Rama tiba-tiba sudah memeluk Naura dari belakang. Naura yang sedang fokus menghitung kotak makan berbahan plastik untuk pesanan besok di meja makan, tak menyadari kehadiran suaminya. Rama menggelitiki Naura tanpa ampun, membuat istrinya tertawa kegelian.
Rama menghentikan aktivitasnya mengganggu Naura, kemudian memeluk dan mencium kedua pipi cabi milik sang istri. Dia pun duduk di sebelah Naura yang sedang merapikan kotak makan yang berantakan.
"Ada pesanan lagi besok?" tanya Rama dengan ekspresi wajah cemberut.
"Iya, ada pesanan besok sore, Mas. Ini lagi menyiapkan kotak makannya sambil nunggu Mas Jamal nganterin bahan-bahan masakan. Takutnya kotak makannya kurang, jadi aku hitung dulu stock yang ada," jawab Naura sambil tersenyum melihat suaminya yang merajuk.
"Mas ini, sudah punya dua jagoan remaja masih saja seperti anak kecil. Mintanya ditemani terus," lanjut Naura menggoda suaminya.
"Aku kangen, Sayang. Rasanya setiap hari aku kangen terus sama kamu. Apalagi kalau di rumah, malas ngapa-ngapain. Rasanya ingin berduaan saja di tempat tidur. Kenapa, ya, Sayang, aku sekarang jadi seperti ini?"
Naura menghela napas panjang, menghentikan aktivitasnya. Pertanyaan yang diajukan Rama terasa menyedihkan di telinga. Rama yang biasa tegas tapi lembut terhadapnya, saat ini wajahnya terlihat sedang tidak baik-baik saja.
"Mas, mau dibuatkan kopi? Atau mau makan lagi?" tanya Naura.
"Teh lemon saja dikasih madu, ya. Aku lagi nggak ingin kopi. Makannya nanti malam saja, aku masih kenyang," jawab Rama tanpa memandang wajah istrinya.
Naura melangkah membuatkan minuman untuk suaminya. Dipandangnya Rama, laki-laki itu duduk diam sambil melamun. Sementara Naura sedang memikirkan jawaban yang paling tepat dan tak membuat suaminya tersinggung. Membahas hal sensitif seperti ini, Naura merasa harus hati-hati. Tak ingin kejadian kemarin siang terulang lagi.
"Mas, diminum dulu, jangan melamun." Naura berkata lembut dengan mengelus lengan suaminya.
Rama pun tersenyum memandang wajah ayu Naura. Dalam hati, Rama selalu merasa bersalah pada istrinya. Namun, jika dia tak meminta pada Naura, pada siapa lagi dirinya melepas hasratnya? Pertanyaan itu yang selalu ada di pikirannya.
Rama bukanlah laki-laki yang suka dengan sembarang wanita. Walaupun tak dipungkiri, banyak wanita yang terang-terangan menyatakan suka padanya, tetapi Rama tak pernah menanggapi mereka semua.
"Hmm ... kalau aku boleh tanya, tapi jangan marah, ya, kalau sama wanita lain yang dekat dengan kamu selama ini, bagaimana? Dengan relasi wanita misalnya, atau dengan para gadis bagian administrasi, apa kamu juga langsung ingin?" Naura mencoba bertanya pada Rama dengan hati-hati.
"Tentu saja tidak, Sayang. Aku sama sekali tak tertarik dengan mereka. Hasratku hanya saat bersamamu saja. Jangan khawatir, aku bukanlah laki-laki tukang selingkuh. Walaupun jika di rumah, aku terlihat sangat bernafsu, selalu tak bisa menahan hasrat padamu," jawab Rama dengan tegas.
Rama mengerti perasaan Naura, dia pun mencoba menjelaskan tentang bagaimana keadaan dirinya yang sebenarnya. Apa yang disampaikan Rama memang sesuai dengan realita. Hasratnya timbul hanya saat dirinya bersama istri saja.
"Lalu, kenapa kamu marah denganku? Apakah ada yang salah dengan pertanyaanku? Aku hanya ingin tahu saja, bukan meminta jawaban dari pertanyaanku kemarin. Bahkan aku tak mengerti, pertanyaanku yang katamu konyol itu membuatmu menyakitiku." Naura berkata dengan suara yang bergetar, tangisnya tertahan.
Rama merengkuh tubuh Naura ke dalam pelukan, wanita itupun menangis dalam dekapan. Air matanya lolos seketika, kejadian kemarin siang masih menyisakan luka.
Selama enam belas tahun lebih pernikahan mereka, Rama tak pernah berbuat kasar sekali pun. Namun, hanya karena satu pertanyaan yang dilontarkannya, membuat Rama berlaku tak menyenangkan pada dirinya. Sungguh sesuatu yang membuatnya sangat sedih dan yang lebih membuat sakit hati, kemarahan Rama dilampiaskan saat melepaskan hasrat padanya.
"Sekali lagi maafkan aku, Sayang. Aku tak ada niat menyakitimu. Pertanyaanmu mengingatkanku pada masa lalu. Bahkan jika aku mengingatnya, rasanya aku ingin membunuh wanita itu. Sungguh, Sayang, jangan pernah memintaku menikah lagi. Sampai kapan pun aku tak pernah mengabulkan permintaanmu."
Naura terkejut mendengar penjelasan suaminya. Tak menduga Rama mempunyai trauma. Selama ini keluarga suaminya terlihat baik-baik saja. Bahkan ibu mertua sempat bercerita jika dia melayani suaminya dengan ikhlas tak terpaksa. Mereka duduk kembali, sambil menikmati minuman, Rama terpaksa bercerita.
"Ibu pernah meminta ayah untuk menikah lagi. Waktu itu ibu sakit parah, membuat ibu tak bisa melayani kebutuhan biologis ayah. Ayah pun akhirnya menyetujui permintaan ibu, memilihkan sahabatnya yang seorang janda untuk menikah dengan ayah. Waktu itu aku kelas dua SMA, sedangkan Ragil masih kelas lima. Sahabat yang dipercaya, mengkhianati kepercayaan ibu."
Rama kembali menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan sebelum melanjutkan ceritanya. Dia menyesap teh lemon hangat yang membuatnya sedikit tenang.
"Dia memang menikah dan melayani ayah dengan baik tapi di sisi lain dia juga menghancurkan keluarga kami. Ternyata ibu tidak tahu jika sahabatnya menyimpan dendam karena merasa direndahkan. Aku memergokinya saat wanita itu akan mencuri dokumen-dokumen penting di kamar ayah."
Rama menarik napas, menenangkan gemuruh hatinya. Naura hanya diam, memandang suaminya dengan rasa iba.
"Aku akan berusaha menahan hasratku jika kamu tak mau melayani, tetapi jangan pernah memintaku menikah lagi. Aku tak akan memaksamu. Aku tahu kamu lelah, aku tahu kamu sering menangis. Maafkan aku, aku tak tahu harus bagaimana menghadapi diriku sendiri. Maafkan aku, Sayang. Aku sangat mencintaimu."
Rama memegang lembut tangan istrinya, mengecup lembut jemarinya. Naura tak mampu berkata apa-apa, terharu mendengar ucapan laki-laki yang sangat dicintainya. Bahkan Rama tahu dirinya sering menangis karena lelah. Rama pun berjanji dan berusaha tak memaksanya. Naura bimbang.
"Apa jadinya jika hasrat seorang suami tak tersalurkan? Apa aku akan tega menolak keinginan suamiku sendiri? Bahkan hal seperti itu tak dibenarkan dalam ajaran agama." Kembali pertanyaan-pertanyaan seperti itu memenuhi pikirannya.
Rama dan Naura beradu pandang dan saling melempar senyuman.
"Rumah sudah sepi dan rapi, bagaimana kalau kita mulai?" Kembali Rama meminta haknya dengan kerlingan mata menggoda.
"Hemm ... baru saja ada yang bicara kalau nggak akan maksa. Sekarang malah langsung minta jatah."
"Makanya, kalau nggak ingin aku paksa, kamu harus ikhlas memberi. Ayolah, Sayang, mumpung rumah sepi. Besok kalau anak-anak sudah di rumah, kita tidak bisa bebas lagi."
"Mas, bagaimana kalau kita keluar saja? Makan bakso di warung biasanya pasti lebih menyenangkan."
"Hemm ... boleh juga tapi nanti setelah kita selesai."
Tanpa memberi kesempatan Naura bicara lagi, Rama langsung menggendong sang istri dan membawanya ke kamar tidur mereka. Naura tak bisa membantah lagi. Wajah Rama saat ini seperti singa jantan yang siap menerkam mangsanya.