MEMORI MASA LALU

1367 Kata
Kursi kerja mulai berbalik, Terlihat Vincent sedari tadi sibuk memikirkan sesuatu yang mampu membuat pikirannya gundah. Suatu permainan yang di permainan oleh Irene menurutnya. Setelah melihat Tiffany dan pria yang di duga pengawal Zacklee di kursi rumah sakit. Vincent menjadi berpikir panjang. Ia menduga-duga bahwa Irene membuat rencana besar untuk menghancurkan Zacklee. Dan suatu hal yang memperkuat pikirannya adalah pada saat Irene menolong Vincent saat hendak di habisi oleh sekumpulan pengawal Zacklee. Dan saat Irene membuat suatu kerja sama dengannya untuk merebut salah satu aset Zacklee. “ Tepat sekali, bukankah gadis itu pernah bilang kalau dia ingin menghancurkan Zacklee?” kata Vincent semakin yakin Vincent membuang napasnya dan terkekeh geli, “ Sialan ini membuatku hampir gila saja” ucapnya. Dia kemudian menelpon salah satu pengawal pribadinya untuk masuk ke ruangannya di rumah sakit. Si pengawal masuk dan memberikan suatu bungkukan pada Vincent. “ Vosko, bukankah kau familiar dengan gadis cantik yang menjadi rekanku sekarang?” tanya Vincent. Vosko, nama pengawal Vincent. Dia mengangguk pelan, “ anu..apa nona Irene yang anda maksud?” Vincent menjentikkan jarinya bangga, “ Tepat sekali Vosko. Aku mau kau mencari tahu soal dia. Keluarganya, dan kehidupan pribadinya. Lalu siapa orang-orang yang ia temui akhir-akhir ini” Vosko lagi-lagi membungkukkan badannya, “ baik Tuan. Akan segera saya laksanakan” ucapnya dan segera pergi keluar dari ruangan. *** Aku Steve, Kali ini biarkan aku bercerita. Aku duduk di sofa lembut yang tersedia di kamarku. Kemudian mata jeli ku tersihir ke arah kotak yang memang sengaja ku letakkan di atas almari. Setelah bertahun-tahun aku memang berniat tak mau membuka kotak itu , akhirnya ku beranikan diri untuk membukanya lagi. Walau saat itu, saat usiaku menginjak usia tujuh tahun. Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa itu adalah hari terakhir untuk membukanya. Karena memang kotak itu menyimpan suatu kenangan yang membuatku trauma hingga saat ini. Aku duduk di ranjang dan dengan perlahan-lahan aku membuka kotak itu. Yang tersisa hanyalah satu pistol kecil. Walau seperti itu, benda ini yang membuatku tak bisa bahagia hingga sekarang. Bahkan jika aku memegangi benda ini tubuhku menjadi kaku dan lemas tak berdaya. Saat ku tatap benda berwarna hitam itu, kenangan itu kembali terlintas memenuhi memoriku saat ini. Memori yang membuatku tak bisa ceria hingga sekarang jika aku mengingatnya. Dan momen dimana saat itu aku mulai sedikit membenci orang tuaku. Kala itu, Dimana hujan melanda dengan derasnya. Aku sendirian berada di kamar, sembari memainkan robot kecil yang dihadiahkan ayah di hari ulang tahunku. Di hari ulang tahunku saat itu, Aku sangat amat berterimakasih padanya. Dia terus mengusap rambutku dan tak lupa aku memberikan senyuman manis lalu mencium keningnya. Ibu turut memelukku dan mengucapkan ucapan selamat ulang tahunku yang ke-5. Lalu mereka menyuruhku pergi ke kamar dan memainkan robot pemberian ayah. Saat itu aku tak menyadari bahwa kedua orang tuaku tengah di landa permasalahan. Permasalahan yang setelah ku pikirkan saat remaja adalah permasalahan kecil. Waktu itu, Ayah masih menjadi tipe orang yang bekerja keras. Dia tak mempunyai perusahaan. Bahkan kami hanya hidup biasa-biasa saja. Tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin. Sedangkan ibuku, Dia memang seorang putri dari konglomerat. Putri dari ketua partai besar dan banyak memiliki anak perusahaan. Ibu dan Ayah memang benar-benar orang yang ambisius dalam hal mencari harta. Lalu, ku dengar suara teriakan ayah yang masuk secara nyaring ke kamarku. Aku merasa terhentak hingga robot yang ku mainkan jatuh. Ku intip ayah dan ibu lewat pintu kamar, mereka pergi keluar ke arah balkon rumah. Aku tak mengetahui apapun saat itu, seperti anak kucing yang polos. Ku ikuti kemana mereka pergi dan ku pantau kedua orang tuaku. Ayah memegang pistol yang sekarang ku tatap dengan wajahnya yang merah. “ Dasar b*****h, Bodoh! kau tidak bisa membujuk ayahmu sendiri untuk memberikan satu anak perusahaannya padaku hah? lalu bagaimana kita bisa hidup dengan layak?” Teriak ayahku dengan sentakannya. Ibu menangis, namun saat itu pula dia menyerang ayah dengan kata-kata nylekitnya. “dasar tak tahu malu! Kau sendiri tak mampu membangun perusahaan sendiri kan? Kau itu bodoh dan tidak berguna” “Apa katamu” Teriak ayah. Ayah mengarahkan pistol ke kepala ibu. Ibu mundur ke belakang hingga punggungnya menabrak balkon. Dia terus menangis, dan teriakan mereka membuatku seketika tak mengenal bahwa mereka benar-benar kedua orang tuaku. Hanya karena ingin hidup layak, mereka sampai bertengkar hebat seperti ini. Bahkan ayah sampai rela ingin menembak mati ibu. Air mata berlinang memenuhi pelupuk mataku, aku ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi tetap ku pantau ayah apakah ia memang akan menyakiti ibu. Ayah memejamkan mata kanannya dan membidik pistol ke arah kepala ibuku. Tanganku bergetar dan mulutku sendiri tak bisa berteriak saking kakunya. dorrrr Suara keras itu membuatku terkejut. Sebulir air mataku jatuh, dan ibu menutupi telinganya dengan gemetar. Ayah tak menembak ibu, melainkan dia menembak ke arah langit. Kemudian dia melangkah terbirit-b***t setelah membuang pistol ke lantai dan pergi ke luar dari rumah walaupun hujan tengah melanda. Ibuku meluapkan emosinya sambil menangis dengan keras. Ibu memasuki kamar seraya menyeka air matanya. Saat itu, aku mengambil pistol yang di buang ayah. Menatapnya, hingga tak terasa beberapa bulir air mataku yang lainnya turut menetes membasahi pipiku. Keesokannya saat pesta ulang tahunku di selenggarakan, Aku sama sekali tak bisa memasang wajah bahagiaku sama sekali. Semua temanku bernyanyi lagu ulang tahun dengan nyaring, tapi aku tak bisa menikmati suasana itu. Kedua orang tuaku tersenyum seolah dari mereka tak terjadi sesuatu. Seolah mereka tak sedang mengalami masalah. Dan seolah mereka ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka keluarga bahagia. Mengapa sebabnya aku hingga sekarang menjadi acuh terhadap ayah dan ibu. Karena mereka yang sengaja membuatku acuh. Membuatku tak peduli pada mereka, Karena isi otak mereka hanya di penuhi dengan materi. Dan itulah mengapa sebabnya, aku meminta Irene untuk mengajariku caranya menembak. Agar aku bisa menghilangan rasa traumaku terhadap benda kecil ini. Tapi tak kusangka, walau rasanya telah bertahun-tahun lamanya. Pistol membuat tubuhku lemas ketika memegangnya. Pada kala ini, kala dimana aku mencoba menyentuh pistol ini kembali. Air mataku kembali menetes. Rasanya seperti ada yang menghantam tubuhku berkali-kali. Sakit, sakit yang ku rasakan pada saat itu sampai sekarang masih terasa. Tanganku bergetar lagi, lebih parah dari saat aku memegang pistol Irene. Aku membuang benda itu dengan keras. Mengapa mesti sepilu ini? *** Tiffany menduduki kursi sambil memegangi daerah rahimnya yang merasa sakit. Wajahnya pucat pasi setelah dia keluar dari rumah sakit itu. Dia menggerutu kesakitan di daerah perutnya. Tapi mungkinkah dia sudah tak lama lagi? Seseorang mengetuk pintu rumah Tiffany, membuat Tiffany berdiri dan melangkah membukakan pintu walau dengan langkah nya yang sudah tak kuat lagi. Akhirnya dia membuka pintu rumahnya, dan terlihat dua orang petugas bank meminta uang yang harus di bayar oleh Tiffany. “ apa yang kalian lakukan?” “ Nyonya, anda sudah jatuh tempo. Anda harus segera membayar hutang-hutang anda” ucap dua orang petugas itu. “ apa kalian tak bisa melihatku kesakitan?” Ketus Tiffany seraya menghela napasnya. “ kami tidak peduli nyonya, Kami hanya petugas” katanya. “ aku tidak punya uang Sekarang, jadi lebih baik kalian pergi saja” Sentak Tiffany. “ Tidak bisa nyonya, anda harus membayar sekarang” jawab si petugas. “ Aku akan membayarnya besok, biarkan aku mencari uangnya dulu.” Kata Tiffany. Dua petugas itu saling menatap seolah tengah mempertimbangkan sesuatu. Satu orang lainnya menghela napasnya, “ baiklah nyonya, tapi jika besok anda tidak memberikannya. Terpaksa rumah ini harus berada di tangan bank” celetuknya. “ pergilah” Ketus Tiffany. Tiffany masuk ke rumahnya lagi, dia meringis kesakitan sambil menangis. Tangannya bergetar namun berusaha meraba ponselnya berada di depannya. Hal yang pertama kali terlintas di benaknya adalah meminta tolong pada Irene. Dia mulai menelepon Irene, Kemudian dari seberang Irene menjawab teleponnya. “ halo siapa ini?” kata Irene dingin, yang terdengar tengah mengaduk-aduh sesuatu. “ a- a ku Tiffany” ucapnya terbata-bata. “ bagaimana kau bisa dapat nomorku hah?” tanya Irene yang menaikkan nada tingginya. “ ce- ceritanya panjang” ucap Tiffany. “ lalu, apa maumu?” tanya Irene lagi di seberang, sambil berjalan ke arah sofa membawa secangkir kopi. “ Bisakah kau menolongku?” jawab Tiffany dengan suaranya yang meringis menahan sakit “ ya apa yang mau ku tolong?” jawab Irene sembari menyeruput tehnya “ A- aku butuh uang banyak. Dan juga perawatan” jawab Tiffany. “ APA?” teriaknya membalas ucapan Tiffany.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN