Maaf

2076 Kata
“Lebih baik Nadine dipindahkan ke rumah sakit dekat kantormu. Agar kau tidak perlu bolos kerja lagi,” ucap Dimas saat melihat Rama membawa sebuah koper big size dan juga laptop. Rama menggeleng. “Jangan. Aku takut ada yang melihat dan akan memberi tahu ayahku. Kalau sampai itu terjadi ... dia pasti akan menyakiti Nadine.” Dimas jadi teringat saat Nadine menangis di pelukannya beberapa tahun yang lalu saat Rama pertama kali memperkenalkannya kepada orang tua lelaki itu. Meski Nadine cerdas dan berpendidikan, tetapi status sosialnya dan Rama berbeda. Nadine hanyalah anak yatim piatu yang mendapat beasiswa karena kecerdasannya, sedangkan Rama putra sulung dari keluarga Bagaskara, orang yang begitu terpandang. Sayangnya, meski berpotensi sebagai menantu idaman, Nadine kalah dari Hana yang memiliki keluarga setara dengan Rama. Dan yang didapatkan Nadine saat pertemuan pertamanya dengan keluarga Rama hanyalah penghinaan. Kenangan itu membuat Dimas mengepalkan tangan. Masa-masa kelam sepupunya membuat dadanya sesak. Benar yang dikatakan Rama, kalau sampai ayah Rama tahu tentang Nadine, lelaki tua itu pasti akan menghalalkan segala cara demi menyingkirkannya. Bukan tidak mungkin jika dia juga akan menyakiti Nara meski gadis kecil itu adalah darah daging putranya sendiri. Karena yang Dimas tahu, orang tua Rama terobsesi dengan anak laki-laki yang wajib meneruskan usaha keluarga. “Baiklah, terserah kau saja asal Nadine tidak apa-apa.” Rama mengangguk. Lelaki itu kemudian menarik kopernya menuju lemari yang ada di dalam ruangan itu. “Apa kau sudah menceritakannya kepada Ha ....” Dering ponsel menginterupsi ucapan Dimas. Lelaki itu segera mengeluarkan ponsel dari saku baju, ID Caller menampakkan nama Reina dari sana. Dia kemudian menggeser ikon berwarna hijau. “Halo?” “Azka jahat, Dimas. Dia jahat! Hiks ....” Suara tangisan Reina yang menyapa membuat Dimas terkejut. “Reina? Kamu kenapa? Apa yang diperbuat Azka padamu? Beri tahu aku!” Rama yang mendengar nada panik di dalam suara Dimas seketika memperhatikan lelaki itu. Dari jarak tiga meter, Rama bisa melihat kekhawatiran di mata Dimas. Rama ingin bertanya, tetapi sepertinya Dimas tidak akan menjawab karena dia terlalu fokus pada orang yang ada di seberang telepon.  “Hiks ... Dimas. A-Azka jahat ....” Tanpa pikir panjang, Dimas mematikan telepon dan meraih jaketnya. Lelaki itu kemudian menatap Rama. “Tolong jaga Nadine.” “Oh? Iya ....” Tanpa menunggu respons Rama, Dimas sudah berlari keluar dari kamar Nadine. Untuk beberapa saat, Rama bertanya-tanya apa hubungan Dimas dengan gadis bernama Reina itu hingga bisa membuat Dimas kalang kabut seperti itu. “Mas ... Rama?” Rama menoleh cepat ke asal suara, matanya melebar saat sebuah senyum lemah menyambut tatapannya. “Nadine?” *** “Reina?” Dimas terkejut melihat Reina duduk menyandar di depan pintu rumahnya. Make up-nya sudah luntur dan wajah wanita itu sembap. Meski Dimas tahu lokasi keberadaan Reina lewat GPS—karena sejak di perjalanan Dimas tidak bisa menghubunginya—dia tidak menyangka kalau Reina akan duduk tersungkur seperti gelandangan di depan pintu rumahnya. “Dimas!” Tangis Reina lantas pecah saat dia sudah menghambur ke pelukan Dimas. “Hei, kamu kenapa? Apa yang dilakukan Azka?” tanya Dimas khawatir. Reina masih belum menjawab, wanita itu masih sibuk menangis. Dimas memilih mengajak Reina masuk ke rumahnya, takut tetangga salah paham melihat mereka, apalagi saat ini sudah malam. Bisa saja mereka mengira Dimas melakukan kekerasan pada Reina sampai-sampai wanita itu menangis. “Ini, minum dulu.” Dimas menyodorkan segelas air putih dan tisu setelah meminta Reina menunggunya di ruang tamu. Reina bergeming, air matanya masih setia mengalir, beserta sesenggukan halus yang masih terdengar. “Kalau kamu sudah tenang, kamu bisa cerita apa yang dilakukan Azka kepadamu.” “Tante Kinan tahu ka-kalau Hana sudah menikah ....” Akhirnya setelah beberapa menit dilewati hanya dengan suara tangis, Reina kini angkat suara juga. “Lalu?” “Aku tidak tahu siapa yang memberitahukannya, tapi Azka mengira kalau aku yang melakukan itu dan mengamuk kepadaku.” Dimas meraih kedua tangan Reina ke dalam genggamannya, tatapan lelaki itu lembut menenangkan. “Jika dipikir pakai logika, siapa pun pasti akan menuduh kita karena hanya kita berdua yang tahu status Hana. Tapi,” Dimas menekankan kata tapi saat dilihatnya Reina mulai tersinggung dengan ucapannya, “aku yakin Azka menuduhmu saat dia emosi, kan?” Reina menarik kembali kedua tangannya, membuang pandangan ke arah lain. “Tidak seharusnya Azka langsung mengamuk begitu saja. Dia seharusnya mencaritahunya lebih dulu!” “Ya, kamu benar. Kamu tenang saja, aku akan menemui Azka besok dan menjelaskan kalau kita tak pernah melakukan hal itu,” tutur Dimas. Lelaki itu kemudian menyodorkan jaket kepada Reina. “Pakai ini, aku akan mengantarmu pulang.” “Pulang?” tanya Reina polos. Satu alis Dimas terangkat. “Iya, pulang. Atau ... kamu mau menginap di sini?” Dimas tersenyum jahil. “Yah, aku sih tidak apa-apa kalau kau mau menginap. Tapi kumohon jangan menerjang saat aku lengah, ya?” “Dasar m***m!” umpat Reina sebal. Kesedihannya tadi mendadak jadi kesal karena godaan Dimas. Dengan langkah dientakkan, Reina keluar dari rumah Dimas menuju mobil lelaki itu terparkir. *** BUGH! Satu hantaman melesat keras mengenai rahang Azka saat lelaki itu membuka pintu apartemennya. Dia yang jatuh tersungkur kini menengadah, menatap lelaki yang baru saja melayangkan kepalan tangannya. “Kau berniat bertamu atau berkelahi?” sindir Azka. Lelaki itu segera berdiri setelah mengusap sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah. Terkejut karena tidak ada angin, tidak ada hujan, Dimas langsung menyerangnya. Entah karena apa. “Menurutmu?” Dimas menyugar rambutnya sebentar sebelum kembali melayangkan tangannya. Kali ini tepat di perut, Azka terbatuk dibuatnya. Dimas kini mencengkram kerah kemeja Azka, lalu menutup pintu dengan kakinya. “Kau benar-benar brengssk, ya?” “Kita bisa bicara baik-baik, Dim—“ “Baik-baik bagaimana, hah?!” bentak Dimas tepat di depan wajah Azka. “Memangnya saat kau menuduh Reina, kau bicara baik-baik padanya?” Mendengar nama Reina, Azka jadi sadar kalau apa yang saat ini dilakukan Dimas adalah karena Reina. Wanita itu pasti sudah mengadu pada Dimas. “Kenapa kau harus menuduh Reina, hah! Apa kau tidak pernah berpikir kalau Reina itu—“ “Maaf,” potong Azka. Dimas menyentak Azka kemudian duduk di sofa yang langsung diikuti oleh sang pemilik rumah. “Jangan pernah menyakiti hati Reina, Azka. Jangan pernah membuatnya menangis.” Azka mengembuskan napas. Setelah kepergian Reina dan Kinan tadi sore, dia merenung cukup lama. Memikirkan sikap kasarnya terhadap Reina. Azka sadar dirinya sudah keterlaluan. “Maaf karena membuat Reina menangis,” ucap Azka. Dimas berdecak. “Jangan meminta maaf kepadaku. Minta maaflah kepada Reina.” “Ya, kau benar. Seharusnya aku minta maaf dengan Reina.” Azka kemudian berdiri dan menuju dapur, mengeluarkan dua kaleng soda dari dalam kulkas dan menyajikannya di depan Dimas. Kedua lelaki itu kini menikmati minuman mereka dalam diam dengan berbagai pikiran masing-masing. “Maaf sudah menonjokmu,” ucap Dimas tiba-tiba. Azka terkekeh pelan. “Not a problem.” Dia kemudian meringis. “Yah, meski sakitnya masih terasa,” ungkapnya. “Sorry,” ringis Dimas. “Yah, aku memaklumi kemarahanmu kok. Sebagai pacar Reina kamu pasti tidak terima kalau ada yang menyakitinya, baik itu sahabatmu sendiri.” “Hei, aku bukan ....” Dimas serta merta terdiam. Dalam hati merutuki kebodohannya yang hampir saja keceplosan mengatakan kalau sebenarnya dia bukanlah kekasih Reina. “Bukan apa?” tanya Azka heran. “Ya, bukan apa-apa. Ah, bagaimana dengan proses move on-mu?” Dimas mengalihkan topik. Namun, Azka tidak terpancing, lelaki itu memilih diam dan menghabiskan sodanya. “Hei, kau tidak mau memberitahuku, hah?” desak Dimas. Azka mengangkat bahu. “Sepertinya kita tidak perlu membahas diriku. Aku lebih tertarik dengan dirimu. Kapan kau akan melamar Reina?” Uhuk! Dimas tersedak soda dan terbatuk-batuk kala mendengar pertanyaan Azka. Dia menatap horor Azka yang melontarkan pertanyaan seperti itu. “Bagaimana mungkin aku melamar Reina?” sergahnya spontan. Kedua alis Azka menukik, heran mendengar ucapan Dimas. “Bagaimana tidak mungkin? Kalian kan pacaran.” Tatapan Azka berubah curiga. “Apa kau ... hanya main-main dengan Reina?” Dimas menggeleng cepat. “Aku tidak mungkin mempermainkan perasaan Reina!” “Lalu, kenapa kau bilang tidak mungkin untuk melamarnya?” Dimas tediam, mencari jawaban yang cocok untuk dikatakan kepada Azka. Faktanya, dia dan Reina hanya sebatas sahabat yang berpura-pura pacaran agar Azka tidak membentang jarak pada Reina seperti saat wanita itu mengungkapkan perasaannya dulu. “Yah ... kita tidak tahu sebuah hubungan akan berakhir bagaimana, Azka,” jawab Dimas. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya pada sofa, menengadah menatap langit-langit ruang tamu. “Seperti hubunganmu dengan Hana, tidak ada yang tahu kalau akhirnya akan seperti sekarang.” “Sialn!” umpat Azka. “Aku benar, kan?” tanyanya kepada Azka. “Aku tidak bisa berekspektasi tinggi dengan hubunganku dan Reina karena tidak ada yang tahu seperti apa takdir yang digariskan Tuhan terhadap kami.” Pandangan Dimas kemudian beralih pada Azka. “Kita bisa saja berandai-andai akan menikah dan hidup bahagia selamanya. Namun, takdir bisa saja merebut kebahagiaan itu dari kami. Mungkin saja bahagiaku dan Reina tidaklah sama. Mungkin pula bahagianya bukan denganku.” Dimas menghela napas panjang, tertawa pelan dan mengerling pada Azka. “Keren, kan, kata-kataku?” “Bisa saja kau!” Azka terkekeh. Lelaki itu kemudian menepuk pundak Dimas dengan tegas. Wajahnya kini kembali serius. “Sebelum takdir benar-benar meneriakkan penolakan kepada kalian, kau harus tetap memperjuangkan cintamu terhadap Reina. Jangan jadi sampai kau menyesalinya di kemudian hari. Bahagiakan Reina, cintai dia seperti dia mencintaimu.” Mencintaiku? Bagaimana mungkin jika pusatnya selalu berfokus kepadamu? ***                “Kasihan ya Pak Azka. Sekalinya jatuh cinta langsung melamar, eh tapi malah ditolak. Padahal Pak Azka itu idaman perempuan, loh.” “Iya, ya. Andai si Hana itu menerima lamaran Pak Azka, mereka pasti jadi pasangan sempurna. Secara kan Pak Azka ganteng dan wanita itu cantik banget.” “Ah, iya, padahal sebelum lamaran mereka manis sekali, ternyata takdir tidak ada yang tahu, ya.” Wanita selalu identik dengan yang namanya gosip. Wanita dan gosip benar-benar seolah tidak bisa dipisahkan. Dulu, Azka mengira itu hanya anggapan orang-orang saja, tetapi sekarang dia membenarkan hal tersebut. Sudah lama sekali sejak ulang tahunnya, dan gosip penolakan Hana masih segar di ingatan rekan-rekannya, malah awet terasa. Bisikan-bisikan mereka masih terdengar, meski sepertinya mereka tidak sadar kalau Azka duduk tepat di belakang mereka, sedang menikmati makanannya yang semakin hambar seiring semakin lamanya gosip tentang dirinya. Sebuah nampan berisi sandwich diletakkan seseorang tepat di hadapannya. Menyusul sang empu yang memasang seringaian ganjil. Saat Ambar duduk di depannya, selera makan Azka mendadak hilang. Dia meletakkan garpu dan sendoknya lalu memasang wajah malas. “Kenapa wajahmu masam seperti itu? Harusnya kau bahagia mendapat hadiah dariku.” Kerutan di kening Azka bertambah. “Apa maksudmu?” Masih dengan seringaiannya, Ambar menopang dagu dengan kedua tangannya. “Hadiah yang kuberikan kepada ibumu kemarin.” BRAK! Seluruh penghuni kantin lantas terkejut mendengar Azka menggebrak meja. Kedua mata lelaki itu menatap Ambar dengan tajam, seolah mampu menghunusnya hanya dengan tatapan. Akhirnya Azka tahu siapa yang membeberkan fakta tentang Hana. “Kau ... bagaimana mungkin bisa melakukan hal seperti itu?” “Melakukan apa? Oh ....” Ambar memasang wajah sok polos, kemudian manggut-manggut. “Membantumu memberitahukan kebenarannya kepada orang tuamu? Itu, ya?” Rahang Azka mengeras. “Kau melakukan kesalahan fatal, Bu Ambar,” desis Azka. Ambar malah memberinya tatapan mengejek. “Pak Azka yang terhormat, aku sebagai rekanmu, sudah tulus membantumu menyampaikannya. Kenapa kamu malah marah? Bukankah kamu harusnya berterima kasih? Karena tidak harus menyusun kalimat untuk memberi tahu orang tuamu.” “Terima kasih apa? Kau malah memperburuk keadaan!” “Astaga!” Ambar pura-pura terkejut. Suaranya yang cukup keras membuat mereka jadi pusat perhatian. “Bagaimana mungkin aku memperburuk keadaan? Aku kan hanya memberi tahu ibumu kalau Hana yang kamu cintai setengah mati itu sebenarnya sudah menikah dan punya anak.” Bisik-bisik penghuni kantin lantas terdengar, terkejut dengan ucapan Ambar. Mereka penasaran apakah hal itu benar atau hanya hoax. Tatapan mereka kini menghujam Azka, menunggu konfirmasi dari lelaki itu. Wajah Azka tidak lagi bersahabat, dia sangat sadar kalau Ambar hanya ingin mempermalukannya. “Jangan-jangan kamu tidak tahu kalau Hana sudah menikah?” Ambar kembali memantik kemarahan Azka. “Kalau kamu tidak percaya, aku ada kok foto pernikahannya. Kalau kamu mau, aku bisa mengirimkannya.” Ambar mengeluarkan ponsel, berniat merealisasikan perkatannya. Namun, Azka dengan cepat menyambar ponsel Ambar dan melemparkannya ke sembarang arah. Baik Ambar dan yang lainnya lantas memekik melihat kondisi ponselnya yang sudah tak berbentuk. “Azka! Kamu keterlaluan!” teriak Ambar. “Dengar. Sekali lagi kamu mengusik ketenanganku, saat itu aku tidak hanya akan merusak ponselmu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN