Bab 1. Gerai Ice Cream
Meja makan yang tidak jauh dari dapur terasa ramai. Keluarga kecil, dengan dua malaikat pemberian Tuhan menambah keramaian itu. Suara kekehan terdengar dari arah ruang tamu. Abian—sulung keluarga itu—berlari dari meja makan ke dalam pelukan wanita tua yang sedang menikmati acara televisi sebelum sang ayah berhasil menangkap badan kecilnya.
“Sayang, sudah biarin aja Abian. Nanti, dia gak ikut beli ice cream kalau masih bandel kayak gini!” Nina menengahi pertengkaran ayah dan anak itu. Masalah sepele saja membuat mereka harus berkejar-kejaran di ruang tamu.
“Iya, kamu gimana Rinaldy? Lagi makan kamu kok mau marahin cucu aku saja, jangan begitu dong!” Anna ikut menimpali pembelaan Nina. Dia tidak suka jika cucunya diganggu saat sedang makan.
Wajah tersangka memerah, Rinaldy menatap putranya itu dengan kesal. Tatapan mereka saling beradu, dan tidak ada yang mengalah. Abian merasa menang karena dua orang dengan kedudukan tertinggi di rumah membelanya. Dan merasa bahwa dia benar-benar menang, Abian menjulurkan lidahnya pada sang ayah, seolah mengejeknya sungguhan.
“Sayang, kamu kok belain dia terus sih?” Rinaldy merengek manja pada sang istri—Nina. Tidak terima jika sang istri tidak membelanya.
Nina hanya terkekeh, meskipun sudah besar, suaminya itu selalu saja bertingkah kekanakan jika sudah berhadapan dengannya. Padahal masalah mereka tadi hanyalah perkara cumi yang tersisa 1. Abian sangat menyukai makanan laut, jadi Nina memberikan sisa itu pada Abian. Dan jadilah mereka berebutan, dan itu membuat Nina geleng-geleng kepala.
Duit suaminya itu banyak, tapi tetap saja kalau sudah berurusan dengan masakannya, maka semuanya akan menjadi rebutan. Ini terjadi pada keluargaku saja atau gimana sih? Batin Nina dalam hati.
Niat ingin mengabaikan sang suami, sama-sekali tidak berhasil. Baru saja Nina mengambil satu langkah hendak menghampiri putri mereka—Nayara—yang menatap mereka, tubuhnya sudah ditarik dan berakhir di atas pangkuan sang suami.
Jujur, jika suaminya itu melakukan ini disaat mereka hanya berdua saja, itu tidak masalah besar. Tapi ada anak-anak mereka, dan juga mertuanya. Apa kabar wajah Nina yang sudah memerah? Dia yakin jika wajahnya 100% sudah berubah menjadi semerah tomat.
“Mas…lepas ih, malu di lihat anak-anak!”
Masih tidak ada jawaban. Nina membekap mulutnya saat tangan suaminya itu dengan berani menyusup ke dalam dresnya, dan meremas miliknya di dalam sana. Yang benar saja, kali ini Nina kesal sungguhan. Untungnya Abian dan mertuanya tidak terlalu memperhatikan tingkah laku Rinaldy saat ini.
“Mas…lepas atau aku gak kasih jatah lagi!”
Otomatis tangan itu lepas, Nina menghela nafas legah. Namun tetap saja pinggangnya di tahan oleh lengan kekar sang suami. Saat hendak mengomel lagi, Nina dibuat terkejut saat Rinaldy meletakkan kepalanya dekat perut atasnya dan menghela nafas berat.
Refleks Nina merasa bahwa suaminya sedang memikirkan sesuatu.
“Ada apa mas?” bisik Nina pelan, sambil mengelus lembut rambut sang suami, biarkanlah jika posisi mereka ini dilihat oleh putri mereka.
“Mau beli ice cream!”
Speechles. Nina tidak berkata-kata dengan permintaan Rinaldy kali ini. Dengan senyuman tipis, Nina hanya bisa menjauhkan kepala Rinaldy, agar dia bisa melihat wajah memelas suaminya yang terlihat lucu itu. Sungguh Nina ingin tertawa sekeras yang dia bisa lakukan.
“Lepasin dulu ya!”
“Beli ice cream ya!”
“Mas…malu loh sama Naya, masak kamu mintanya manja banget sih?”
“Ya kan, aku manja sama istri aku juga. Bukan sama orang lain, ya gapapa dong?”
“Gak salah sih!” kekeh Nina, buru-buru melepaskan diri dari pelukan Rinaldy saat putra mereka sudah kembali datang.
“Udah, kalau gitu kalian baikan dulu biar kita beli ice cream.”
“Ice cream?” mata Abian berbinar-binar begitu mendengar 2 kata itu.
“Dengar kata ice cream, baru mau kesini!” kesal Rinaldy.
“Pa…maafin Abi ya!” kekeh Abian, dia maju dan mencium pipi Rinaldy.
“Masih kurang!”
Abian menaiki pangkuan sang ayah, dan mencium seluruh wajah itu. Situasi meja makan kembali dipenuhi dengan kekehan. Nina sudah mengganti bajunya, begitu juga dengan Abian dan Rinaldy.
“Ibu gapapa jaga Naya sendiri? Ikut aja deh, nanti kasihan kalo…”
“Gak papa sayang, lagian William dan beberapa anak buah suamimu juga ada di sini. Soal Nayara serahkan saja pada ibu, kalian pergilah. Lihat itu suamimu, wajahnya sudah ditekuk seolah sedang antri sembako!”
Kekehan Nina mengakhiri percakapan mereka. Dia mencium tangan mertuanya dan lekas memasuki mobil yang segera melaju begitu Nina masuk. Rinaldy dan Abian benar-benar terlihat excited selama perjalan menuju gerai ice cream langganan mereka.
Lampu jalanan sudah menyala, jalanan ramai dan sedikit macet. Namun karena aura senang putranya dan suaminya, Nina jadi ikutan senang. Entah kenapa, ice cream selalu menjadi makanan favorite mereka.
“Abi pengen ice cream coklat sama vanila!” guman Abian, mereka masih baru tiba di parkiran yang sudah hampir penuh.
“Sini papa gendong!”
Begitu mereka memasuki gerai, senyuman ramah itu langsung menyambut mereka. Bahkan tanpa mengatakan apa pesanan mereka, sosok yang berdiri di depan sudah mengangguk.
Tidak lama, pesanan mereka akhirnya datang. Abian langsung sibuk dengan ice creamnya.
“Sayang, kamu gak merasa sakit lagi kan?”
Nina berhenti memakan ice creamnya, menggeleng sebagai bentuk jawaban.
“Sudah gak lagi mas, malahan sudah jauh lebih baik.”
“Anak-anak gak buat pusing kan? Kalau kamu butuh baby sitter, bilang saja ya sayang. Aku gak tega kalau kamu sendiri yang ngurus anak-anak, apalagi akhir-akhir ini perusahaan lagi butuh aku banget. Organisasi juga banyak kerjaan. Aku minta maaf ya sayang, 1 minggu ini jarang ngajak kamu main sama anak-anak, aku merasa bersalah banget!”
Senyuman Nina membuat Rinaldy menghela nafas. Istrinya itu tidak banyak meminta darinya, dan tidak pernah mengeluh untuk mengurus anak-anak mereka. Berkali-kali Rinaldy mendapati sang istri tertidur di sofa saat menunggunya pulang.
“Mas, aku pengen deket sama anak-anak, lagian aku seneng kok ngurus mereka!”
“Tapi aku takut kamu yang kecapean sayang!”
Lagi-lagi jawaban sang istri sama saja, dan Rinaldy sudah hafal betul dengan hal itu. Namun tetap saja dia khawatir jika sewaktu-waktu sang istri kelelahan. Mengingat jika beberapa bulan lalu, dia hampir mengakhiri hidupnya karena sang istri yang benar-benar membuatnya spot jantung.
Saat melakukan operasi kanker otak beberapa bulan lalu, dokter yang menangani Nina menyerah karena pendarahan yang mendadak terjadi karena pembuluh darah yang pecah. Rasanya Rinaldy berada di ambang nafasnya, dia berlari memasuki ruangan operasi dan hampir saja memukul wajah sang dokter.
Beruntung beberapa petugas menahannya.
3 menit layar yang menunjukkan denyut jantung sang istri berhenti dan hanya ada garis lurus saja. Rinaldy menangis histeris, berteriak nama istrinya. Harapannya sudah pupus, dan dengan bodohnya, dia ingin mengakhiri hidupnya juga. Tidak peduli dengan tangisan putri mereka di luar ruangan meja operasi.
Bagi Rinaldy, kehilangan Nina sama saja dengan kehilangan dirinya. Jadi lebih baik dia melakukan tindakan egois.
Namun, di saat Rinaldy benar-benar hampir melakukan itu. Garis di monitor kembali menunjukkan gelombang naik turun. Beberapa dokter ahli yang baru saja tiba kembali menangani operasi itu. Rinaldy diseret keluar, dan akhirnya semuanya terjadi seperti mukjizat.
Istrinya bisa selamat.
“Mas?”
“Eh?”
Nina tersenyum, suaminya itu melamun di tengah pembicaraan mereka. Nina mencondongkan tubuhnya, dan mencium bibir sang suami yang ada bekas ice creamnya dengan geli. Dia tahu suaminya itu sedang memikirkan apa. Pasti kejadian beberapa bulan lalu.
“Sayang, mau cium lagi!” kekeh Rinaldy.
“Ihhhh, malu di cium-cium!” ujar Abian meledek.
“Apaan sih kamu? Mengganggu aktifitas orang saja!”
“Papa yang tidak tahu malu, sengaja banget buat cari perhatian mama aku!”
Keributan itu terus berlanjut, banyak pasang mata yang mencuri-curi pandang ke arah mereka. Salah satunya adalah lelaki yang kemeja putih, dengan ice cream yang hampir meleleh di tangannya karena terlalu asik memperhatikan keluarga itu. Ralat, lebih tepatnya memperhatikan ke arah senyuman sosok wanita itu.
Fokus lelaki itu membuat rekannya ikut mengalihkan perhatian.
“Luhan? Lo gak lagi kesambet sesuatu kan?”
“Bryan, lo lihat wanita itu kan?”
Bryan mengerutkan keningnya, dia mengangguk dan lanjut memakan ice creamnya.
“Dia…” Luhan hampir saja menjatuhkan ice creamnya. Tubuhnya terasa kaku untuk berdiri. Sungguh, dia baru saja datang ke kota ini sekitar 1 minggu lalu, dan haruskah dia bertemu sosok itu dengan keadaan seperti itu?
Bryant masih tidak mengerti. Dia semakin heran saat Luhan yang duduk di depannya mendadak berdiri, dan berjalan ke arah meja keluarga yang beberapa detik lalu sempat menarik perhatian Bryan juga. Entah apa yang akan Luhan lakukan, Bryan membiarkan saja. Dia harus segera menghabiskan ice creamnya, karena 30 menit lagi mereka akan melakukan operasi.
Suara tawa Nina, terhenti saat seseorang menghampiri meja mereka. Nina mengalihkan perhatiannya, dan sepertinya sosok itu mencarinya. Suaminya sedang ke toilet beberapa menit lalu, dan masih belum kembali. Abian yang menatap lelaki itu menggenggam tangan sang mama.
“Permisi, anda mencari sesuatu?” Nina memberanikan diri untuk bicara lebih dulu karena lelaki itu masih saja menatapnya dengan tatapan yang berkaca-kaca.
“Permisi om? Kenapa om berdiri di situ dan melihat mama saya?”Abian ikut bicara.
Jawaban anak kecil itu semakin membuat Luhan merasa tertohok. Dia menatap wajah itu dengan seksama, benar dugaannya, dia adalah orang yang sama.
Rinaldy yang baru saja keluar dari toilet dan mendapati ada seorang lelaki yang berdiri di depan meja mereka buru-buru menghampiri. Dia menarik lelaki itu agar menjauh, dan menatap Nina dengan pertanyaan bertanya.
“Siapa sayang?”
“Gatau mas, dari tadi dia diam aja!”
“Iya, mungkin omnya mau ice cream?” dengan polos Abian menawarkan ice creamnya.
Kaki Luhan semakin terasa lemas. Dia hampir saja terjatuh, jika Bryant tidak merangkul pundaknya.
“Ahh…maaf, dia teman saya. Dia sedikit bermasalah, maaf ya jika membuat kalian merasa tidak nyaman. Luhan, lo ngapain di sini?”
Nina yang tadinya tidak peduli, mendadak menatap lelaki bernama Luhan itu lagi. Rasanya dia pernah ingat sesuatu.
“Kamu…kamu Nina bukan? Nina Quero lebih tepatnya!”
Deg—Nina meraba jantungnya yang tiba-tiba berdebar aneh.
“Senang bertemu lagi dengan kamu, sepertinya kalian ini suami istri?”
“Maaf, Anda siapa? Sepertinya Anda salah orang, ayo sayang, kita pergi saja!” Rinaldy yang merasa kesal menarik tangan sang istri.
“Mas…ice cream aku belum habis!”
“Kita beli lain kali lagi!”
“Ice Cream Abi juga belum habis ma, pa!”
“Pulang!” seru Rinaldy dengan suara baritone-nya. Nina menaikkan bahunya, dan segera membereskan meja mereka. Begitu juga Abian yang sudah berada di pelukan Rinaldy. Tangan Rinaldy menggenggam jemari sang istri erat, dan berlalu dari sana.
Dia bisa merasa bahwa lelaki itu adalah sesuatu yang tidak baik.
“Saya Luhan, kamu tidak ingat, Nina?”