Tapi, langkah Nando seketika terhenti begitu Putri berlari kecil meninggalkan segerombolan orang yang merupakan kelompok Nando. Dan malah berlari menuju gerombolan orang dimana ada Ipung di dalamnya.
Seketika Nando memperlambat langkahnya. Semangatnya yang tadi sangat besar tiba-tiba luntur. “Gagal sekelompok sama Yasmin,” gumamnya lalu melirik ke arah Yasmin. “Beruntung banget Ipung yang bisa sekelompok sama Yasminku.”
“Permisi, Kak,” sapa Nando begitu dekat dengan teman sekelompoknya. “Ini kelompok tujuh ya?”
“Namamu?” tanya perempuan berkaos hitam dengan rambut sebahu.
“Nando Saputra, Kak,” jawab Nando.
“Oke, tunggu teman-teman kalian yang lain ya,” ucap perempuan itu lagi.
“Iya, Kak.” Semua mahasiswa baru serentak menjawab.
Tak lama, satu per satu mahasiswa baru datang hingga anggota kelompok tujuh lengkap lima belas orang.setelah itu, mereka memilih ketua kelompok.
“Siapa yang mau jadi ketua kelompok?” tanya senior mereka yang berkaos hitam.
“Kau aja,” tunjuk senior lain yang berjilbab abu-abu.
“Aku?” tanya Nando seraya menunjuk dirinya sendiri.
Senior itu mengangguk. “Gimana? Yang lain setuju?”
“Iya, Kak,” jawab mereka serentak.
Loh, kok aku ndak ditanya mau atau ndak sih?
Dengan berat hati, Nando menerima keputusan sepihak menjadi ketua kelompok. Dia pun diberi wejangan dari senior mengenai tugasnya sebagai ketua. Diantaranya memastikan semua teman-teman di kelompoknya membawa semua perlengkapan ospek besok.
Dan, disinilah mereka, berkumpul di rumah Nando untuk mempersiapkan semua keperluan untuk ospek. Dimana saat sore hari, Nando telah membeli perlengkapan untuk membuat topi, tas, papan nama. Bahkan Nando meminjamkan celana hitam miliknya kepada teman sekelompoknya.
Mereka membagi tugas, ada yang membeli konsumsi. Sementara yang lainnya membuat topi, tas serta papan nama. Nando sebenarnya ingin di rumah saja membantu mereka tapi karena dia satu-satunya anggota kelompok yang bisa mengendarai mobil, alhasil dia yang bertugas berbelanja. Yah, sekalian membeli camilan buat teman-temannya juga.
Ditemani oleh Mastang, Nando berkeliling membeli konsumsi untuk besok.
“Apalagi yang kurang ya kira-kira?” tanya Nando pada temannya yang membawa dua kantong besar sementara dia membawa sekotak air mineral dan satu kotak roti berbagai rasa.
“Kayaknya sudah lengkap bah. Lebih dari lengkap malah.”
Mereka membawa semua barang tersebut ke dalam mobil. Begitu sampai di rumah. Teman-teman Nando kaget dengan belanjaannya.
“Kok makanan sama minumannya sebanyak itu, Do?” tanya Linda, mahasiswa baru Fakultas Ekonomi.
“Mastang, itu sesuai catatan kan?” tanya Linda lagi.
“Kalian ndak beli kertss, kardus atau spidol lagi kan? Tadi sore kan sudah dibeli semua, malam ini cuma konsumsi aja yang mau dibeli. Tapi kok sebanyak itu?” Amiati, gadis bertubuh mungil juga ikut bertanya.
Mastang terkekeh. “Hehe, itu loh Nando. Dia belikan kita camilan juga buat malam ini. Sama itu, roti juga sekotak.”
“Roti? Bukannya disuruh beli donat yang ndak berlubang ya?” tanya Linda.
“Bilang Nando buat jaga-jaga kalau kita kelaparan tapi belum waktunya makan siang,” jawab Mastang. “Bilang Nando, tinggal lahap aja kalau lapar.”
“Astagaa, segitunya.”
“Eh, jangan salah. Setahuku ya, Ospek itu bikin capek dan bakal menguras tenaga. Aku ndak mau teman sekelompokku pingsan karena kelaparan,” ucap Nando menjelaskan. “Kalian musti kuat menghadapi Ospek besok pokoknya.
“Buahnya, ada kah?”
“Ada dong,” jawab Mastang dengan cepat. “Sesuai catatan. Eh, lebih dari catatan malah.”
“Jadi kami tambah berapa lagi per orang?” tanya Linda.
“Eh, janganlah,” tolak Nando. “Tambahannya ndak banyak kok. Yah, seharga bombonlah. Hehe.”
Mereka tertawa.
“Kau Do, mana ada roti seharga bombon. Mana sekardus lagi, belum cemilan yang kau beli,” ujar Iwan.
“Iya, padahal makanan yang disiapkan mamakmu sudah banyak loh.”
“Betah kita disini lama-lama, hahaha,” ucap Narti sembari tertawa terbahak-bahak.
“Beruntung banget pacar Nando.”
“Pacar?” tanya Nando. “Aku jomblo, hehe.”
“Serius?” tanya Mastang. “Cowok kayak kau aja jomblo apalagi kayak aku.”
“Dia jomblo bukan karena ndak ada yang suka. Tapi karna belum nemu yang cocok di hati, iya kan Do?” tanya Lala. “Nah, kau? Jomblo karena memang ndak laku.”
“Asem kau, La.”
Mereka terpingkal-pingkal.
Di tempat lain, Lina dan Putri sibuk mempersiapkan semua hal untuk Ospek besok.
“Sudah, Put,” ucap Lina sembari menyerahkan kardus yang telah digunting. ”Kau yang tulis nama kita ya?”
Putri menerima potongan kardus itu. “Oke.”
“By the way, kau ingat si Narti?”
“Narti yang rambutnya keriting itu kah?” tanya Putri sembari menulis namanyadi kardus yang tadi.
“Ikal Put, bukan keriting,” sanggah Lina lalu kembali menggunting kardus lainnya.
“Hehe, kenapa emangnya?”
“Kelompoknya enak, sama-sama kerjanya. Bener-bener kerjasama dari perlengkapan kayak topi, tas karung sampai makanan pun sama-sama disiapkan.”
“Oh ya?”
“Iya, jadi ndak ribet mereka nyari bahan. Ada para cowok yang disuruh nyari, mereka yang buat. Itupun buatnya sama-sama juga bilang,” jelas Lina. “Kita kasian, capek berdua bolak-balik nyiapin bahan, belum lagi buatnya. Aslii, capek.”
“Iya kan, capek banget tau.”
“Ayolah selesaikan baru kita tidur. Besok musti bangun subuh lagi.”
Mereka pun menyelesaikan semua hal yang terkait dengan Ospek kemudian beristirahat. Keesokan hari, sekitar pukul empat subuh mereka bangun lalu bersiap menuju kampus. Tepat pukul lima subuh, mereka telah menyusuri jalan yang sepi. Hanya beberapa motor yang terlihat di jalan. Ada yang pergi ke pasar, ada pula yang sekedar menghirup udara pagi.
Adapula yang sama seperti Putri dan Lina, sedang dalam perjalanan ke kampus. Terlihat dari pakaian dan aksesoris yang mereka gunakan. Atasan kemeja putih, bawahan hitam, tas terbuat dari karung, name tag besar yang tergantung tepat di d**a, tak lupa topi yang juga dibiarkan menggantung di leher.
Mereka tiba dia kampus masih dalam keadaan gelap. Tepat di belokan sebelum gerbang, sekitar dua puluh meter, terdengar suara teriakan.
“Lin, itu kenapa ya?” tanya Putri memperlambat laju motornya. “Jangan bilang kita mau disiksa.”
Lina mendekatkan wajahnya pada Putri. “Tenang Put, mereka Cuma menggertak doang kok. Memang begitu kalau ospek, senior pada suka teriak. Tapi pada dasarnya ospek itu untuk pengenalan kampus kok. Nanti bakal banyak materi tentang dunia mahasiswa. Itu sih, kata abangku. Hehe.”
“Serius, Lin?”
“Percaya sama aku.” Ucap Lina lalu menepuk pundak Putri. “Yuk ah, jangan sampai kita terlambat. Bakal jadi mainan senior kita kalau sampai telat. Pokoknya jangan buat masalah deh biar aman selama ospek.”
Mereka akhirnya tiba di parkiran.
“Ayo cepat cepat!” teriak seorang lelaki sembari memukul kayu panjang ke jalan. “Ngapain lama-lama disitu? Sana cepat! Kumpul samas teman-temanmu yang lain.”
Putri gemetaran. “Lin,” lirihnya sembari menggenggam tangan Lina.
“Ndak papa, Put,” ucap Lina sembari mengertakan genggaman tangannya pula. “Ayo sama-sama.”
“Permisi, Kak,” ucap Lina begitu mendekati senior tersebut.
Putri juga mencoba tersenyum.
“Iya iya, sudah cepat sana.”
Fyuh. Putri menghembuskan napas lega. Tapi tangannya masih menggenggam tangan Lina. Mereka menuju barisan mahasiswa baru yang berjejer tepat di tengah jalan. Sementara beberapa senior terlihat bolak-balik di antara mereka. Ada yang sekedar melihat papan nama, adapula yang bertanya perlengkapan.
“Topi kamu mana?” tanya senior berjilbab hitam pada mahasiswa baru di sisi kanan Putri.
“Lupa, Kak.”
“Lupa?” tanya senior tersebut. “Sini, ikut aku!”
Buru-buru Ptri menggunakan topi, begitu pula dengan Lina.
“Untung kita punya lengkap, Lin,” ucap Putri berbisik sembari mendekatkan wajahnya pada Lina.
Lina menggangguk. “Iya, Put. Habislah tuh anak yang tadi.”
“Eh, ngapain kalain ngobrol, ha?” tegur seorang senior perempuan berrambut panjang tepat di antara Lina dan Putri. “Diam aja! Jangan ngobrol! Kalian disini bukan buat ngobrol!”
Sontak mereka terdiam.
Di tempat lain, Nando sedang menjadi bulan-bulanan para senior.
“Ooh, jadi ini yang namanya Nando?” tanya seorang perempuan berjilab biru muda. “Kalau ditanya, dijawab dong,” ucapnya dengan suara sedikit keras dari sebelumnya.
Nando menunduk. “Iya Kak, saya Nando.”
“Kau tau kenapa dibawa kesini?” tanya perempuan itu lagi.
“Ndak, Kak.”
“Karena kau sudah buat hubungan temanku renggang.”
Eh, kok aku?
“Alah, mana mau dia ngaku,” timpal teman di sebelahnya.
“Saya ndak ngerti maksud kakak apa. Sumpah, saya ndak pernah merusak hubungan siapapun, apalagi senior. Saya ndak dekat sama siapapun.”
“Betulan ndak dekat sama siapa pun? Ndak punya punya pacar?”
“Ndak punya, Kak.”
“Oooh,” lirih perempuan berjilbab tersebut. “Dia belum punya pacar, Ri.”
Senior bernama Sari tersebut tersenyum, “Bagus deh. Ingat, kuliah yang bener. Jangan pacar-pacaran!”
“Iya, Kak.”
“Ya sudah, kau boleh pergi.” Perintahnya. “Cari pembimbing kelompokmu!”
“Iya, Kak,” ucap Nando. “Saya permisi, Kak.”
Kedua senior tersebut hanya manggut-manggut.
Nando pun bergegas pergi dari ruangan tersebut. “Astaga, kenapa pula aku diseret sama dua senior gila kayak mereka. Apa maksudnya coba tanya pacar sama aku,” pikir Nando.
“Permisi, Kak,” sapa Nando begitu berpapasan dengan senior.
Begitu berad di luar gedung, Nando mengedarkan pandangannya. Mencari kakak pembimbing beserta teman-teman sekelompoknya. Mereka tak terlihat. Nando pun berjalan mencari mereka. Tak lupa dia menyapa setiap kali bertemu senior. Dimana semua senior yang merupakan panitia pelaksana mengenakan pakaian yang sama yaitu t-shirt berwarna biru tua.
Nando kembali mengayunkan langkah kakinya. Hingga dari kejauhan dia melihat teman sekelompoknya, tapi tidak terlihat kakak pembimbing mereka. Tampak tergesa, Nando berjalan ke arah mereka. Lalu, bug.
Seseorang terjatuh karena Nando tanpa sengaja menabraknya.
Seorang gadis dengan rambut dikepang dua, dimana setiap ikat rambutnya memiliki warna yang berbeda. Gadis itu mengaduh kesakitan. Lalu berbalik menatap Nando. “Kau?”
“Ya yasmin?” Bibir Nando terasa keluh. “Aduh, mampus aku!”