pembimbing kita aja, Put?” tanya Luna yang duduk tepat di sebelah kiri Putri.
“Kasian juga sih liat dia tadi dihukum.”
“Putri ni,” lirih Luna. “Kalau aku, sudah kucincang dia.”
“Idih, galaknya juga jadi cewek,” tukas Slamet. “Aku yakin itu cowok memang niat mau nolong tapi ndak sengaja kesentuh itumu. Eh, maaf.”
“Siapa nama tuh cowok?” tanya Luna. “Kau pasti liat di papan namanya kan?”
“Namanya Nando Saputra,” ucap Putri.
Ipung tersedak. Andra, teman di sampingnya dengan sigap menepuk punggungnya lalu memberikan air mineral. “Astaga, kenapa pula tuh anak bikin masalah sama gebetannya sendiri,” pikir Ipung.
“Kau temannya kan?” tanya Putri sembari menatap Ipung.
Tak hanya Putri, semua teman sekelompoknya melihat ke arah Ipung. Menunggu jawaban dari lelaki yang kini berambut pelontos tersebut.
“Ya ampuun,” gumam Ipung pelan. “Kok aku berasa diserang ya? Tuh anak yang buat masalah, aku yang kena getahnya. Dasar, Nangka!”
Ipung tersenyum kaku. “Dia sepupuku,” ucapnya terus terang.
Mereka melongo.
“Serius?”
“Itu sepupumu?”
“Jadi yang nabrak Putri sepupumu?”
“Yang nyari kesempatan dalam kesempitan itu sepupumu?”
“Dia memang m***m kah?”
Berbagai macam pertanyaan terlontar begitu saja dari mulut mereka
“Hm, gimana ya ngomongnya?” Ipung menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Dia itu sebenarnya baik, baik banget malah.”
“Alah, jangan mentang-mentang dia sepupumu makanya kau belain,” tukas Luna. “Ingat, salah ya tetap salah.”
“Bukannya gitu, tapi dia memang baik kok. Sumpah. Mungkin tadi itu cuma salah paham.”
“Salah paham?” tanya Luna. “Jadi maksudmu Putri yang salah paham gitu? Putri yang salah, iya?”
“Loh, kok jadi kalian yang adu mulut sih?” tanya Slamet. “Sudahlah. Toh Putri sudah sembuh juga. Iyakan, Put?”
Putri mengangguk. “Iya, aku sudah ndak papa kok.”
“Oke fix, ayo lanjut makan!”
Ipung bernapas lega. Sementara Luna mencibir.
***
Hari sudah mulai gelap tapi Putri belum pulang karena menunggu Lina yang sedang diskusi dengan teman-temannya.
“Put, masih nunggu jemputan? Mau bareng aku aja?” tawar Luna. “Sudah gelap loh ini.”
Putri tersenyum. “Aku bukan nunggu jemputan tapi nunggu temanku karena dia nebeng aku tadi ke kampus. Kebetulan kami tetangga.”
Luna terkekeh. “Ooh, kukira kau nunggu pacar atau siapa gitu yang jemput.”
“Hehe, ndak kok.”
“Atau mau aku temani kah?” tawar Luna Lagi. ”Daripada kau nunggu sendirian.”
“Kau ndak capek, Lun?” tanya Putri. “Pulang aja, ndak papa kok. Paling bentar lagi Lina keluar.”
“Nama temanmu Lina?” tanya Luna sembari duduk di sisi Putri.
“Iya. Eh,” kalimat Putri terhenti karena terpikir sesuatu.
“Nama kami mirip, hehe.”
“Iya, aku juga baru sadar.”
Lalu seseorang berteriak memanggil nama Putri. Mereka berbalik.
“Itu yang namanya Lina,”ucap Putri.
“Dia sudah datang. Kalau gitu aku tinggal ya?” Luna berdiri. “Capeeek, hehe.”
Putri juga berdiri dan tersenyum.”Oke, makasih ya.”
“Sama-sama, Put.”
“Hati-hati di jalan, Lun.”
“Oke, makasih,” ucapnya lalu berjalan meninggalkan Putri.
Putri berbalik, melihat ke arah Lina. “Loh, ngobrol sama siapa lagi tuh anak?” gumamnya saat melihat Lina malah singgah dan berbicara dengan lelaki berpakaian putih hitam sepertinya.
Lalu sebuah suara memaksa Putri untuk memalingkan wajah.
“Putri, ini sepupuku,” ucap Ipung. “Dia mau minta maaf.”
Di sebelah Ipung, Nando menunduk. Dia tak berani melihat ke arah Putri. Dia begitu takut melihat tatapan marah dari Putri. Dalam hati Nando berdoa semoga Putri tak lagi semarah tadi pagi.
Tapi Putri hanya diam. “Apaan sih anak? Bikin moodku jelek aja,” pikir Putri.
“Put,” sapa Ipung lagi. “Sepupuku mau minta maaf. Tadi dia bener-bener ndak sengaja tab...” kalimat Ipung menggantung karena Putri tiba-tiba memotongnya.
“Sorry, aku sudah mau pulang,” ucap Putri lalu berlari kecil menuju ke arah Lina.
Nando hanya bisa terpaku melihat kepergian Putri.
Sudah kuduga, dia masih marah sama aku.