Namanya Amia. Yang gua tahu dia itu cewek penggemar komik yang baru-baru ini berkenalan ama gua. Anaknya ramah, dan melihat dari kesabaran dia dalam memaklumi tindakan gak sopan gua, gua yakin tu cewek punya jiwa yang tegar banget.
Tapi gua salah.
Seperti halnya remaja seusianya, Amia juga punya hati yang rapuh dan tak jarang menangis setelah mendapat perlakuan tak menyenangkan.
Orang-orang kadang gak punya filter di mulut mereka untuk menyaring kalimat apa yang pantas dan gak pantas diucapkan. Mereka kadang gak mengerti bahwa setiap manusia bisa sakit hati atas apa yang mereka katakan.
Amia terlalu sering sakit hati semenjak dirinya dinyatakan bisu karena kehilangan pita suaranya. Ia bahkan tak bisa menjerit untuk mengekspresikan apa yang ada di hatinya. Dan seakan gak peduli, orang-orang mulai kehilangan perasaan dengan mengata-ngatainya. Mereka seperti tak tahu bahwa Amia hanya tak bisa bicara dan masih mampu mendengar dengan baik.
“Lihat, deh! Itu anak bisu yang suka bikin gua bad mood kalau sok akrab di deket kita.”
“Aduh, bukan apa-apa, ya. Nunggu dia ngerespon joke kita kan lama banget. Ibarat kata bakso, udah gak enak lagi gara-gara kelamaan dianggurin.”
Begitulah yang mereka ucapkan. Dan perlahan-lahan kerumunan di dekat Amia berkurang sedikit demi sedikit.
Sebelum kehilangan suara, Amia adalah gadis baik dan membuat siapapaun memujinya karena pesona dewi yang ia punya.
Mungkin kalau malaikat bisa dilihat, wajahnya gak jauh-jauh dari si Amia ini. Dan saat dia dinyatakan bisu, satu persatu orang-orang didekatnya mulai merasa jengah dan jijik. Mereka seperti memandang Amia dengan tatapan meremehkan dan menjatuhkan.
Dan dari sekian banyak orang, gua pernah jadi salah satu di antara mereka.
Yang gak gua tahu, saat gua tanpa sengaja berbicara soal kebisuan dia, Amia menangis keras semalaman di kamarnya. Dia bahkan menolak untuk menyentuh makanannya dan berpikir ulang untuk kembali ke rental buku itu.
Dia minder. Dia merasa dirinya gak berharga dan terlalu takut menghadapi diri gua dan ucapan yang sempat gua berikan untuk menilainya.
Terdengar menye-menye memang, tapi hati manusia tidak semuanya terbuat dari baja. Dan Amia pun begitu.
Tapi di saat ia bangun pagi dan melihat ke luar jendela, mendadak keberanian muncul di dirinya. Dia tahu dia harus menghadapi kenyataan dan akan melupakan setiap hal yang menganggunya. Toh dia tak mencari musuh atau tengah menyakiti seseorang. Tak apalah jika dia yang disakiti. Suatu saat dia akan kuat dan bangkit kembali dari ketidak menyenangan hidup. Itu yang Amia pikirkan.
Lalu takdir kembali mempertemukan kami.
Sebuah suara membuat jantung Amia berdegup karena menyadari sosok pria yang menyakitinya tengah datang. Dia berpura-pura fokus pada komiknya dan mengacuhkan gua yang memandang dia dengan takut-takut.
Dan sesuatu yang membuatnya kembali bisa bernafas terjadi. Gua datang dengan segala kepolosan gua dan menegur gadis itu. Kami berbicang cukup lama, dan lu semua tahulah kelanjutannya gimana?
Malam harinya Amia tak bisa tidur, dan gua juga merasakan hal yang sama. Gila emang namanya jatuh cinta itu. Walau baru kenal beberapa hari, rasanya kaya gak mau kehilangan gitu aja.
Gua yang masih belum punya keberanian untuk menghubungi Amia hanya bisa menatap nomor di gawai gua dan berguling seperti daging di dalam oven dan berhayal hal-hal romantis yang belum tentu bakal bisa gua jabanin.
“Bang!”
“E, ayam, ayam.” Gua melompat dan mengelus d**a gua saat seorang anak serupa buntelan kentut nongol di kamar gua. Dia cengengesan dan menggaruk pusarnya yang bikin gua makinj jengkel ama dia. “Lu ngapain dah ke kamar gua?”
“Bagi ceban, dong!”
Ni anak kalau bukan adek gua udah gua gepengin tuh badannya. Dateng-dateng maen malak aja. “Kagak ada. Udah sana pergi!”
“Pelit!” Dia cemberut tapi sepertinya masih punya ide lain yang sangat jahil. “Gua bocorin nih nama pacarlu!”
Gua ngakak dong. Lah gua jomblo sejak lahir, mana punya pacar. “Siapa coba nama pacar gua?”
Dia mengkerutkan kening dan meletakkan telunjuk di keningnya. “Huruf pertamanya A.”
Gua meneguk ludah dan wajah gua berubah pasi. Gua emang lagi suka sama seorang cewek berinisial A. Dari mana ni anak bisa tahu? “Terus?”
“Terakhisnya A.” Dia membuka mata dan menatap wajah kaku gua dengan senyum jahil. “Kalau gua gak dapet ceban, gua teriakin namanya keras-keras, nih!”
Gua bangkit dan memegang tangan adek gua dengan tatapan memohon. “Adikku sayang, gua kan bokek, nih. Jangankan ceban, seceng aja gua gak punya.”
“Dih, miskin!” Ni anak sotoy minta disate emang. “Gua pinjemin, dah. Ceban, kan?” Gua mengangguk dan melihatnya memberikan sepuluh ribu dari sakunya, menyalami gua, dan mengambil kembali uang itu. “Bunganya tiga persen sehari ya, Bang. Terserah kapan bayarnya.” Lalu tu bocah pergi meninggalkan gua yang masih gak ngeh dengan apa yang terjadi.
Ya mau gimana. Isi kepala gua terlalu penuh sama Mia, dan walau gua lagi jatuh cinta, gua masih nyaman merahasiakan hal ini sama orang-orang di sekitar gua.
“Amia, gua kangen banget sama elu.” Gua bergumam sembari menatap nomer di gawai gua. “Telepon, enggak, telepon, enggak.” Gua ulang-ulang tuh kata sampe kaya lagi dzikir. “Jantan dong, Ri! Masalah cewek doang, ini. Cetek amat nyali lu!” Gua membuka aplikasi chat gua, memejamkan mata, dan menekan tombol video call. Gua harap Amia gak mengangkat panggilan gua, tapi gua juga berharap dia mengangkatnya.
Satu detik, dua detik, tiga detik. Dia gak ngangkat panggilan gua dan gua keburu sesak nafas karena merasa tiga detik adalah waktu yang lama dan segera mematikan panggilan gawai.
Gua berguling dan menarik nafas karena d**a yang sesak. Ya Tuhan. Jatuh cinta efeknya gini banget.
Lalu gawai gua berdenting, dan saat gua mengecek siapa yang mengirim pesan ke gua, d**a gua berasa kaya ditabuh dengan ritme tak stabil. Retina gua melebar, saudara-saudara, dan gua gemeteran buat sekedar membalas salam dan tanya tentang siapa yang menghubungi pemilik nomer itu.
“Ini aku, Ari,” ujar gua yang berusaha tetap tenang.
“Ari yang mana, ya?”
Gua meneguk ludah. “Yang ngobrol sama kamu di rental komik.”
“Oh. Apa kabar, Ri? Kok bisa tahu nomerku?”
Gua mengetuk hape gua sambil memikirkan alasan yang bagus. “Dari penjaga rental, Mia. Aku punya komik bagus, nih. Kamu bisa cari buat reverensi bacaan kamu.” Bagus! Jadi macam otaku gua.
“Oh, ya? Apa, tuh?” Alhamdulillah, gusti. Responnya bagus.
Gua nyerocos tentang semua pengetahuan perkomikan gua, dan astaga, tuh cewek dengan sabarnya membalas setiap yang gua ucapkan seakan perkataan gua itu berguna banget. Padahal gua ampas gini, dong, tapi masih digubris aja. Idola emang.
Lalu pembicaran kami bersahut-sahutan dan gua mulai menikmati awal hubungan berkesan indah ini.