Di Rumah Sakit

1822 Kata
Perlahan Putri membuka mata, mengerjapkannya sebanyak tiga kali. Lalu meneliti keadaan sekitar yang dalam kondisi remang. Lampu di ruangan tersebut dimatikan, hanya cahaya dari luar ruangan yang memberi penerangan di ruangan tersebut. Putri beringsut, mencoba untuk duduk agar bisa leluasa melihat keadaan ruangan tersebut. Ingin melihat apa Nando masih bersamanya atau tidak. Putri ingat, sebelum dia tertidur, hanya ada Nando yang setia menemaninya. Seseorang tampak tidur di sofa yang berada tepat di hadapan Putri. Dia memicingkan mata, seluit seorang perempuan yang dia sangat kenali sedang tidur. Putri tersenyum. Tak berniat membangunkan ibunya, Putri meraih sebotol air mineral yang terletak di nakas. Setelah menghabiskan setengah botol air yang berukuran 500 ml tersebut, Putri kembali membaringkan tubuhnya. Lalu mengangkat tangan kirinya, menekuk kemudian meluruskannya kembali sebanyak tiga kali. Merasa tangannya sudah sembuh, Putri meletakkan tangannya ke perut. Lalu Putri mencoba mengerakkan kaki kirinya. Menekuknya dan terasa sedikit nyeri, terlebih di bagian lutut. Tepat di pergelangan kaki bagian luar juga terasa perih, meski tak seperih saat dibersihkan sore tadi. Putri memejamkan mata, mencoba untuk tidur kembali. Tapi terasa sangat sulit karena bayangan Nando hadir begitu saja. Sebuah senyum terbit di bibir Putri, senyum malu-malu. Dia tersipu mengingat bagaimana perlakuan Nando terhadapnya. Nando yang dengan sangat cetakan membawanya ke rumah sakit, menemaninya selama di rumah sakit. Bahkan Nando menyuapi Putri karena tangan kanan Putri dipasang infus sementara tangan kirinya masih agak sakit akibat terkilir. Tak sampai disitu, Nando juga berhasil menenangkan Siti. Siapa sangka, ternyata ibu Putri sempat pingsan di rumah akibat mendengar berita kecelakaan Putri. Lina yang kebingungan langsung menelpon Nando. Nando pun meminta Lina untuk mengusapkan minyak kayu putih di hidung Siti agar perempuan itu bangun. Tak sampai disitu, drama baru kembali terjadi ketika Siti menangis sembari bertanya kepada Lina. Bukannya menjawab, Lina malah menangis lebih kencang, membuat Situ semakin terpukul. Beruntung sambungan telepon belum terputus, Nando meminta kedua perempuan itu tenang. Nando pun menjelaskan bahwa kondisi Putri baik-baik saja. Hasil CT Scan membuktikan bahwa tak ada tulang yang patah, hanya cedera ringan di pergelangan kaki dan lutut serta tangan. Putri yang saat itu mendengar percakapan mereka lantas terkekeh pelan. Dia tau ibu dan juga sahabatnya sangat khawatir kepadanya. Putri mulai bersuara agar mereka tak lagi khawatir. “Aku baik-baik aja kok,” ucap Putri melalui sambungan telepon yang di-loudspeaker. “Besok pagi atau ndak siang sudah boleh pulang kok, Cuma lecet-lecet doang. Ini sebentar aku mau makan baru minum obat biar nyerinya hilang,” jelas Putri. Nando yang memegang ponsel tersebut ikut menjelaskan pula. “Tenang, aku bakal jaga disini sampai kalian datang. Tadi Supri sama Adi sudah balik setelah Putri dibawa ke ruang perawatan.” “Tante sama Lina perbaiki dulu perasaannya ya? Kalau sudah merasa tenang, baru kesini. Oke?” Nando dan Putri menunggu jawaban dari seberang sana tapi yang terlebih dahulu terdengar hanya helaan napas yang cukup panjang. “Mak?” Masih hening. “Iya Sayang, nanti mamak kesana sama Lina. Baik-baik disana ya?” ucap Siti. “Mama siap-siap dulu. Assalamu’alaikum.” Nando dan Putri menjawab salam tersebut. Lalu sambungan telepon terputus. Kemudian Nando memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. “Makan dulu ya Put, baru istirahat,” ujar Nando lalu meraih piring rumah sakit yang berbentuk persegi panjang dengan ukuran 25cm x 21cm dan memiliki enam kompartemen. “Kau bisa makan sendiri kan?” Putri mengangguk lalu mengulurkan tangan kanannya. Tangan yang terpasang infus itu, terlihat kesusahan meraih piring karena stand infus berdiri tepat di sisi atas ranjang. Nando dengan cekatan berdiri lalu mengangkat air infus yang terpasang. “Hm, atau aku suap aja, gimana?” tawar Nando. “Entar jarum infusnya malah bergeser kalau kau banyak gerak.” Putri terdiam sejenak. Terlihat sedang berpikir, menerima atau menolak tawaran Nando. Lalu dengan sedikit canggung, Putri mengangguk pelan. Senyum di bibir Nando seketika terbit. Dia menggeser kursi yang dia duduki agar lebih dekat dengan Putri. Kemudian mulai memegang sendok dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang piring. “Mau makan yang mana dulu?” tanya Nando lagi. Putri melihat piring di hadapannya. Ada nasi, sayur capcay, ayam goreng tepung, tempe, sepotong buah semangka serta segelas air mineral. “Sembarang aja lah,” jawab Putri kemudian. “Aku pemakan segalanya. Hehe.” Nando tergelak. Dengan senyum yang masih mengembang, dia memotong ayam lalu menambahkan sedikit capcay serta nasi. Kemudian mengangkat tangannya, mendekati mulut Putri. “Aaaaaa,” ucap Nando sembari membuka mulut. Putri juga membuka mulut lalu Nando memasukkan sendok tersebut ke dalam mulut Putri. Nando memperhatikan Putri yang sedang mengunyah makanannya dengan perlahan. “Enak?” tanya Nando. Putri mengangguk sembari terus mengunyah. Ketika Putri tak terlihat mengunyah, Nando kembali memasukkan sejumlah makanan lagi ke mulut Putri. Mereka terlihat menikmati peran sebagai pasien dan perawatnya. Bahkan Putri tak segan meminta ayam goreng untuk sekali suapan. Nando tersenyum geli dengan permintaan Putri. “Ayamnya enak?” Putir sekali lagi mengangguk. “Lumayan, mungkin karena lapar jadi semua terasa enak,” ucap Putri dengan susah payah karena mulutnya penuh dengan makanan. Setelah merasa cukup kenyang, meminta Nando untuk berhenti menyuapinya. “Makan obat dulu ya?” Putri mengangguk. Nando kemudian meletakkan piring tersebut ke atas nakas. Lalu meraih obat yang terletak tak jauh dari piring kotor tersebut. Dengan pelan membaca petunjuk yang terdapat di plastik obat tersebut. Lalu mengeluarkan setiap jenis obat yang ada. “Mau diminum langsung tiga atau satu-satu dulu?” Putri mengulurkan tangan, ingin meraih obat tersebut. Nando lalu meraih air infus yang dia gantung sebelumnya agar Putri leluasa untuk minum. “Biar aku aja.” Putri lalu memasukkan ketiga obat tersebut sekaligus kemudian meneguk setengah botol air mineral. Nando takjub dengan cara Putri minum obat. Sepertinya Putri sudah terbiasa minm obat sebanyak itu sebelumnya. Merasa penasaran, Nando bertanya pada Putri. Tapi Putri malah memberi jawaban yang diluar dugaan Nando. “Aku kan pemakan segalanya. Obat doang mah, kecil. Hehe.” Nando menggelengkan kepala ke kiri lalu ke kanan kemudian ke kiri. “Candaanmu Put, ndak jauh-jauh dari makanan rupanya. Hehe.” Putri terkekeh. “Ya sudah, kau istirahatlah,” ucap Nando. “Aku duduk disitu ya? Kalau butuh apa-apa, panggil aja aku,” ucap Nando lagi kemudian menunjuk sofa yang berada di depan mereka. Putri tersenyum. “Iya Do, makasih ya. Makasih banyak.” “Santai Put, itulah gunanya teman.” Teman? Putri tersenyum pahit mendengar satu kata itu. Lalu dia mulai memejamkan mata, berharap bisa tidur secepatnya. Benar saja, efek obat telah bekerja dan berhasil membuat dia tidur lelap lima menit kemudian. Dan, kini dia terbangun di tengah malam. Entah bagaimana cara agar dia bisa tertidur dengan cepat ketika pikirannya masih terfokus dengan Nando. Cukup lama Putri bermain-main dengan pikirannya hingga dia hanyut ke dalam mimpi. *** Pagi sekali sekitar pukul tujuh Nando telah berada di dalam mobil. Mengecek wajahnya melalui spion mobil lalu melajukan mobil tersebut. Begitu tiba di sebuah warung yang terlihat rame oleh pengunjung, Nando berhenti di depan warung tersebut. Turun dari mobil lalu memesan enam bungkus nasi kuning. Enam bungkus nasi tersebut untuk empat sahabatnya, ibu Putri dan untuk dirinya sendiri. Sebelumnya dia telah menghubungi teman-temannya tersebut. Mereka sepakat untuk datang menjenguk Putri pagi itu sembari sarapan bersama. Meski awalnya teman-teman Nando ragu karena mereka tau jam besuk belum dimulai. Tapi Nando meyakinkan mereka bahwa Putri dirawat di ruang VIP sehingga bebas untuk dijenguk kapan pun. Setelah nasi kuning pesanannya siap, Nando bergegas menuju rumah sakit. Begitu tiba di rumah sakit, Nando terlebih dahulu menuju ruang administrasi untuk membayar biaya rumah sakit Putri yang rencananya akan keluar siang itu. Lalu dengan santai dia menuju Bangsal Mawar, dimana ruangan tempat Putri menginap berada di bangsal tersebut. Bertegur sapa dengan satpam sejenak, Nando lalu masuk ke dalam. Begitu masuk ke dalam ruangan, dia kaget karena baik Lina, Supri maupun Adi telah lebih dulu tiba. “Daritadi?” tanya Nando lalu meletakkan barang bawaannya ke atas meja. Lalu mengambil berjalan menuju nakas untuk mengambil air mineral yang telah dia beli kemarin. “Baru aja sih,” jawab Supri. “Aku kira kau yang bakal duluan sampai sini. Tadi janjiannya jam tujuh berangkat dari rumah kan?” “Iya, aku juga dari rumah jam tujuh loh,” tambah Adi pula. “Aku kan beli nasi kuning dulu. Lama antrinya bah,” ucap Nando lalu mengedarkan pandangan. “Loh Put, mamakmu mana?” Putri yang sedang berbicara dengan Lina di tempat tidur sontak melihat ke arah Nando. “Mamakku pergi ke ATM bentar.” “Oooh,” ucap Nando. “Jadi pulang kan nanti siang? Kalau iya, dari kampus aku langsung kesini jemput kalian.” Nando sengaja membawa mobil agar bisa mengantar Putri serta ibunya pulang ke rumah. Namun satu hal yang dia tidak tau bahwa rumah Putri jauh di dalam gang. “Kalian bertiga mau ikut antar Putri pulang?” tanya Lina. “Iya dong Lin, kita kan sahabat sejati. Hehe,” ucap Supri lalu menaik turunkan alisnya. Mereka tertawa. Lalu terdengar suara ketukan di pintu. ternyata Siti baru saja tiba. Wanita tersebut langsung berjalan ke arah Nando, membuat Putri dan Lina mengerutkan dahi. “Ini yang anaknya aku atau Nando sih? Kok yang dihampiri malah Nando,” pikir Putri. “Tante mau bilang makasih lagi ke Nando? Kukira kemarin sudahya dia bilang makasih,” ucap Lina pula dalam hati. Sementara Supri dan Adi saling mengerling ke arah Nando dan Siti. “Kamu sudah bayarin biaya rumah sakit Putri?” Nando mengangguk lalu tersenyum. “Iya tante.” Siti mendengus. “Astaga Nak, kenapa dibayar? Tante sudah sangat berterima kasih kalian sudah sangat peduli dengan Putri dan bawa dia ke rumah sakit. Kenapa pake dibayarin lagi? Berapa? Sini tante ganti.” Nando menggeleng. “Gak usah, Tante. Ndak banyak kok. Toh Cuma semalam aja dirawatnya.” “Tapi, Nak.” Nando menggengam tangan Siti. “Aku senang diberi kesempatan untuk membantu orang lain. Tolong jangan membuat niat baikku jadi sia-sia ya, Tante.” Nando tersenyum menatap mata Siti. Siti benar-benar kagum melihat cara Nando bersikap. Dia tau, tak akan ada gunanya berdebat dengan seseorang seperti Nando. Dengan berat hati, dia menerima semuanya. “Suka makan brownis?” tanya Siti kemudian. “Suka dong,” jawab Nando cepat. “Aku pemakan segalanya kayak Putri.” Putri yang mendengar hal tersebut sontak tersenyum. “Oke, nanti tante bayar pakai brownis buatan tante dan Putri.” “Oke, deal.” Sekali lagi Nando meraih tangan Siti untuk bersalaman. “Ayo sarapan dulu, Tante,” ajak Nando. Putri dan Siti makan bersama di ranjang. Sementara Nando, Lina, Supri dan Adi menghabiskan sarapannya di sofa. Mereka sarapan sembari berbincang-bincang terkait kecelakaan Putri kemarin. Hingga didapat kesimpulan kalau memang ada orang yang telah merusak rem motor Putri dan kemungkinan besar orang yang menyerempet Putri kemarin memang sengaja melakukannya. Dan mereka yakin, orang yang menyerempet tersebut adalah orang yang sama dengan perusak rem motor Putri. Tiga puluh menit sebelum kuliah dimulai, mereka berempat ke kampus menggunakan mobil Nando. Begitu tiba di parkiran, mereka melihat mobil yang mirip dengan mobil yang menyerempet Putri. Supri lalu turun dan melihat nomor polisi mobil tersebut. Dan ternyata...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN