My First Salary

2142 Kata
Sam berdiskusi dengan Adrian mengenai sesuatu yang tampaknya krusial. Hawa pagi itu berubah jadi sangat serius karena topik pembicaraan keduanya. “Jadi, Pak. Penyanyi dari agensi sebelah kemarin ngajak aku kolaborasi, nah kebetulan saat dia main ke studio aku ngasih denger dia lagunya Ravenna” “Nah terus gimana? Penyanyi yang temenmu itu? Gimana tanggapannya?” Adrian menanggapi dengan penuh pertanyaan dan rasa penasaran hingga tanpa sadar Ia memajukan sedikit posisi duduknya ke ujung sofa dan menumpukan kedua tangannya di paha. “Saya bilang kalau lagu itu sebenarnya belum selesai 100% karena masih ada bagian yang perlu perbaikan, dan Ravenna juga bilang masih belum puas sama composing lagu itu. Jadi saya bilang belum bisa kasih lagu itu buat promosinya kali ini” jawab Sam panjang lebar. “Menurut saya lagu itu cukup bagus, dan takutnya kalau diubah di banyak bagian malah menghilangkan khas Ravenna. Saya tau di lagu itu ada andil kamu juga di dalam, tapi sebaiknya untuk saat ini biar khas Ravenna saja dulu yang dikeluarkan. Agar orang lebih mengenal dan juga jadi motivasi untuk Ravenna sendiri dalam memproduksi lagu ke depannya” Adrian menjawab panjang lebar juga tidak mau kalah. Sebenarnya topik serius yang dibicarakan saat ini bukan topik yang negatif melainkan sesuatu yang benar-benar berupa kabar bahagia bagi Ravenna. Sam menampakkan senyum mengembang di wajahnya. “Berarti oke nih, Pak?” “Ya, menurut saya udah layak rilis juga lagunya. Apalagi sudah kamu koreksi semua sudah ditambah perubahan yang mempertahankan khasnya ya makin oke menurut saya” respon Adrian mengizinkan untuk melanjutkan kolaborasi antara penyanyi yang dimaksud. “Baik, Pak. Entar saya kabari Ravenna. Oh iya, Pak. Sebenarnya El dari lama udah pengen kolab sama penyanyi itu, tapi belum saya pastiin lagi gimana sama El” “El? Prioritasin Ravenna dulu, ntar kalo satu lagu udah keluar kan jadi lebih mudah buat Ravenna” “Baiklah, Pak” . “Kak, lampu yang biru atau kekuningan gini ya yang bagus?” tanyaku sambil menunjukkan dua buah lampu yang bisa diletakkan di meja kerjanya nanti. “Bagusan yang biru sih menurut aku, bisa nambah suasana sendu dan bikin fokus kayaknya” “Pas banget sebenarnya aku juga pengen yang biru hahah” Galang menunjukkan ekspresi jengah. “Jadi kenapa nanya aku lagi huu” “Ya biar memastikan aja pilihanku gak salah, Kak” Aku saat ini sedang berbelanja keperluan untuk mendesain studio. Kebetulan sudah dua bulan studioku masih kosong dan bahkan belum ada perlengkapan di dalamnya. Galang kok bisa bersamaku? Ya tentu karena Ia managerku, jadi Galang menemaniku seharian berkeliling mall untuk mencari barang-barang yang dibutuhkan. Sebenarnya ini sudah dua jam sejak awal kami mencari dan berkeliling di mall, tapi tidak sedikitpun lelah kurasakan, berbeda dengan Galang. “Ra, kalo belum selesai mending kita balik aja deh. Besok kita lanjut lagi nyarinya” pinta Galang pelan. Aku yang dengan semangat mencari kesana kemari langsung berhenti sejenak mendengar keluhan managerku. “Kamu udah capek ya, Kak? Yaudah tunggu bentar deh ini aku bawa ke kasir dulu. Habis ini kita beli americano ya, oke?” Sang manager yang diiming-imingi americano pun tampak tidak menolak dan juga tidak menerima. “Bills on me” tambahku sambil mengedipkan sebelah mata. Yang diberi kedipan sebelah mata hanya tersenyum dengan terpaksa. “Yuk kita duduk di coffeeshop yang itu” Aku menarik lengan Galang untuk bangkit dari duduknya dan segera berjalan. “Sini aku bawain” Galang menawarkan bantuannya untuk membawa barang belanjaan. “Caramel Macchiato satu sama Iced Americano double ya, Mbak” “Ra, ada french fries ga?” pinta Galang dari tempat duduk kepadaku yang masih mengorder. “Mbak french fries dua ya, sama red velvet satu” tambahku ke penjaga kasir. “Kak, habis ini kita langsung pulang dong? Udah sore banget soalnya” ucapku ke Galang yang sedari tadi duduk di tempat yang Ia pilih. “Iya, tapi kita bawa barang-barangnya ke studio dulu deh biar besok gak ribet bawa-bawanya” jawab Galang. “Loh, kak Sam nelfon aku tadi. Tapi gak aku angkat ga denger soalnya. Ada apa ya, Kak?” Aku mengotak-atik smartphoneku untuk mencari tahu alasan Sam menelefon. “Loh ada apa, mungkin ada keperluan sama kamu” “Kamu gak ditelfon, Kak?” “Engga, coba telfon aja lagi, Ra” . . Perjalanan yang kulalui dengan peluh dan air mata akhirnya memberikanku senyum bahagia. Selama ini aku tersenyum namun tidak diiringi kepuasan. Semenjak kelulusanku rasanya seperti aku belum menunjukkan proses yang berarti. Entah diriku yang memang tidak mudah merasa puas atau memang sebenarnya aku belum menemukan pencapaianku sendiri. Saat ini, di hari ini, tepat setelah kurang lebih dua bulan aku bergabung dengan agensi, aku menciptakan pencapaianku sendiri. “Yang bagian “deeper” nya coba ditekenin lagi supaya ada kesan yang bener-bener deep gitu” kataku dari ruangan studio recording ke penyanyi di dalam ruangan. “Ah oke” jawabnya singkat. Hari ini aku dipercaya memimpin jalannya rekaman sebuah lagu yang ku ciptakan lima bulan lalu dan sudah diaransemen oleh Sam. Gugup yang ku rasakan bukan main hebatnya bahkan hingga aku tidak mampu mendengar suara lain selain suara si penyanyi saking fokusnya. Pada kegiatan kali ini aku tidak ingin gagal karena ini merupakan hari pertamaku sebagai produser yang membantu seorang penyanyi yang cukup terkenal melakukan rekaman untuk promosi lagu ini. Sepertinya setelah ini aku akan dicap sebagai produser galak karena tidak ada basa-basi sejak dimulainya kegiatan ini. Aku benar-benar gugup hingga tidak mampu tertawa. Disini aku ditemani Sam dan dibantu juga dengan salah satu staff agensi. “Sip, udah bagus keseluruhannya. Sekarang dipandu Kak Sam, ya” Akhirnya sesi rekaman yang kupandu sudah selesai. Bagian-bagian yang ku tanggung jawabi sudah selesai direkam dengan baik. “Oke. Thanks, Ra” jawab si penyanyi muda yang memiliki rambut pendek curly dan terlihat sangat seksi saat sesi rekaman hari ini. “You did great!” bisik Galang saat aku keluar dari studio berusaha untuk mendapat udara segar. Sebenarnya udara di studio ini cukup segar karena ada difusser tapi sepertinya gugup ini sudah memblokir pergantian oksigen di alveolusku. “Thanks, Bro!” jawabku pelan sambil memeluknya singkat. Galang benar merupakan tipe seorang kakak yang penuh apresiasi ke adiknya. Selama dua bulan ini sepertinya Ia selalu mendukung setiap keputusanku. Di balkon lantai tiga gedung agensi ini aku berusaha menenangkan rasa gugupku. Ingin menangis karena terharu yang ku rasakan di siang hari ini. Menjadi produser sebenarnya bukan goal yang ku tetapkan dalam hidupku, tapi kurasa Tuhan ingin menguji dan memberi anugerah kebahagiaan kepadaku melalui profesi dan kesibukan ini. Saat itu juga tiba-tiba datang seorang pria ke tempatku berdiri menetralkan perasaan yang sendu ini. “Hi, Ravenna. what u doin here?” Dipanggil dengan namaku sepenuhnya membuat tubuhku merespon salah tingkah. “Hi, Christopher. Just chillin” jawabku singkat juga dengan menyebut nama depan si pria itu. “You look kinda nervous. What’s goin on?” “Aah do i look nervous? I mean, still?” “Uhm, yeah kinda” tanyanya dengan tatapan dalam kepadaku. Dapat kulihat pupil matanya menelisik masuk ke dalam pandanganku. Kenapa suasananya begitu intens saat ini? “That “uhm” tho” gumamku dalam hati. Ku alihkan pandanganku dari netra Chris. “Ehm ... aku baru selesai rekaman jadi agak nerveous dan, you know how that feels, don’t you?” “I do. Semuanya berjalan lancar ‘kan? Wajar kamu nervous di rekaman pertamamu. Walaupun bukan kamu yang nyanyiin tapi ya karena itu lagu ciptaanmu jadi wajar kalau kamu ngerasa sedikit khawatir” jelasnya dengan suara yang seakan membiusku. Benar-benar lembut. “How do you know aku ngerasa khawatir? Aku kayanya cuma ngomong nervous?” tanyaku heran apakah Chris bisa membaca fikiranku. Tapi sejujurnya perasaan khawatir yang dimaksud benar-benar mendominasi pikiranku saat ini. “Aku juga pernah ada di posisi kamu, Ravenna” jawabnya singkat. “Ahaha iya ya aku lupa” “Khawatir yang saat ini ada di pikiran kamu pasti tentang gimana lagu mu bisa ngasih impact ke penyanyinya dan ke pendengar juga, bener kan?” jawabnya kali ini dengan menatap kosong langit di atas kami berdua. Tatapannya kosong menatap udara. “Yes. Aku takut kalau ternyata lagu ini gak cukup bikin fans nya puas atau bahkan gak punya impact buat siapapun” “That’s why you look hella nervous, Ravenna” jawabnya sambil melihat ke arahku. “Eum iya sih” Chris menatapku lekat, bahkan Ia mengubah posisinya yang sebelumnya bersandar pada balkon dan menatap ke depan, kali ini Ia melihat ke samping kanan tepat dimana aku berdiri. “The more negative you thinks, the more negative things will happen at you. So ya nervous gak apa-apa kok, tapi ingat untuk gak berfikiran negatif dalam hal apapun apalagi hal baru seperti ini. You did great, Ravenna” “Eum thanks, Chris” jawabku singkat. Sengaja kuberikan jawaban singkat karena saat ini aku tidak mampu berbicara. Mataku panas seakan ingin menangis terharu. Selama kurang lebih dua menit aku dan Chris berbicara di balkon, Galang datang dan memintaku untuk ke studio. Saat di studio ku lihat Adrian sudah duduk di sofa sambil tersenyum yang dapat ku artikan bahwa senyuman itu mengandung kebahagiaan. “Sore, Pak” ucapku kepada Adrian sambil memberikan senyuman kepadanya. Tiba-tiba saja Adrian bertepuk tangan dan berdiri sambil membuka kedua tangannya memberi tanda untuk menerima pelukan hangatnya. Dengan tatapan sedikit bingung aku pun membalas pelukan pria itu. “Saya bangga sama kamu, Ra” katanya pelan dan melepas pelukan hangat yang ternyata perwujudan dari rasa bangganya kepadaku. “Terimakasih, Pak” jawabku sambil menundukkan kepalaku sedikit saja hanya 30 derajat. Pertemuan singkat yang mendadak itupun berakhir setelah Adrian menyampaikan rasa bangganya kepadaku. Ternyata, Adrian selalu melakukan itu tiap kali produser baru menyelesaikan target pada masa pelatihan. Hari ini aku pulang lebih awal. Setelah satu bulan lebih ku habiskan seharian di agensi untuk mengoreksi laguku dan juga mulai menciptakan lagu-lagu baru, kali ini aku pulang lebih awal. Dan hari ini aku menerima salary pertamaku dari agensi ini. Salary yang ku dapat dari lagu pertamaku dan juga pencapaian pertamaku. Nominalnya masih sedikit jika dibandingkan dengan nominal yang biasa diterima oleh produser senior, namun aku bersyukur nominal yang ku terima ini mampu mencukupi kehidupanku dalam setahun ke depan. Dan ku rasa setelah sampai ke apartemen aku akan mengirimkan beberapa untuk ibuku. Minimal cukup untuk membantu kehidupannya bersama lelakinya. . Lima tahun yang lalu, aku berada di puncak terburuk dalam hidupku. Tepat dua tahun kepergian ayahku di hari itu terjadi hal yang memberiku rasa benci akan ibuku sendiri. Aku tahu hal ini tidak pantas ku lakukan mengingat pengorbanannya selama aku hidup. Saat itu aku baru saja tiba di rumah setelah seharian di sekolah. Ku dapati pintu rumah tertutup rapat namun tidak terkunci, pintu kamar tertutup dan lampu tiap ruangan pun tidak menyala. Tiba-tiba saja ku dengar suara aneh dari kamar ibuku. Langsung otakku memproses bahwa ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini, yaitu kejahatan. Entah aku yang begitu polos atau bagaimana aku berpikiran bahwa ada maling atau penyusup masuk ke rumahku di siang hari. Khawatir tentu saja mengelilingi pikiranku. Aku takut hal buruk menimpa ibuku yang berada di rumah sendiri saat itu. Dengan cepat aku membuka pintu kamar ibuku karena sumber suara aneh itu berasal dari kamarnya. Yang ku temukan adalah seorang pria yang tidak ku kenali sedang berada di atas tubuh ibu tercintaku. Keduanya hanya ditutupi selimut yang setengahnya sudah terjuntai ke lantai. Aku hanya bisa berdiri mematung di depan pintu menyaksikan mereka sambil meneteskan air mata. Setelahnya yang ku dapat adalah decihan dari mulut ibu tercintaku, tanda Ia kesal dengan diriku yang sudah menyaksikan perbuatan buruknya. Saat itu juga aku membenci seseorang yang kuanggap malaikat sempurna tanpa celah untuk disebut cacat. Aku membenci dengan amat sangat perasaan benci, hingga hari ini. Sejak kejadian itu aku memutuskan untuk tinggal berjauhan dengan ibuku. Meskipun perasaan sedih dan khawatir akan dirinya terus menghampiriku setiap waktu saat berjauhan, tapi hal itu juga merupakan hal yang Ia minta. Seorang ibu meminta anaknya untuk tinggal jauh dari dirinya hanya karena seorang pria. Pria yang belakangan ku ketahui masih memiliki keluarga dan tentunya istri sah. Entah apa yang ada di pikiran ibuku hingga memutuskan merusak rumah tangga orang lain. Sejak itu juga hubunganku dengan ibuku hanya sebatas status. Layaknya orang berbisnis yang berhubungan hanya dengan tujuan formalitas. . “Bu, aku kirimin ibu segitu dulu ya. Nanti kalau ada rezeki lagi aku bakal kirimin lebih banyak. Doain kerjaanku lancar ya, Bu” pesanku kepada Ibuku yang kukirimkan melalui aplikasi pesan berlogo hijau. “Ya.” Balasan yang kudapat darinya. Sudah terbiasa diabaikan dan dibiarkan sendiri membuatku tidak lagi merasakan sakit hati karena sikap cuek ibuku. Terkadang aku iri melihat anak muda yang selalu bercerita dengan ibunya, yang menyampaikan masalah kepada ibunya dan meminta solusi tiap kali menemui kesusahan. Dulunya aku juga merupakan salah satu anak yang bermanja dan bergantung pada ibuku, tapi sekarang tidak lagi. Tidak peduli seberapa besar kesusahanku dalam menjalani kehidupan, tidak akan ada satu orangpun yang menguatkanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN