Ragil dan Amanda bahagia

1018 Kata
Setelah melakukan kewajibannya sebagai suami dan memastikan istrinya sudah tertidur lagi, Ragil kembali ke rumah kakaknya. Sengaja kunci pagar rumah Rama dia bawa, agar memudahkannya masuk ke rumah tanpa harus membangunkan pemiliknya. Sampai di kamar belakang, Ragil tersenyum, membaringkan tubuhnya dan terlelap dengan bayangan wajah kakak iparnya yang anggun. Sayup-sayup terdengar di telinga Ragil, suara kesibukan di dapur. Dia tersadar, dirinya tadi malam kembali di rumah kakaknya. Terlihat angka lima tepat pada benda bulat di pergelangan tangannya. Segera dia keluar dari kamar tidur, menuju kamar mandi di belakang. Setelah selesai mandi dan membersihkan badan, kembali menuju kamar sebentar, lalu berniat segera pulang. "Mbak, aku mau pulang dulu. Takut keburu ibu ke sini dan nanti akan bertanya macam-macam. Mas Ramanya masih tidur, ya, Mbak?" tanya Ragil pada kakak iparnya yang sedang sibuk membuat bumbu. Ragil memperhatikan wajah ayu kakak iparnya dengan rasa yang dia sendiri tak tahu bagaimana mengartikannya. Wajah Naura terlihat menawan meskipun tanpa polesan. Ditambah dengan khimar warna ungu, terlihat semakin bersinar dan cerah wajahnya. Bahkan setelah permainan panas tadi malam dengan kakaknya, wanita di depannya terlihat segar dan beraktivitas seperti biasa. Tak nampak sama sekali wajah lelahnya. "Ah, kenapa aku jadi seperti ini pada kakak iparku sendiri?" rutuk Ragil dalam hati. Selama ini Ragil tak pernah dekat dengan Naura. Seumur pernikahan kakak iparnya dengan Rama, baru kali ini dia melihat jelas wajah dan penampilan istri kakaknya. Ayu dan manis, sederhana dan elegan, ramah, sabar, dan shalihah. Pantas saja ibunya sangat menyayangi menantunya yang satu ini, begitu pikirnya. "Eh, iya. Mas Rama kalau hari libur sudah biasa bangun siang. Kamu mau pulang? Mau minum kopi atau teh lemon hangat dulu? Duduk saja, biar aku buatkan sebentar. Masih jam lima, ibu mungkin ke sini jam tujuh nanti," ucap Naura sambil ter senyum. "Te ... terima kasih, Mbak. Ba ... baiklah, aku mau teh lemon hangat saja. Aku harus segera pergi, kalau ibu tahu semalam aku tak pulang, ibu pasti akan curiga. Tolong jangan beri tahu ibu kalau aku menginap di sini, ya, Mbak. Kalau nanti aku berpapasan dengan ibu di rumah, aku akan bilang dari rumah temanku." Ragil menjawab dengan gugup dan menerima tawaran Naura untuk duduk di ruang makan, menunggu teh lemon hangat buatan kakak iparnya. Tak sampai sepuluh menit, Naura mendekati Ragil dengan dua buah cangkir di atas nampan. Dengan santai, Naura pun menemani adik iparnya dan duduk berhadapan. "Iya, insyaa Allah aku tak akan cerita pada ibu kalau kamu menginap di sini. Maaf, ya, masih agak panas sedikit, tunggu sebentar lagi. Kalau mau sarapan, ini ada roti tawar dengan selai strawberry. Lumayan buat mengganjal perut dari pada menahan lapar. Maaf juga kalau aku belum masak. Biasanya kalau libur begini, Mas Rama yang beli sarapan di warung." Naura berbicara pada Ragil tanpa memandang wajah laki-laki di hadapannya. Sesekali menyesap teh lemon yang sudah mulai hangat. Ragil hanya diam, dirinya yang dari tadi sudah merasa gugup, semakin gelisah berhadapan dengan kakak iparnya. Naura kembali minum teh lemonnya sampai habis tak bersisa. Ragil pun demikian, akhirnya dia pamit pulang. Dengan rasa berdebar tak menentu, Ragil mengendarai kendaraan roda empatnya menuju rumah. Bahkan saat ini dirinya merasakan hasratnya kembali lagi. Ragil pun mempercepat laju kendaraannya, ingin segera sampai di rumah. Suasana sepi, karena hari masih pagi. Ibunya pun belum keluar dari kamar, hanya terlihat Sari--asisten rumah tangganya yang membersihkan halaman. Menuju kamar tidur, terlihat Amanda yang berbaring sambil bermain ponselnya. "Pa, dari mana? Bukannya tadi malam kamu sudah pulang? Tapi waktu aku bangun subuh, aku cari nggak ada," kata Amanda beranjak dari tempat tidur, menyambut kedatangan suaminya. Ragil menghampiri Amanda, tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Dengan napas yang mulai memburu, Ragil mencumbu istrinya, melucuti pakaiannya dan membuat banyak jejak merah di sekujur tubuh Amanda. Permainan kali ini bagi wanita itu lebih panas lagi. Pelepasan nikmat yang berkali-kali, membuat dirinya terkulai lemah dan tak berdaya. Amanda langsung terlelap, tulang-tulangnya terasa patah, tetapi hatinya bahagia. Sementara Ragil langsung ke kamar mandi dan membersihkan badan. Memakai kaos berwarna biru dengan celana pendek selutut, Ragil terlihat lebih segar dan sangat tampan. Memandang dirinya di cermin, Ragil merasa hidupnya saat ini lebih berwarna. Semangat hidupnya kembali lagi, bahkan lebih bersemangat saat ini. Keterpurukan karena impotensi yang dideritanya sekarang sudah pergi. Secara tak langsung, semua karena Naura--istri kakaknya tercinta. Dia tak lagi peduli, selama bisa memberikan nafkah batin pada Amanda. *** Adzan ashar berkumandang, Naura lekas beranjak melaksanakan kewajiban empat rakaat. Ibu mertuanya sudah pulang jam dua siang tadi. Urusan dapur sudah selesai semuanya. Erna tak datang sendiri. Beserta Sari, semakin membuat pekerjaan hari ini cepat selesai. Semua perkakas kotor pun sudah bersih. Naura merasa heran, baru saja Amanda mengambil pesanannya, diantar oleh suaminya. Selama ini Ragil jarang sekali menemani istrinya. Sikap Amanda pun kali ini sedikit berbeda, tak lagi ketus seperti biasanya. Padahal tadi malam Ragil tidur di rumahnya, seolah ada masalah berat yang menimpa. Namun hari ini, Naura melihat mereka berdua baik-baik saja dan terlihat mesra, bahkan dirinya melihat pancaran kebahagiaan di wajah pucat Amanda. Naura memperhatikan wajah adik iparnya yang tampak pucat, meskipun tertutup dengan make-up yang natural, kelelahan tampak di wajah cantiknya. Terlintas di pikiran Naura, istri adik iparnya mungkin sedang sakit atau sedang hamil lagi. Semoga saja, yang penting rumah tangga mereka baik-baik saja, Naura hanya bisa mendo'akan. Dilihatnya Rama yang masih terlelap. Tadi pagi suaminya hanya bangun untuk mandi dan minum kopi saja. Siang hari setelah makan, dia pun kembali mengurung diri di kamar. Mau membantu, istri dan ibunya tak mengijinkan. Setelah sholat ashar, Naura berniat melanjutkan pekerjaan rumah. Dibiarkan sang suami yang masih tidur, dari pada didekati malah membuat dirinya terjebak dalam sebuah permainan yang melelahkan. Lebih baik langsung kabur menuju dapur. Tadi pagi ada yang menelepon, memesan nasi bento 150 porsi untuk hidangan buka puasa hari senin di sebuah pondok pesantren di pinggir kota. Teringat kedua putranya yang juga sedang berjuang di sebuah pesantren di luar kota, rasanya rindu karena sudah lama tak bertemu. Naura ingin sekali menelepon mereka tapi belum bisa, menunggu selesai ujian akhir semester dulu. Setelah ini mereka akan pulang dan berlibur di rumah selama dua minggu. Rasanya Naura sudah tak sabar menunggu. "Hemm ... aku kok nggak dibangunin. Sengaja, ya, mau menghindar?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN