****
"Bibi, apa yang kau lakukan? Apa kau sedang mencariku?"
Suara familiar yang dapat dikenali oleh Sasmi membuat sang gadis buru-buru menoleh. Seakan mendapati secercah sinar mentari kala badai melanda, Sasmi bersyukur karena bisa dipertemukan kembali pada pemuda ini.
"Ya," jawab Sasmi tanpa basa-basi. Gadis itu harus tahu kenyataan yang sebenarnya atau ia akan menderita seumur hidup. "Bisakah kita bicara sebentar? Oh ya, aku sedang mencari ponselku yang tertinggal di kamarmu. Apa kau melihatnya?"
"Memangnya kau menaruhnya dimana?" balas Haga lalu bersedekap. Pria berbaju kemeja kotak warna navy seolah tahu kemana arah bicara sang gadis. "Tadi malam kau tidur denganku, apakah senyaman itu hingga kau melupakan ponselmu?"
Perkataan Haga yang sedikit keras menimbulkan sang resepsionis cantik melirik Sasmi sejenak, alisnya naik sebelah. Pemuda sialan ini sengaja membeberkan rahasia mereka agar orang tahu apa yang telah terjadi pada mereka. Wajah Sasmi memerah, ia malu luar biasa saat Haga dengan santainya justru berkaymta demikian. "Sudah katakan saja, kau pasti menyimpan ponselku 'kan?"
Haga terdiam, bola matanya kembali melirik ke arah sang resepsionis yang mulai terganggu dengan percakapan mereka. Bibir pemuda itu sedikit tertarik, menyimpan sejuta misteri yang siap ia mainkan untuk sang bibi muda, Sasmita Anggi.
"Bagaimana kalau kita bicara romantis sambil sarapan pagi? Aku sangat lapar, ya, kau tahulah bagaimana kau manja sekali padaku tadi malam. Kau lupa kau minta tambah loh," ucap Haga sambil mengibaskan debu-debu yang mungkin menempel di lengannya.
Pernyataan Haga kembali memancing lirikan sang resepsionis yang pura-pura sibuk saat itu. Lirikannya kali ini menyiratkan tatapan yang aneh seolah menuduh bahwa Sasmi adalah gadis tukang drama yang suka berbasa-basi pada kekasihnya. Cih! Sialan betul pemuda ini.
"Ayo, kita sarapan Sayang. Jangan merengut seperti itu nanti cepat tua," canda Haga lalu meraih tangan Sasmi, menyeretnya menuju ke deretan kursi hotel yang diperuntukkan sebagai ruang makan milik hotel tersebut.
Tidak hanya membuat Sasmi malu di depan resepsionis, pemuda tengil ini bahkan menyingging masalah tua atau tidaknya. Hemm, sepertinya dia memang ingin mencari masalah secara perlahan dengan Sasmi. Namun begitu sang gadis hanya menurut ketika Haga membawanya ke ruang makan, ia bahkan tidak menolak saat Haga menarik kursi untuknya.
"Bibi, kita sarapan dulu ya. Aku sangat lapar," ucap Haga sembari meraih buku menu mewah yang tergeletak di atas meja. Bola mata coklat itu memindai setiap foto dan tulisan menu penuh minat, sesekali ia berkomentar tak jelas mengenai menu tersebut. "Bibi, kau mau sarapan apa biar aku pesankan sekalian?"
"Tidak, aku sama sekali tidak lapar." Sasmi berkata pelan namun sangat tegas, ia mencoba bersabar menghadapi Haga yang notabene sangat cerewet dan terlalu over baginya. Haga mengerutkan dahi seakan tahu apa yang tengah dipikirkan Sasmi kali ini. "Apa kau yakin tidak sarapan denganku? Oke, baiklah!"
Haga lantas memanggil pelayan, ia meminta menu nasi goreng ayam suwir dengan segelas lemon tea hangat. Entah kenapa Sasmi ini tertawa lepas saat tahu Haga hanya memesan nasi goreng dan lemon tea setelah berkomentar panjang kali lebar pada menu-menu mewah makanan hotel tersebut.
"Oh ya, Bibi nanti kau yang bayar makananku ya? Aku tidak memiliki uang, hanya lima puluh ribu yang tersedia di kantongku." Haga dengan jujur mengeluarkan uang lima puluh ribu dari saku kantong kemejanya. Duh, bocah tengil ini memang benar-benar menguras emosi saja!
"Tak masalah, aku yang akan bayar semuanya. Tapi apakah kau melihat ponselku di kamarmu?" Sasmi kembali pada tujuan awal, menanyakan ponsel dan sedikit berbasa-basi mengenai kejadian memalukan tadi malam.
"Tenang saja, aku membawanya kok." Haga menyeringai, ia merogoh saku celananya lalu mengeluarkan ponsel canggih dengan back cover warna merah marun milik Sasmi di atas meja. Gadis berambut panjang itu berbinar, ia meraih ponselnya dengan bahagia. Dengan cepat Haga menahan tangan Sasmi untuk mendapatkan ponselnya kembali. "Jangan pergi dulu, temani aku makan. Sesungguhnya aku takut jika kau tidak akan membayar pesananku."
Dahi Sasmi mengernyit, ia mengurungkan niatnya untuk mengambil ponsel. "Lagipula jika kau hanya penjual bunga, untuk apa kau menginap di hotel mewah? Apakah kau sedang tidak berpikir waras? Lihatlah, bahkan untuk membayar sepiring nasi goreng dan lemon tea saja kau harus menahanku."
Sasmi mulai kesal karena banyak aturan yang dilontarkan pemusa itu. Alih-alih tersinggung, Haga hanya terkekeh saat sang pelayan datang membawakan pesanannya. "Makhlumlah Bibi, aku memang penjual bunga camomile dan lavender biasa. Tadi malam aku datang bersama bosku, tidak disangka aku justru ditinggal karena kepentingan pribadi. Jadi, daripada sia-sia aku menghabiskan biaya menginap satu malam di hotel ini."
Pengakuan Haga memang masuk akal, biaya menginap di hotel ini memang mahal. Jadi jika Haga tidak bersama bosnya, mana mungkin pemuda ini bisa menginap di hotel bintang mewah seperti ini. "Mari makan Bi, aku begitu kelaparan sedari tadi malam."
Sasmi tak berkomentar, ia memandang bagaimana pria itu makan dengan lahap seolah belum pernah makan sejak tiga hari yang lalu. Melihat caranya makan membuat Sasmi harus mengernyitkan dahi. " Hei, pelan-pelan saja makanmu! Jangan sampai mulutmu pindah ke hidung."
Haga terkekeh, ia tidak peduli lagi dengan peringatan Sasmi. Gadis itu rela menunggu Haga selesai makan, ia masih bertanya-tanya apakah pria itu menggunakan pengaman tadi malam. Tapi jika ditilik dari cara bicaranya yang polos dan jujur, Sasmi menebak mungkinkah pria ini tahu apa itu pengaman. Duh, jantung Sasmi mulai berdebar ria saat membayangkan jika Haga sama sekali tidak menggunakan pengaman tadi malam.
"Ehm, boleh aku tanya sesuatu padamu?" Sasmi mengecilkan volume suaranya, sedikit canggung ketika hendak berniat akan menanyakan perihal tadi malam. Haga menatap Sasmi sambil menyuapi mulutnya dengan sesendok nasi goreng. Tak ada sorot curiga di wajah menyebalkan itu.
"Apa?" Haga kembali fokus pada nasi gorengnya yang tinggal separuh. Sasmi menelan ludah, ia meremas kedua jari-jari tangannya dengan resah. Gadis itu tertunduk sejenak, merangkai kata yang pas untuk ia pertanyakan pada Haga.
"Apakah, apakah tadi malam kamu—kamu memakai pengaman? Aku—aku takut kalau kebobolan," ucap Sasmi pelan. Wajahnya memerah karena menahan malu, ia bahkan mengatakannya dengan wajah tertunduk dan tak berani menatap wajah Haga Hanugara.
Pemuda itu menatap wajah Sasmi sambil mengunyah makanan, tak ada sorot wajah terkejut ataupun kaget dari wajahnya. "Bagaimana jika aku bilang tidak? Tadi malam itu kau begitu mengejutkanku."
"A-apa?" Sasmi terkejut bukan main, tanpa sadar ia menatap Haga dengan kedua bola melotot nyaris keluar.
"Ya, bagaimana bisa aku mempersiapkan pengaman? Kau datang secara tiba-tiba. Apa kau lupa bagaimana kau menarik handuk krem itu dari perutku? Kau juga menghujaniku dengan beberapa ciuman maut. Tadi malam kau benar-benar memperkosaku dan aku—yah, aku pasrah karena juniorku tidak kuasa menolak rayuanmu." Haga menjawab dengan polos, ia kembali menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.
Sasmi tak mampu berkata, wajahnya memerah padam karena menahan malu. Semua ini karena kecerobohannya, andai saja ia tidak minum dan percaya pada pria itu maka kejadian tadi malam pasti tidak akan pernah tertoreh dalam hidupnya. Melirik Sasmi yang terdiam dengan gurat keresahan yang terlihat jelas, Haga tersenyum kecil. "Tak masalah, jika kau hamil aku akan mempertanggungjawabkannya. Itu pun jika kau tidak malu memiliki suami penjual bunga sepertiku."
Haga terkekeh, ia lalu menghabiskan nasi goreng di piringnya dalam sekali suap. Menyeruput lemon tea hangat, Haga kembali menatap Sasmi. "Setelah aku pikir-pikir, aku tidak butuh cek darimu."
Haga mengeluarkan cek dari saku celana, menyodorkannya ke arah Sasmi. "Tapi aku butuh pekerjaan lain darimu. Mungkin aku bisa menjadi sopir pribadimu, bagaimana?"
Sasmi menautkan alis. "Kau sudah bekerja menjadi penjual bunga, untuk apa mau menjadi sopir pribadi? Aku tidak membutuhkan sopir."
Haga menyeringai, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang makan yang ramai dan mulai penuh dengan orang-orang yang ingin menyantap sarapan pagi. "Menjual bunga tidak selalu laku, aku lelah. Aku ingin menjadi sopir pribadimu, lagipula kau juga tidak akan kesulitan mencariku jika sewaktu-waktu Haga kecil itu tumbuh di dalam rahimmu. Oh ya, sepertinya tadi malam aku menembaknya di dalam jadi ya maaf-maaf saja, mungkin Haga kecilku masih berenang-renang di dalam perutmu untuk mencari kehangatan."
Wajah Sasmi memerah, ia malu bercakap-cakap dengan pemuda ini namun apa yang dikatakan Haga memang benar. Jika ada apa-apa setidaknya ia tidak kesulitan mencarinya, ia juga bisa minta pertanggungjawaban pria ini. Tenang saja, ini hanya sebulan sambil menunggu apakah ia hamil atau tidak. "Jadi, sembari menunggu benih pertamaku yang berkualitas tumbuh atau tidak, apakah aku boleh menjadi sopir pribadimu, Bibi?"
****
Jangan lupa tap love dan follow ya.
Tinggalkan pesan mendalammu pada Haga Hanugara di kolom komentar yuk!