Kala itu, Aku meminta izin kepada paman Lay untuk menjaga Louis di rumah sakit. Saat itu aku hendak pergi ke rumah Tiffany. Tujuanku ke sana adalah untuk memasang kamera kecil di kamarnya.
“ Tiffany, apa kau yakin kau tak apa jika Vincent menyakitimu?” tanyaku pada Tiffany saat tengah memasang kamera kecil di kamarnya.
Tiffany duduk di ujung ranjangnya, “ hmm, aku yakin. Jangan mengkhawatirkanku.”jawabnya santai.
Sebenarnya, dari relung hatiku yang paling dalam. Tak ada secuil niatpun dari hatiku untuk menjadikan Tiffany sebagai pancingan. Dia menawarkan dirinya secara sukarela kepadaku yaitu demi membantuku.
Aku sendiri bukan tipikal orang yang mau di bantu oleh orang lain, walaupun itu kerabatku sendiri. Aku juga benci melihat orang lain mengorbankan nyawanya demi diriku.
“ apa tujuanmu membantuku?” tanyaku padaku lagi setelah usai memasang kamera itu, aku duduk di sampingnya.
“ Irene, aku yakin Vincent akan berpikir aku yang telah mengatakan padamu bahwa dia mengirim mata-mata untukmu. Dia pasti akan berpikir begitu, aku akan menghadapinya jika dia memang ingin menyakiti ku karena aku membocorkan hal itu padamu” Ucapnya.
“ Jadi aku menyuruhmu memasang kamera agar perlakuannya kepadaku bisa kau jadikan senjata. Aku benar-benar ingin membantumu Irene.” imbuhnya pelan.
Aku mengangguk, “ Baiklah, jika itu maumu. Aku akan terus memantaumu lewat kamera itu”
Aku memasang rapi kemera kecil itu, Vincent Morgant tidak akan pernah mencurigaimya karena aku memasang itu di sela-sela bingkai gambar yang terletak di kamar Tiffany.
“ aku harus kembali ke rumah sakit, aku harus kembali sebelum matahati terbit dan mata-mata itu memata-mataimu” Ujarku pada Tiffany yang berpamitan pergi.
Semenjak itu, aku selalu membuka laptop dan mengecek soal perkembangan Tiffany. Vincent memang terus datang ke rumahnya, dia menunjuk-nunjuk ke arah Tiffany bahkan Vincent dengan ringan menampar wajah bibiku itu.
Tiffany hanya bisa berpasrah, karena itulah yang di inginkan Tiffany. Dia ingin terlihat tak berdaya di kamera agar polisi yakin bahwa Vincent Morgant memang sangat amat menyakitinya.
Aku terus merekam ulah Vincent dan menyimpan videonya di memorycard. Lalu sekarang, Memorycard ini akan kujadikan senjata untuk melengserkan Vincent dari kedudukannya di rumah sakit.
Aku berdiri di depan gedung VM entertainment, dimana gedung itu adalah gedung perusahaan milik Vincent Morgant. Aku menginjakkan kakiku di kantor Vincent dengan sorot wajah tajam.
Amarah-amarah dan rasa dendam terus menggelora di tubuhku. Kejadian kala Louis di tusuk dan pengkhianatan Vincent tak bisa ku lupakan. Lebih-lebih baru-baru ini aku menyangka bahwa ternyata perusahaannya lah yang membuat berita palsu soal ayah.
Aku menendang pintu ruangan kerja Vincent, tidak ada seorang pun yang terlihat di sana. Mungkin aku terlalu pagi, atau apa. Tapi tak apa, aku akan menunggunya hingga ia datang.
Beberapa menit aku menunggu, hitungan menit terus berlalu. Akhirnya terdengar suara depakan sepatu yang mengarah ke ruangan Vincent. Benar saja, Orang itu adalah dia.
Aku duduk di sofa kerjanya sambil membaca beberapa buku yang tersedia di rumahnya. Vincent terkejut melihat pintu ruang kerjanya yang terbuka dan wajahnya semakin melongo saat dia melihatku duduk dengan santai di dalam.
“ selamat pagi Vincent, lama tidak bertemu” Sapaku sok ramah.
“ ada beberapa hal yang harus ku sampaikan padamu, yang pastinya ini adalah kabar gembira” imbuhku pelan.
Vincent melewatiku dan mulai duduk di kursi kerjanya. “ Jika kita sudah memutuskan ikatan pekerjaan, jangan terlalu banyak basa-basi”
Aku tersenyum mendengar jawaban Vincent dan mulai bergelak, “ oh ya...tentu saja! siapa yang akan menganggapmu sebagai rekan kerja setelah kau mengkhianatiku ya kan?” ucapku yang mulai berdiri dan duduk di hadapannya.
“ apa maumu jalang?” Ketus Vincent mulai merasa kesal.
Vincent mulai menelpon dua pengawalnya untuk masuk ke ruang kerjanya. Dua pengawalnya masuk, namun aku hanya tetap santai melihat mereka berdua.
“ Aku ingin kau lengser dari kedudukanmu sebagai kepala yayasan di rumah sakit Oxford bagaimana? tidak ada lagi namamu sebagai pemilik saham di rumah sakit itu” jawabku dengan nada santai.
Vincent menertawakan keinginanku, “ Irene kau tidak tahu malu ya, bukankah kau yang mengemis meminta pertolonganku dulu untuk merampas aset Zacklee itu? yang benar saja hahaha”
“ hahaha, ya memang benar aku tidak tahu malu. Oleh sebab itu, saking aku tidak tahu malunya aku ingin kau melengserkan jabatanmu sekarang” Ucapku sambil tertawa tipis.
“ Jika aku tidak mau, apa yang akan kau lakukan?” sahut Vincent membantah kemauanku dengan berani.
Dua pengawal itu tetap berdiri di belakangku, Aku mengeluarkan pistol dari saku celanaku. Mereka berdua mengangkat pistolnya dan mengarahkannya ke Kepala.
Aku lagi-lagi tertawa, “ Tenanglah para pengawal Vincent, aku tidak akan menyerang tuan kalian. Aku hanya ingin menarub pistolku ke meja. Rasanya sedikit berat jika ku bawa kemana-mana” ujarku santai sembari melirik ke arah belakang.
Dua pengawal itu saling melirik, karena walau mereka mengarahkan pistolnya ke kepalaku. Badanku sama sekali tak gentar untuk takut menghadapi itu. Vincent mengusap dagunya melihat reaksiku yang santai.
“ Jika kau tidak mau melengserkan posisimu tak apa, Aku hanya ingin kau melihat isi memorycard itu Vincent bagaimana?” jawabku melempar memorycard yang ku keluarkan ke arah Vincent lalu menekuk kakiku.
“ silahkan dilihat” Suruhku sambil tersenyum.
Vincent mulai memasukkan memorycard itu di ponselnya. Dia mengecek isi dari memorycard yang ku bawa. Matanya mulai melotot saat ia menonton bagian dirinya sedang menyiksa dan memukul Tiffany.
“ Ku akui, caramu menyiksa bibiku sangat bagus. Polisi bisa saja menangkapmu dengan itu” Imbuhku padanya.
Wajah Vincent mulai memerah, “ apa kau sama sekali tidak takut, aku bisa saja menyuruh pengawalku untuk menembak kepalamu sekarang” katanya sambil mendengus kesal dan mengancamku.
Paman Lay, yang memang sengaja ku bawa hari ini untuk menolongku mulai berdiri di pintu ruangan Vincent. Dia melayangkan dua senapan yang digenggam di kedua tangannya dan mengarahkan senapan itu ke kedua kepala pengawal Vincent.
Vincent terkejut dengan kedatangan paman Lay yang tiba-tiba berdiri dengan menggenggam pistol.
“ Vincent aku mengenalmu, selama kita bekerja aku sama sekali tak pernah melihatmu membawa senjata api kan? kau hanya memberikan senjata kepada para pengawal naifmu, yang bahkan saja mereka bersepuluh tak bisa menembakku dan pamanku yang hanya dua orang”
“ Sekarang coba kau pikirkan sebagai orang yang pintar, Jika kedua pengawalmu menembakku. Paman ku yang sedang berdiri di pintu juga akan menembak kepala kedua pengawalmu. Jika aku dan kedua pengawalmu mati, hanya tersisa dua orang yaitu kau dan paman ku. Apa kau bisa melawan paman ku yang memiliki dua senjata hemm?” imbuhku sambil tersenyum lagi untuk memperolok-olok dirinya yang sebenarnya tak bisa berkata-kata.
“ pengawal Vincent, sekarang ku perintahkan kalian untuk menurunkan senjata dan keluar” Suruhku tanpa mengalihkan pandangan mataku ke belakang.
Kedua orang itu menatap ke arah tuannya yang sudah mulai kesal. Babak kemenangan memihak kepadaku. Jujur aku sangat senang, melawan Vincent semudah ini. Ku nikmati permainan ini sambil menggoyang-goyangkan kursi yang ku duduki.
Vincent memberikan kode kepada pengawal nya untuk menuruti perintahku. Keduanya menurunkan senjata dan pergi keluar. Paman Lay menutup pintu ruangan Vincent dan menghampiriku.
“ Hai Irene, bagaimana hari ini?” Tanya paman Lay, mulai memperemosi keadaan Vincent.
“ sepertinya akan berjalan dengan baik paman” jawabku.
Vincent mengeluarkan memorycard itu dari ponselnya dan membakar memorycard itu tepat di hadapan wajahku. Aku dan paman Lay saling menatap dan menahan tawa.
“ Jika ku bakar memorycard ini, kau akan kehilangan bukti kan?” Gumamnya santai berpura-oura berani.
Aku melempar puluhan memorycard yang ku simpan di sakuku ke wajah Vincent. “tenang saja Vincent, video itu sudah ku salin di memorycard lain. Jadi kau tak perlu khawatir” Ucapku santai sambil melempar sekumpulan memorycard itu ke arah wajahnya.
Vincent mulai mengepal, Wajahnya semakin memerah. Kini dahi-dahinya mengeluarkan otot. Dia berteriak sambil berdiri. “ Kau pikir aku takit dengan jalang sepertimu hah? b******k. berani-beraninya kau menghinaku dengan membuang benda itu di wajahku?”
Paman Lay tertawa, “ uuu apa itu? hei kawan mengapa kau sangat marah?” Ucapnya semakin memperpanas Vincent dan mendudukannya.
“ itu tidak sebanding dengan bagaimana kau menyakiti adikku Louis, Vincent Morgant” Ketusku mulai serius.
“ bagaimana bisa orang menghindar dengan cara membakar habis bukti itu. Hahahaha” Ujar paman Lay sambil tertawa.
“ itulah yang biasanya di lakukan oleh orang yang naif paman” Ucapku membalas tawaan paman.
Vincent Morgant mulai menghindari kami, Dia mengambil jas kerjanya dan melangkahkan kakinya untuk pergi keluar ruangan. Paman Lay mengangkat senjatanya ke atas, dia menembakkan peluru di langit-langit ruangan kerja Vincent.
dorr
Suara tembakan itu membuat Vincent menghentikan langkahnya, Aku menghampiri nya. “ inilah akibatnya jika kau mengkhianatiku Vincent”
“ Irene, aku sama sekali tidak takut padamu” Jawabnya sok tenang.
Tanganku mencekik ke arah leher Vincent, “ aku muak mendengarmu berbicara soal itu Vincent. Kalau kau berani cepat lawan aku. Mengapa tubuhmu kaku hah? bahkan kemaluan mu terlihat gemetar”
Vincent juga melayangkan tangannya untuk mencekik leherku, Paman Lay mengarahkan pistolnya ke arah Vincent. “ Biarkan saja paman, Biarkan ini menjadi urusanku dan dia” Kataku sambil menatap tajam mata Vincent, Paman Lay pun menurunkan senjatanya.
“ Aku akan bekerja sama dengan Zacklee untuk menghancurkanmu Irene” teriak Vincent semakin mencengkram leherku.
Aku mulai kehilangan nafas, semuanya begitu cepat. Aku tidak bisa keluar dari cengkraman Vincent yang begitu kuat. Nafasku mulai terengah-engah. Vincent tersenyum melihatku kesakitan. Tapi aku hanya berbohong. “ Silahkan saja jika kau sempat mengajaknya kerja sama” Kataku yang berpura-pura kesakitan.
Aku semakin mempererat cekikanku, Mata Vincent semakin melotot karena dia tak kuasa menahan sakit di lehernya. Kali ini bukan aku yang kehilangan nafas, Tapi dia yang mulai engap karena kuatnya cengkraman tanganku.
Hal itu membuatku berhenti untuk mencekiknya, Aku menghempaskan wajah Vincent dengan keras. Lalu aku merapikan rambutku yang berantakan, “ Ayo tanda tangan disini” ucap paman Lay menghampiri Vincent.
Vincent masih mengatur nafasnya yang terengah-engah, Dia ragu-ragu untuk mengambil bolpoin yang berada di genggaman tangan paman Lay. Dan paman Lay dengan kasarnya menempatkan bolpoin itu ke tangan Vincent.
“ Cepat” ketus paman Lay.
Mata Vincent menatap ke arah paman, Aku curiga dengan apa yang akan di lakukan oleh Vincent kali ini. Bolpoin yang ia pegang hampir mengenai kertas putih itu, Namun dengan bodohnya dia ingin menusuk paman Lay hanya menggunakan bolpoin.
Aku menggenggam erat tangan Vincent yang latah, Bolpoin yang di pegangnya hampir melukai tubuh paman Lay. “ jika kau ingin menusuk pamanku, sebaiknya menggunakan pisau. Bukan menggunakan bolpoin” Kataku sambil menggenggam erat tangan pria bodoh itu.
“ aku tidak akan melukaimu lagi Vincent, maka dari itu. Cepat tanda tangan disini” Imbuhku sambil menaik turunkan alis kananku.
Vincent mengikuti semua perintahku, dia menandatangani berkas itu dengan sinisnya. Tidak ada lagi rekan kerja, dan Tidak ada lagi hubungan dalam ranah pekerjaan.
“ Dengan ini kau bukan lagi sebagai kepala yayasan, kau tidak punya saham di yayasanku, dan Berhenti menginjakkan kakimu di sana. Kau paham?” Ucapku menegaskan.
***
Misi kali ini telah di rancang rapi oleh Irene. Hari ini adalah hari pertama Louis bekerja setelah mengalami penusukan itu. Louis tiba di kantor Zacklee, dia masuk ke ruangan layaknya seorang pengawal.
“ Selamat pagi tuan” ucapnya sembari memberikan bungkukan hormat kepada Zacklee.
“ Louis, Kau bekerja juga akhirnya” Jawab Zacklee yang mulai berdiri dari kursi kerjanya.
Zacklee berdiri di hadapan Louis sambil menepuk pundaknya berkali-kali, “ apa kau siap mengawalku di acara itu?”
“ iya aku akan mengawalmu” Jawab Louis.
“ Tapi aku sangat benci melihat wajah Vincent” Gerutu Zacklee
“ Itulah yang harus kau lawan tuan, Kau harus menunjukkan pada semua orang kalau kau lebih kaya dari Vincent. Bukankah itu yang kau mau?” Kata Louis mengompori.
“ ahhh iya-iya kau benar, aku harus lebih berjaya dari pada Vincent. Tentu saja teman-temanku yang lain. Mereka akan menyanjungku” jawabnya.
Louis hanya mengangguk-angguk mendengarkan ocehan dari Zacklee itu, “ ayo datang ke acara itu. Bantu kakakku menghancurkan Vincent Morgant” gumam hati kecil Louis.