Rasanya baru sebentar Nando memejamkan mata tapi tiba-tiba dia merasa merinding. Bukan karena ada makhluk astral di dekatnya, bukan juga karena hawa dingin yang berasal dari pantai. Jaket yang dia pakai sudah cukup untuk menghangatkan tubuhnya. Tapi karena dia ingin sekali buang air kecil.
Nando melihat jam yang menempel di tangannya. Jarum panjang berada di angka sembilan dan jarum pendeknya hampir mencapai angka tiga. Benar saja, baru empat puluh menit lalu dia membaringkan tubuhnya.
Nando duduk dengan bertopangkan tangan sementara kakinya dibiarkan terulur. Memiringkan kepala ke kanan dan kekiri, Nando meregangkan lehernya yang terasa kaku karena berbantalkan tas. Merasa hajatnya sudah semakin ingin keluar, Nando lalu beranjak.
Berjalan perlahan agar tak membangunkan orang-orang yang sedang istirahat. Nando menuju masjid yang memiliki warna dasar putih. Masjid itu terlihat sangat sepi. Untung saja, penerangan di tempat tersebut sangat bagus.
Saat melangkahkan kaki di masjid. Nando merasa mendengar suara seorang wanita yang dia kenal. Tapi Nando mengabaikannya karena sudah sangat kebelet. Awalnya dia berjalan cukup cepat lalu memilih berlari. Betapa kagetnya Nando saat berada di dekat kamar mandi. Seseorang terlihat tampak berdiri sembari menutup mata.
Sekilas, Nando tau bahwa orang tersebut adalah mahasiswa baru, sama sepertinya. Tanpa membuang waktu untuk bertegur sapa, dia menuju kamar mandi yang berada di sebelah gadis tersebut. Setelah menuntaskan hajatnya, Nando mencuci tangan.
Saat mencucui tangan, dia mendengar suara seseorang yang sangat dia kenali tengah berbicara. Nando membuka pintu kamar mandi. Mengeluarkan kepala sementara tangannya berpegangan pada daun pintu.
“Putri?”
Putri dan Lina menoleh ke sumber suara. Putri lalu tertawa pelan. Sedangkan Lina dengan wajah merah padam berjalan cepat ke arah Nando. Tana aba-aba Lina mencubit perut Nando, membuat si pemilik perut menjerit kesakitan.
Nando yang tidak tau kesalahan apa yang telah dia perbuat, mengerling ke arah Putri tapi Putri hanya tersenyum. Lalu Lina kembali mencubit perut Nando.
“Astaga Lin, apa salahku sampai dicubit gini?” tanya Nando seraya mengusap perutnya yang terasa perih. “Satu kali lagi kau cubit aku, kukasih kau piring cantik.”
Lina mencibir lalu berbalik. Dengan langkah santai dan kepala yang agak dicondongkan ke atas, Lina berjalan ke arah Putri.lalu mengajak Putri meninggalkan tempat tersebut.
“Yuk, Put!”
Putri yang masih tersenyum geli, menundukkan sedikit pundak dan kepala. Lalu menegur Nando yang sedang melongo dengan dahi berkerut.
“Duluan, Do,” ucap Putri.
Nando mempercepat langkahnya, menyusul Putri dan Lina. Dia bahkan berteriak memanggil nama Putri dan juga Lina. Tapi kedua gadis tersebut tak berhenti. Mereka berdua malah semakin mempercepat langkahnya. Mustahil mereka tidak mendengar suara Nando.
Nando yang penasaran dengan apa yang terjadi, memilih untuk berlari agar bisa menyusl mereka. Setelah melewati Putri dan Lina, lelaki tersebut berbalik. Kemudian merentangkan tangannya, bermaksud untuk mencegah kedua gadis itu berjalan lagi.
“Apa sih, Do,” hardik Lina.
Dahi Nando semakin berkerut. “Aku salah apa, Lin?”
Lina hanya diam. Putri berinisiatif untuk menjelaskan apa yang terjadi. Setelah menjelaskan semuanya, Nando tertawa terbahak-bahak. Membuat Lina semakin kesal.
Lina menunduk, meraih kayu kecil lalu melemparnya ke arah Nando. “Ketawa kau, Do. Ketawa.” Lina lalu melanjutkan langkahnya, meninggalkan Putri dan Nando.
“Duluan ya?”ujar Putri lalu berlari menyusul Lina.
Nando juga berjalan menyusul mereka berdua. Tapi tentu tak menyusul hingga ke tenda. Putri dan Lina lebih dahulu tiba di tenda yang dipenuhi kaum hawa. Nando masih harus melewati satu tenda lagi, baru lah dia tiba di tenda tempatnya beristirahat beberapa waktu lalu.
Nando merebahkan badan. Lalu memiringkan badannya ke samping kanan. Dia tersenyum mengingat kejadian yang mereka alami di masjid tadi. Bukan hanya ketakutan Lina yang membuatnya tersenyum. Tapi senyum manis Putri yang lebih membuatnya bahagia.
“Kenapa senyummu bisa semanis itu sih, Put,” ujar Nando dalam hati.
Sedangkan Putri sedang berbaring sembari tersenyum geli melihat Lina yang masih memasang tampang kesal. Ingin rasanya Putri tertawa tapi tak dia lakukan karena tak ingin mengganggu istirahat orang-orang di dekatnya.
“Sudah, Lin. Tidur yuk?!” ajak Putri sembari mengusap-usap lengan Lina. “Besok kita musti bangun pagi-pagi lagi loh.”
Lina yang masih kesal, memilih untuk memejamkan mata dan tidak membalas perkataan Putri. Tak lama, mereka tertidur juga. Lina yang tidur dalam kondisi hati yang buruk dan Putri dalam kondisi hati yang bahagia. Bukan bahagia karena melihat Lina kesal, tapi karena mengingat tawa Nando tadi.
“Kau segitu mempesonanya, Do.”
***
Matahari belum muncul, tapi semua peserta dibangunkan. Mereka dikumpulkan di tepi pantai. Setelah berolahraga ringan, sekedar pemanasan. Mereka harus menjalani aktivitas fisik yang tidak sedikit. Berlari kencang di air yang setinggi lutut, merayap hingga dua puluh meter, hingga melaukan push up serta sit up.
Kegiatan yang menghabiskan banyak tenaga tersebut, berlangsung selama tiga jam. Membuat para perempuan sangat lelah, bahkan sampai pingsan. Tapi tidak dengan Putri dan Lina, meski sangat lelah, mereka tak sampai pingsan.
Panitia memberi waktu selama dua jam untuk sarapan dan mandi karena akan ada satu materi lagi sebelum mereka bersiap untuk pulang. Putri dan Lina memutuskan untuk mandi terlebih dahulu baru menyantap sarapan yang disediakan oleh panitia.
Pagi itu mereka menikmati mie goreng dan ayam goreng tepung, lengkap dengan sambal tomat. Menu yang ciocok untuk menggantikan tenaga yang telah terkuras. Ketika Putri dan Lina sedang sarapan, Nando, Supri dan Adi turut bergabung bersama mereka.
Ketiga anak manusia tersebut tak hanya membawa masing-masing satu bungkus sarapan. Tapi sebuah plastik hitam yang berisi beberapa roti dan coklat. Lina dan Putri menggelengkan kepala saat melihat Supri menghamburkan makanan tersebut di tikar bermotif kartun yang mereka duduki.
“Lapar om?” hardik Lina.
Supri menyisihkan ayam yang telah dia gigit. “Banget, Lin. Ini asli kayak camp tentara. Untung aku ini biasa kerja pas di kampung.”
Supri yang merupakan anak seorang pemilik kebun kelapa sawit, sudah terbiasa membantu ayahnya mengangkat hasil panen. Terlebih dia merupakan satu-satu anak lelaki di keluarganya, kedua adiknya adalah perempuan. Dia dan kedua adiknya, sesilih masing-masing dua tahun.
“Aku mau pingsan rasanya, Dor,” ujar Adi. “Coba dikasih makan kah dulu baru disuruh begitu. Apalagi semalam kita begadang sampe jam dua lewat kan? Aslii, pening kepalaku.”
Adi yang sedang makan terburu-buru, ikut menyampaikan pendapatnya. Lalu melanjutkan kembali makannya, tanpa menunggu tanggapan teman-temannya.
Nando tertawa lalu merangkul leher Adi dengan tangan kirinya. “Ikut aku nanti menanggul di tambak biar fisikmu kuat, Di.”
“Kau punya tambak juga, Do?” tanya Lina.
Nando mengunyah makanannya sembari mengangguk.
“Oooh, kukira bapakmu kerjanya kontraktor atau apa gitu,” ucap Lina. “Sama dong kayak Putri, ada tambaknya juga.”
Nando lalu melirik ke arah Putri yang sedang fokus dengan makanan di hadapannya. “Bener, Put?”
Menyisihkan paha ayam yang sedang dia genggam, Putri menatap Nando sembari tersenyum. Dia mengangguk.
“Wah, kalian berdua punya tambak? Boleh lah lempar udang atau ikan kalau panen, hehe.” Adi terkekeh.
Supri yang tak mau kalah juga ikut menanggapi pembicaraan mereka. “Aku lah yang wajib kalian kasih. Anak kost ini, biar ikan kering pun kuterima dengan senang hati bah.”
Mereka tertawa. Lalu Nando yang ingin mengenali Putri lebih dalam, bertanya mengenai tambak Putri. Dari lokasi, luas, hingga hasil panen juga dia tanyakan.
Untuk lokasi dan luas, Putri tentu saja tau karena dia sudah sering pergi bersama ibunya. Tapi untuk hasil panen, Putri tak begitu tau karena Putri bertugas menyiapkan konsumsi untuk pekerja, ketimbang ikut membantu ibu dan pekerja lainnya panen.
“Serius kau sering ke tambak, Put?” tanya Nando lagi.
Putri meneguk air putih miliknya hingga tandas. “Hm, ndak juga sering sih. Tapi biasanya kalau panen aku ikut. Lina juga kadang ikut sama aku. Iyakan, Lin?”
Lina yang juga telah menghabiskan sarapannya, mengangguk cepat. Lalu meraih coklat yang ada di depannya. Membuka bungkus luarnya, hingga bungkus berwarna keemasan terlihat. Kemudian memotong isinya lalu memasukkan ke dalam mulut.
“Kapan-kapan kita pergi panen berlima yuk?!” ajak Nando kemudian.
Supri dan Adi sangat antusias dengan rencana Nando. Mereka ingin melihat proses panen secara langsung. Bukan hanya itu, membayangkan bisa makan udang segar dan menikmati ikan segar yang dibakar, tentu saja membuat mereka semakin bersemangat.
“Pokoknya kabari Do, kalau kau panen,” ucap Supri.”
“Iya Do, kami tunggu,” tambah Adi pula.
“Iya iya, pasti kukasih tau,” jawab Nando. “Kalian ndak berminat untuk ikut juga?” Nando melihat ke arah Putri dan Lina, menunggu jawaban dari mereka.
“Aku sih tergantung Putri,” ucap Lina. “Kalau dia mau, aku juga mau.”
Putri tersenyum. Tapi bukan berarti dia setuju. Tentu sangat tidak nyaman jika harus bepergian ke tempat yang jauh bersama orang lain selain ibunya. Hal yang tak pernah dia lakukan sebelumnya. Selama ini dia banyak menghabiskan waktu di rumah. Jalan jika tidak dengan ibunya, yah dengan Lina. Ke tambak pun, pasti bersama ibunya.
“Ndak janji bisa sih karena aku musti ijin ke mamakku dulu,” ucap Putri.
“Kalau panennya di tambakmu, kami boleh ikut?” tanya Nando kemudian.
“Hm, nanti aku tanya mamakku ya. Oke?”
“Anak mamak memang kau, Put.”
Putri terkekeh.
“Iyalah Do, masak anak tetangga. Hahaha,” ujar Lina lalu tertawa.
***
Bungsu memeluk Nando lalu berbicara tepat di telinga Nando. “Aku tunggu kabar baik dari kau ya, Do,” ujarnya lalu melepasan pelukan itu.
Nando tersenyum. “Iya Bang, secepatnya aku kabari,” ucapnya lalu berjalan menuju keempat sahabatnya yang telah menunggunya tak jauh dari situ.
“Ini beneran boleh pulangkan, Do?” tanya Supri ketika Nando bergabung bersama mereka.
“Iyalah, kan sudah penutupan tadi,” jawab Nando.”Balik yuk, Dor!”
Nando mulai berjalan, diikuti oleh keempat sahabatnya. Mereka berjalan menuju tempat mereka memarkirkan motor. Nando, Putri dan Lina membawa motor masing-masing. Sedangkan Supri dan Adi berboncengan.
Putri dan Lina tidak berboncengan karena teman-teman sekelompok Lina berkumpul dahulu di rumah ketua kelompoknya, baru kemudian menuju kampus bersama-sama. Sementara kelompok Putri yang diketuai oleh Nando, langsung berangkat dari rumah masing-masing menuju kampus.
Mereka mengendarai motor berdampingan, terkadang para lelaki yang berada di depan, kadang pula para gadis yang memimpin. Satu hal yang tidak mereka sadari dari awal adalah semalam ada seseorang yang telah merusak motor Putri dengan cara menggunting kabel rem motornya.
Putri yang telah menyadari rem motornya tidak berfungsi, kebingungan harus bagaimana. Tapi dia bisa mengakali dengan memainkan gas motor, mengatur kecepatannya ketika menuruni bukit. Tapi ada hal yang tidak Putri sadari sejak awal hingga dia berhasil menuruni bukit yang cukup tinggi tersebut, bukit yang biasa disebut Gunung Amal.
Ada sebuah mobil mendekati Putri. Seseorang yang berada di mobil tersebut terlihat jelas sengaja menyerempet motor Putri. Lalu, braaaaaak.