bc

Jobless Syndrome

book_age16+
21
IKUTI
1K
BACA
love-triangle
powerful
others
drama
office/work place
slice of life
like
intro-logo
Uraian

Sekolah--Kuliah--Kerja--Menikah--Beranak-pinak--Bercucu-cicit--Hidup Bahagia--Lalu Mati. Begitu kiranya planning hidup yang tertanam di kepala kebanyakan orang. Sebuah standar hidup yang membuat semua orang termasuk aku ketar-ketir dikejar waktu. Melupakan petunjuk penting, bahwa setiap nyawa memiliki takdir yang berbeda. Semua cerita memiliki waktu tersendiri. Termasuk pekerjaan impian, jodoh yang datang dan pergi atau kapan malaikat pencabut nyawa bertandang. Yang orang mau, semuanya harus serba tepat waktu, bukan lagi di waktu yang tepat! Agaknya mereka ingin menyaingi kuasa Tuhan--Keenan, seorang gadis lajang yang menjabat sebagai pengangguran akut pasca wisuda dengan keluarga yang terus merongrongnya untuk segera ‘menelurkan’ cuan.

chap-preview
Pratinjau gratis
Pasca Wisuda
BERULANG kali hembusan nafas kecewa keluar. Sudah lebih dari ratusan kali tombol f5 ku tekan pada keyboard laptop, sebanyak itu pula tidak ku temukan panggilan interview untuk lamaran posisi yang ku kirim sebulan lalu. Aku mematikan laptop, panasnya merambat hingga ke meja. Sekarang pukul sepuluh pagi, itu berarti sudah lebih dari satu jam ku gunakan jaringan internet milik Kak Tere. Aku yakin sebentar lagi teriakan darinya melengking hebat. “KEENAN! Sudah ku bilang ‘kan hotspotnya dipake bentar aja” dia sudah menggedor-gedor pintu kamar, mirip rentenir penagih hutang. Tak bergeming. Aku tidak berniat membukakannya pintu. “BUKA! Kamu harus ganti data internet yang sudah kamu pakai!” aku memasang ekspresi mengejek. Andai dia tahu, sudah pasti jambakan tangannya meringsak kepalaku hingga botak tak bersisa. Dia terlalu perhitungan untuk seukuran spesies parasit di rumah bapak dan ibu. Apa dia lupa, kalau sekarang dia hanyalah penumpang? Setidaknya dia tahu diri untuk membayar biaya sewa kamar yang digunakannya itu! “Ada apa sih? Pagi-pagi sudah ribut” nampaknya ibu menghampiri Kak Tere yang sedang emosi. “Keenan tuh Bu, pakai data internet Tere gak kira-kira. Gak tahu apa Tere juga harus ngirit buat Lira ngeyoutube” Kak Tere mengadu pada ibu. Tingkahnya macam tak ada bedanya seperti bujangan, sama sekali tidak dewasa. “Walah, nanti ibu gantikan. Keenan bilang dia perlu ngecek email, barangkali ada panggilan kerja” ibu menenangkan Kak Tere yang masih mudah tersulut amarah. Enak saja. Kenapa malah ibu yang menggantinya! Cepat ku buka pintu kamar. “Jangan mau, Bu!” aku menghalangi penawaran yang menggiurkan dari ibu. Dilihat dari sudut pandang manapun, yang paling memerlukan dana bantuan itu adalah aku! “Kak Tere juga, gak usah lebay! Orang aku cuman buka email. Gak mungkin banyak ngabisin kuota internet! Paling-paling habis dua ratus MB. Masa segitu aja minta diganti?” ucapku takut-takut, tapi cepat ku sembunyikan. Wajahnya memerah, “Dua ratus MB itu juga banyak Keenan, bisa buat download dua video Lira. Asal kamu tahu, kakak ini juga lagi ngirit, buat bangun rumah. Kamu pikir kakak iparmu itu orang kaya? Tahu diri lah!”, “Lagian, sudah berapa kali kamu nunggu panggilan kerja, hmm? Gak ada yang keterima ‘kan? Sudah lah, turunin ego kamu. Kerja apa kek, yang penting bisa ngasilin duit. Kamu sendiri juga perlu duit kan buat jajan? Kasian ibu mesti nanggung biaya hidup kamu juga!” ceramahnya yang terkesan menyudutkan. Cih! Kaya situ bukan beban keluarga saja! cibirku dalam hati. Dari dulu alasannya selalu saja ‘ngirit’. Apa tidak ada alasan yang lebih kreatif lagi? Aku sudah terlalu bosan mendengarnya. Kalau benar dia berhemat, kenapa sudah bertahun-tahun ini masih belum bisa beli tanah? Omong kosong! Napasku memburu. “Fine!” sahutku dengan nada rendah. Aku menutup pintu kasar. Bendungan air mata yang tadinya tertahan, akhirnya pecah dan membanjiri permukaan wajah. “Lihat, Bu. Gak ada sopan-sopannya sama orang yang lebih tua!” omelnya sebelum pergi meninggalkan ibu yang masih berdiri di depan pintu kamarku. Beliau mengetuk, memanggilku lirih. “Gak papa. Jangan dimasukkan ke hati, ya, omgongan kakakmu tadi” bujuk ibu halus. “Ibu juga. Jangan selalu ngalah sama kata Kak Tere. Sekali-kali tegas lah, bu” sahut ku ditengah isakan nafas yang tersumbat lendir. “Iya-iya” ucap ibu. ‘Iya’ ibu itu berarti tidak akan pernah. Dia selalu menganggap angin lalu permintaanku untuk tidak selalu mengasihani anaknya yang sudah berkeluarga itu. Kata ibu, kemana lagi larinya anak untuk minta pertolongan selain pada orangtuanya? Bagian menyebalkannya, ibu terlalu baik, dan Kak Tere memanfaatkan kesempatan itu. Aku kembali menatapi monitor laptop, membuka salah satu folder. Sebenarnya apa yang salah denganku selama ini? Masa iya hanya karena tidak memiliki pengalaman organisasi menjadi faktor terbesar lamaranku ditolak? Lagipula, bukannya cv ku juga tidak seburuk itu, mengingat pengalaman yang ku jabarkan sebagai asisten dosen dan mengikuti beberapa perlombaan. Tanganku berselancar, membuka riwayat status teman-teman yang berhasil terbuka dengan bantuan bonus internet harian dua puluh MB untuk w******p. Miris sekali, bukan? Beginilah kehidupan pasca kelulusanku. Alih-alih bisa posting tempat bekerja yang keren, nangkring sana-sini bersama teman. Malah-malah mendekam dikamar selama berhari-hari. Benar-benar diluar ekspektasi. Semenjak kelulusan, tidak pernah lagi ku terima dana hibah dari orangtua. Jangankan jajan dicaffe, menadahkan tangan untuk membeli kuota internet saja sungkan sekali. Aku tidak bisa lagi menutup mata mengenai kondisi keuangan di rumah. Hanya mengandalkan dana pensiunan bapak seorang guru tidaklah bijak. Ditambah kakak dan suaminya yang juga menambah jumlah pengeluaran membuatku sakit kepala. “Kayaknya rejeki orang mulus-mulus aja” gumamku begitu mendapati postingan salah satu teman jaman SMA dulu-Mulia. Video berdurasi tiga puluh detik menayangkan pemandangan alam di salah satu tempat wisata bersama orangtuanya. Menyenangkan sekali. Video status w******p itu terhenti, berganti kepostingan lainnya. Ada Vina dengan boomerang selfienya mengarah ke cermin, menggunakan seragam kerja sekaligus menunjukkan kamera handphonenya yang berbentuk boba. ‘Gak kerasa udah senin aja’ captionnya dengan emoticon mengantuk. Sudut bibirku tertarik sinis, ‘gak kerasa’ katanya. Padahal bagiku yang pengangguran akut ini, satu hari saja terasa seminggu. Setiap hari, aku selalu mengecek kotak email yang ternyata hanya diisi oleh notifikasi diskon skincare, perpanjangan langganan spotify atau notifikasi lowongan pekerjaan terbaru dari linkedin yang tak pernah tembus saat ku lamar. Aku frustasi. Apa sebaiknya ku turuti saja usul kak Tere untuk mencari pekerjaan apapun dan menyerah akan cita-citaku untuk bekerja di salah satu perusahaan besar? Anggaplah aku menurut. Coba tebak dibawah ini, akan seperti apa reaksi tetangga jika mereka mengetahui aku yang bekerja disalah satu toko kelontong pinggiran jalan. ‘Wah, keren, ya, lulusan S1 kerja di warung kelontong!” Atau ‘Lulusan S1 kerja di warung? Apa bedanya sama anakku yang cuman lulusan SMA? Capek-capek nguliahin, ujung-ujungnya jadi pesuruh orang juga. Rugi dong orangtuanya. Untung anakku gak ku izinkan kuliah’ Berapa besar kemungkinan isi kepalaku dipenuhi pikiran-pikiran husnudzon pada tetangga, yang setiap kali melangkah keluar dari rumah selalu ditanya ‘Nggak kerja?’ lalu membanggakan anaknya yang berhasil menjadi satpam perusaan tambang tanpa mengecap perguruan tinggi. Tarik nafas-buang, begitu ku ulang-ulang. “Ingat, bapakmu udah gak muda lagi. Gengsi tinggi gak bikin perut kenyang apalagi bikin kaya, Keenan” sugestiku pada diri sendiri. Aku ingin mencoba berdamai dengan ego dan seluruh rasa gengsi yang mencokol dikepala. Tanganku berpindah ke fitur kontak, mencari satu persatu nama yang terasa dekat. Hasilnya nihil. Setelah diingat-ingat, dari empat ratus tiga puluh tujuh kontak tersimpan, tak ada seorangpun yang ku rasa benar-benar menganggapku teman baiknya. Setidaknya begitulah isi pikiranku. Ah, tidak-tidak. Jangan menambah beban lagi, masalah pengangguran saja sudah membuat akal sehat hampir putus. Persetan dengan penilaian oranglain, Keenan! “Sekarang coba filter lagi pelan-pelan, cari temen yang sekiranya gak julid dan gak bikin hati pengep” monologku lagi, kemudian menelusuri kembali kontak w******p dan ku temukan sebuah nama, Haifa, teman jaman SMP-ku. Dulu kami pernah sedekat amplop dan perangko. Ke kantin, toilet, mushola bahkan ruang guru sekalipun bersama, sangat lengket. Tapi, semenjak dia memutuskan masuk SMA dekat rumahnya, secara alamiah hubungan itu merenggang begitu saja. Entah apa alasannya. Apa kabar dia, ya? ***

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.7K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.4K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.8K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
59.8K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook