8 – Brat

1459 Kata
“Kemana kau membawaku?” “Ahhh…kau sudah bangun rupanya. Tenang saja, kita tidak akan jauh kok.” Meski sedikit janggal, Dita mengikuti kemana Charlie membawa pergi mobilnya. Dita tidak tahu apakah menyetujui ajakan Charlie untuk pulang bersama adalah hal yang terbaik. Namun tadi pagi, dia benar-benar melihat dokter Lady sedang memeluk suaminya. Hatinya amat sakit. Dan sekarang Dita tidak tahu harus melakukan apa. Dia kecewa. Sedih—tentu saja. Siapa wanita di dunia ini tidak akan sedih jika suaminya dipeluk sembarang wanita lain? Harusnya suaminya tahu bahwa ada hati yang harus di jaga. Dan hingga menjelang sore, dan shift nya selesai. Firdaus juga tidak menghubunginya sama-sekali. Itu menyakitkan. Terlebih saat mereka berdua bak orang asing yang tidak punya hubungan apapun. 1 jam di perjalanan, dan Dita terdiam begitu melihat sebuah pemandangan indah. Mereka berdua turun. Charlie menarik tangan Dita sejenak ke arah penjual jajanan kaki lima. Charlie POV  “Kau mau jagung bakar?” “Ya, bagaimana kau tahu aku menyukainya?” Aku tersenyum. Padahal tadi hanya asal memilih saja. Melihat Dita yang bisa bahagia seperti ini, aku jadi merasa berguna. Setelah pesanan kami jadi, aku menariknya ke arah kerumunan yang jaraknya hanya beberapa langkah dari penjual kaki lima. Beberapa kali aku melewati tempat ini, dan baru kali ini kesampaian untuk singgah sejenak. Banyak orang yang tengah duduk di atas karpet, menikmati pemandangan malam hari. Lampu kedip-kedip dari bangunan bawah membuatnya semuanya terasa indah. Kebanyakan dari mereka adalah anak muda. Mahlum, makannya murah, pemandangannya gratis, dan target utamanya pastilah kaum muda yang belum berpenghasilan. “Ayo sini, duduk saja, tidak usah sungkan.” Sejauh pengamatanku. Dita sedikit takut untuk mengambil tindakan lebih dulu. Apalagi jika sudah bersama lawan jenis. Perubahannya sungguh drastis, dibandingkan ketika aku mengamatinya sewaktu kuliah dulu. Aku tahu bahwa dia diam-diam menangis. Sepertinya dia tidak pernah diperlakukan sebaik ini oleh suaminya. Padahal ini sederhana. Duduk di tengah muda-mudi yang nampak bahagia, ditemani snack kaki lima yang nikmatnya tidak terhitung. “Makanlah jagungnya, kau pasti sudah tidak sabar untuk makan bukan?” “Terima kasih.” “Untuk apa? Untuk ini? Ayolah Dit, justru aku yang harus berterima kasih padamu karena sudah menemaniku malam ini. Aku jadi merasa bersalah pada suamimu.” Dita tersenyum. “Aku sudah lama tidak merasakan hal ini. Terakhir saat sedang berkuliah.” Mulutku sulit untuk bergumam. Aku baru saja mengambil satu gigitan besar jagung bakarnya. Hal itu sepertinya sedikit lucu bagi Dita. Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Kami berdua diam, Dita pun mengambil jagungnya sambil menikmati udara sejuk di malam hari. Sepertinya dia sudah jauh lebih fresh. Selama 1 jam lebih kami duduk di sana. Segera aku membawanya kembali ke dalam mobil. Namun sebelum dia masuk, aku memperhatikan ponsel Dita yang menyala. Dia meninggalkan ponselnya di dalam mobil. “Sudah selesai?” “Iya, sudah.” “Baiklah, sekarang kita pulang. Mari tuan putri.” Segera aku memutari mobil, membuka pintu dan memastikan Dita masuk dengan baik. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Beberapa kali perhatianku tertuju pada ponsel Dita yang masih menyala namun sama-sekali tidak ditanggapi olehnya. Diam-diam aku tersenyum. Dugaanku sangat benar sekali. Dita tidak bahagia menikah dengan Firdaus. “Kenapa tidak di angkat?” “Ahhh…biarkan saja. Paling mereka juga hanya bertanya-tanya kenapa aku belum pulang.” “Benarkah?” “Ya.” “Dita…apa kau baik-baik saja? Bukan maksudku untuk menghakimi kehidupan pribadimu. Tapi…jika kau tidak suka, belajarlah untuk bilang tidak. Selama beberapa hari aku memperhatikanmu, dan kau tidak nyaman saat mengatakan ya di saat kau tidak suka. Maaf jika ini menyinggungmu.” Tidak ada respon membuatku mengalihkan perhatian. Bisakah untuk kali ini saja aku naif? Dita tidak pantas menikah dengan Firdaus, wanita itu terlalu berharga untuk dipermainkan. Aku hendak meraih tangannya, katakanlah aku sungguh gila melakukan ini. Namun belum juga aku sempat meraih tangannya, dia sudah lebih dulu menariknya dan menatapku panik. Aku menghela nafas, mendadak sadar, bahwa aku tidak berhak atas hal itu. “Maaf…tadi…tadi aku hanya ingin mengambil ini. Kamu pasti sangat terkejut ya?” itu alibi. Nyatanya aku memang ingin memegang tangan Dita, dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Untungnya aku memang menjatuhkan sesuatu di sebelah tangan Dita. Jadi setidaknya suasananya tidak terlalu awkward. “Oh iya, aku…aku tidak bermaksud. Tapi Charl, kenapa kamu bisa mengenal Firdaus? Aku penasaran.” “Suamimu itu tidak pernah bercerita sepertinya.” “Soal apa?” kening Dita berkerut. “Firdaus tidak pernah bilang punya teman bernama Charlie. Dan selain di perguruan tinggi, aku juga tidak tahu kamu.” “Firdaus mengenalku dengan baik, Dita. Sekarang kamu sendirilah yang bertanya pada dia apa hubungan kami. Oh iya, jika dia memarahimu, katakan saja kau pergi bersamamu ke rumah sakit mitra. Dia tidak akan marah jika tahu hal itu.” “Tapi…” “Aku tahu itu bohong. Namun itu jalan yang terbaik, okey?” “Kau tidak akan membocorkannya juga kan?” “Dasar…” aku terkekeh, dan menghentikan mobil di depan apartemennya. “Aku yang menyarankannya, untuk apa aku membocorkannya. Oh iya, aku tinggal di unit apartemen sebelah. Jika butuh sesuatu, tinggal telepon aku saja.” Mata Dita melebar. Dia tidak tahu jika tempat tinggalku tidak jauh dari apartemennya. “Oh iya, terima kasih atas malam ini. Aku benar merasa jauh lebih baik, hati-hati.” “Sama-sama. Ingat Dita. Jika kau butuh sesuatu, segera telepon aku. Aku akan selalu ada untukmu.” “Kau ini…segeralah pergi. Nanti terlalu larut.” Dita buru-buru keluar dan memasuki apartemennya. Menghela nafas, aku segera melaju dan memasukkan mobil ke basement. Aku tidak berbohong saat mengatakan tinggal di unit apartemen yang berbeda. Hanya dipisahkan oleh gedung saja. *** Suasana apartemen kosong. Tidak ada apa-apa, dan lagi-lagi aku harus menghela nafas. Tas kerjaku sudah berpindah ke sofa, dan aku melangkah ke arah dapur. Baru saja meminum segelas air mineral dingin, sebelum aku menghindar ke arah kanan. Hampir saja pisau itu mengenai telinganku. “Sejak kapan kamu masuk ke apartemenku?” Lampu menyala, dan suara langkah kaki itu mendekat ke arahku. Brugh. Pertahanan otomatis, aku menangkap kaki yang hampir saja mengenai kepalaku, dan melemparkanya ke arah lain. “Came on, kau ini sama-sekali tidak mengasyikkan, brat.” Istilah itu lagi. Tidak akan pernah aku mendengar itu jika bukan dari seorang wanita yang 2 tahun lebih muda dariku, yang kini tengah berdiri tepat beberapa langkah dari posisiku. Dengan rambut wolf cut berwarna hitamnya. Entah sejak kapan dia berhasil membobol sandi pintuku. Yang pasti hal seperti itu bukanlah perkara sulit untuk seorang mata-mata negara. Dia adikku—satu-satunya saudara yang aku punya. Curis adalah namanya. Namun hanya beberapa orang yang tahu nama aslinya. Di militer dia dijuluki si bayangan. Itu cocok untuknya yang selalu menghilang tanpa kabar, lalu mendadak muncul seperti malaikat pencabut nyawa. “Kapan tiba di Indonesia, Curis?” “Jangan panggil nama asliku, brat. Aku lebih suka di panggil si bayangan.” Selalu saja. Brat di bahasa Rusia dikenal sebagai saudara. Sejak dia ditugaskan di sana, banyak bahasa baru yang dia gunakan. “Oh ya, tadi aku melihatmu bersama seorang perempuan. Siapa wanita cantik itu? Apa dia kekasihmu?” alisnya naik turun—menggodaku. Kami sudah hidup bersama lebih dari kata beranjak remaja. Dan aku paham betul dia hanya ingin tahu siapa wanita yang berhasil duduk di mobil pribadiku. Mengingat selama ini tidak pernah aku membawa seorang gadis dan mempersilahkan mereka duduk di mobilku. Terlebih di kursi depan. Haram hukumnya. Tapi kini aku melakukannya. Kepada seorang wanita yang sudah berpemilik. Mengabaikan Curis, aku mulai mencari sesuatu yang bisa di makan. Perutku masih butuh asupan yang bergizi. Tanpa melihat, aku tahu bahwa Curis saat ini sudah berjalan ke arah sofa. “Curis, satu lagi. Jangan pernah menggunakan senjata jika bertamu ke rumahku. Atau aku akan mematahkan jarimu.” “Ayolah, brat. Aku hanya mengetes daya tangkap mu sebagai seorang dokter. Lagipula kau juga pernah belajar hal itu dari ayah kan?” Sebagai tambahan informasi. Ayahku ada seorang prajurit seperti Curis. Sedangkan ibu juga seorang mata-mata dari negara Jepang. Singkatnya, hanya aku yang memilih sebagai seorang dokter. Menerima wasiat dari kakek untuk mencari tahu siapa aparat-aparat yang sekarang menjalankan bisnis keluarga ini. Kakek dulunya adalah Tauke besar. Dia pebisnis ulung yang punya banyak harta melimpah. Tapi penghianatan di antara keluarga sering terjadi. Dan jadilah kakek sekarang jatuh miskin, meskipun masih punya sedikit pundi-pundi penghasilan. Kadang aku heran dengan obsensinya. “Apa kakek yang menyuruhmu untuk menyelidiki rumah sakit itu? Ayolah, sekarang sudah bukan zamannya lagi untuk mencari tahu secara manual. Kita punya teknologi yang bisa mencari tahu siapa manusia yang tidak bertanggung jawab itu. Pekerjaanmu bisa lebih muda. Atau…apa kau butuh bantuanku, brat?” “Pertama, segera pergi dari sini. Kau tidak diterima, dan jangan pernah mengurusi urusanku. Aku ingin mengerjakan ini perlahan seperti kata kakek. Jadi jangan pernah terlibat apapun denganku.” “Yak, dasar manusia aneh. Kau dan kakek sama-saja.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN