Dita POV
Pagi ini aku bangun lebih awal daripada biasanya. Mempersiapkan sarapan dengan perasaan riang karena Firdaus untuk kali ini pulang ke rumah. Dia juga tidur di sebelahku malam ini. Setidaknya sebagai seorang istri aku senang dengan perubahan sikapnya itu.
Mendengar suara pintu dibuka, aku tersenyum menatap Firdaus yang bangun dengan wajah bantalnya. Tapi begitu menatapku, dia lekas melongos pergi. Tidak apa. Mungkin karena masih pagi, dan aku belum sempat mandi.
Selesai. Meja makan sudah di isi oleh sarapan buatanku. Dan Firdaus sudah selesai mandi.
“Mas…sarapan dulu baru berangkat.”
Tidak ada jawaban. Suamiku itu masih sibuk dengan dirinya sendiri, menata penampilannya.
Sakit hati?
Iya.
Tapi aku sudah terbiasa diperlakukan seperti ini. Apalagi jika ada mertua dan adik iparku. Tidak lama, Firdaus bergabung denganku di meja makan.
Ekspresi wajahnya datar. Kami makan dalam diam. Sebenarnya ada yang ingin aku katakan padanya. Tapi pasti itu akan merusak suasana hatinya. Biarlah sampai waktu yang tepat, aku akan memberitahunya. Setidaknya agar dia bisa berobat secepatnya. Semalam aku baru mendapat surat hasil pemeriksaan dari salah satu dokter kenalan mbak Ratna. Dan hasilnya, aku sepenuhnya subur. Tapi tidak dengan Firdaus. Dia bermasalah, tapi kata dokter masih bisa diobati segera.
Bukannya senang karena dia bermasalah. Tapi sebagai seorang wanita, aku legah. Sangat buruk dipandang di mata masyarakat sebagai perempuan yang mandul. Sakitnya selalu membekas, dan aku selalu mendengar itu selama menikah dengan Firdaus.
“Kau kelihatan senang pagi ini, ada apa?” dia menatapku datar, tidak ada ekspresi di wajahnya.
“Tidak ada. Mas…kalo hari ini kita berangkat ke rumah sakit sama-sama. Apa….”
Prang.
Dia membanting sendok. Aku menunduk—sedikit takut. Suasana di meja makan lenggang. Aku tidak berani menaikkan kepalaku, tidak sanggup melihat wajahnya.
“Sejak kapan kau berani membantah aturanku huh? Sudah aku bilang, tidak boleh ada yang tahu jika kita suami istri di rumah sakit. Apa kau ingin merusak pengangkatanku?” dia meninggikan suaranya.
Tanganku sampai gemetar. Tidak berani menatap, apalagi melawan meskipun aku sangat ingin.
“Sial. Pagi-pagi sudah bikin badmood. Bisa gak sih, kamu sedikit memperbaiki diri sendiri? Dasar parasit. Bereskan sisa makannya, aku pergi duluan. Ingat Dita, meskipun kita suami istri, tapi itu hanya ada di dalam rumah ini saja. Jijik aku jika melihat wajah kucelmu itu. Aishhh…dasar menyebalkan.”
Firdaus menghentakkan kakinya dan segera pergi. Meninggalkanku seorang diri di meja makan dengan suasana kacau. Air mataku menetes. Sebagai seorang wanita, aku ingin sekali menjadi wanita kuat. Tidak mudah ditindas.
Tapi entah kenapa aku tidak bisa melakukannya. Aku takut. Sejak dulu aku selalu di bungkam. Jika melawan sedikit saja, maka badanku pasti akan berbekas karena di pukul. Dan itu terbawa hingga saat ini. Meskipun itu terjadi sebelum wanita baik hati memilih untuk mengadopsiku. Tetap saja memori itu membekas.
Segera aku membereskan kekacauan, dan pergi mandi. aku masih harus bekerja untuk membayar beberapa cicilan apartemen yang belum lunas. Sekedar informasi, Firdaus memang bertanggung jawab atas gedung dan bangunan. Tapi untuk semua isi apartemen, aku yang bertanggung jawab dan itu menguras semua tabunganku.
Apalagi mertuaku kadang tidak suka barang-barang murahan. Jadi aku terpaksa membeli sesuai dengan keinginannya. Seperti contoh sofa yang ada di ruang tamu. Harganya sampai 2 digit, di saat aku bisa membeli di bawah itu. Tapi ya sudahlah, semuanya juga sudah terjadi.
***
Di rumah sakit, pekerjaanku berjalan seperti biasa. Membantu membersihkan seorang lansia yang mengompol. Aku tidak keberatan sama-sekali, karena mereka itu tetaplah orang tua. Mbak Ratna selalu membantuku, aku berhutang banyak atasnya.
“Dita…hari ini kan pelantikan suamimu sebelum sah menjadi direktur sebentar lagi. Kamu tidak ingin melihatnya?”
Mbak Ratna bertanya setelah kami tiba di ruang obat untuk mengganti beberapa keperluan. Aku bahkan tidak tahu jika Firdaus sudah mulai pelantikan hari ini. Dia tidak memberitahuku sama-sekali.
“Nanti aja mbak, pas istirahat makan siang aku menemui dia. Takut ada yang melihatku dan bertanya. Kan itu mempengaruhi citra mas Firdaus nantinya.”
Brak.
Aku terkejut saat mbak Ratna meletakkan keranjang obat itu dengan keras di atas meja. Dia menatapku, lalu berjalan pelan. Kedua tangannya memegang bahuku. Perasaan ini, aku mendadak takut dengan auranya yang dominan. Dia sama-sekali tidak mengatakan apa-apa, membuatku menelan ludah kasar.
“Dita…aku sudah bilang. Dia itu suamimu, dan kamu itu istrinya. Kenapa kamu harus menyembunyikan fakta itu? Jika dia memaksa begitu, berarti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Kau itu baik Dita, dia beruntung mendapatkan istri yang sepertimu. Jadi…kamu harus belajar untuk mendapatkan hakmu sebagai istri. Apa kau paham? Jangan membuatku lama-lama ingin masuk ke dalam masalah rumah tangga kalian. Okey?”
Dia melepaskanku. Dan aku terkekeh mendengar omongannya.
“Kenapa tertawa?”
“Mbak tau gak sih? Selain sebagai senior, mbak juga seperti saudara kandung aku. Makasih ya mbak atas nasihatnya. Tapi biarlah, nanti juga akan tiba waktunya orang tahu kalo aku ini istrinya Firdaus.”
“Kapan coba? Apa kamu mau suami kamu itu direbut oleh si nenek lampir? Jujur ya, Firdaus itu tampan loh Dita. Wanita mana yang tidak terpikat dengannya? Coba mbak masih lajang kayak si nenek lampir, ya pasti mbak juga pasti bakal menggoda suamimu itu. Karena ya mbak taunya dia masih lajang. Berbeda kalau sudah tahu dia beristri.”
“Mbak gak bakal ngegoda?”
“Gak lah. Ogah sama bekas celup orang. Mending cari yang bersegel. Kan enak mbak nanti yang nikmati lebih dulu.”
Aku tertawa mendengar ucapan frontal mbak Ratna. Dia benar-benar menghiburku di saat suasana hatiku sedang mendung.
“Tapi kan Dokter Lady tahu aku ini istri Firdaus, mbak. Gak mungkin lah dia masih mau sama bekas celup orang.”
Kini giliran mbak Ratna yang tertawa. “Kamu bisa saja.”
“Jadi…kalian ini membicarakan hal seperti itu juga saat bekerja ya?”
Suara itu. Aku dan mbak Ratna membisu, lalu menatap ke arah pintu, dan mengetahui siapa yang sedang tiduran di kasur yang memang berada di balik pintu sambil membaca komik? Yeahh, aku yakin itu komik naruto. Dia berdiri dan menatapku bergantian dengan mbak Ratna.
Tapi kenapa tidak satupun dari kami berdua yang menyadari jika dia sedang di ruangan ini? Jika tahu, kan kami akan diam saja. Wajah mbak Ratna saja sudah memerah, dia pasti malu dengan apa yan tadi dia ucapkan. Mana itu vulgar banget lagi.
“Dokter Charlie? Sejak kapan anda di sini?”Ratna bertanya pelan. Dia tidak berani menatap Charlie yang wajahnya mengintimidasi kami berdua.
“Sejak zaman nenek moyang masih berperang dengan bambu runcing, mbak Ratna.”
Pada akhirnya mbak Ratna terkikik tidak jelas. “Aigoo…dasar anak muda. Itu adalah percakapan orang dewasa yang sudah menikah. Garis bawahi kata menikah. Jadi itu wajar, kamu juga ketika sudah menikah nanti akan tahu maksudnya. Oh ya, saya sudah selesai, dan masih ada urusan. Jadi saya pergi dulu ya,”mbak Ratna langsung keluar dengan keranjang obat itu.
Menyisakan aku dan Charlie yang diam. Kikuk. Tidak tahu harus memulai dari mana. Yang pasti, kejadian semalam masih membuatku teringat.
“Sudah berbaikan dengan suamimu?” dia membantu mengisi obat ke dalam boxku yang belum penuh.
“Eh…kami tidak berantem kok, Dokter Charlie.”
“Panggil aku Charlie saja, sudah seribu kali aku katakan. Kenapa sih? Apa kamu mau memanggilku sugar baby? Atau honey? Atau…bebeb?”dia memainkan alisnya. Menatapku jenaka.
Kan. Dia mulai lagi. Aku tidak menggubrisnya. “Aku baru tahu kalo kamu masih baca komik di usia seperti ini. Sedikit menggelikan.”
Matanya melebar. Tidak terima dengan apa yang baru saja aku katakan. “Yang benar saja Dita, siapa bilang komik itu hanya bisa di baca oleh anak-anak atau remaja? Buktinya, aku saja bisa baca. Ya intinya, siapapun yang punya uang bisa membaca komik.”
“Kenapa begitu?”aku mengerutkan kening.
“Ya karena bisa beli. Beli komik butuh uang. Kalo ga ada uang, kan gak bisa baca,”Charlie terkekeh dan segera melompat ke kasur lagi. Di ruangan obat memang disediakan kasur untuk tempat perawat beristirahat sejenak. Dia sudah anteng lagi dengan komiknya.
Kelakuannya sedikit membuatku tersenyum.
“Apa siang ini kamu sibuk? Makan di luar yok, di depan kan ada restoran steak.” Charlie lagi-lagi bertanya.
Gerakan tanganku yang sedang mengisi obat ke dalam box berhenti. Bukan ide yang buruk. Selain itu, aku juga ingin menanyakan apa solusi yang tepat dengan permasalahan di keluarga kami. Jujur aku butuh saran darinya, meskipun terkadang dia bersikap kekanakan. Well. Daripada tidak, lebih baik aku menyempatkannya.
Karena berdasarkan penilaianku. Dia itu hanya menutupi kedewasaannya dengan sifat childish itu.
“Baiklah, kali ini aku tidak akan menolak.”
Dia langsung melompat berdiri. Hampir menabrak meja. “Benarkah? Kau ingin makan siang denganku?”serunya antusias.
“Iya, memangnya tidak bisa?”
“Yes. Kalo begitu aku pergi dulu, aku harus menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat agar bisa makan siang dengan bidadari dari kayangan ini. Bye bye perawat Dita.”
Dia mengacak rambutku dan segera pergi. Jujur aku tidak menduga tindakannya, dan badanku seperti tersengat aliran listrik karenanya. Jantungku berdebar. Tidak. Ini tidak benar, dan tidak boleh terjadi. Dia itu hanya teman biasa saja. Tidak lebih dan tidak kurang.
Segera aku melanjutkan tugasku. Tanpa tahu bahwa ternyata ada seseorang yang mengamatiku sejak tadi. Harusnya siang ini aku bisa makan dengan tenang, sambil menikmati daging yang dibakar panas-panas.
Tapi semuanya berubah ketika Firdaus tiba-tiba mengirim pesan dengan nada marah. Bahkan hanya melihat pesan capslock itu aku seolah bisa merasakan dia berteriak marah di depan wajahku saat ini. Tanganku sedikit bergetar.
DASAR w*************a. KE RUANGANKU SEKARANG.
Ini yang dinamakan pesan bernyawa. Bulu kudukku sudah berdiri sekarang.