Maaf. Sepertinya saya tidak bisa nanti malam.
Charlie menghela nafas. Dia tengah duduk sendirian di restoran, sambil membaca pesan dari Dita. Makanan di depannya belum disentuh sama-sekali. Hari ini adalah ulang tahunnya, Charlie berharap bisa menghabiskan malam ini bersama dengan seseorang untuk kali ini saja.
Tapi…sepertinya keinginannya tidak akan pernah terjadi.
Harapannya selalu pupus, dan mungkin Charlie tidak beruntung kali ini. Gambar makanan di atas meja baru saja terkirim pada Dita. Lalu dia meletakkan ponselnya di atas meja. Menatap kosong bangku di depannya.
Beberapa pelayanan menatap iba Charlie.
“Permisi Mr.Charlie.”
“Ah iya? Ada apa ya?” tatapan Charlie jatuh pada seorang pelayan yang berdiri di sebelahnya.
“Selamat ulang tahun, ini ada kue ulang tahun dari pemilik restoran. Anda selalu menghabiskan malam hari di saat ulang tahun Anda di sini. Beliau menyampaikan bahwa anda orang yang hebat.”
“Benarkah? Terima kasih atas hadiahnya.”
Potongan kue itu dan tulisan kecil di tengahnya membuat senyuman Charlie sedikit mengembang. Tapi hanya sebentar, sebelum dia kembali lagi dengan wajah datarnya. Tidak ada yang istimewa di ulang tahunnya. Bahkan bagi Charlie, bertambah tua itu artinya kita semakin tahu sampai kapan waktunya.
Waktu untuk terus berpura-pura bahagia.
Menjadi seseorang yang punya tanggung jawab, dan menopang stigma dari masyarakat.
Nafsu makan Charlie sudah menghilang sejak mendapat pesan penolakan dari Dita. Tapi dia saja yang tetap keukeuh untuk memaksakan dirinya merayakan hari ini. Setidaknya, satu harapan harus dia ucapkan. Dulu neneknya selalu mengatakan hal itu.
Charlie sudah bersiap untuk beranjak pergi tanpa menyentuh apapun dari atas meja makan. Termasuk kue ulang tahunnya. Namun langkahnya terhenti begitu mendengar suara bel masuk, dan nafas ngos-ngosan dari arah pintu.
Segera dia berbalik, dan… “Maaf, aku telat sekali ya? Kamu juga tidak membalas pesanku.”
Wajah Charlie masih kaku. Tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Di depannya, Dita berdiri dengan keringat membanjiri wajahnya.
“Kamu…datang?”
Dita mengangguk. “Maaf, aku juga tidak sempat membeli apa-apa. Hanya ini saja.”
Masih tidak bisa berekspresi, bahkan posisi mereka masih saling berdiri. Beberapa pelayan menatap ke arah Dita dengan penuh pertanyaan.
“Selamat ulang tahun, senior.”
Sebuah kotak kecil disodorkan di depannya. Dita menundukkan wajahnya malu, dia tahu bahwa kado yang dia berikan tidak ada arti apa-apanya. Semua barang Charlie itu branded, dan harganya juga bukan main-main. Sedangkan kado yang dia berikan hanya bernilai ratusan ribu.
Wajah Charlie bersinar. Dia menarik kursi di depannya, mempersilahkan Dita untuk duduk. Bibirnya tidak henti-henti tersenyum menatap kado kecil di tangannya. Baru kali ini dia merasa sangat senang mendapat sebuah kado.
Sederhana. Namun penuh kehangatan.
Persis seperti wanita yang kini duduk di hadapannya dengan balutan kemeja putih, dan mantel berwarna hitam. Penampilannya sederhana, namun Charlie merasa damai. Dia nyaman dengan keberadaan Anindita.
Mereka mulai makan. Dita tidak terlalu terbiasa dengan makanan western yang kini ada di buku menu. Padahal tadi dia sudah senang untuk menghabiskan makanan yang tersaji di atas meja. Tapi Charlie bersikeras untuk menyuruhnya memesan, dengan alasan makanan yang sebelumnya sudah dingin.
Padahal kan tinggal dipanaskan saja?
“Aku pesan spaghetti saja deh.”
“Itu saja?”
Anggukan Dita lucu. Charlie terkekeh, dan mengambil buku menu. Lalu memesan beberapa menu lainnya. Dia tahu bahwa Dita tidak familiar dengan western food, tapi gadis itu tetap tidak ingin meminta bantuannya. Lucu sekali karena Charlie bahkan senang atas hal seperti ini.
“Ngomong-ngomong, darimana kau tahu aku sedang berulang tahun hari ini?”
“Gambar yang kamu kirimkan berisi caption. Jadi aku tidak enak hati karena sudah menolakmu. Jadilah aku buru-buru kemari.”
Wajah Charlie membeku. Secepat kilat tangannya menyambar ponsel yang dia letakkan di kantong jaketnya. Dan menatap pesan yang dia kirimkan pada Dita. Charlie menelan ludah, jadi tadi dia mengirim sebuah pesan juga? Tidak hanya foto saja?
Aku ulang tahun hari ini.
Begitulah caption di gambar itu. Charlie menggelengkan kepalanya. Ternyata tangannya bisa di ajak kerjasama juga malam ini. Dia sama-sekali tidak menyesal. Justru senang karena bisa bertemu dengan Dita. Meskipun ada unsur ketidaksengajaan.
“Hahaha…maaf. Aku tidak sadar saat mengetikkannya. Lalu bagaimana kamu datang kemari?”
Wajah Dita berubah masam. Dia menutup pergelangan tangannya yang sedikit terekspos. “Bisakah kita tidak membicarakan hal itu? Aku…aku sedikit sensitif, mari fokus pada perayaan ulang tahunmu saja.”
“Well…maaf jika menyinggungmu. Ngomong-ngomong, saat lulus kuliah, kau langsung melamar di rumah sakit mana?”
Pertanyaan itu mengembalikan memori Dita. Pahit, dan manis bercampur menjadi satu. Mencari pekerjaan itu tidak mudah. Memang benar ilmu dan skill adalah semuanya. Tapi jika dibandingkan dengan saingan Dita yang sama sepertinya namun punya privilege, jelas dia akan kalah.
Karir Dita tidak semulus itu.
“Itu sangat tidak menyenangkan jika harus dibicarakan sekarang, senior. Aku tidak seberuntung orang-orang lain. Kisahku juga tidak ada yang menarik. Percuma mendengar ocehan ku nanti, anda pasti akan sangat tidak menyukainya.”
“Siapa bilang?”
Dita mengerutkan keningnya.
“Aku suka mendengar apapun tentangmu. Hey…soal yang aku bicarakan tentang aku adalah masa depanmu, itu tidak main-main. Kau bisa menceritakan apapun tentang kehidupanmu padaku.”
Kekehan Dita membuat Charlie ikut tersenyum. Akhirnya dia bisa melihat wajah indah itu tersenyum lagi setelah sekian tahun. Pesanan mereka sudah tiba, dan Dita agak terkejut mendapati meja mereka dipenuhi dengan berbagai macam makanan.
“Senior….”
“Panggil namaku saja, Dita.”
“Ah iya, Char, maksudku, kenapa kita memesan sebanyak ini? Apa kamu juga mengundang orang lain?”
“Tidak.” Char menggeleng. “Kita akan makan berdua.”
“Aku tidak terlalu lapar, jadi aku rasa….” Crkkkkkk….Dita terdiam saat perutnya berbunyi. Dia memang sedang keroncongan karena belum makan malam.
Mendengar itu Charlie hanya diam. Menahan tawanya. “Ayo dimakan saja, tidak usah sungkan-sungkan. Aku yang mentraktirmu malam ini. Satu lagi, terima kasih sudah datang, dan terima kasih juga atas kadonya. Aku senang sekali malam ini.”
Dita tersenyum malu. Mereka mulai makan dalam diam, dan sesekali mengobrol. Seseorang mengambil foto mereka dan mengirimkannya pada Firdaus.
“Setelah makan, apakah kamu masih ada waktu?”
Mulut Dita penuh. Dia menaikkan alisnya untuk bertanya. Tindakan itu benar-benar membuat Charlie tidak bisa menahan diri. Dia mencondongkan tubuhnya, dan membersihkan noda makanan di samping bibir Dita.
“Ada sisanya. Makan yang pelan, Dita. Tidak ada yang mengejar waktumu.”
Usai menelan makanannya, Dita lagi dan lagi harus menundukkan kepalanya karena tersipu. Dia tidak terbiasa diperlakukan seperti ini. Jika dia makan bersama Firdaus, maka dia harus makan dengan cepat. Jika tidak, maka suaminya itu akan marah. Terlebih ketika makan di rumah bersama mertuanya, Dita harus makan kilat dan langsung membereskan sisa makanan.
Jika di pikir-pikir, Dita tidak menikmati masa pernikahannya dengan Firdaus. Batinya seolah meronta untuk mendapatkan kebebasan.
“Hey…kenapa malah bengong?”
“Ah…maaf. Saya…saya hanya tidak terbiasa makan pelan.”
“Jadi biasakanlah mulai hari ini. Santai saja, nikmati makanannya agar kau tahu senikmat apa rasanya.”
“Tidak apa jika aku makan pelan?”
“Yes, for sure. Take your time.”
Dita tersenyum. Perlahan dia bisa menjadi diri sendiri. Dan waktu yang terasa lama hingga semua makanan di atas meja termasuk dessert sudah habis semua. Dan itu adalah karena Dita. Jika dibandingkan dengan porsi makan Charlie, itu hanya ¼ porsi Dita.
Keduanya sedang berjalan di trotoar. Menikmati angin syahdu yang menyejukkan. Sebenarnya Dita tidak ingin kembali malam ini. Dia takut malam ini hanya akan berakhir menjadi malam yang berantakan lagi. Mengulang kejadian sore hari tadi, dan itu sungguh menyakitkan baginya.
Mobil Charlie sudah datang.
“Ayo masuk, saya antar.”
“Charl.” Dita menggeleng. “Saya pikir, saya pulang sendiri saja. Terima kasih atas makan malamnya, dan maaf jika membuatmu malu tadi. Sekali lagi, selamat ulang tahun.”
“Tapi… tidak etis untuk membiarkanmu pulang sendiri malam ini, Dita. Aku hanya akan mengantarmu, jika suamimu marah, aku bisa menjelaskan bahwa kita hanya dinner saya.”
Meremas tangannya, Dita juga tidak enak hati menolak. Tapi keputusan di antar Charlie bukanlah keputusan bijak untuknya. Bahkan malam ini Dita sudah berfirasat bahwa semuanya akan berakhir berantakan.
“Taxi.” Dita berteriak begitu sebuah taxi lewat. Segera dia berlari dan melambaikan tangannya pada Charlie. “Ayo pak, saya buru-buru.”
Mobil itu sudah menjauh. Charlie menghela nafas kecewa dan segera memasuki mobilnya. Mengikuti taxi yang membawa Dita dari radius 5 meter. Setelah memastikan wanita itu masuk ke sebuah apartemen, barulah Charlie merasa nyaman.
Padahal tadi ada sesuatu yang ingin Charlie berikan. Tapi mungkin ini terlalu dini, dan dia tidak ingin menyusahkan wanita itu juga. Segera mobil Charlie menjauh dari sana. Dita melihat mobil itu, dia tahu bahwa Charlie mengikutinya dari belakang.
Sekarang Dita sedikit gemetar. Dia membuka pintu apartemen. Ruangannya remang-remang. Dita berjalan pelan tidak ingin membangunkan siapapun yang ada di rumah. Ini sudah sangat larut.
Namun baru saja Dita 6 langkah memasuki ruang tamu. Lampu sudah menyala dengan terang. Dita panik dan menatap ke arah saklar lampu. Di sana, Firdaus berdiri sambil bersedekap d**a. Menatapnya nyalang, dan penuh dengan tatapan emosi. Dia menelan ludah kasar. Dia seperti seorang pencuri yang tertangkap basah.
“Mas? Kapan mas….”
“Ohhh…jadi sekarang kamu sudah menjadi wanita yang tidak benar ya? Pulang larut malam, dan menghabiskan waktu dengan lelaki di luar sana? Katakan, apa ini dirimu yang sebenarnya?” Firdaus tidak akan tahu dengan siapa Dita pergi malam ini jika Lady tidak mengirimkan sebuah foto.
Di dalam foto itu, jelas sekali istrinya tengah makan malam dengan seorang lelaki. Senyuman Dita membuat Firdaus marah, dan kesal.
“Mas….”
Plak
Satu tamparan keras menyapa pipi Dita. Kepalanya sedikit pusing, dan rasanya sakit. Dita memegangi wajahnya yang terasa panas. Ini kali pertama suaminya main tangan. Rasanya benar-benar sakit, dan Dita tidak tahu bahwa akan seperti ini.
“Kau tega menamparku, mas?”
Memalingkan wajahnya, Firdaus juga tidak tahu kenapa dia bisa semarah ini. Padahal dia sudah punya rencana untuk menceraikan Dita. Harusnya dia senang, sebab pada akhirnya dia bisa membuat alasan Dita yang memulai perselingkuhan lebih dulu.
Namun…Firdaus masih tidak rela. Dan dia marah.
“Tadi ibu tidak jadi menginap di rumah karena bilang kau tidak senang dengan kehadiran ibu dan Bella. Memangnya apa yang kau harapkan? Dengar…lihat aku sialan.” Firdaus mencengkram wajah Dita keras. Menatap wajah menjijikkan di depannya dengan sengat marah.
“Ibu…”
“DIAM…AKU BILANG DIAM.”
Air mata Dita sudah menetes.
“Kau tidak lebih dari sampah yang beruntung karena menikah denganku. Sudah mandul, kau itu harusnya sadar posisimu.”
“Mas…lepaskan.” Dita berusaha membebaskan dirinya.
“Diam. Sekarang kau harus di hukum.”
Dita terkejut saat Firdaus menggendong tubuhnya kasar, melemparnya ke kasur dengan tatapan marah. Gelengan Dita membuat Firdaus semakin marah. “Apa kau tidur dengan lelaki itu sehingga kau tidak menginginkan suamimu ini lagi?”
“Mas…” Dita berteriak saat Firdaus menarik kedua kakinya. Dia bergetar dan ketakutan karena Firdaus tidak seperti biasanya. Tolong…siapapun tolong. Bisik Dita dalam hati.