Lima tahun ini hal yang paling diinginkan oleh Nadine adalah saat bangun tidur hal pertama yang dilihatnya adalah wajah Rama yang masih tertidur pulas. Lalu, sebelum tidur, hal terakhir yang ingin dilihatnya pun adalah wajah Rama. Namun, selama mereka menikah, Nadine tidak pernah sekalipun melihat wajah Rama yang masih tertidur. Setiap Rama menginap, lelaki itu akan pergi sebelum dia terbangun. Dengan beralasan pekerjaan kantor yang menumpuk.
Meskipun dua tahun ini Rama sering menghabiskan waktu bersamanya dan juga Nara, tetapi lelaki itu selalu tidak fokus, seolah dia mempunyai beban pikiran yang berat. Nadine ingin tahu apa yang membuat suaminya begitu, tetapi kondisinya tidak memungkinkan.
“Nadine?” sapaan serak Rama membuat Nadine tersenyum, lelaki itu terbangun dan menegakkan tubuh. Semalaman dia tidur sambil duduk menunggui Nadine. “Ada apa, Sayang? Ada yang sakit?” tanyanya khawatir.
Nadine menggerakkan tangannya untuk mengelus pipi Rama. “Aku mencintaimu,” bisik Nadine.
Rama meraih tangan Nadine dan menggenggamnya dengan kedua tangan. “Aku juga mencintaimu,” balas Rama.
Lelaki itu kemudian mendekat dan mencium kening Nadine seraya berbisik, “Terima kasih sudah kembali.”
“Nara ... bagaimana, Mas?” tanya Nadine. Dia baru sadar kalau putrinya tidak ada.
“Kamu tidak perlu khawatir, Nara di rumah. Ada Bibi yang jaga, yah ... dia akan ke sini setiap pulang sekolah,” jelas Rama.
“Aku mau bertemu Nara, Mas.”
Rama melemparkan senyum dan mengelus rambut istrinya itu dengan sayang. “Iya, sebentar lagi Nara akan kemari, kok. Tunggu, ya?”
Nadine mengangguk, dia bergerak, mencoba untuk duduk, tetapi segera ditahan oleh Rama. “Jangan bergerak dulu, Sayang. Kamu baru siuman, istirahatlah lebih dulu.”
“Tapi, Mas ....”
“Jangan nakal, kamu harus turuti kata dokter. Biar kamu bisa cepat sembuh.”
Mau tidak mau, akhirnya Nadine menuruti Rama. Meski pegal karena hanya tidur terus-terusan, tetapi Nadine harus menurut demi kesehatannya. Rama tahu Nadine bosan, maka dari itu dia mengupas buah-buahan untuk Nadine yang diterima wanita itu dengan senang.
“Penyakitku ... sepertinya tambah parah ya, Mas?” Pertanyaan itu muncul di sela-sela Rama mengupas apel, lelaki itu menghentikan gerakannya lalu menatap istrinya yang masih pucat tetapi sudah terlihat cukup baik. Rama mengulas senyum menenangkan, meski matanya tidak bisa membohongi Nadine. “Tidak kok, semuanya akan baik-baik saja,” ucap Rama.
“Sepertinya aku akan kesusahan kalau makan sambil tiduran?” ujar Nadine ketika Rama menyuapkan sepotong apel.
Rama mengerti, lelaki itu segera meletakkan piring buah lalu menyetel tempat tidur agar Nadine bisa duduk bersandar. “Terima kasih,” ucap Nadine setelah posisinya sudah terlihat nyaman.
Rama kemudian meraih kembali piring buah dan menyuapi Nadine.
“Apa ... aku bisa sembuh?”
Untuk beberapa waktu yang lama, Rama tidak menjawab. Dia masih terkejut karena dihadapkan pada pertanyaan yang dia sendiri tidak tahu jawabannya. Pertanyaan yang menyiratkan pengharapan. Menurut keterangan dokter kemarin, kondisi Nadine menurun hingga dokter memvonis usianya tinggal sedikit lagi. Ada jalan agar Nadine bisa sembuh, tapi prsentasenya kecil. Namun, Rama ingin mengambil risiko itu jika hanya itu jalan satu-satunya untuk Nadine bisa sembuh. Mencoba lebih baik daripada hanya diam menunggu.
“Mas?” panggil Nadine lagi.
Rama tersadar, lelaki itu berpaling dan mengusap sudut matanya yang berair kemudian kembali menatap Nadine. Piring buah dia letakkan di nakas kemudian meraih kedua tangan Nadine dan menggenggamnya. Dinginnya kedua tangan wanita itu mengusik ketenangan Rama, tetapi dia mencoba berpikir positif. Dielusnya tangan istrinya itu dengan sayang, menyalurkan kehangatan di sana. “Kamu tenang saja. Kamu pasti sembuh,” ucap Rama.
Meski begitu, Nadine tahu itu hanya omong kosong. Semua orang juga tahu kalau leukimia merupakan penyakit mematikan yang tingkat kesembuhannya rendah. Orang yang sudah dinyatakan sembuh saja bisa tiba-tiba meninggal, apalagi dirinya.
“Leukimia stadium tiga itu bukan penyakit yang bisa sembuh seperti demam, Mas,” ucap Nadine.
Rama terkejut mendengarnya, dia jadi takut istrinya akan berpikiran negatif hingga membuat kondisinya semakin down. “Sayan—“
“Apa pun akan kulakukan demi kesembuhanku, Mas,” sergah Nadine.
“Apa pun?”
“Iya.”
“Sebenarnya ada cara yang bisa dilakukan demi kesembuhanmu. Tapi ....” Rama terdiam, tidak berani melanjutkan perkataannya.
“Tapi tingkat keberhasilannya rendah? Begitu?” tebak Nadine. “Apa Mas ingin aku melakukan kemoterapi?”
Rama mendongak, mencari seraut wajah ketakutan dari istrinya, tetapi yang didapatnya adalah wajah penuh percaya diri. “Sejak tahu aku mengidap penyakit ini, aku sudah cari tahu segala tentang penyakit ini, Mas.”
“Tapi ... kenapa kamu tidak pernah membicarakan tentang ini?”
“Karena kemoterapi punya efek samping yang akan membuatku tidak cantik lagi,” jawab Nadine pelan, dia menatap suaminya dengan tatapan sendu. “Aku takut saat efek samping itu terjadi ... kamu akan meninggalkanku. Aku ....” Kedua tangan Nadine yang ada di genggaman Rama bergetar. “Aku tidak bisa hidup tanpamu, Mas,” lanjut Nadine.
Rama meraih Nadine dalam pelukannya, mengelus punggung istrinya dengan sayang. “Sampai kapan pun, Mas tidak akan pernah meninggalkanmu. Meski rambutmu botak, tubuhmu kurus mengering, Mas tetap akan mencintaimu.”
“Janji?”
Rama mengangguk. “Iya, Mas berjanji.”
“Kalau begitu ... aku mau kemo, Mas.”
***
“Kata Bu Arumi, Bapak memanggil saya. Ada apa?”
Sejak memasuki ruangan Pak Bambang dan melihat ponsel rusak milik Ambar yang tergeletak di meja orang nomor satu di sekolah itu, Azka sudah tahu kalau panggilan Pak Bambang pasti bersangkutan dengan insiden kemarin.
“Duduk dulu,” titah Pak Bambang.
Azka menurut, dia menarik kursi dan duduk di depan kepala sekolahnya itu. “Jadi, ada apa Bapak memanggil saya?” tanya Azka to the point.
“Astaga, kau tidak bisa lebih santai sedikit? Kenapa buru-buru sekali,” komen Pak Bambang.
“Maaf, Pak.” Azka melirik arlojinya. “Masalahnya saya ada kelas beberapa menit lagi. Kalau saya bersikap santai seperti yang Bapak maksud, bisa-bisa waktu saya habis hanya untuk sekadar sapa.”
Pak Bambang menggaruk belakang kepalanya yang tiba-tiba gatal menghadapi Azka. Sepertinya Azka tahu tujuan Pak Bambang memanggilnya, apa lagi kalau bukan tentang gosip hot yang menyebar tentang Azka yang mencintai wanita bersuami? Azka yakin betul Pak Bambang ingin mengonfirmasi semuanya, yah ... jiwa kepo Pak Bambang melebihi emak-emak kompleks sebelah.
“Apa be—“
“Ya, yang dikatakan Bu Ambar itu benar,” potong Azka.
Mata Pak Bambang membulat, syok. “Berarti—“
“Iya, Hana sudah menikah.”
“Kalau begitu kau—“
“Iya, saya mencintai istri orang.” Kembali Azka menyela.
Pak Bambang mengatupkan rahang karena pertanyaannya belum terlontar, tetapi Azka sudah menjawabnya dengan benar dan tegas, seolah lelaki itu bisa membaca pikiran. Karena sepertinya pertanyaan Pak Bambang sudah terjawab semua, Azka segera berdiri, mengangguk sedikit sebagai tanda pamit lalu pergi dari sana.
“Astaga, anak itu. Bisa-bisanya dia mencintai istri orang,” gumam Pak Bambang heran.
***
“Paman, kapan ke sini? Nara kangen. Mama udah sembuh, loh!” Gadis kecil itu melambai di depan kamera. Dimas tertawa kecil, gemas melihat tingkah lucu Nara. Anak itu lalu bergerak menghampiri ibunya hingga tampilan layar bergoyang-goyang. “Mama, Mama mau lihat Paman Dimas?” Terdengar suara Nara bertanya pada sang ibu.
“Memangnya pamanmu di mana?”
“Ini.” Layar yang tadi hanya memperlihatkan langit-langit kamar kini berganti dengan senyum ceria milik Nadine yang sudah lama dirindukan oleh Dimas. “Hai, Dim? Apa kabar?”
“Baik. Bagaimana denganmu? Kau minum obat dengan teratur, kan?”
“Iya. Mas Rama mengurusku dengan baik. Ehm ... terima kasih.”
“Hah? Untuk apa?”
“Terima kasih karena berkatmu Mas Rama sekarang selalu di sisiku,” ucap Nadine tulus.
“Jangan berterima kasih. Rama memang seharusnya selalu berada di sisimu.”
Senyum Nadine mengembang, meski wajahnya masih pucat, senyumnya tetap cantik. “Aku kangen. Kamu kapan menjengukku?”
“Dimas?” panggil seseorang.
Dimas yang sedang asyik video call-an sambil tidur-tiduran di gazebo rumahnya lantas mendongak. Di depannya ada Reina yang sedang menatapnya bingung. Wanita itu memakai dress selutut yang cukup manis, rambutnya yang agak bergerlombang ia gerai, make up yang dipoles di wajahnya pun natural. Orang-orang akan percaya jika ada yang menganggap Reina masih SMA, style-nya hari ini manis sekali.
“K-kau ... kenapa ke sini?”
“Hah?” Reina heran. Wanita itu segera duduk di samping Dimas dan melayangkan sebuah cubitan ke perut lelaki itu hingga Dimas mengaduh kesakitan dan segera bangun. “Kamu ini! Kamu sendiri yang mengajakku jalan, kenapa malah nanya?”
Untuk beberapa saat, otak Dimas ngeblank. Dia lupa pernah mengajak Reina pergi. “Hei, jangan bilang kamu lupa? Astaga.” Reina memutar bola mata. “Kamu ingat kan, saat memerahiku karena memaafkan Azka dengan cepat?”
“Hm ....” Dimas berpikir keras tentang kejadian semalam.
Dengkuran halus Reina menyadarkan Dimas bahwa gadis itu sedang tertidur. “Dasar! Membuat khawatir saja,” gumam Dimas. Lelaki itu membiarkan posisi mereka untuk beberapa saat, memberi kenyamanan untuk Reina. Dimas tidak tahu mengapa akhir-akhir ini emosi Reina jadi labil, entah itu karena mungkin sedang dalam masa PMS atau karena patah hati, yang pasti, Dimas harus ekstra sabar menghadapinya.
“Hei, kenapa kau selalu menuruti Azka, sedangkan denganku kau selalu menolak?”
Punggung Dimas terasa kaku karena sudah hampir setengah jam berada di posisi yang sama. Lelaki itu kemudian menggeser tubuhnya, merebahkan Reina di sofa sebentar sebelum akhirnya mengangkat wanita itu dan membawanya ke kamar. Dimas meletakkan Reina hati-hati, takut dia terbangun dan kembali menangis. Setelah sukses membaringkan Reina, Dimas duduk lega di sampingnya, menatap wajah sembap wanita yang entah kenapa mulai membuatnya kepikiran.
“Hei, besok apa kau mau jalan denganku? Aku akan memperkenalkanmu dengan seseorang,” tanya Rama meski tahu tidak akan mendapat jawaban.
“Bagaimana? Apa kau sudah ingat?” tanya Reina menyadarkan Dimas dari lamunan.
Wajah Dimas seketika memerah, malu. “Ja-jadi kau tidak tidur?”
“Eh? Jadi benar kau mengajakku pergi?” tanya Reina penasaran. “Hm, padahal kupikir aku bermimpi. Hahaha.”
“Paman? Tante itu siapa?” Suara anak kecil mengejutkan Reina dan Dimas. Reina bahkan mencari-cari asal suara tersebut di bawah gazebo. Dimas buru-buru meraih ponselnya yang tergeletak di lantai gazebo. Wajah bulat Nara langsung menyambutnya.
“Ini keponakanku,” jelas Dimas sambil menunjukkan ponselnya.
Reina akhirnya manggut-manggut. Dimas kembali menatap Nara dari balik layar, di sampingnya Reina mengintip. “Halo, tante cantik!” sapa Nara begitu melihat sosok Reina.
“Eh? Oh, halo!” balas Reina.
“Wah, Paman Dimas sedang bersama tante cantik!” seru Nara. Di layar kini berganti sosok Nadine yang penasaran. Saat melihat wanita yang dimaksud putrinya, Nadine tersenyum dan berkata, “Halo!”
Reina membalas sapaan tersebut tak kalah ramah. “Halo, Mbak.”
“Dimas, sepertinya aku tahu alasanmu tidak menjengukku. Kau sedang menikmati waktu bersama kekasihmu, kan?”
Ucapan Nadine yang blak-blakan membuat Dimas gelagapan. “Bukan! Reina bukan pacarku, kok,” bantah Dimas.
“Oh, jadi namanya Reina? Halo, Reina!”
“Halo, Mbak.” Ponsel Dimas kini berpindah tangan pada Reina.
“Dimas bilang kamu bukan kekasihnya, benar yang dia katakan itu?” tanya Nadine, sepertinya dia tidak percaya dengan perkataan sepupunya.
Reina tertawa. “Bukan kok, Mbak. Mana mungkin, kami kan sahabat,” jelas Reina.
“Yakin?”
“Tentu saja.”
Di seberang telepon, Nadine bisa melihat terukir segurat kekecewaan di wajah sepupunya itu saat mendengar ucapan Reina. Mungkin karena jawaban Reina tak sesuai ekspektasinya. Nadine jadi merasa kasihan dengan Dimas yang mungkin cintanya bertepuk sebelah tangan.
“Sayang, jangan terlalu lama menggodanya. Sini, istirahatlah.” Rama datang membawa nampan berisi makanan untuk Nadine lalu meletakkannya di nakas. Kemudian meraih ponsel tersebut dan menatap dua orang di lauar ponsel tersebut.
“Dimas, kalau kau mau menjenguk Nadine, kau bisa mengajak gadis di sampingmu,” ucap Rama sebelum memutuskan sambungan.
***
“Kya! Akhirnya Nara bisa ketemu Tante cantik!” seru Nara saat Dimas tiba bersama Reina. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Nara dan kedua orang tuanya.
“Halo, adik manis,” sapa Reina sebelum meletakkan parsel buah di nakas. “Hai, Mbak. Perkenalkan nama saya Reina.” Reina mengulurkan tangan kepada Nadine yang dibalas Nadine tak kalah ramah.
“Nadine,” ucapnya.
Reina? Batin Rama. Dari jarak beberapa meter, Rama memperhatikan sosok Reina yang ceria. Wanita itu cantik dan mudah bergaul, terbukti sekarang Nadine dan Reina nampak akrab bercerita, padahal mereka baru pertama kali bertemu. Sekarang Rama memusatkan perhatiannya pada Dimas yang berada di dekat para wanita itu. Melihat dari sorot matanya saat memandang Reina, Rama tahu arti dari tatapan Dimas. Terlebih mengingat tempo hari Dimas buru-buru kembali ke Jakarta karena ada sesuatu yang penting, dan Rama mengingat dengan jelas nama yang terucap dari mulut Dimas yang membuat lelaki itu kalang kabut untuk pulang. Rama yakin Dimas memiliki perasaan kepada wanita itu.
“Loh? Sudah mau pulang?” Suara Nadine menyadarkan Rama dari lamunan, lelaki itu segera bergabung bersama yang lain.
“Iya, Mbak. Ini sudah terlalu sore,” ucap Reina.
“Yaaah ... padahal seru kalau kamu ada di sini,” keluh Nadine, sepertinya dia sangat menyukai kehadiran Reina.
“Tante nanti datang lagi, kan?” tanya Nara sambil mendongak menatap Reina.
Reina berjongkok, menyejajarkan tingginya dengan Nara. “Iya, Tante pasti akan datang lagi.”
Nara menyodorkan jari kelingkingnya di depan Reina. “Janji?”
Reina pun ikut menautkan jari kelingkingnya pada Nara. “Janji.”
“Kalau begitu, Nara antar sampai depan lift, ya, Tante?” Tanpa menunggu persetujuan, Nara menarik Reina keluar dari kamar rawat Nadine.
Sepeninggal mereka, Nadine tersenyum. “Sepertinya Nara sangat menyukai Reina,” ucapnya.
“Ya, sama sepertimu,” imbuh Rama.
“Ya, dia sangat menyenangkan.”
“Baiklah kalau begitu aku pulang. Aku harus mengantar Reina,” pamit Dimas.
Nadine mengangguk. “Jaga Reina baik-baik ya, Dimas. Jangan sampai ada yang merebutnya darimu,” ucap Nadine saat Dimas hendak keluar.
Langkah lelaki itu terhenti, dia berbalik dan menatap Nadine heran. “Maksudmu?”
“Maksudku?” Nadine mengulang pertanyaannya, kemudian menatap Rama. “Mas, kamu melihatnya, kan?”
Rama mengangguk. “Iya.”
Dimas tambah bingung. “Maksud kalian apa?”
“Maksud kami, kau mungkin menyukai Reina. Jadi jaga dia baik-baik,” jelas Rama.
Jawaban itu membuat Dimas tidak habis pikir. “Apaan, sih?” Lelaki itu segera meninggalkan Nadine dan Rama.
***
Mereka tiba di Jakarta selepas Maghrib. Dimas mengajak Reina mampir untuk makan, tetapi wanita itu menolak karena sudah ada janji makan malam bersama orang tuanya. Oleh karena itu, Dimas mengantarnya ke kediaman orang tua Reina.
“Nadine dan suaminya terlihat sangat cocok. Mereka cantik dan juga ganteng, baik lagi. Pantas saja Nara secantik dan seimut itu!” Reina tersenyum senang, gemas memikirkan wajah bulat Nara yang begitu menggemaskan.
“Mereka benar-benar keluarga yang harmonis! Aku berharap nanti keluargaku akan seharmonis mereka,” ucap Reina penuh harap.
“Jangan jadi seperti mereka,” sela Dimas yang sejak tadi hanya diam, menatap jalanan di depan sana.
“Loh? Memangnya aku tidak pantas jadi seperti mereka?” Reina jadi sewot.
“Bukan begitu.”
“Lalu?”
Dimas tidak menjawab, lelaki itu mempercepat laju mobilnua.
“Hei, Dimas. Aku bertanya padamu.” Reina menepuk pundak Dimas tetapi lelaki itu tidak merespons. “Hei, jawab dong!”
“Tunggu dulu, kita berhenti di sana.”
Dimas menepikan mobilnya di tempat yang tidak ada tanda larangan parkir. Lelaki itu mematikan mesin mobil dan berbalik menghadap Reina. “Kenapa kau tidak boleh jadi seperti mereka? Karena mereka bukan keluarga harmonis.”
Reina menggeleng tidak percaya. Mustahil! Dengan mata kepala Reina sendiri, dia melihat betapa manisnya mereka. “Ba—“
“Rama itu suami Hana.”
“Apa?” mata Reina melebar. “Maksudmu ... Hana siapa?”
“Haa. Rihana Wulandari. Hana yang mencampakkan Azka. Hana-nya Azka.”
Reina tambah syok. “Tunggu, bagaimana bisa? Rama Nadine istrinya Rama ....”
“Lebih tepatnya istri sirinya,” koreksi Dimas.
Untuk beberapa saat, Reina tidak bisa berkata apa-apa. Dia masih bingung dengan penjelasan Dimas. “Jadi Rama berpoligami?”
“Ya.”
“Bagaimana mungkin?”
“Ceritanya dimulai saat Nadine dan Rama memutuskan untuk menikah ....”