Frederica, Teman se-pekerjaan Tiffany datang ke rumahnya membawa mobil. Dia mengetuk pintu rumah Tiffany berkali-kali, namun sama sekali tak ada jawaban dari wanita itu.
Frederica hendak pulang karena Tiffany tak kunjung keluar. Tapi saat dia mulai menggendor pintu, tiba-tiba pintunya terbuka. “ apa ini tidak di kunci?” Katanya heran.
Dia mencoba untuk masuk dan menemui sahabatnya itu. Namun naas saat dia mencoba masuk ke kamar Tiffany, sahabatnya itu tiba-tiba tergeletak di atas ranjangnya dengan mulut berbusa.
Frederica berteriak meminta pertolongan ke arah luar. Wajahnya mulai panik tak tertolong, tetapi sial. Tidak ada bantuan yang datang menghampiri sama sekali. Karena rumah Tiffany jauh dari rumah orang-orang lainnya.
Dia menepuk-nepuk wajah Tiffany, secercah rasa khawatir terus menghantuinya. Dia mulai mengotak-atik ponsel sahabatnya. Yang dia temui hanyalah sebuah kontak atas nama “ Keponakan”.
Alhasil dia mencoba untuk menelpon kontak itu, Dan ya dia juga tak mengetahui bahwa Irene adalah keponakan kandung Tiffany. Dia dan Irene telah bekerja selama beberapa tahun di bar kota. Frederica bekerja sebagai penari tiang, sama seperti Tiffany, teman baru yang di ajaknya untuk bekerja di bar.
Irene datang bersama Louis dan pamannya, dia spontan memasuki rumah yang pintunya telah terbuka itu. Irene hanya bisa menatap wajah sang bibi yang berada di pangkuan Frederica.
Pamannya berinisiatif untuk mengecek detak nadi di pergelangan Tiffany. Lalu dia memalingkan wajahnya ke arah Louis. “ apa yang terjadi padanya tuan?” Teriak Frederica.
Paman Lay mengambil botol obat yang berada di atas ranjang mantan istrinya. Beberapa pil obat penenang berceceran di atas ranjang. Lay semakin yakin bahwa yang membuat Tiffany tak berdaya seperti ini adalah karena dia terlalu banyak mengonsumsi obat.
“ Dia sudah meninggal” Ucap paman Lay.
Semua tatapan mata tertuju kepada paman Lay, Frederica menggelengkan kepalanya tanda tak memercayai soal ucapan yang di lontarkan oleh paman Lay. “ Tidak mungkin” Teriak nya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Tiffany.
“ berhenti menggoyang-goyangkan tubuhnya, dia sudah meninggal. Dia meninggal karena terlalu banyak mengonsumsi obat penenang” Teriak paman Lay menghentikan Frederica.
Rumah Tiffany kini di isi dengan isak tangis sahabatnya. Louis mendekap Irene dari belakang. Irene sangat terpukul dengan kabar soal kepergian Tiffany. Mengapa dia harus pergi secepat ini?
Irene hampir jatuh, dia menelan ludahnya karena syok. Louis memapah kakaknya yang mulai lemas, “ Irene kau tak apa?” Ucap Louis mengkhawatirkan kakaknya.
Dua kali, Dua kali Irene harus mengalami hal seperti ini. Kehilangan orang tuanya, kehilangan kakaknya Alana dan Kini dia harus di tinggalkan oleh bibinya Tiffany.
Walau hal yang pertama kali terlintas di benak Irene ketika berjumpa dengan Tiffany adalah bagaimana dia memperlakukannya dahulu. Tapi ia masih tetap mengingat bahwa karena Tiffany dia bisa selamat bertempur melawan Vincent. Bagaimanapun dia adalah bibinya bukan?
Selembar surat yang berada di atas laci Tiffany membuat pandangan mata paman Lay tersihir. Dia mengambil selembar surat utuh yang di atasnya masih lengkap dengan bolpoin. Lay membacanya dalam hati dengan surat yang berisi,
“ Lay...Terima kasih kau telah menjadi bagian hidupku dulu. Kau masih sama seperti kau yang ku kenal. Kau yang penyabar, optimis, tegar, mulia dan selalu di cintai banyak orang. Selama aku bersamamu aku selalu melakukan banyak kesalahan yang mungkin tak akan pernah kau maafkan. Maafkan aku yang tak pernah bersyukur karena memiliki pria baik sepertimu dan memilih untuk mengkhianati mu. Jujur, jika mengatakan ini secara langsung mungkin kau akan membalasku dengan tawaan. Aku tidak akan terima itu, Tolong jaga Irene dan Louis juga.”
Itu hanya separuh isi dari surat yang di tulis oleh Tiffany. Sejujurnya, paman Lay masih begitu banyak menyimpan perasaan pada orang yang telah menjadi bekas istirnya itu.
Sorot matanya tak bisa di pungkiri, dia masih betul-betul mencintai Bibi Irene. Kemudian dia memberikan isi surat itu kepada Irene. Irene merampas dan membacanya lagi di bait ke dua.
“ Sampaikan pada Irene dan Louis bahwa aku masih tak apa-apa. Aku memiliki banyak kesalahan pada Irene. Saat pertama kali aku menemuinya di bar, dia menatap tajam mataku. Tapi aku tak masalah dengan itu, mengingat bahwa perlakuanku padanya lebih dari sekedar brutal hehehe. Lalu aku berkata kepadanya kalau aku memiliki penyakit kronis, aku tau dia masih memedulikanku. Tapi dia tak menampakkan itu. Aku harus berterimakasih padanya, karena dia menolongku. Membayar semua hutang-hutangku membuatku beristirahat dengan tenang. Itulah mengapa aku ingin membayarnya dengan jasa kecil yang tak ada harganya ini”
Kata-kata di bait kedua itu, membuat d**a Irene terasa sesak. Dia sama sekali tak menyangka bahwa Tiffany akan merancang isi surat seperti ini sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya. Kemudian timbul sedikit rasa bersalah karena dia selama ini sering mengabaikan bibinya. “ aku minta maaf Tiffany” lirih Irene.
Louis tertegun melihat kakaknya yang mencoba tegar, dia merampas surat panjang itu dan mulai membaca bait ketiga.
“ Aku telah memikirkan dengan matang untuk mengeluarkanmu dari penjara. Aku sangat ingin menemukan pengganti yang bisa menjadi orang terdekat untuk Irene dan Louis. Saat aku memeluk Irene, aku merasa bahwa dia bukan keponakanku lagi. Tapi dia adalah anakku Lay..Dia anakku. Aku tak mengerti mengapa dulu aku sekejam itu, pada anak kandung kakakku sendiri. Dan soal penusukan Louis itu, aku juga merasa bahwa hatiku juga tertusuk. Jauhi keponakanku dari orang jahat seperti Vincent Lay... Sampaikan pada keponakanku bahwa aku akan beristirahat dengan damai. Aku menyayangi kalian semua”
Louis menyeka air matanya yang mulai jatuh, entah mengapa dia menjadi sangat lemah seperti ini. Kata-kata Tiffany sama hal nya dengan kata-kata ibunya yang selalu membuatnya terenyuh. Louis meraba bagian kertas Tiffany yang sudah basah. “ sialan mengapa aku menangis” Desis Louis menghapus air matanya.
“ Kita harus mengkremasi mayatnya. Biarkan Tiffany beristirahat dengan tenang” Kata Irene menunduk.
Paman Lay mengangkat Tiffany, dia menidurkan mayatnya di atas ranjang. Frederica terus menangis, dia tak bisa menahan air matanya.
“ Frederica usap air matamu, menangisinya tak akan membuatnya hidup lagi” Kata Irene dingin. Dan Frederica mulai menghentikan isak tangisnya, Dia pergi keluar untuk menenangkan diri.
***
Steve terus termenung di atas ranjangnya, beberapa hari dia tak menjumpai Irene. Bahkan Irene pun sama sekali tak berinisiatif untuk menjumpai Steve.
Dia datang ke kantor ayahnya saat itu, “ ayah, kapan bodyguard mu itu akan pulang?” Tanyanya sambil menghentakkan meja kerja ayahnya dengan kedua telapak tangan nya.
“ Tanya sendiri pada Louis, jangan mengganggu ayah. Ayah sedang bekerja” jawab Zacklee sambil mengecek lembar berkas kantornya.
Steve menggerutu, dia mendengus kesal. “ Untuk apa kau menanyakannya?” tanya Zacklee pada Louis.
“ ah sudahlah, apa peduli ayah” jawabnya sambil meninggalkan ruangan.
Sekarang dia duduk di atas ranjangnya, sambil memutar-mutarkan ponsel. Dia mengingat perkataan Irene, tentang Alcohol yang bisa menyelamatkan otakmu. Yang bisa membuat pikiran melayang dan merileksasikan otak.
“ apa aku harus minum itu untuk menenangkan pikiranku karena kau Irene?” pikirnya.
Steve mulai beranjak pergi meninggalkan ranjangnya. Dia pergi berkemas untuk membeli minuman penenang itu.
Setibanya di supermarket, kedua matanya terus melotot di depan lemari pendingin. Matanya melirik ke kanan ke kiri, yang mana dia melirik sebotol soju dan s**u beruang saling berdempetan.
Susu beruang dengan sensasi rasa buah strawberry yang segar, beradu dengan botol soju yang rasanya sedikit melayang. Dia ragu-ragu untuk mengambil botol itu, alhasil Steve mengambil keduanya, dia duduk di tepi laut untuk mendinginkan diri. Sebotol soju dan sekotak s**u beruang berada di kedua genggamannya. Dia menatap tajam kedua benda itu, sambil menghela napas.
“ aku tidak mau minum ini” kata Steve lalu membuang botol sojunya ke bawah.
“ aku merindukanmu Irene” gumamnya bersedih.
***
Semua orang mengerumuni rumah Tiffany, mereka semua adalah teman-teman Tiffany semasa hidupnya. Peti mati telah datang, Tiffany di baringkan ke dalam. Semua orang memandangi wajah Tiffany yang tertidur cantik.
Bahkan jika di lihat-lihat dia hanya sedang tertidur, bukan meninggal. Aku tetap tertegun melihat ke arah peti sembari menekuk tangan. Ku pikir selama ini dia bisa mengatasi masalahnya sendiri.
Tapi dia sangat menyedihkan, mengapa dia harus meminum banyak pil obat penenang dalam sekali minum. “ Seharusnya dia tak menyelesaikan masalahnya sendirian bukan?” bisikku pada Louis yang kini berdiri di sampingku.
Louis menganggukkan kepalanya berkali-kali, “ aku sangat terpukul”
“ Louis, tolong cari tahu kapan Zacklee akan menghadiri acara reuni nya”suruhku pada Louis.
Louis mendongakkan wajahnya ke hadapanku dengan wajah memerah, “ apa kita pantas membalas dendam pada Vincent saat kita berduka?” ketusnya.
“ Louis, kau harus mematuhi perintah ku.” jawabku datar.
“ kau boleh membalas dendam Irene, tapi kau harus mengenal waktu” Sentak Louis.
Aku mencengkram punggung Louis dengan kuat, “ sialan, apa-apaan kau hah?” Bisik Louis yang kesakitan.
“ Dekati mayat Tiffany, hampiri peti mati itu. Lihat baik-baik dengan kedua matamu.” sentakku membalas Louis.
Louis merasa heran, dia mematuhi perintahku. Kemudian Louis menatap mayat Tiffany tanpa henti. Dia memerhatikan bibinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kedua bola matanya terus melotot tanpa berkedip.
Louis mengalihkan wajahnya ke arahku, Aku mengangkat jari manisku sebagai kode. Dia mengangkat alis kanannya karena bingung. Lalu dia menatap jari manis Tiffany di dalam peti.
Louis termenung, dia memerhatikan jari manis Tiffany. Kemudian dia menutup mulutnya, dia menyadari bahwa jari manis Tiffany mengalami pergerakan. Saat itu juga aku menarik tangannya untuk berdiri di sampingku lagi.
“ Tiffany masih hidup?” tanya Louis antusias.