Aku pulang dari bar setelah Louis meluapkan rasa kekecewaannya padaku. Padahal aku telah mengatakan bahwa aku tak akan pernah menaruh hati pada Steve. Tapi dia tak memercayaiku.
Hatiku retak seketika setelah adikku Louis menjauh. Aku mulai emosi hari ini, bahkan untuk bertindak pun aku malas. Ku cari udara segar sebentar di sekitar bar, rasanya masih saja panas walau angin menerjang berkali-kali.
Apa hanya sampai disini aku bisa berjuang untuk ibu. Tapi, keinginanku dari dulu adalah aku ingin membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku mampu. Dan setelah percekcokan ku dengan Louis aku menjadi pasrah pada semua takdir. Entah aku akan terus berlanjut atau tidak.
***
Tiffany pergi ke rumah sakit Oxford untuk mengontrol soal kesehatannya. Bibirnya pucat dia bahkan sudah mulai tak berdaya. Rasanya setelah keluar dari bar itu, Tiffany sering merasa bahwa sekujur badannya lemas.
“ tolong untuk selalu menjaga kondisi anda lebih baik lagi. Jika dibiarkan kondisi anda terus melemah”
“ sebaiknya anda harus melakukan perawatan terlebih dahulu di rumah sakit”
Begitulah ucapan sang dokter yang sekarang pun telah memperingatkan Tiffany untuk berhenti bersetubuh. Tiffany keluar dari ruangan si dokter itu dengan lemas.
Di sana dia tertatih-tatih untuk melangkah. Bahkan dia sampai harus berpapah pada dinding agar bisa kuat berjalan. Hingga tak sadar, Vincent datang menolongnya lagi yang kebetulan juga ada disana.
“ nyonya, apa anda baik-baik saja?” sapa Vincent yang kemudian memapah Tiffany
Tiffany memberikan senyuam tipis pada Vincent, “ iya tuan, aku baik-baik saja”
Tiffany terus memegangi rahimnya, dia mengeluh pelan dan menarik nafas panjang karena kesakitan. Vincent menatap wajahnya, dia tau bahwa Tiffany sedang tak baik-baik saja.
“ ayo biar ku antar saja kau ke rumahmu” ucap Vincent.
“ tidak, jangan. “ ujar Tiffany.
“ mengapa?”
“ karena, karena aku tidak memiliki tempat tinggal” jawabnya.
Vincent termenung mendengar jawaban Dari Tiffany, Dia kemudian membawanya pulang ke apartemennya dan mengajak Tiffany duduk di sofanya. Tak lupa, Dia menyuguhkan segelas air kepadanya.
“ maaf siapa namamu?” tanya Vincent membuka obrolan.
“ Tiffany”
“ Apa pekerjaanmu?” tanya lagi Vincent.
“ perempuan biasa, aku hanya hidup sebatang kara.”
“ tapi mengapa kau bisa berobat ke rumah sakit elit?” ujar Vincent.
“ Bantuan, emmm anu jangan tanyakan soal apa-apa lagi kepadaku” katanya yang menunduk sembari memegangi segelas air.
Akhirnya Vincent berhenti melontarkan pertanyaan pada Tiffany. Namun ia menatap ke arah Vincent, dan mencoba menanyakan sesuatu agar tak terjadi suatu kecanggungan.
“ siapa namamu?” tanya Tiffany yang membuat Vincent merotasikan matanya.
“ Vincent Morgant” jawab Vincent sambil menekuk kaki ke lutut dengan sebuah gaya.
“ sepertinya aku pernah dengar nama itu”
“ pemilik perusahaan berita terkenal” jawab Vincent sembari mengangkat alis kanannya
“ oh ya, ngomong-ngomong apa yang kau lakukan di rumah sakit itu?”
“ aku adalah pemilik rumah sakit itu, setelah Zacklee memberikan kuasanya padaku” ujarnya
“ oh aku mendengar berita itu, jadi kau yang mengambil yayasan itu sekarang?” ucap Tiffany dan Vincent mengangguk.
Tiffany menundukkan kepalanya lagi, dia mulai tergoda dengan gaya Vincent yang dinilai mewah olehnya. Karena memang dia sering mengincar laki-laki kaya seperti Vincent untuk membuatnya bertahan hidup.
Di sisi lain, Irene mulai bersiap untuk mengunjungi apartemen Vincent dan meminta uang. Telepon dari pemilik rumah megah yang di impikannya menelpon berkali-kali dan membuatnya muak.
Dia berjalan ke arah rumah Vincent dan telah menuju ke lorong kamarnya. Irene membuka pintu apartemen Vincent. Matanya kemudian tersorot pada seorang perempuan yang menjadi lawan bicara rekannya.
“ Tiffany” lirih Irene terkejut.
Tiffany menatap Irene yang tak di sangka masuk ke apartemen Vincent. Vincent menyuruhnya duduk di sofa apartemennya. Sekarang mereka telah duduk bertiga.
Kedua pasang mata Tiffany dan Irene saling melirik. Vincent mengambil koper yang berisi berlembar-lembar uang yang telah dijanjikannya kepada Irene. dan hal itu yang membuat mata Tiffany kembali berbinar setelah menatap uang tersebut.
“ ini uangmu” ucap Vincent.
Irene mengecek uang di koper dengan meraba-raba uang tersebut dan menutup kopernya sambil menatap wajah Tiffany.
“ omong-omong bagaimana orang ini bisa bersamamu?” tanya Irene menatap wajah Vincent.
“ dia temanku” jawab Vincent.
“ Tiffany, apa kau mencoba menggodanya?” tanya Irene yang kemudian menolehkan kepalanya ke arah Tiffany
“ sepertinya hari ini aku sedikit sial, aku bertemu denganmu berkali-kali” ketus Irene dengan dingin.
“ kalian saling mengenal?” Celetuk Vincent.
“ dia mantan bibiku,”
“ tidak ada yang namanya mantan bibi, berkali-kali aku memohon maaf padamu Irene” ketus Tiffany yang memberikan sedikit penekanan pada Irene
Irene berdiri sambil membawa koper yang berada di depannya. “ aku tidak pernah memiliki bibi seorang p*****r. Dan Vincent terimakasih untuk uangnya”
Hati Tiffany kembali teriris saat mendengar kata p*****r yang keluar dari mulut Irene. Vincent pun merasa kaget, karena Tiffany membohonginya dengan berkata bahwa pekerjaannya adalah sebagai perempuan biasa.
Irene melangkahkan kakinya pergi keluar, Tiffany tiba-tiba berdiri sambil berkata dengan nyaring.
“ Tak cukupkah kau berkata bahwa aku ini seorang p*****r? adakah pekerjaan yang bisa memberiku uang seperti ini? aku tau aku memiliki banyak kesalahan padamu Irene. Tapi kau tidak bisa menyakitiku dengan mengucapkan kata yang tak pantas kepada bibimu. Dan kau seharusnya berterimakasih kepadaku, jika karena bukan aku dan pamanmu tidak akan orang yang menampungmu” ucapnya yang membuat langkah Irene terhenti dan membalikkan badan ke arahnya.
“ menyedihkan bukan, Kau merasa tersakiti hanya karena suatu kata-kata. Bagaimana dahulu kau memperlakukanku seperti b***k? menyiksaku? Kau tidak ingat itu?” teriak Irene dan kemudian dia melanjutkan langkahnya.
“ Aku menderita penyakit berbahaya, karena menjadi p*****r. Umurku sudah tidak lama lagi” teriak lagi Tiffany yang membuat langkah Irene kembali terhenti.
Tapi meskipun Irene memberhentikan langkahnya dan mendengar bahwa bibinya mengalami penyakit Kronis. Dia bahkan tak memberikan simpati pada Tiffany sekalipun. Dia terus melanjutkan langkahnya dan bersikap seolah-olah tidak peduli.
Vincent sendiri sedari tadi menelaah soal apa yang terjadi antara Irene dan Tiffany. Setelah Irene keluar, Vincent bertanya pada Tiffany, “ menjadi p*****r?”
Tiffany yang meneteskan sebulir air mata tak bisa menjawab pertanyaan dari Vincent dan memilih untuk keluar dari apartemennya. Saat Tiffany membuka pintu apartemen, Vincent menutup pintu itu kembali.
“ mengapa kau pergi? apa kau malu?” tanya Vincent.
Tiffany hanya bisa menatap wajah Vincent dengan mata berkaca-kaca. “ jadi yang kau maksud hanya menjadi wanita biasa itu adalah p*****r?”
“ jika kau hanya ingin mengolok-olok ku maka biarkan aku pergi” desis Tiffany.
“ kau tidak salah, memang sejatinya kata hanya menjadi wanita biasa itu benar. Yaa wanita biasa yang kerjaannya menggoda para pria demi sehelai uang bukan? ini menarik” Kata Vincent menyeringai sambil membelai dagu Tiffany.
Tiffany terus menatap ke arah Vincent, “ karena umurmu tidak panjang, bagaimana jika aku menjadi tuanmu selama sisa harimu. Karena kau mampu memuaskanku”
“ tubuh seksi, wangi, wajah yang cantik. Jadilah permaisuriku” imbuhnya sambil terus mengelus rambut Tiffany.
“ ini kartu namaku, dan kau bisa pergi ke apartemenku jika kau mau dan membutuhkan uang. Selama kau bisa memberikan segalanya untukku, aku akan membuatmu tetap bertahan hidup” katanya seraya memberikan seutas kartu namanya dan membuka pintu untuk mempersilahkan Tiffany keluar.
Tiffany keluar dari apartemen. Vincent kemudian berdehem, “ sepertinya aku tak salah menemukan orang sebagai pemuasku” katanya sambil terkekeh.
***
Kali ini aku telah duduk memasang empat mata bersama sang pemilik rumah megah yang ku impi-impikan. Aku menaruh koper itu ke meja dan mendorong kopernya ke depan si pemilik rumah.
“ bisa kau cek jumlahnya” ucapku sinis.
“ baiklah, ini kuncinya” Kata si pemilik merasa sumringah dan memberikan kunci rumah itu kepadaku.
“ sertifikat?” kataku bertanya.
“ ahh ya, aku hampir lupa” ucapnya lalu mendorong sertifikat itu ke hadapanku.
“ bagus,” kataku.
Akhirnya rumah megah ini telah resmi menjadi milikku seutuhnya. Pemilik rumah itu keluar dari rumahnya. Aku merebahkan badanku ke sofa lebar nan lembut yang berada di kamar yang akan ku jadikan kamarku nanti.
“ ahhhh nikmatnyaaa” kataku yang sangat menikmati rasanya kenikmatan setelah menjadi kaya.
Lagi-lagi aku teringat pada Louis. Aku merasa bersalah karena di saat-saat seperti ini. Aku tak bisa menikmati nya bersama Louis. Bahkan hari ini aku pun tak mengerti bagaimana sebenarnya perasaanku. Karena aku tak pernah merasakan cinta sebelumnya.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku mengambil ponselku dan melihat siapa yang menelponku. Dan nama Steve terpampang di layar ponselku, kapan aku menyimpan nomornya?
Aku mengangkat panggilan dari Steve dengan kaku, dia menyapaku. “ halo?”
“ ada apa?” jawabku.
“ jadi kau sudah tak terkejut lagi menjawab teleponku. Aku lega” ucapnya.
“ jadi kau yang memang menyimpan nomormu sendiri di ponselku?”
“ iya”
Aku tak membuka pembicaraan pada Steve, dan saat itu suasana menjadi hening.
“ Irene...” panggil Steve.
“ apa?”
“ mengapa kau membuat kericuhan di jembatan kota?” tanyanya
Aku terkejut, mataku membulat. “ Bagaimana kau bisa tahu?”
“ di sosial media.”
“ itu sebabnya kau menghampiri dan datang ke rumahku?”
“ iya, aku ingin melihatmu” jawabnya.
“ Mengapa kau sering membuatku khawatir?” tambahnya
“ ma-maafkan aku” jawabku.
“ Bagiku saat kau membuatku khawatir aku merasa bahagia, karena aku bisa cepat-cepat menyusulmu dan melihat keadaanmu. Di saat itu pula aku merasa bisa mengobati seluruh rasa rinduku”
Aku membungkam tak bisa menjawab perasaan dari nya. Aku kembali teringat janjiku pada Louis bahwa aku tak akan pernah jatuh cinta pada Steve.
“ tapi kau tak perlu melakukan itu kan?” kataku sambil menidurkan badanku ke ranjang.
“ aku tidak bisa jika dalam sehari aku tidak melihatmu. Aku terus merasa khawatir” ujarnya.
Aku terdiam, “ Irene, ada yang aku ingin tanyakan padamu”
“ apa?”
“ apa tadi pagi, kau berada di rumah sakit elit? rumah sakit Oxford? apa yang kau lakukan di sana?”
Lagi-lagi aku mematung, apa yang harus ku jadikan alasan untuk mengelak darinya. Dan mengapa dia harus melontarkan pertanyaan seperti ini?