PERANG PART 2

1548 Kata
Halaman luas Tiffany itu di penuhi dengan pertempuran antara Vincent dan Irene. Irene terus mendekap Vincent dari arah belakang dengan tangannya yang mengunci erat leher Vincent. Beberapa kali dia berteriak mengatakan agar pengawal Vincent tak bergerak sekalipun. Sebagai ancamannya ketika mereka bergerak Irene akan menembak mati Vincent. Dan kesempatan Itu, Irene jadi kan sebagai alat untuk melemahkan seluruh pengawal Vincent dengan menembak kaki kanan mereka masing-masing. Semua anak buah Vincent berteriak meringis kesakitan. Mereka memegangi kaki mereka yang tertembak. Setelah melihat kejadian itu, Vincent benar-benar berupaya untuk kabur. Dia mencari celah untuk membuat tangan Irene lepas. Lalu dia memukul perut Irene menggunakan sikutnya. Irene masih menahan, tapi Vincent terus memberontak hingga tak di pungkiri bahwa tangannya melepas cengkraman di leher Vincent. Vincent kabur, tapi Irene berhasil menarik tangannya. Sayangnya, Vincent mampu menarik tangannya hingga membuat Irene terhempas. “ sialan, mau kemana kau b******k” Teriak Irene. Vincent kabur dan pergi ke pengawal nya. Dia berteriak dengan keras, “ Angkat senjata kalian!!!” Katanya mengibarkan bendera peperangan. Semua pengawalnya mengambil pistol yang telah mereka letakkan ke dalam jas mereka. Mereka bersepuluh membidik dan menembakkan pistol itu ke Irene walaupun kaki mereka mengucurkan banyak darah. Irene kabur menjauhi mereka, dia berusaha agar tubuhnya tak terkena tembakan pistol. Paman Lay mencari cara untuk menolong Irene, akhirnya dia melempar asap buatan itu ke area pengawal Vincent yang berkerumun. Benda itu perlahan-lahan mengeluarkan asap tebal, hingga membuat penglihatan para pengawal Vincent terganggu. “ persetan, kemana perginya Irene” Kata salah seorang pengawal sambil menutup matanya. Irene terkejut dan terheran-heran soal datangnya benda mungil itu. Dia terus kabur dan pergi menjauh dari kerumunan mereka. “ Irene, Aku datangg” Teriak paman Lay dengan suaranya yang hampir memenuhi halaman Tiffany. Irene mengalihkan pandangannya ke sumber suara yang memanggil namanya. Asap lama kelamaan hilang, Irene mulai sadar bahwa paman Lay yang menolongnya. “ paman Lay?” kata Irene termenung sambil menatap ke arah pamannya. Irene dengan sigap menangkap Vincent lagi, tetapi dia lebih kuat dari sebelumnya. Paman Lay menembak peluru ke arah pengawal Vincent, dia berlindung di balik semak belukar menghadapi sepuluh orang itu. Sedangkan Irene tengah melakukan pertempuran sengit satu lawan satu antara dirinya dan rekan kerjanya itu. Beberapa kali Vincent menampar wajah Irene dengan tangan kasarnya, Irene memukulkan senjatanya ke kepala Vincent. Kepala Vincent bergetar dia, Irene lagi-lagi menangkapnya. Semua mata tertuju ke arah Irene. “ Jangan pernah menembakkan senjata kalian ke arahku ataupun ke pamanku” teriaknya. Vincent beberapa kali memukul perut Irene dengan sikutnya. Irene seketika menahan perutnya yang mulai kesakitan lagi. Dia menembakkan peluru ke udara, “ diam bajing*n kali ini aku tak akan melepaskanmu” Kata Irene mendengus. Seluruh halaman rumah Tiffany basah dengan darah, begitupun wajah Irene yang kini mulai memar dengan pukulan-pukulan bekas Vincent. Di sisi lain, Paman Lay mengontol nafasnya yang mulai tak teratur karena sedang melawan sepuluh orang sendirian. “ aku sudah bilang bukan jangan sesekali mengkhianatiku,” Teriak Irene memenuhi isi telinga Vincent. “ Lihat teman kalian yang berada di situ? apa kalian ingin sepertinya? hei Vincent apa kau ingin sepertinya?” Teriaknya lagi sambil menunjuk ke arah Billy yang terdampar. Kemudian Irene membidikkan pistolnya ke kepala Billy dan mulai menembak kepalanya. Suara tembakan peluru membuat seluruh pengawal dan Vincent menutup mata. Billy, rekan sekaligus bawahan Vincent tewas di depan mata mereka. Lalu saat ini, Irene mengarahkan senapannya ke leher Vincent. Vincent mulai bergetar dan mengangkat tangannya. “ jangan tembak aku” kata Vincent memohon. Irene tertawa jahat mendengar ucapan singkat dari rekan yang mengkhianati dirinya. “sebaiknya kau jangan pernah kemari jika kau hanya ingin membuatku tertawa” “ Vincent Morgant, apakah upayaku untuk memberimu aset besar masih saja kurang? apa yang kau inginkan dariku? mengapa kau selalu saja tak pernah puas. Bagaimana jika aku menembak kaki kananmu juga agar kau bisa merasakan penyesalan” Ketus Irene. Vincent menggeleng di dekapan Irene, “ tidak Irene, jangan...aku janji aku tak akan mengulangi hal seperti ini lagi” “ pengecut!!! setelah kau membuat adikku terluka kau hanya berkata dengan omong kosong ini?” Sentak Irene. Vincent memberi kode pada para pengawalnya, seorang pimpinan pengawal telah memahami kode yang di berikan oleh Irene. Di saat Irene berbicara panjang lebar, dia mulai mengedipkan mata kirinya. Saat Irene berbicara panjang lebar, Vincent dengan tenaga dalamnya berusaha untuk bisa lepas dari dekapan Irene. Saat dia berhasil lepas dari dekapan itu, Salah seorang pengawal lari menuju mobil. Pengawal yang lain mengatur formasi untuk menyerang Irene. Irene terkejut karena semua pengawal tiba-tiba mengangkat senjatanya. Vincent yang kabur ke area pengawal untuk berlindung berusaha menyelamatkan diri. Seluruh pengawal menyerang Irene, hingga salah satu peluru menembus dadanya. Lay dengan cepat mengambil senapan dan mulai menembakkan peluru ke seluruh pengawal. Irene berlindung, hingga beberapa saat Pengawal Vincent membanting setir dan mengarahkan mobilnya ke tempat seluruh pengawal berkumpul membentuk formasi. Semua pengawal tetap melayangkan peluru ke arah paman Lay, sambil lalu mereka masuk ke mobil dengan langkah tertatih. Mobil melaju kencang keluar dari halaman Luas Tiffany, Irene berteriak karena tak bisa menerima kekalahan. Dia berusaha keras mengangkat senjatanya lagi untuk menembak ke mobil Vincent. Paman Lay lari ke arah Irene yang badannya tengah berlumuran darah. “ Irene sudah cukup, Vincent sudah pergi” teriak pamannya yang ingin menghentikan Irene. Irene berteriak meluapkan seluruh amarahnya, “ arghhhhhh sialan “ Ucapnya sambil melempar senjatanya ke tanah. Irene menangis sejadi-jadinya karena tak berhasil menumpas habis Vincent. Dia tak memikirkan satu peluru yang menembus badannya, tapi dia memikirkan dendamnya pada Vincent karena telah melukai Louis. *** Vincent menatap ke belakang, dia was-was Irene akan mengejarnya. Tapi ada bayang-bayang Irene di belakang mobil Vincent. Vincent berteriak kepada para pengawalnya. “ ahhhhh kenapa kalian semua bisa kalah?” Teriaknya menyentak para pengawal. Semua pengawal memegangi kakinya yang kesakitan, “ Maaf Tuan, Seseorang telah membantu Irene. Seandainya tidak ada dia, mungkin dia bisa mati. Vincent mendengus kesal, dia meraba seluruh wajahnya yang lebam, “Lelaki itu adalah paman Irene?” “ sepertinya begitu” Celetuk sang pengawal. “ Tak apa kita tak bisa membunuh Irene, yang terpenting kita bisa membunuh Louis hehehe” Ucap Vincent tertawa jahat. “ Coba telpon Drag, apa dia sudah menyelesaikan misinya?” imbuhnya memerintah sang pengawal. Iya, Semenjak dia mengetahui bahwa Irene akan menyerang nya. Vincent melakukan banyak upaya juga untuk menyerang balik Irene. Salah satunya dengan mengirim Drag, Seorang pengawalnya untuk membunuh Louis. Panggilan Video berlangsung, Drag menjawab panggilan dari salah satu rekan kerjanya. Kemudian pengawal itu memberikan ponselnya pada Vincent. “ Drag, bagaimana. Apa kau sudah melakukan apa yang ku perintah?” tanya Vincent pada Drag. Drag terlihat gelisah, dia bersembunyi di pojok dinding. Dan mengarahkan kameranya ke kamar Louis. Dua polisi nampak berdiri di depan ruangan, entah apa yang terjadi. Mengapa tiba-tiba mereka datang. “ Tuan, Lihat itu. Polisi menjaga kamar Louis, aku tidak bisa melakukan sesuatu” bisiknya di ponsel. Vincent lagi-lagi kesal melihat rencananya hancur. Perang kali ini tak bisa di bilang menguntungkan satu pihak. Tetapi semua pihak telah merasakan kekalahannya masing-masing. “ Semuanya sialan” Gerutu Vincent sambil melempar ponsel pengawalnya. *** Paman Lay memapahku yang menangis histeris karena tak bisa menerima kekalahan. Sekujur tubuhku telah di penuhi dengan darah, dadaku mulai terasa sakit karena aku tertembak oleh salah satu pengawal Vincent. Kemudian dia membawaku masuk ke rumah Tiffany. Tak ada jawaban dari Tiffany untuk membuka pintu. Dengan terpaksa, dia mendobraknya. Tiffany nampak menutup telinganya ke pojok dinding. Dia ketakutan setengah mati. Paman dengan lembutnya menenangkan orang yang sudah mengkhianati nya itu. “ Tiffany, tenanglah. Tidak akan ada lagi, suara tembakan. Aku akan melindungimu” Ucap paman Lay menenangkannya. Aku duduk di sofa menurup dadaku yang terluka, “ Bibimu, selalu takut ketika mendengar suara tembakan.” katanya. Kini aku dan Tiffany duduk di sofa berdampingan, Paman Lay mengambil segelas air untuk di suguhkan kepada Tiffany. “ Irene, ayo kita ke rumah sakit. Kita harus merawat lukamu” Ucap paman Lay. Aku menyeka air mataku yang menetes ke pipi, “ Tak perlu, aku sudah biasa merawatnya sendiri. Aku akan menjahitnya sendiri” jawabku. “ Ayo kita ke rumah sakit, jangan melakukan hal segawat ini sendiri” Ucapnya. “ Paman, kapan kau keluar dari penjara? mengapa tak menghubungiku?” Ujarku kesal. Paman bergelak, “ Aku baru bebas, Lagian tidak ada waktu untuk menelponmu” “ Mungkin jika kau tak menolongku, aku akan mati. Terimakasih kau sudah selalu ada” rintihku pelan. Paman memposisikan dirinya di sampingku, “ Paman akan selalu menolongmu” ucapnya sembari membelai rambutku. “ Aku harus membuang mayat Billy dulu” Kataku bergegas keluar. Paman menarik tanganku, “ Biar paman yang membuangnya. Jejaknya tidak boleh terlihat. Kau urusi tubuhmu saja dulu” Ujarnya mencegahku. Aku mengangguk dan menuruti perintah paman. Dia pergi keluar, menarik dan mengubur mayat Billy dalam-dalam. Sedang aku sibuk mencari benang, Jarum, dan obat anti nyeri. Untungnya, Semua itu lengkap berada di kotak obat milik Tiffany. Mataku berbinar, melihat semua benda itu ada. Lalu aku dengan segera mengeluarkan peluru yang tertinggal dan menjahit luka itu sendirian. Kedua pasang mataku juga tak luput menatap ke arah bibiku yang nampak ketakutan. Dia terlihat pucat, dan mengotak-atik tangannya di sofa. Bagaimanapun, rencanaku ini bisa berjalan karena dirinya bukan? aku harus berterimakasih padanya karena aku bukan tipe orang yang mau berhutang budi. “ Tiffany, apa kau baik-baik saja?” kataku datar. Tiffany tetap menunduk dan sepertinya dia tak mendengar perkataanku, Jadi aku berinisiatif untuk menepuk pundaknya. “ Tiffany, kau baik-baik saja?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN