Sudah hampir dua puluh menit Azka berdiri di depan pintu apartement Reina, tetapi lelaki itu sama sekali belum ada niat untuk memencet bel. Rasanya terlalu aneh dia datang ke rumah wanita yang kemarin dituduh dan dimaki-makinya. Rasa bersalah Azka kini menggerogoti hati lelaki itu, seakan memaku pergerakannya agar tidak mengusik ketenangan wanita yang sudah disakitinya kemarin.
Klik.
“Azka?”
Suara terkejut Reina menyadarkan Azka dari lamunan. Di depannya Reina terlihat pucat dan matanya sembap, perasaan bersalah Azka semakin bertambah karena yakin dirinya penyebab Reina menangis habis-habisan. “Reina ....”
“Pergi!” usir Reina, dengan cepat menutup pintu, tetapi secepat itu pula Azka menahannya. Lelaki itu terjepit di antara pintu.
“Tolong dengarkan aku dulu, Reina,” pinta Azka.
Reina menggeleng kuat, air matanya mulai menggenang saat teringat tuduhan Azka. “Pulang, Azka. Untuk apa kamu ke sini?”
“Dengarkan aku dulu, aku minta maaf!”
“Pulang!” Reina tetap keukeh, mendorong pintunya dengan kuat, tetapi Azka tetap bergeming. Tenaga Reina tidak ada apa-apanya dibanding Azka.
Azka yang tidak sabaran mulai menggapai lengan Reina dengan tangan kirinya, sehingga Reina terkejut dan akhirnya Azka bisa masuk ke apartemen wanita itu. Reina terlihat kesal karena gagal mengusir Azka, dia mengentak-entakkan kaki dan duduk di sofa, menekuk wajah dan membuang pandangan jauh-jauh dari Azka.
Sebuah kotak makanan diletakkan Azka di meja. Aroma martabak panas yang terasa manis menguar dari kotak tersebut dan menggelitik penciuman Reina. Wanita itu meneguk saliva, merutuki Azka dalam hati karena selalu tahu cara untuk meluluhkan hatinya. Reina sangat menyukai martabak, apalagi yang namanya martabak manis. Reina bisa melupakan kesedihannya hanya dengan memakan makanan tersebut, meski setelahnya kesedihan itu kembali datang.
Azka menggeser martabak tersebut tepat di hadapan Reina. “Ini kesukaanmu.”
“Sogokan, ya?” sindir Reina.
Azka tertawa pelan. “Yah, bisa dibilang begitu.”
“Oh, kalau begitu kamu tidak berhasil,” ucap Reina meski dari gerak-geriknya dia sudah tidak tahan untuk mencicipinya.
Azka bersandar pada sofa, memiringkan kepala memperhatikan reaksi Reina. Dia tersenyum kecil karena Reina berusaha menolak makanan kesukaannya, padahal Azka sangat yakin bahwa Reina tidak mampu menahan godaan dari martabak manis. “Kamu benar-benar tidak mau menerima sogokanku?” tanya Azka.
Butuh waktu beberapa detik untuk Reina memberi jawaban. “T-tentu saja.”
“Baiklah,” ucap Azka. Lelaki itu meraih martabak tersebut, berniat membawanya pulang, tetapi gerakan cepat Reina menghentikan langkahnya. Martabak tadi sudah berpindah di tangan Reina yang sudah menatapnya dengan pandangan berbinar.
“Dasar, kalau suka, bilang, dong,” kekeh Azka. Lelaki itu kembali duduk di tempatnya.
Reina sudah membuka kotak martabak tersebut, dia merasa liurnya sudah menetes saking ngiler melihatnya. Reina mulai meraih sepotong martabak, memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya secara intens. Namun, detik kemudian kunyahan Reina berhenti, perutnya terasa melilit. Reina buru-buru berdiri, berlari masuk ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya di wastafel.
Hoek!
“Hah ... hah ....” Napas Reina tidak teratur, Reina merasa perutnya tidak beres. Seteah berkumur, dia keluar dari kamar mandi. Di depan pintu Azka sudah menunggunya dengan khawatir, lelaki itu terkejut karena Reina langsung muntah setelah memakan martabak yang dibawanya. “Kamu tidak apa-apa?”
Reina menyeka mulutnya dengan tisu, meraih minyak kayu putih dari atas meja TV dan kembai duduk di sofa.
“Hei, kamu tidak apa-apa kan, Reina?” ulang Azka karena tadi tak mendapat jawaban.
“Iya, tidak apa-apa, kok. Tenang.”
Azka masih tidak percaya. “Lebih baik kita ke rumah sakit,” ajak Azka.
Reina menggeleng. “Tidak usah, aku tidak apa-apa,” tolaknya halus.
“Kamu benar-benar baik-baik saja?”
“Iya ....” Reina mengangguk meyakinkan. Dalam hati sedikit senang karena Azka mengkhawatirkan dirinya.
“Aneh,” gumam Azka.
Reina mendongak mendengar gumamannya.
“Ini martabak langganan kita. Tapi kenapa membuatmu muntah, ya?”
Reina pun merasa aneh. Sejak mengenal yang namanya martabak dan jatuh cinta pada makanan tersebut, ini kali pertama dia merasa mual saat memakannya. Tadi saat mengunyah, seperti ada sesuatu yang bergelombang di dalam perut Reina dan mendesak ingin dikeluarkan.
“Mungkin karena aku belum makan apa-apa sejak kemarin, makanya pas makan martabak ini perutku jadi tidak enak,” ucap Reina pelan kepada dirinya sendiri yang juga didengar oleh Azka.
Lelaki itu terkejut. “Kalau begitu kita harus makan sekarang. Bagaimana bisa kamu tidak memperhatikan makanmu, sih?” gerutu Azka, lelaki itu segera meraih kunci mobi dan mengulurkan tangan kepada Reina yang hanya ditatap bingung oleh wanita itu. “Tunggu apa lagi? Ayo, kita makan!” ajak Azka.
Reina tidak ada pilihan untuk menolak karena Azka sudah menariknya keluar dari apartemennya.
***
“Mau makan apa?” tanya Azka setelah mereka meninggalkan kawasan apartemen.
Reina tidak menjawab, wanita itu sibuk memperhatikan jalan yang mulai padat di sore hari. Sejak kemarin malam, Reina memang tidak makan karena perutnya mendadak mogok setiap mengingat perlakuan Azka. Sekarang, saat mengingatnya pun Reina masih tidak mood.
“Reina?” panggil Azka kembali. Kali ini Reina merespons walau hanya dengan dehaman. “Kamu mau makan apa? Kita sudah keliling loh.”
Reina menyandarkan kepalanya di jendela mobil. “Aku tidak lapar.”
“Tidak lapar bagaimana? Kamu belum makan sejak kemarin, kan?”
“Iya.”
“Kalau kamu tidak bisa memutuskan mau makan apa, biar aku saja kalau begitu.”
“Aku tidak mau makan, Azka,” tolak Reina, dia menggeleng sebagai penegas. “Mood-ku masih tidak baik untuk makan setiap ingat kata-kata kasarmu kemarin.”
Azka tersentak. Lelaki itu kemudian menepikan mobil di pinggir jalan dan mematikan mesinnya. Dia kemudian berbalik menghadap Reina yang masih setia memandang ke luar jendela. “Reina,” pangginya.
“Hmm.”
“Hei, coba tatap aku.”
Reina menggeleng. “Malas.”
Azka meraih tangan Reina, membuat wanita itu terkejut dan mau tidak mau harus membalas tatapan Azka. “Aku minta maaf,” ucap Azka.
Reina tidak menjawab, hanya diam dan membiarkan Azka bicara.
“Maafkan kebodohanku yang tanpa sadar menyakitimu. Aku benar-benar sudah menyesal melukaimu, Reina,” ucap Azka dengan tulus. “Aku mohon maafkan aku.”
Reina menggigit bibirnya pelan. Sebenarnya, meski Azka tidak memohon seperti ini, Reina pasti akan memaafkannya. Wanita itu tidak bisa sehari pun tanpa melihat Azka, secinta itu dirinya kepada sahabat yang tidak pernah menganggapnya lebih dari sekadar sahabat. Sepertinya pertemanan memang jauh lebih baik di antara kita, Azka, batin Reina.
“Sepertinya aku lebih tertarik menikmati senja di pantai daripada makan deh, Azka. Kita ke pantai, yuk!”
Azka tertular senyuman Reina, lelaki itu mengacak gemas puncak kepala Reina. “Baiklah, mari kita ke pantai!”
***
“Kondisi Nadine sudah membaik. Dia sudah bisa bermain dengan Nara. Kau ... kapan akan kemari?”
“Mungkin besok. Hari ini aku harus ke suatu tempat. Tolong jaga Nadine.”
“Baiklah.”
Dimas kembali memasukkan ponselnya ke saku setelah berbicara dengan Rama. Perasaannya jadi ringan karena tahu Nadine sudah sadar. Dia kemudian mengambil kunci mobil dan menyampirkan jaket di bahu. Sambil bersiul dia masuk ke dalam mobil dan menancap gas menuju apartemen Reina. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk tiba di tempat tinggal Reina.
Ding dong!
Dimas menunggu beberapa detik, tetapi pintu di depannya masih belum terbuka. Lagi, Dimas mencoba memencet bel beberapa kali, tetapi si pemilik rumah tidak merespons. “Ke mana, sih?” Dimas merogoh ponselnya, menelepon Reina, hanya nada sambung yang terdengar. Dimas mengulanginya beberapa kali, tetapi karena tetap tidak ada jawaban, Dimas memilih mengirimkan chat kepadanya.
Anda: Kau di mana?
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Reina membalas.
Gadis Bodoh: Di pantai.
Gadis Bodoh: Maaf tidak mengangkat telponmu.
“Ck. Pantas saja dia tidak mengangkat telponku,” gerutu Dimas. Dengan langkah cepat dia meninggalkan apartemen Reina.
Anda: Kau pergi refreshing, ya?
Anda: Patah hati membuatmu menyedihkan, ya?
Anda: Tunggu aku di sana, aku akan menemanimu.
Anda: Hitung-hitung menghiburmu.
Dimas terkekeh pelan, dia bisa menebak pasti Reina akan memberengut karena pesan yang mengejek dirinya. Dimas ingin segera melihat ekspresi cemberut dari Reina yang selalu bisa membuatnya terhibur.
Ping!
Dimas sedang membuka pintu mobil saat balasan chat Reina masuk.
Gadis Bodoh: Terima kasih, tapi aku tidak semenyedihkan itu.
Gadis Bodoh: Azka bersamaku. Dia datang meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya.
Pergerakan Dimas terhenti, tanpa sadar dia tertegun untuk beberapa saat. Dimas tidak tahu kenapa hatinya terasa sangat kecewa membaca balasan Reina. Mungkinkah ia kesal karena Reina sudah berbaikan secepat itu dengan Azka seteah apa yang dilakukan lelaki itu, atau kesal karena Reina menghabiskan waktu berdua bersama Azka.
Dimas memilih opsi yang pertama untuk meyakinkan dirinya. “Ya, aku kesal karena Azka si brrngsk itu sangat cepat dimaafkan oleh Reina.”
***
Pagi-pagi sekali Dimas sudah berdiri di depan apartemen Reina. Hari ini dia akan memberi pelajaran pada Reina bagaimana seharusnya dia bersikap kepada orang yang melukai hatinya. Kekesalan dan kekecewaan Dimas kemarin masih terasa sampai sekarang, lelaki itu bahkan kesulitan untuk tidur hanya karena memikirkan betapa bodohnya seorang Reina.
“Loh, Dimas? Ada apa datang pagi-pagi?” Reina menyambutnya dengan pertanyaan saat lelaki itu masuk ke rumahnya. “Kamu tidak kerja?”
“Ada sesuatu yang harus kuurus dulu,” ucapnya dan melenggang masuk mendahului Reina.
Reina mengedikkan bahu, dia lalu kembali ke dapur melanjutkan aktivitasnya. Nasi goreng yang tadi dimasaknya kini dia masukkan ke dalam kotak bekal bersama telur mata sapi dan lauk lainnya. Dimas memperhatikan apa yang dilakukan Reina dengan penasaran. “Kau mau ke mana bawa bekal?”
“Ini buat Azka,” jawab Reina. Senyum wanita itu mengembang, matanya berbinar ceria.
Semua itu membuat Azka merasa kesal. Bisa-bisanya Reina memaafkan Azka secepat itu. “Kau memang wanita bodoh,” gumam Dimas. Lelaki itu segera mendekati Reina, meraih kotak bekal itu dan memakannya.
“Hei! Jangan dimakan! Ini kan buat Azka!” tegur Reina, berusaha merebut kotak bekalnya lagi dari Dimas. Namun, Dimas merentang jarak antara mereka agar Reina tidak mudah mendapatkannya. “Dimas! Kembalikan!” teriak Reina.
“Aku juga lapar, Reina. Lebih baik ini buatku saja.”
“Ih! Jangan!”
Aksi kejar-kejaran segera terjadi, Reina yang keukeh ingin merebut bekalnya dan Dimas yang juga tidak ingin memberikannya begitu saja. Kejar-kejaran mereka baru berakhir saat seluruh isi kotak bekal tersebut tandas. Lelaki itu meletakkan kotaknya di meja dan meraih segelas air putih, dengan santai dia mengacak puncak kepala Reina yang wajahnya sudah merah padam karena kesal.
“Masakanmu enak. Tingkatkan!” ucap Dimas santai.
“Dasar, Dimas!” Reina memberi serangan cubitan maut sehingga membuat Dimas tersedak minumannya. “Rasain!”
“Ck! Kamu keterlaluan ya, Reina. Aku hampir saja mati tersedak tahu!”
“Bodo amat!” ucap Reina. Wanita itu kini menatap hampa kotak bekal yang sudah kosong. Padahal dia bangun pagi-pagi menyiapkan makanan untuk Azka, memasakkannya dengan sepenuh hati, tetapi makanan itu malah dihabiskan oleh Dimas.
Dimas menjlurkan tangannya dan menarik pipi Reina dengan gemas. “Hei, kenapa cemberut begitu, sih?”
“Apa, sih?” Reina menampik tangan Dimas dengan kesal. Dia lalu membawa kotak bekal tersebut di wastafel dan mencucinya. Yah, memberikan bekal untuk Azka kali ini gagal.
“Kau marah hanya karena aku menghabiskan makanmu?” pancing Dimas ikut berdiri di sebelah Reina.
Wanita itu mempelototinya dengan tajam. “Masalahnya bukan itu, Dimas,” keluh Reina. Dia mengambil lap dan menyeka tangannya kemudian keluar dari dapur menuju ruang tamu. Dimas setia mengekorinya. Keduanya kini duduk di sofa dan bertatapan satu sama lain.
“Apa masalahnya?”
“Aku sudah bela-belain bangun pagi-pagi hanya untuk menyiapkan bekal itu. Tapi kamu dengan entengnya menghabiskannya.”
“Lalu? Di mana letak kesalahannya?”
Reina rasanya ingin menggigit Dimas saking kesalnya. “Astaga, Dimas. Sudah jelas salahmu karena kamu menghabiskannya! Kamu kan tahu itu spesial untuk Azka.”
Sesuatu tiba-tiba mencubit jantung Dimas, entah apa. Rasanya seperti ada yang teriris di dalam sana. “Kau ... masih mengharapkan Azka?”
“Apa?” Reina mendongak, tatapannya seolah mengatakan kalau pertanyaan yang dilontarkan Dimas adalah pertanyaan bodoh. Tentu saja Reina masih mengharapkan Azka!
“Kau masih mengharapkan Azka?” Bodoh! Suara di kepala Dimas berteriak, jawaban di hadapannya sudah jelas tetapi lelaki itu malah mengulang pertanyaan yang sama.
“Kenapa kamu bertanya lagi? Bukankah kamu sendiri yang memintaku untuk kembali mengejar Azka?”
“Itu ....” Dimas tidak tahu harus berkata apa. Dia bingung pada dirinya sendiri, harusnya dia menanggapi pembicaraan ini dengan santai seperti biasa. Tapi, entah kenapa dia merasa aneh, tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu. “Bukankah seharusnya kamu tidak langsung memaafkan Azka? Dia kan sudah menyakitimu.”
Pandangan Reina kini mengarah ke sembarang arah. Mencari-cari jawaban yang tepat karena dia takut Dimas akan memarahinya lagi—meski sekarang lelaki itu sudah masuk mode marah. “Aku sepertinya memang tidak bisa membenci Azka, Dimas.”
“Itu aku sudah tahu!” Dimas mengacak belakang kepalanya gemas. “Maksudku, tidak bisakah kau berpura-pura untuk marah? Beri dia peringatan untuk tidak menyakitimu lagi.”
“Aku tidak bisa, Dimas.” Reina menggeleng pelan, wanita itu menunduk dalam-dalam. “Tiap kali Azka menyakitiku, rasa cintaku kepadanya malah semakin besar. Aku tahu ini bodoh, tapi aku bisa apa? Hatiku tidak bisa kukendalikan.”
“Itu perasaan bodoh, Reina,” komentar Dimas.
“Ini cinta,” tegas Reina.
Dimas menggeleng tegas. “Itu kebodohan. Kau terlalu lemah pada Azka hingga dia memanfaatkan kelemahanmu setiap dia menyakiti perasaanmu. Kau terlalu mendewakan Azka, sampai-sampai menyakitimu sudah termasuk hal lumrah bagimu. Bullsht kalau orang bilang itu cinta, itu hanya kebodohan dengan mengatasnamakan cinta!”
Reina menunduk dalam-dalam, tidak membantah sepatah kata pun ucapan Dimas.
“Mungkin kemarin aku mendukungmu untuk mengejar Azka, itu karena kupikir dia baik untukmu. Tapi sekarang, setelah melihat dia menyakitimu, rasanya aku tidak bisa ikhlas kau bersama laki-laki seperti Azka. Dia bahkan tidak peduli perasaanmu. Kau tahu? Dia hanya menganggapmu sahabat, tidak lebih! Jadi, mulai sekarang kamu jangan berha—“
“Huaaaa!”
“Eh?”
Dimas gelagapan melihat Reina yang menangis sambil meraung-raung. “Hei, hei, hei! Diam! Kenapa kau malah menangis?” Dimas segera duduk di samping Reina. “Reina, hush, diam. Jangan menangis! Aku ... aku keterlaluan, ya? Iya?”
“Kamu jahat, Dimas! Hiks ... memangnya aku tidak boleh berharap? Hiks.”
Kepala Dimas mendadak pusing. Reina menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. “Reina, diam! Kalau orang dengar, mereka bisa salah paham!” bujuk Dimas. Namun, tangis Reina semakin menjadi-jadi.
Dimas tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Dia memang sering melihat Reina menangis, tetapi dia menangis dengan elegan, selayaknya orang dewasa. Tapi ini, sekarang Reina lebih mirip seperti anak kecil. “Astaga, aku harus bagaimana?” Ragu, Dimas menjulurkan tangan ke belakang Reina, kemudian merengkuh wanita itu dalam pelukan. Dimas memberi waktu beberapa detik untuk Reina mendorongnya karena sudah berani memeluknya, tetapi karena Reina tidak merespons apa-apa, dengan pelan Dimas mengusap punggung Reina, dan menyandarkan dagunya di kepala Reina. “Hush, diam. Jangan menangis. Maafkan aku,” bisik Dimas. Berulang kali sampai tangisnya berubah jadi sesenggukan pelan.
Dimas menghela napas lega karena Reina berhenti meraung, untung saja karena kalau tidak, orang-orang pasti akan salah paham dan menganggapnya sedang berbuat jahat. Dengkuran halus menyadarkan Dimas bahwa wanita yang ada di dalam pelukannya kini sedang tertidur.
“Dasar! Membuat khawatir saja,” gumam Dimas.