Hari yang ditunggu Naura pun tiba, kedua putranya pulang ke rumah dengan naik bus antar kota. Affan dan Azam sudah terbiasa berangkat dan pulang sendiri bersama rombongan teman-temannya.
Sesampainya di rumah, suasana pun ramai dengan kedatangan mereka. Apalagi Erna yang tahu kepulangan cucunya langsung datang menyambutnya. Bahkan ibu mertua Naura itu pun langsung membawa mereka pulang ke rumahnya.
"Bu, aku masih rindu sama kedua putraku. Biar mereka besok saja ke rumah Ibu." Rama pun protes pada ibunya.
"Aku juga sangat rindu dengan cucuku. Mumpung Ragil dan Amanda nggak di rumah, biarlah kali ini mereka ikut sama Ibu dulu." Erna tak mau kalah dengan putranya. Dia memang sangat menyayangi cucu-cucunya. Berniat akan membelikan apa saja yang mereka minta. Memasakkan makanan apa saja yang mereka suka.
"Memangnya mereka ke mana, Bu?" Naura bertanya karena merasa heran.
"Alhamdulillah, mereka berlibur, berbulan madu katanya. Ibu ikut senang, biar bisa gendong cucu lagi. Cucu Ibu semuanya sudah besar-besar." Erna menjawab dengan sorot mata yang berbinar.
Rama mengernyitkan dahinya, bahkan dia hampir lupa jika adiknya ada masalah. Ragil berjanji akan memberikan keputusan dan membicarakan pada dirinya, sesuai waktu yang telah dia berikan.
Akan tetapi, mendengar adiknya pergi berlibur dan berbulan madu, Rama pun ikut bahagia. Hanya saja dia merasa ada sedikit kejanggalan, berbagai pertanyaan pun mulai ada di pikirannya.
"Pa, aku pamit ke rumah oma dulu." Suara Affan membuyarkan lamunan Rama.
"Iya, jangan minta yang aneh-aneh sama oma. Yang rukun sama adiknya, ngalah sama Rayhan." Rama pun akhirnya mengijinkan kedua putranya tinggal dengan neneknya.
"Siap, Pa." Setelah mengucap salam, Affan dan Azam pun langsung berjalan ke arah mobil neneknya yang sudah menunggu di depan.
"Ibu bawa dulu cucuku. Biar kalau malam kalian bisa sepuasnya begadang tanpa ada gangguan." Erna berkata lirih pada putra dan menantunya yang berdiri berdekatan. Naura hanya menunduk malu, sementara Rama hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan ibunya.
Jarak rumah ibunya sangatlah dekat, Rama dan Naura bisa melihat putranya kapan saja. Mereka akhirnya mengalah, Erna terlihat sangat merindukan putra mereka.
"Benar kata ibu, kita bisa begadang sepuasnya tanpa takut ada yang mengganggu dan mendengar." Rama berbisik pada istrinya sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah. Naura hanya bisa pasrah saat Rama langsung menggendong dirinya menuju kamar mereka.
***
"Mas, kamu kenapa kok melamun? Dari tadi kopinya hanya dilihat saja. Mikirin apa, Mas?" Naura mendekati suaminya yang terlihat sedang melamun.
Rama duduk di meja makan sambil memandang secangkir kopi hitam di depannya. Bahkan roti yang sudah disiapkan Naura di samping kopi suaminya pun belum tersentuh. Padahal Rama harus segera berangkat bekerja, waktu sudah menunjukkan pukul depalan lebih sepuluh menit.
"Aku memikirkan Ragil. Alhamdulillah rumah tangganya baik-baik saja. Hanya saja ... kenapa dia tak menghubungiku sama sekali? Bahkan belum genap satu bulan yang lalu, dia berencana menceraikan Amanda."
"Apa? Ragil mau menceraikan Amanda?" tanya Naura tak percaya.
"Iya ... maafkan kalau aku belum bercerita. Mau cerita juga aku malu padamu. Tapi kalau memang sudah baikan, ya sudahlah. Lupakan saja ucapanku tadi. Aku berangkat dulu, ya, Sayang."
Rama kemudian beranjak dari duduknya dan memeluk Naura yang masih berdiri di sampingnya. Mengecup kening dan bibir istrinya. Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaannya sejak awal menikah yang tak pernah berubah. Kecuali di depan anak-anaknya, Rama hanya mencium kening dan kedua pipi Naura.
"Mas, aku ijin ke supermarket, ya? Mau beli bahan-bahan dapur yang sudah habis. Boleh, ya? Mumpung hari ini tak ada pesanan." Naura berkata dengan tatapan memohon pada Rama.
"Baiklah, tapi jangan lama-lama. Nggak usah jauh-jauh, sekitar sini saja. Hati-hati bawa motornya, ja ...."
"Iya ... jangan ngebut, jangan terlalu pelan, cepat pulang, nggak usah mampir-mampir, jangan ngobrol sama laki-laki nggak dikenal, sampai rumah langsung kirim pesan ... aku sudah hafal, Mas," sahut Naura yang sudah hafal dengan pesan-pesan suaminya. Rama selalu seperti itu, sangat cerewet jika istrinya ijin pergi sendirian.
Rama tersenyum melihat istrinya yang memotong ucapannya dengan wajah kesal.
Cup!
Rama mengecup bibir istrinya yang cemberut. Naura pun tersipu dengan ulah suaminya. Rama selalu saja bisa membuat hatinya merasa berbunga-bunga.
"Aku nggak usah kerja, ya Sayang. Aku mau di rumah saja. Aku jadi ingin mengulangi lagi yang tadi malam."
"Eh ... nggak ada libur. Sudah sana berangkat, ditunggu Pak Bos. Ayoo, aku antar ke depan." Naura pun mendorong tubuh Rama agar segera berangkat kerja.
"Bisa bahaya kalau sampai Mas Rama terlalu lama dekat denganku. Apalagi sampai libur, rencana belanjaku akan gagal karena harus seharian di rumah," kata Naura dalam hati.
Rama pun tertawa melihat wajah Naura yang sudah ketakutan. Dia kembali memeluk istrinya dan memberinya kecupan. Rama segera melangkahkan kaki dan menaiki motor sport kesayangan. Setelah mengucap salam, dia pun berangkat bekerja yang sudah menjadi salah satu kewajiban.
Naura memandang suaminya yang sudah berlalu dengan motor sportnya. Ucapan Rama masalah Ragil mempengaruhi pikirannya. Namun, dia mencoba untuk tak mau tahu. Dia tak ingin ikut campur urusan rumah tangga orang walaupun dirinya penasaran.
***
Menelusuri deretan pertokoan, Naura berjalan sendiri. Sesekali memandang ke arah dalam toko yang tertutup kaca transparan. Dia bukanlah wanita yang suka membeli barang-barang yang tak berguna. Apalagi sampai mengoleksi barang-barang mewah. Naura wanita yang sederhana, membeli sesuatu yang dibutuhkan saja.
Bruuukk!
Tak sengaja dirinya menabrak seseorang karena berjalan tak melihat ke arah depan.
"Astaghfirullah ... maaf, Mbak. Maafkan saya yang jalannya meleng." Naura membantu mengambil barang belanjaan yang berceceran.
"Nggak apa-apa, Mbak. Maaf, saya juga meleng," jawab wanita itu. Dia pun ikut membantu Naura mengambil barang belanjaannya yang jatuh.
Naura menyerahkan kantung belanjaan yang terbuat dari kain pada wanita di hadapannya.
Sejenak Naura tertegun, wajah wanita di hadapannya sangat cantik. Meskipun memakai gamis longgar dan khimar panjang, Naura yakin wanita yang ditabraknya berkulit putih terawat. Penampilannya elegan dengan tubuh yang tinggi dan langsing, terlihat hampir sempurna di matanya. Dia pun mengulurkan tangan mengajak berkenalan.
"Hai, kenalkan ... namaku Naura."
"Salam kenal juga, namaku Yasmin ... Yasmin Fahira."
"Nama yang sangat cantik, secantik orangnya."
"Kamu terlalu memuji. Lihatlah, kamu juga cantik dan manis. Hemm ... kalau berkenan, bagaimana kalau kita berbincang sebentar di kafe itu?"
"Tapi aku ingin berbelanja sebentar ...."
"Baiklah, aku akan menemanimu. Entahlah, aku merasa sudah lama kenal denganmu."
"Aku juga ... kita seperti saudara yang sudah lama tak berjumpa."
"Benar sekali, aku juga merasakan hal yang sama."
"Kalau begitu, ayo, ikut aku ke toko bahan kue di ujung jalan itu."
Mereka berdua berjalan bersama sambil sesekali bercanda, sangat akrab meskipun baru saling kenal. Setelah keluar dari toko tempat Naura membeli bahan makanan, mereka segera berjalan menuju kafe. Namun langkah mereka harus terhenti, karena seseorang memanggil sebuah nama.
"Yasmin!!"
Kedua wanita cantik itu pun melihat ke arah seorang laki-laki yang menghampiri mereka. Yasmin berdecak lirih, tanda tak suka.
"Astaghfirullah ... dia lagi ...."