Dita menatap pergelangan tangannya yang masih memar. Dan juga lututnya yang masih terasa kebas karena terjatuh tadi pagi.
“Tanganmu kenapa?”
Segera Dita menyembunyikan tangannya yang sedikit memar. Sudah malam, dan dia ada shift malam lagi. Ini sangat mendadak, tapi tidak apa karena setidaknya Dita bisa punya alasan untuk tidak pulang ke rumah. Rasanya masih menyedihkan.
Shiftnya memang akan berakhir beberapa menit lagi.
“Sudah makan?” Charlie kembali bertanya, tidak kenal lelah. Dia duduk di sebelah Dita yang kelihatan tidak nyaman. “Atau kau menungguku untuk makan malam lagi?”
“Charlie. Tolong menjauhlah, saya mohon.”
Kening Charlie mengerut. Perasaan dia juga menjaga jarak. Justru terasa aneh jika dia tidak mengajak Dita bicara di saat semalam mereka dinner bersama.
“Tanganmu kenapa, jawab pertanyaan saya dulu.”
Wajah Dita semakin pucat, dan seolah menghindari seseorang. Tatapan Charlie tertuju pada sekeliling, dan lobby sedang sepi. Hanya ada mereka berdua, tadi Ratna masih ada namun perawat itu harus memeriksa pasien dulu. Charlie memilih diam, dan segera pergi dari sana.
Perasaan Dita sedikit tidak enak. Dia merasa bersalah karena mengusir Charlie, padahal lelaki itu sangat baik padanya. Namun ini adalah jalan terbaik, Dita tidak ingin membuat suaminya salah paham lagi. Hatinya sakit ketika harus mendengar kata-kata Firdaus semalam. Dia tidak pernah berniat untuk menggoda lelaki lain.
Baru saja Dita merasa legah karena mengira Charlie pergi, namun lelaki itu kembali dengan dua cup kopi di masing-masing tangannya. Wajahnya cerah, dan segera duduk di sebelah Dita lagi. Mata Dita melebar, kini jarak mereka semakin tidak ada. Kopi itu sudah ada di atas meja kerjanya. Charlie mengesampingkan beberapa kertasnya.
“Ini, aku bawa roti juga. Ditemani Kopi di malam hari seperti ini cukup menyenangkan bukan?”
“Char…” Dita menarik nafas dalam. “Bukan maksud untuk menolak kebaikanmu, tapi saya sudah punya suami. Dan tindakanmu ini bisa menyebabkan orang salah tafsir.”
“Saya memperlakukan semua orang sama, Dita. Jadi buang jauh-jauh pikiran negatif mu itu, saya kan…”
“Menjauh dari istri saya.”
Suara itu. Dita dan Charlie menatap ke arah meja resepsionis dan mendapati Firdaus yang berdiri di sana dengan wajah dingin. Buru-buru Dita berdiri dan menjauh. Sangat gugup, dan tidak sanggup untuk menatap suaminya yang menatapnya tajam.
“Mas…ini tidak seperti yang mas pikirkan. Saya…”
“Hai. Sudah lama tidak bertemu, Fir. Aku tidak tahu jika suami Dita adalah kamu.”
Dita bingung dan tidak mengerti. Situasi semakin terasa menegangkan, dan Dita menyadari suaminya akan marah. Segera dia berpindah dan menatap Firdaus yang bahkan tidak menatapnya.
“Jauhi istri saya, Charlie. Kau tidak cukup atas apa yang dulu kamu perbuat? Dan sekarang kamu ingin merebut istri orang lain juga?”
“Woh…wohh. Tenang, Fir. Aku bahkan tidak ada niat begitu. Tapi melihatmu yang seperti ini, sepertinya kau sudah tobat?” kekeh Charl, sedikit kasihan menatap Dita. Dia tidak tahu bahwa yang menjadi suami Dita pada akhirnya adalah Firdaus.
“Diam berengsek. Kenapa kau terus mengusik kehidupanku?”
Kekehan Charlie membuat Firdaus semakin marah. Dia menatap pergelangan jam tangannya, dan menatap Dita. Perasaan bersalah atas apa yang dia perbuat semalam membuat keadaan canggung. Firdaus menghela nafas. “Kamu selesai jam berapa?”
“Aku?”
“Maksudmu siapa lagi?”
“Ah…10 menit lagi jam malamku sudah selesai.”
“Kemasi barang-barangmu, dan ayo pulang. Dan…” Firdaus mengambil secangkir kopi yang ada di atas meja Dita. “Ini adalah minuman untuk anjing.” Serunya dan membuang minuman itu ke tong sampah.
Tidak ada rasa marah. Charlie menaikkan bahunya dan meminum kopinya. Rasanya nikmat, apalagi menatap Firdaus yang marah karena cemburu. Padahal dia tidak melakukan apa-apa pada Dita.
Segera Dita mengemasi barang-barangnya. Namun Charlie menahan tangannya, menaikkan gulungan bajunya. Membuatnya terkejut setengah mati, dan berusaha menarik tangannya. Namun tenaga Charlie jauh lebih besar daripada dia.
Wajah Firdaus sudah memerah. Dia menelan ludah kasar saat menatap tangan Dita yang terluka. Jelas sekali itu adalah karena ulahnya semalam.
“Pakai salep ini, Dita. Harusnya suamimu tahu luka ini kan?” Charlie sengaja menatap Firdaus jengkel. “Luka lebam seperti ini biasanya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Apa kamu baik-baik saja?”
“Aku baik.” Dita menarik tangannya panik. Dia menelan ludah kasar. Sangat gugup untuk menatap Charlie dan juga Firdaus saat ini.
“Dita…ayo.” Firdaus menarik tangan Dita dan langsung membawanya pergi. Bahkan tidak peduli jika dia menekan bekas luka yang dia perbuat tadi malam. Rasa cemburunya membuatnya marah. Dia tidak mau Dita bersama dengan lelaki lain.
“Mas…pelan-pelan. Sakit mas.”
“Dasar bodoh, kau ini memang tukang penggoda laki-laki lain ya.” Teriak Firdaus begitu mereka tiba di parkiran.
Dita menundukkan kepalanya, tangannya terasa kebas dan perih. Berusaha sekuat mungkin untuk tidak meneteskan air matanya. Semuanya pasti akan semakin kacau jika ini terjadi.
“Mas…maaf. tolong jangan tekan tangan saya. Sakit, mas.”
“MASUK. KAU INI MEMANG BODOH DAN TIDAK BERGUNA. ITU SAJA KAU…”
“Fir…”
Suara itu menahan langkah Firdaus. Lady menatapnya dengan geram. Lagi dan lagi, hari ini benar-benar melelahkan sekali. Firdaus sudah berusaha untuk menghindari Lady hari ini, namun gadis itu tetap tahu dimana dia berada.
Feeling Firdaus tidak baik untuk hal ini.
“Ada apa, dokter Lady?”
“Kau lupa, kita ada pembicaraan serius malam ini kan?” tekan Lady di setiap katanya. Menatap Firdaus dengan tajam. Menatap Firdaus menggenggam tangan Dita, Lady benar-benar cemburu. Bahkan tatapannya jelas menatap ke arah tangan Firdaus. Membuat lelaki itu segera menarik tangannya.
“Oh iya aku benar-benar lupa. Tapi bisakah kita menundanya besok pagi? Aku ada urusan dengan Dita hari ini.”
“Benarkah?”
“Mas…tidak apa-apa. Saya pulang sendiri saja, mungkin pembicaraan anda dengan dokter Lady lebih penting.”
“Iya, kau tidak keberatan kan Dita?” Lady menatap Dita dengan senyuman penuh makna.
“Tidak…tidak mbak.” Dita tersenyum, “saya juga bisa pulang sendiri kok.”
Kepalan Firdaus mengeras. Dia menatap Dita tidak enak, tadinya dia ingin meminta maaf. Sekaligus mengatakan ingin pergi keluar kota untuk kerja dinas. Tapi kedatangan Lady menghancurkan rencananya malam ini. Jika dia menolak, sudah pasti Lady akan berulah lagi. Dia tidak ingin citranya rusak di depan Dita.
Biar bagaimanapun, Firdaus masih suami sah dari Dita.
“Kau yakin bisa pulang sendiri?”
Anggukan Dita membuat Lady segera menarik lelaki itu pergi. Dita terdiam di tempatnya. Rasanya seperti benar-benar kehilangan Firdaus. Dalam diam Dita menghela nafas. Sudah lama perasaannya seperti ini. Perlakuan dingin sang suami membuatnya semakin mati rasa. Harusnya…harusnya tidak seperti ini.
Bahkan Lady menggandeng tangan suaminya.
Ponsel Dita berbunyi, segera dia melihat isinya. Dan nama Charlie ada di top up paling atas.
Aku ada di seberang. Naiklah. Aku akan mengantarmu.
Dan untuk kali ini Dita ingin menumpang. Dia menyebrangi jalan, dan masuk ke dalam mobil Charlie. Hanya duduk, dan membiarkan mobil berjalan . Tidak lagi mengatakan dimana alamat rumahnya. Kepala Dita dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Sampai tidak sadar jika dia menangis.
Benarkah suaminya itu telah selingkuh?
Mobil mendadak berhenti di tengah jalan, membuat Dita lekas menghapus jejak air matanya. Lalu menatap ke arah Charlie.
“Kenapa berhenti?”
“Sini…”
“Apa?”
“Tanganmu.” Charlie mengambil tangan Dita, dan menaikkan pergelangan tangan gadis itu dengan pelan.
Dita gugup, dan hendak menarik tangannya. Namun ditahan oleh Charlie.
“Jika tidak segera diobati, maka ini akan meninggalkan bekas.” tangan Charlie dengan lihai mengoleskan salep. Sedikit pedih, namun lebih pedih hatinya saat ini. Dita hanya diam, melihat Charlie yang mengobati lukanya.
Setelah selesai, Charlie segera melajukan mobilnya. Tidak mengatakan apapun hingga tiba di depan apartemen Dita.
“Aku mengikutimu semalam, makanya tahu alamatmu. Aku bukan paparazzi.”
Rasanya geli. Dita tersenyum, dan menatap Charlie. “Aku tahu.”
“Wait. Kau tahu aku mengikutimu tadi malam?”
“Ya. Siapa yang mengikuti dalam radius sedekat itu? Kau bahkan memastikan aku masuk ke apartemen. Dan aku berhutang budi padamu, atas semalam dan juga hari ini. Maaf jika perkataan suamiku tadi tidak sopan. Dia tidak begitu kok.”
“Tidak masalah, masuklah. Jaga diri baik-baik.”
Dita keluar dan memasuki apartemennya. Air matanya menetes begitu memasuki lift. Rasanya sungguh menyesakkan. Dia masih bisa membela nama baik suaminya di depan orang-orang.