DAMAI

1486 Kata
Seperti biasa, Louis selalu sibuk memainkan gadgetnya di kala senggang. Tiba-tiba seorang polisi masuk ke ruangannya dengan menyerobot. Louis nampak terkejut, dia tak kuasa memikirkan siapa orang yang mengirimkan polisi ini ke kamarnya. “ apa memang rumah sakit ini menyediakan seorang polisi untuk merawat pasien?” pikirnya. Polisi itu memberi hormat sambil mengangkat kartu nama yang di kalunginya, “ Selamat siang pak. Kami datang dari kepolisian Santiago” “ apa yang ingin kalian lakukan?” Tanya Louis kebingungan sambil menatap ketiga polisi itu. “ Seseorang telah melaporkan kepada kami, bahwa terjadi penyerangan di gang sempit. Dan salah satu korbannya adalah anda” ungkapnya. “ aku bukan salah satu korbannya, aku satu-satunya korban. Siapa yang melaporkan kabar ini pak?” jawab Louis. “ Seorang perempuan atas nama Tiffany” Ucap pak polisi. Louis mengernyitkan keningnya hingga kedua alisnya menyambung, Dia tak percaya bahwa bibinya melaporkan kejadian ini. “ Oleh sebab itu kami datang untuk meminta laporan, dan petugas dari kepolisian akan menindak lanjuti kasus ini” Lanjut mereka dengan suaranya yang berhasil membuat lamunan Louis terhenti. Satu diantara ketiga-tiganya berbicara dengan Louis di dalam ruangan. Meminta pengakuan dari korban, Kasus seperti ini tak boleh di abaikan karena memang pengamanan di daerah itu sangat ketat. Sedangkan dua-duanya menjaga di depan ruangan Louis dengan tegap. Louis terus berpikir mengapa bibinya harus melaporkan kasus seperti ini?. “ ngomong-ngomong, bagaimana soal Irene hari ini?” kata hati Louis yang mengkhawatirkan kakaknya. *** Aku menatap wajah Tiffany yang menunduk. Apakah Tiffany memang ketakutan kepada suara tembakan?. Sekujur tubuhnya serasa kaku, bahkan wajahnya pucat pasi. Dia duduk di sofa sambil mengotak-atik tangannya. “ Tiffany, apa kau tak apa?” tanyaku menghampiri nya. Bahkan ketika aku melontarkan sebuah pertanyaan padanya, dia sama sekali tak mendengar. Aku berinisiatif untuk menepuk pundaknya, ya... bagaimana pun dia telah membantuku hari ini. “ Tiffany, apa kau baik-baik saja?” tanyaku lagi sambil menepuk pundaknya. Tiffany tiba-tiba terhentak, dia seperti orang yang mengalami serangan kaget. Bahkan ketika dia berbicara, cara bicaranya terbata-bata. “ a-aku, tak a-pa” katanya gugup. Aku memposisikan diriku untuk duduk di sampingnya, mengambil segelas air Tiffany yang masih utuh dan memberikan itu kepadanya. “ minumlah, aku tau kau gugup” kataku dingin dan sok baik walau di hatiku masih tersimpan rasa gengsi padanya. Tiffany mengambil segelas air yang berada di tanganku. Dia menatapku sedang aku menatap tangannya yang gemetar hingga menumpahkan air yang berada di dalam gelas. “ pelan-pelan” Ujarku memegangi tangannya yang gemetar, dan menolongnya untuk minum. “ te-terima kasih Irene” Katanya pelan. “ tidak usah berterimakasih, aku yang harus berterimakasih padamu. “ jawabku sambil mengalihkan pandanganku dari hadapan nya. Tiffany menepuk pundakku, sontak membuat pandangan mataku beralih padanya. Dia tersenyum, “ aku sangat berterimakasih, karena kau mengucapkan terimakasih padaku” ujarnya dengan omongannya yang tiba-tiba lancar. Apa itu? apa ucapan terimakasihku sangat berarti baginya? Hatiku luluh seketika, Ku lihat dari tatapan matanya yang begitu tulus. Dia bukan Tiffany yang seperti dulu, Dia jauh dari kata jahat saat ini. “ i-iya” jawabku terbata-bata. Aku keluar dari rumah Tiffany, mencari keberadaan paman Lay. Tiffany mengikutiku keluar, Dia pergi ke halaman belakang rumahnya. Benar saja, Paman Lay sedang menggali lubang di area sana. Aku menekuk tangan, memerhatikan paman Lay yang bekerja keras menggali lubang.” paman, apa kau akan menguburnya?” Tanyaku padanya. Paman Lay menghela napas dan menyeka keringatnya, “ tentu saja. Kita tak mungkin untuk membuang mayatnya kan?” “ apa mayat ini tak akan mengeluarkan bau?” tanyaku lagi. “ tidak, aku sudah banyak belajar. Bagaimana cara mengubur mayat dengan baik” Jawabnya. Aku masih mati penasaran, lalu aku kembali bertanya. “ bagaimana caranya paman?” “ Dalam islam, seseorang yang telah meninggal pasti akan di kubur. Orang-orang muslim tidak akan membuang mayat keluarganya atau mengkremasi nya. Mereka memandikan jenazahnya terlebih dulu sesuai syarat. Memberikan wangi-wangian, dan membungkus mayatnya dengan kain putih. Lalu mereka menguburnya, dan mengkhiasi makan itu dengan bunga” Jawabnya panjang lebar. “ aku pernah melihat kerabat temanku yang meninggal, dia seorang muslim” imbuhnya. “ apa kita harus memperlakukan Billy seperti orang-orang muslim yang meninggal? apa aku harus mencari bunga dan kain paman?” ujarku. “ Iya, carilah kain putih. Sabun, atau parfum semacamnya” Katanya. Dengan cepat aku melangkah, mencari semua benda yang di butuhkan oleh paman Lay. Tiffany pergi ke kamarnya, mengambil seluruh minyak wanginya. Lalu kami memberikan itu semua pada paman. Proses penggalian lahan sudah selesai, Aku mengangkat mayat Billy ke kamar mandi. Paman Lay melucuti pakaian dan memandikannya. Kemudian setelah itu, Kita membungkus dan memberinya wangi-wangian seperti yang di katakan oleh paman sebelumnya. Sekarang saatnya paman turun ke lubang galian, Aku membawa mayat Billy masuk ke dalam sana. Kita mengubur, tak akan ada hal-hal yang mencurigakan. “ Ahhh selesai” Kataku lega. Aku dan paman menghela napas panjang, “ Aku ingin menemui Louis, apa aku boleh menemuinya?” Ucap paman Lay. Tiffany berdiri di samping diriku dan paman, “ Sebaiknya jangan pergi sekarang juga, Ada polisi yang sedang berjaga di ruangannya” celetuknya. Aku mulai manatap ke arahnya, “ Apa? siapa yang mengirimkan polisi ke sana?” Tanyaku terkejut. “ Aku” jawabnya singkat. “ mengapa kau mengirim polisi ke sana?” Tanya paman Lay menyambung obrolan. Tiffany melipat tangannya, “ Aku yakin, pengawal Vincent masih memata-mati Louis. Irene percaya lah, Vincent sudah mengetahui tentang rencana penyeranganmu. Itulah mengapa dia membawa pengawal sebanyak itu saat dia pergi ke rumah. Apa kau tak curiga?” “ saat aku masuk ke dalam rumah, aku menelepon polisi. Aku mengatakan bahwa terjadi penyerangan kepada ponakanku. Mereka bilang akan segera pergi ke sana, Jika kau tak percaya asumsiku. Saat kita sampai di rumah sakit nanti, coba kau cek bagian cctv. Aku yakin mata-mata Vincent masih ada di sana” tambahnya. Beberapa kali aku ingin mengucapkan kata terimakasih kepada Tiffany. Dia bahkan memikirkan rencana se-detail itu. Membuat paman Lay bebas hanya untuk menolongku, Aku benar-benar terenyuh. Aku menghadap ke arahnya, Lalu ku peluk Tiffany walau pelukanku masih sangat kaku. Tiffany terbelalak lebar saat tau bahwa aku memeluk untuk pertama kalinya, “Terimakasih karena kau telah memikirkan Louis” Ucapku pelan. Tiffany menggebu-gebu, Dia tak bisa menahan rasa terharunya. “ sama-sama Irene” jawabnya sambil mengelus-elus pundakku dengan manis. Paman Lay turut tersenyum menatapku dan Tiffany berpelukan. Aku bahkan masih belum menyangka bahwa peperangan ini menjadi akhir bagiku untuk membenci Tiffany. *** Petugas polisi masih menjaga ketat di ruangan Louis hingga sore hari. Matahari mulai turun, perlahan-lahan dia memancarkan sinar jingganya. Setelah melepas penat, Irene dan paman Lay datang ke rumah sakit. “ Selamat sore, apa anda kerabat dari tuan Louis?” tanya seorang polisi. Irene mengangguk pelan, “ iya” katanya singkat. “ Saya dari kepolisian, datang untuk berjaga dan memeriksanya.” ujarnya sambil membungkuk dan mengangkat kartu nama mereka. “ apa kalian sudah memeriksanya?” Tanya Irene. Dua polisi itu mengangguk, “ kalau begitu kalian bisa pergi” Ketus Irene. Keduanya saling menatap, Karena Irene mengusir mereka dengan halus. Lalu mereka mengajak salah satu teman mereka yang berada di dalam ruangan untuk mengintrogasi Louis. Irene masuk ke dalam ruangan, “ Irene apa kau baik-baik saja?” tanya Louis serius sambil menatap ke arah kakaknya. “ Aku tak apa, Jika seseorang tak menolongku, mungkin aku sudah mati” Jawabnya. “ si-siapa yang menolongmu Irene?” Ucap Louis penasaran. Tiba-tiba paman Lay membuka pintu ruangan, dia masuk memberi kejutan untuk Louis. Mata Louis berkaca-kaca ketika melihat paman nya datang menjenguknya. Irene tersenyum menatap Louis yang terkejut. “ dia yang menolongku” Kata Irene pelan. “ pa-paman” panggil Louis terbata-bata. Paman Lay tertawa pelan sambil memeluk Louis. “ bagaimana keadaanmu nak?” tanyanya. “ bagaimana kau bisa pulang?” Tanya Louis. “ bibimu yang membebaskanku” Jawabnya. Louis mengernyitkan keningnya, “ Bibi yang mrmbebaskan paman? Irene dia juga mengirim polisi ke sini” “ ya aku tau” kata Irene singkat. Paman Lay melihat perban yang terbalut di paha Louis, “ apakah Vincent Morgant adalah musuh kalian? mengapa dia melukai Louis?” tanya paman. Irene berdehem, Louis menjawab pertanyaan paman Lay. “ Tidak, Dia adalah rekan kerja Irene” “ Aku salah memercayai Orang” ucap Irene sambil menunduk. “ Apa kau bekerja nak?” tanya nya lagi. “ Selama bertahun-tahun aku bekerja di kedai bubbletea, lalu aku selalu menjadi bartender di setiap minggunya. Tapi akhir-akhir ini aku sudah memiliki yayasan sendiri. Rumah sakit Oxford itu milikku” jawab Irene. “ wahh rumah sakit besar itu milikmu?” “ itulah masalahnya paman, Aku memang pemilik aslinya. Tapi Vincent yang menguasai rumah sakit itu” Ujar Irene. “ Kalau begitu, kita harus bisa menghapus nama kepememilikan Vincent dari rumah sakit” Kata paman sambil menopang dagunya. Aku dan Louis saling menatap, “ apa paman bisa menbantu kami?” Tanya Irene. “ Irene, Paman sudah ahli dalam melakukan ini” Kata paman berbangga diri. Louis bertepuk tangan, “ paman kita hebat Irene” Paman dan Louis saling tertawa, “ oke Kita akan melakukan rencana berikutnya” jawab Irene sambil menjetikkan jari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN