Putri menyimak pembicaraan Lina dengan seorang lelaki yang ternyata teman seruangan Lina saat ujian beberapa minggu lalu. Tak lama, mereka menyudahi pembicaaannya.
“Duluan ya, Dil,” ucap Lina lalu mengapit lengan Putri. “Yuk pulang!”
“Lama bah,” ucap Putri. “Capek aku nunggu. Nanti kita singgah ke pasar memang ya jadi ndak jalan lagi. tinggal istirahat aja sampai besok.”
“Siap, laksanakan,” ucap Lina sembari memberi hormat.
Putri terkekeh. “Kau ni.” Tapi raut wajahnya berubah saat melihat Nando dan Ipung yang masih di tempatnya semula. “Ish, dasar m***m,” desisnya.
“Kenapa, Put?”
“Ndak papa,”jawabnya lalu mempercepat langkah. “Ayo pulang!”
Mereka berjalan menuju ke depan gerbang karena tadi subuh semua motor hanya boleh sampai di depan gerbang. Hanya motor panitia yang berada di dalam lingkungan kampus.
Sementara Nando mengikuti langkah Putri dari belakang, meski dalam jarak yang cukup jauh. Nando pulang ke rumah dalam keadaan hati yang sangat tidak baik. Sepanjang jalan dia terus merenung. Hal itu membuat Ipung khawatir dan memutuskan mengikuti Nando sampai ke rumahnya.
Mengendarai motor yang berbeda, Ipung terkadang berada di belakang Nando. Namun terkadang mereka bersisian tapi Nando seolah tak mengetahui bahwa Ipung sejak dari kampus terus mengikutinya.
“Eh, ngapain kau kesini?” tanya Nando begitu mereka tiba di rumahnya.
Ipung tak langsung menjawab. Dia mematikan mesin motor lalu berjalan ke arah Nando. “Aku mau tidur disini. Besok kita pergi sama-sama ya?” ucapnya sembari memainkan alisnya naik turun. “Kalau di kost, aku takut ndak bangun bah.”
Tak ingin berdebat, Nando hanya diam lalu masuk ke dalam rumah. Setelah mengucapkan salam, mereka memasuki rumah. Susi menyambut mereka dan menyarankan mereka untuk mandi terlebih dahulu kemudian makan.
“Temani aku pergi beli jeruk nanti ya?” tanya Nando setelah mereka menyelesaikan makan malam. “Kau juga belum beli jeruk pasti kan buat besok?”
Ipung mengangguk. “Oke, Boss.”
Malam itu mereka ke pasar buah. Tanpa tawar menawar, Nando membeli jeruk mandarin dua kilo. Lalu beranjak pulang. Ipung sedikit bingung kenapa Nando membeli jeruk sebanyak itu. Tapi tak bertanya karena melihat raut wajah Nando yang tetap datar sejak tadi.
Begitu sampai di rumah, Nando langsung memasuki kamar. Menyimpan jeruknya ke dalam tas karung lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Ipung pun melakukan hal yang sama.
“Pung, kalau mau jeruk, ambil aja di tasku,” ucap Nando dengan mata terpejam. “Aku mau tidur dulu.”
Ipung melirik ke arah tas karung milik Nando. “Kau bawa sebanyak itu? Bukannya kita disuruh bawa satu buah jeruk aja ya?”
“Itu buat temen sekelompokku juga.”
Ipung menggangguk-anggukkan kepala. “Oooh.”
Tak ada tanggapan dari Nando. Ipung pun memilih mengirimkan pesan kepada pacarnya. Setelah merasa sangat lelah, Ipung pun tertidur bersama Nando.
Keesokan hari, mereka berboncengan ke kampus. Ipung tak membiarkan Nando mengendarai motor sendiri, dia tak ingin mengambi resiko. Lebih baik mencegah daripada mengobati, pikirnya.
Sepanjang jalan menuju kampus, tak pernah sekalipun Nnado berbicara. Hal itu membuat Ipung benar-benar mengkhawatirkan Nando. Sementara Nando, meski tak mengeluarkan sepatah kata pun. Nyatanya, dia terus berbicara. Berbicara kepada dirinya sendiri tepatnya.
Bagaimana cara aku minta maaf?
Bagaimana supaya dia maafin aku?
Aku samperin aja kali ya?
Tapi kalau dicuekin kayak semalam, gimana?
Atau aku sms aja kali ya?
Eh, aku kan ndak punya nomernya ya?
Hm, Ipung punya kali ya?
Aah, jangan deh. Ndak gentle banget minta maaf lewat hape.
Tuhan, bagaimana aku meluluhkan hatinya?
Bantu aku, Tuhan.
Sepanjang hari, Nando terlihat muram. Meski dia melaksanakan tugasnya sebagai ketua kelompok, memastikan semua perlengkapan anggota ada dan mengatur anggotanya. Dia juga mengikuti semua agenda ospek hingga sore hari. Tapi, pikirannya masih tertuju kepada Putri. Tingkah lakunya tersebut membuat teman-temannya penasaran dan bertanya padanya saat istirahat di sore hari.
“Do, masih mikirin cewek yang kau tabrak?” tanya Mastang pelan. Teman-temannya juga melihat ke arah Nando, mereka penasaran kenapa Nando terlihat muram.
Nando mengangguk lesu. “Aku salah banget ya? Sampai ndak mau dimaafkan?”
“Kau sudah minta maaf langsung?”
Nando mengangguk. “Tapi, ndak dimaafkan. Bahkan dia ndak mau ngeliat mukaku.”
“Segitunya ya tuh cewek,” ujar Lala.
“Sudahlah Do, jangan dipikir lagi. Yang penting kau sudah minta maaf, dari dia aja mau maafkan atau ndak,” Asbar mencoba memberi pendapat.
“Iya, bener tuh,” ucap Narti. “Toh, kau kan ndak sengaja juga, jangan dipikir lagi. Sudah dua hari loh, masih juga kau pikirin.”
Bagaimana ndak dipikirin kalau cewek itu pujaan hatiku. Hiks.
“Iya kan, mending kemarin. Hari ini kau kayak manusia tak bernyawa tau ndak,” ucap Mastang. “Berdoa aja semoga suatu saat hati tuh cewek terbuka buat maafin kau.”
“Aamiin,” jawab mreka serentak.
“Eh eh eh,” teriak Rahayu, pembimbing kelompok mereka. “Siapa yang suruh berdoa disini? Sholat sana di masjid atau mushola.”
“Sudah, Kak,” jawab mereka serentak.
“Kak,” panggil Narti. “Aku punya sesuatu buat kakak.” Menyerahkan cokelat.
“Satu doang? Buat Kak Santi ndak ada?”
Narti menggaruk kepalanya. “Hehe, ndak ada. Kan Kak Ayu yang sering jagain kami.” Dia tersenyum.
“Alah, Narti nyogok ni,” ucap Samsul.
“Iya Kak, biar dia dibaik-baikin terus sama kakak.”
“Sembarangan aja. Hari ini terakhir kita dibimbing sama Kak Ayu jadi aku mau ngasih kenang-kenangan karna kakak baik sama aku.”
Rahayu tersenyum. “Makasih ya Narti. Yang lain ndak mau ngasih sesuatu juga gitu?”
Mereka tersenyum kaku.
“Mau jeruk sama roti kah, Kak?” tawar Lala. “Kami punya banyak. Hehe.”
“Boleh deh, buat begadang nanti malam,” jawab Rahayu. “Besok masih Ospek loh ya tapi Ospek Fakultas. Sebentar ini penyerahan ke fakultas masing-masing.”
“Jadi masih Ospek, Kak?”
“Masih, tapi diserahkan ke Fakultas masing-masing.”
“Jadi, ndak ketemu Kak Ayu lagi dong.”
“Kalau kalian masuk di Fakultas Perikanan, masih ketemu sama kakak dong,” ujar Rahayu. “Andri sama Rahim aja kan yang masuk Fakultas Perikanan?”
“Iya, Kak,” jawab Andri dan Rahim bersamaan.
Setelah waktu istirahat habis, semua mahasiswa baru berkumpul. Mereka memasuki agenda terakhir yaitu penutupan. Ketua Panitia mengucapkan sepatah kata lalu semua mahasiswa baru bersalaman dengan semua panitia. Setelah itu, mereka diminta menuju lapangan yang berada di belakang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Karena di tempat itu, Panitia Ospek Fakultas masing-masing telah menunggu.
Setelah Nando bersalaman dengan teman-temannya pula, dia menuju ke lapangan. Dia melihat Putri dan Lina berdiri bersisian di barisan ketiga dari depan. Nando pun memilih berdiri di barisan paling belakang. Tak lama, beberapa orang berdiri pula di belakangnya.
Nando berbalik. Ternyata, jumlah mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan cukup banyak. Yah, sebenarnya fakultas tersebut merupakan penyumbang mahasiswa terbesar setiap tahunnya di Universitas Borneo Tarakan.
Setelah semua mahasiswa baru di fakultas tersebut berkumpul, Ketua Panitia memperkenalkan diri dan memberikan beberapa pengarahan. Pengarahan yang hampir sama seperti saat Ospek Universitas. Begitu pembagian kelompok, mereka diminta membaca nama masing-masing di papan pengumuman yang terletak tak jauh dari tempat mereka berbaris.
Berdesak-desakan, Nando memeriksa di kelompok mana dia berada. Betapa kagetnya dia melihat nama Putri berada di kelompok yang sama dengannya.
“Ini beneran?” pikirnya lagi. “Atau namanya pasaran? Aah, ndak mungkin deh kayaknya ada nama yang semirip itu. Cepat banget sih Tuhan menjawab doa-doaku tadi pagi.”
Seseorang menepuk pundak Nando. “Mas, misi. Aku juga mau lihat pengumuman.”
“Oh iya, maaf,” ucap Nando lalu beranjak dari tempat tersebut kemudian mencari kakak pembimbingnya.
Cukup mudah menemukannya karena setiap kakak pembimbing berdiri berurutan. Nando menuju ke gerombolan orang yang merupakan teman sekelompoknya.
“Namamu siapa?” tanya seorang lelaki berkulit cokelat dengan sedikit jerawat di pipinya.
“Nando, Kak,” jawab Nando. “Nando Saputra.”
“Oke, ngobrollah dulu sama teman sekelompokmu sambil tunggu yang lain,” ucap senior yang memiliki nama Iswan tersebut.
Nando mengangguk. “Baik, Kak.”
“Do,”sapa seseorang.
Nando menoleh. Seorang lelaki berkepala botak dengan kacamata yang bertengger di hidungnya sedang tersenyum. “Yogi?”
Yogi adalah sekelas Nando saat masih kelas satu SMA. Begitu naik kelas, mereka berpisah karena Yogi memilih jurusan IPA sementara Nando memilih jurusan IPS. Tapi bukan berarti Nando tergolong anak yang kurang pintar. Nando sangat cerdas. Dia bisa saja masuk jurusan IPA tapi karena keinginannya untuk menjadi pengacara, membuatnya memilih jurusan IPS saat sekolah dulu.
“Kukira kau sudah lupa sama aku,” ucap Yogi sembari mengulurkan kepalan tangannya. “Apa kabar? Kukira kau kuliah diluar. Masih betah di Tarakan juga rupanya.”
“Alah, kau juga kenapa kuliah di Tarakan? Pasti karena masih betah di kota ini juga kan?”
“Kau jurusan apa? Kukira kau mau jadi pengacara, mau jadi guru juga rupanya.”
“Hehe, aku masuk jurusan Bimbingan Konseling.”
Mata Yogi terbelalak. “BK? Serius kau masuk jurusan BK? Mau jadi guru BK?” tanya Yogi seolah tak percaya.
“Iya, Gi,” ucap Nando.
“Tapi cocok juga sih. Kau kan cerdas, pintar bicara, baik, suka bantu orang lain. Ganteng pula tuh. Paket lengkap pokoknya. Bisa-bisa semua murid sengaja buat masalah biar bisa dekta-dekat sama kau. Hehe.”
Nando terkekeh. “Astaga, ndak ada uang kecilku bah”
“Uang besar lah pale. Hahaha.”
Mereka tertawa tapi tak begitu terdengar karena setiap orang sibuk dengan lawan bicaranya masing-masing. Namun sebuah suara menghentikan tawa Nando. Seketika badannya terasa panas dingin. Nando menoleh ke sumber suara.
“Maaf Kak, saya Yasmin Putri Septiananda,” ucap gadis yang baru saja bergabung dengan mereka. “Disini kelompok sebelas ya?”
“Iya, tunggu teman-temanmu yang lain dulu ya?” ucap kakak pembimbing yang mengenakan jilbab berwarna biru laut. “Ngobrol aja dulu sama teman sekelompokmu.”
Putri tersenyum lalu diam saja.
“Do,” sapa Yogi. “Kau kenal sama cewek itu?”
“Ah? Apa?” tanya Nando.
“Kau kenal dia?” tanya Yogi lagi sembari melihat ke arah Putri.
“Hm, ndak sih.”
“Tapi kok kau langsung natap cewek itu begitu dengar suaranya?” tanya Yogi lagi. “Mencurigakan bah.” Dia menyipitkan mata.
Nando tertawa kaku, membuat Yogi semakin menyipitkan mata.
“Tenang, Do. Rahasia aman,” ucap Yogi seraya mengedipkan sebelah mata di balik kacamatanya.
Nando merangkul Yogi. “Aku percaya sama kau, Gi,” ucapnya lalu melepaskan rangkulan tersebut.
“By the way, sudah sejauh mana?” bisik Yogi.
Sudah sejauh mana?
Pertanyaan tersebut membuat Nando semakin gelisah.
Sejauh mana?
Sejauh mata memandang sih iya
Kenalan aja belum
Boro-boro mau kenalan, doi ngelirik aku aja males
Nasib nasib
“Do,” sapa Yogi. “Malah melamun.”
“Oh itu, baru mau kenalan sih, hehe.” Nando menggaruk kepala pelontosnya yang sama sekali tidak gatal.
“Ooh, baru mau kenalan toh.” Yogi mengangguk-anggukkan kepala. “Dapat jackpot dong kau. Bisa kenalan sekalian pedekate.”
“Jackpot?” tanya Nando seraya berpikir sejenak. “Iya ya, kau benar. Anak IPA memang cerdas bah.”
Yogi tertawa. “Tapi ndak ganteng kayak kau, hehe.”
Nando menatap Putri yang masih betah diam, sesekali Putri mengganti posisi berdirinya.
“Jackpot ini bakal kumanfaatkan dengan baik. Yasmin, akan kubuat kau tergila-gila sama aku. Kau bersikap cuek begitu karena belum melihat pesonaku. Tunggu aja, aku pasti bisa menaklukkanmu,” ucap Nando dalam hati.