Part 1
.-"*"-.
Shilla masuk kedalam rumahnya, teman-temannya senang sekali jika masuk berkunjung ke rumahnya, semuanya memuji bahwa rumah Shilla seperti istana, mewah dan bagus, namun tidak untuk Shilla, rumah yang teman-temannya bilang seperti istana malah terlihat seperti neraka untuknya.
Baru saja beberapa langkah Shilla masuk, pemandangan yang tidak mengenakkan langsung tertangkap matanya.
Shilla tersenyum tipis lalu dengan keras ia membentak,
"KELUAR!!" teriaknya memenuhi ruangan utama rumahnya.
Disana-di sofa- Papanya bersama seorang wanita entah siapa sedang bermesraan bahkan wanita itu sudah naik ke atas pangkuan Papanya, ini bukan pertama kalinya ia melihat Papanya seperti ini dan sepertinya hatinya sudah kebal, ia sudah tidak menangis lagi seperti pertama kali.
Papanya juga wanita itu terlihat kaget dengan suara Shilla itu.
"b***h! Keluar," teriaknya lagi membuat wanita itu buru-buru berdiri lalu merapikan pakaiannya.
"Anda siapa?" tanya wanita itu pada Shilla, Shilla hanya tersenyum sinis.
"Sayang dia siapa?" Merasa tidak mendapatkan jawaban dari orang yang ditanya akhirnya wanita itu bertanya pada Marvel-Papa Shilla-
"f**k you! Lo gak denger gue bilang apa? Keluar dari rumah ini," Shilla menarik blouse wanita itu hingga keluar rumah, Marvel hanya melihat itu tanpa berniat untuk melerai keduanya.
"Berapa lo dibayar sama dia? 10 juta, 20 juta? 50 juta?" tanya Shilla sengit, wanita itu mendengus tak terima, Shilla mengeluarkan dompetnya lalu menyerahkan seluruh uang pecahan seratus ribu miliknya yang tersisa pada wanita itu.
"Ambil dan jangan pernah kembali kesini!" ucapnya lalu membanting pintu dengan keras.
Ia masuk dengan nafas yang masih tidak beraturan, Shilla bahkan hanya melewati Marvel yang berada disofa.
"Shilla!" panggil Marvel, Shilla tidak menggubris panggilan Papanya itu, ia langsung menaiki tangga menuju kamarnya.
Selang beberapa detik setelah Shilla masuk ke dalam kamarnya terdengar suara kaca jatuh dari lantai atas.
Figura foto, semuanyaa hancur berkeping-keping tepat di hadapan Marvel. Marvel memungut salah satunya, ia tersenyum kecut, ini fotonya bersama Shilla, putrinya.
---
Shilla mengganti kemeja dan jeansnya dengan top crop dan rok mini, ia mengambil kunci mobilnya lalu meninggalkan rumah.
Didalam mobil Shilla menangis, ia merasa gagal menjadi seorang anak, bukan maunya bersikap seperti itu pada Papanya, namun ia harus melakukannya.
Mau tidak mau, suka atau tidak, ia harus bersikap seperti itu untuk menjaga hatinya juga menjaga Papanya agar tidak terjerumus semakin dalam dengan hal-hal seperti itu.
Orang tuanya bercerai 10 tahun lalu, Mamanya pergi begitu saja meninggalkannya bersama Papanya, kali itu Shilla masih berumur 12 tahun, ia tidak terlalu paham tentang seperti apa perceraian, namun kedua orang tuanya melakukannya, membuat trauma mendalam pada diri Shilla, pandangannya akan masa depan berubah.
Shilla kecewa, jika Mamanya tidak bisa memperbaiki dan mempertahankan hubungan dengan Papanya tidak apa apa, tapi setidaknya Mamanya berjuang untuknya, untuk Shilla, anaknya.
BRUK!
"s**t," Shilla menyeka air matanya lalu keluar dari mobilnya begitu merasakan kap depan mobilnya bersentuhan dengan bumper belakang mobil lain.
"Ck," Ia berdecak kesal, lalu seorang cowok keluar dari dalam mobil porsche boxter putih itu.
"Berapa nomor rekening lo?" tanya Shilla to the point, bahkan dari jarak beberapa meter Shilla masih bisa merasakan aroma musk cowok itu.
Cowok itu mengernyit, dengan santainya ia berjalan mendekat kearah Shilla.
"Lo mau minta ganti rugi kan? Gue kirim uangnya sebelum mata hari terbit," ucapan Shilla itu membuat cowok itu terkekeh, tiba-tiba ia merasa tertarik untuk mengenal Shilla.
"Gue Cakka," tangan Cakka terulur berharap Shilla melakukan hal yang sama namun Shilla hanya menatap tangan yang menggantung diudara itu dengam tatapam tidak tertarik.
"Gue gak perlu tau nama lo,"
Cakka tertegun, belum ada yg pernah bersikap seperti itu padanya.
"Fine, gue cuma mau bilang gak semua masalah bisa diselesaikan dengan uang, Nona," lalu Cakka berlalu begitu saja bahkan ia tak mau repot-repot melihat reaksi Shilla.
Sementara ditempatnya Shilla hanya diam menatap kepergian mobil porsche itu, Shilla tersenyum tipis.
"Lo salah cowok sok tau, semua di dunia ini, segalanya, tentang seberapa tebal uang disaku lo," bisiknya meskipun orang yang ingin ia beritahu sudah pergi dari hadapannya.
Shilla lalu masuk kedalam mobilnya, melaju membelah jalanan yg tidak terlalu ramai. Ia tidak sadar ada mobil lain yang mengikutinya, sebuah mobil porsche boxter putih.
---
Shilla masuk kedalam sebuah club malam. Ini tempatnya, dunianya, ia hanya ingin menghilangkan rasa jenuh dihidupnya, ingin melupakan sejenak siapa dirinya sebenarnya.
Orang-orang berlalu lalang, tidak ada yang peduli satu sama lain, mereka asik dengan diri mereka sendiri, Shilla duduk di kursi yang tersedia di depan meja bar.
"Seperti biasa," ucap Shilla pada bartender, seperti benar-benar sering datang ke club itu bartender itu pun langsung tau pesanan Shilla.
"Segelas vodka dingin, seperti biasa," Bartender itu meletakkan gelas berisi vodka dingin tepat dihadapan Shilla.
"Ingetin gue jangan sampai mabuk," ucap Shilla yang dibalas anggukan kepala oleh bartender itu.
Hal ini sudah sering dilakukannya, hanya untuk bersenang-bersenang, lebih tepatnya untuk melupakan sejenak beban yang ada di punggungnya, karena dengan begini, dengan alkohol masuk ke dalam tubuhnya ia bisa berandai-andai.
'Seandainya gue bukan Shilla, gue bebas lakuin apa aja di masa remaja gue,'
'Seandainya gue tidak terlahir sebagai Shilla, gue akan punya temen yang benar-benar tulus ke gue, atau sebenarnya seandainya gue bukan Shilla gue masih bisa rasain lebih lama lagi rasanya kasih sayang Mama dan Papa'.
---
Dari jarak beberapa meter Cakka dapat melihat siluet tubuh gadis itu, matanya terus memantau seolah jika ia lengah beberapa detik saja gadis itu akan hilang dari pandangannya.
"Hai tampan, mau bersenang-senang?" seorang wanita yang ditebak Cakka lebih tua darinya tiba-tiba duduk dipangkuannya.
"No," ucapnya singkat dengan nada datar, wanita itu lalu menggesekkan tubuh montoknya kedada Cakka, membuat Cakka berdecak karena pandangannya jadi tidak fokus.
"Karena lo tampan, gue beri diskon 20%, gimana?" Cakka mengeluarkan dompetnya lalu memberikan beberapa lembar uang seratus ribu pada wanita itu.
"Ambillah, dan jangan ganggu gue lagi," ucap Cakka.
Wanita itu mengambil uang Cakka lalu mencium pipi cowok itu.
"Sering-seringlah kemari," katanya lalu berdiri dari pangkuan Cakka.
"Gue Lea," Merasa tidak mendapatkan respon, Lea pun mengikuti arah pandang Cakka.
Ia mengangguk paham begitu menemukan titik fokus cowok itu.
"Oh, Shilla," ucapnya yang berhasil membuat Cakka menoleh kearahnya.
"Lo kenal dia?" tanya Cakka, jantung Cakka tiba-tiba berdegup lebih kencang karena kaget.
Entah mengapa tiba-tiba ia merasa tidak siap untuk mendengar kalimat-kalimat Lea selanjutnya.
"Dia bukan PSK disini kalau lo pikir dia begitu," ucap Lea membuat Cakka menghela nafas panjang, Lea terkekeh melihat reaksi cowok dihadapannya, Lea lalu duduk disamping Cakka, beruntung tempat duduknya sekarang tidak terlalu dekat dengan lantai dansa jadi ia dapat mendengar dengan cukup jelas setiap kata yang diucapkan Lea.
"Lo suka dia?" tanya Lea, lalu ia meletakkan sebatang rokok diantara bibirnya.
"Nggak," jawab Cakka singkat.
"Dia cantik dan kaya, sempurna sekali bukan?" Lea mengambil pematik api dari sakunya dan membakar ujung batang rokoknya, ia menghembuskan asap rokoknya sambil ikut memandang punggung Shilla.
"Beberapa kali dia ngundang gue ke party dirumahnya, bahkan rumanya lebih pantas disebut istana," Cakka menoleh ke wanita disampingnya.
"Shilla terlihat seperti nggak punya masalah, hidupnya sempurna, ia kesini hanya untuk senang-senang," sambung Lea, Cakka menggaris bawahi kata-kata Lea, sikap Shilla padanya cukup membuktikan setiap kata-kata Lea.
"Apa dia sering kesini?" tanya Cakka, Lea mengernyit.
"Mungkin sejak 4 tahun terakhir atau lebih, Shilla hanya datang sendirian, tiga kali dalam sebulan, terkadang ia bisa datang setiap hari. Nggak tentu,"
Bagaimana mungkin gadis itu datang ketempat seperti ini hanya sendirian dan dia merasa aman? Cakka menggeram, dan entah mengapa ia tidak suka mendengar fakta itu.
Cakka sendiri tidak tau kenapa ia melakukan ini, harusnya ia sudah sampai dirumahnya, beristirahat karena paginya ia harus kelokasi syuting, tapi lihat apa yang dilakukannya, menguntit seseorang yang bahkan ia sendiri tidak tau namanya.
Sampai ketika ia melihat bartender itu terlihat adu mulut dengan orang yang sejak tadi ditatapnya.
Cakka berdiri dari tempatnya duduk lalu tanpa basa basi ia meninggalkan Lea begitu saja dan menghampiri Shilla.
"... Ini sudah gelas ke delapan Nona," ucap bartender itu.
"Satu lagi sebelum gue benar-benar berhenti," ucap Shilla,
Cakka memilih duduk disamping Shilla, tapi sepertinya ia tidak menyadari keberadaan Cakka.
"Tapi anda sudah mulai mabuk,"
"Nggak, gue bilang satu lagi," Bartender itu terlihat pasrah lalu memberikan satu lagi gelas berisi vodka pada Shilla.
Shilla menghabiskan isi dalam gelasnya dalam sekali tegukan, membuat Cakka menggeleng pelan, sudah berapa banyak alkohol yang masuk ketubuh gadis ini? Cakka menyuarakan itu dalam pikirannya.
"One more," pinta Shilla pada bartender.
Bartender itu ingin buka suara namun suara Cakka lebih dulu terdengar.
"You're drunk," Tangannya menahan lengan Shilla, Shilla menatap Cakka tidak suka, dan sepertinya benar Shilla sudah kehilangan setengah kesadarannya, karena kemudian ia tertawa.
"Belum, gue belum mabuk," ucap Shilla setelah berhenti tertawa.
"You are. Lebih baik lo pulang," Cakka berdiri lalu hendak memapah Shilla namun tangan gadis itu lebih dulu bergerak menolak sentuhan Cakka.
"No no, i'm fine, totally fine," tolak Shilla.
"Keras kepala," desis Cakka.
"Kasih dia tiga gelas lagi," ucap Cakka, bartender itu langsung menyiapkan pesanan Cakka, tanpa sedikit pun menolak.
Shilla seakan kucing yang diberi ikan segar, matanya langsung berbinar mendengar ucapan Cakka, ia langsung memeluk Cakka membuat Cakka menegang ditempatnya.
"s**t," umpatnya begitu Shilla mengalungkan kedua tangannya dileher Cakka.
Cakka bahkan tidak setegang ini ketika Lea duduk dipangkuannya, astaga Shilla membuat kepalanya mendadak pusing.
Shilla melepaskan pelukannya lalu meminum vodkanya. Sampai gelas ketiganya dan saat itu ia tumbang, benar-benar mabuk.
Cakka meraih Shilla kedalam pelukannya, ia berdecak kesal karena Shilla berhasil merepotkannya.
"Apa anda kenal dengan Nona ini?" tanya bartender bertubuh jangkung itu.
Cakka ingin menggeleng namun ia tidak ingin bartender itu mengiranya memiliki niat jahat pada Shilla, akhirnya ia pun mengangguk, "Ya," untuk meyakinkan bartender itu.
"Dia hanya mabuk sesekali, dan saya rasa ini akan menjadi yang paling parah karena anda memberinya 3 gelas lagi,"
Cakka terkekeh, "Nggak masalah, ini akan jadi yang terakhir,"
"Jadi anda akan mengantarkannya pulang?" Cakka bimbang, ia tidak tau rumah Shilla, dan apa yang akan ia lakukan setelah ini?
"Nggak, kami check in," Bartender itu tersenyum maklum.
Cakka tidak peduli dengan apa yang dipikirkan bartender itu, ia langsung menggendong Shilla lalu menjauh dari hiruk pikuk club itu.
Beruntung club ini memiliki hotel yang terletak dilantai atas jadi Cakka tidak perlu repot-repot membawa Shilla ke hotel lain yang pasti membutuhkan waktu dan tenaga lebih.
Cakka meletakkan tubuh Shilla diatas ranjang berlapis sprei putih, mata gadis itu tertutup sempurna, nafasnya beraturan, terlihat tenang sekali. Cakka suka melihat cara Shilla tidur, wajahnya yang hanya dilapisi bedak tipis dan lipstik yang mulai memudar bahkan tidak mengurangi kecantikannya. Cakka mengambil handbag yang sejak tadi dipegang Shilla, mungkin isi tas itu privasi tapi Cakka tidak peduli ia mengambil dompet Shilla dari dalamnya.
Uang, handphone, kartu kredit Cakka terkekeh ketika menemukan tagihan makan, dan yang paling membuat Cakka tertarik adalah tanda pengenal cewek itu.
"Shilla Ballard," ucap Cakka sambil membaca tulisan disana.
---
Shilla membuka matanya ketika merasakan sinar matahari menerobos masuk dari sela-sela jendela. Matanya membulat ketika sadar ia bukan tidur dikamarnya, ia hendak duduk namun kepalanya terasa berat .
Shilla mengambil tasnya yang masih bisa dijangkau tangannya, ia mengeluarkan handphone-nya dan menjerit kecil melihat jam berapa sekarang. Setengah sebelas pagi, atau sudah bisa disebut siang? Shilla mengutak-atik handphonenya lalu menempelkannya di telinga.
"Gimana meetingnya?" tanya Shilla tanpa basa basi, seseorang diseberang sana menghela nafas panjang.
"Canceled," ucap Angel, orang yang ditelfon Shilla.
Shilla menepuk jidatnya. "I'll be there in 45 minutes," ucapnya lalu memutuskan pembicaraan.
Begitulah Shilla, bahkan ia tidak ingin mendengar ucapan hello dan bye, Shilla tidak suka bertele-tele, dengan gerakan cepat ia pun langsung menyibakkan selimutnya lalu berjalan-terkesan berlari- menuju kamar mandi, sesaat Shilla bersyukur karena pakaiannya masih lengkap, berarti orang yang membawanya kesini tidak melakukan apapun.
Shilla mengganti pakaiannya didalam mobil, ia memang selalu membawa pakaian ganti dimobilnya.
Setelah mengoleskan bedak juga lipstik ia pun langsung melajukan mobilnya menuju kantornya. Shilla menginjakkan kakinya dikantor satu jam setelah menelfon Angel-asistennya-. Kantor itu milik kakek Shilla yang diwariskan kepadanya, perusahaan asuransi kesehatan dan pendidikan, papanya mengolah beberapa perusahaan lain dalam bidang lain, perusahaan yang juga milik kakeknya namun Shilla tidak terlalu peduli, dia bekerja untuk dirinya sendiri, begitupun Papanya.
"Gue harap lo besok gak telat lagi," Angel membuka pembicaraan ketika Shilla masuk kedalam ruangannya.
"Hmm," Shilla hanya bergumam lalu duduk disinggasananya.
Angel adalah seniornya dikampus dulu sewaktu ia mengambil gelar sarjananya, lalu wanita itu kini bekerja untuknya sejak lulus kuliah hingga saat ini.
"Gimana kuliah lo?" tanya Angel mengalihkan pembicaraan.
"Semakin sibuk," Mereka cukup akrab, Shilla sendiri yang memperbolehkan Angel bicara non-formal jika mereka hanya berdua, Shilla tidak mempermasalahkannya dan sepertinya hal itu berhasil membuat Angel lebih nyaman bekerja dengan Shilla.
"How about my schedule for this week?"
Angel membuka iPad nya lalu mulai mendiktekan satu persatu jadwal Shilla untuk minggu ini.
--
Shilla kesal bukan main pada Ify dan Sivia, mereka datang ke rumah Shilla tepat ia baru pulang dari kantornya dan dengan seenak jidat mereka memaksa Shilla ikut untuk menonton konser tunggal penyanyi kesukaan mereka, tentu saja Shilla menolak mentah-mentah ajakan mereka, namun Ify dan Sivia tetap kekueh dan Shilla pun terpaksa harus mengikuti mereka.
"Rame banget," teriak Sivia ditengah hiruk pikuk penonton yang berdesak-desakan.
"Lebih baik kita pulang," ucap Shilla dengan volume suara yang tak kalah keras dari Sivia, Ify dan Sivia melotot tak terima.
"NGGAK!" teriak keduanya bersamaan, Sivia menggandeng tangan kanan Shilla dan Ify pun ikut menggandeng tangan kiri Shilla.
Shilla berdecak kesal, "It's oke, just for tonight," ucapnya membuat Ify dan Sivia tersenyum puas.
Setelah berhasil masuk ke arena konser, mereka pun mengambil posisi berdiri tepat dihadapan panggung, beberapa kali kaki Shilla terinjak oleh kaki lain yang membuatnya ingin memaki Ify dan Sivia.
"CAKKA..." teriakan itu menggema ditelinganya, Shilla baru tau ia mendatangi konser penyanyi lokal bernama Cakka saat ini.
Shilla heran melihat Ify dan Sivia, mereka rela berdesak-desakan seperti ini padahal ini bukanlah konser Justin Bieber ataupun Justin Timberlake.
"Itu dia," Suara Sivia berhasil membuat Shilla menoleh, hanya sekedar untuk melihat seperti apa tampang penyanyi yang membuat orang-orang disekitarnya histeris.
Tunggu, Shilla seperti kenal wajah itu, cowok berkaus putih polos dengan gitarnya, Shilla pernah melihat cowok itu.
"Oh my, dia kan orang yang gue tabrak kemarin," gumam Shilla pelan.
Sepanjang konser berlangsung Shilla hanya diam saja, tidak seperti yang lainnya yang berteriak-teriak, 2 jam berlalu membuat kedua kaki Shilla pegal-pegal karena terlalu lama berdiri.
Konser berakhir dan seluruh penonton berbondong-bondong berlari ke back stand, Shilla bahkan sudah tidak melihat Ify dan Sivia lagi disampingnya, Shilla terdorong kesana kemari membuatnya mengumpat beberapa kali.
Foto bareng, tanda tangan, membeli barang bekas cowok itu, begitulah yang ditangkap Shilla dari ucapan disekitarnya, Shilla memutuskan menunggu Ify dan Sivia diparkiran.
Shilla memijat pelipisnya, kepalanya pusing membuat pandangannya tidak fokus sehingga menabrak seseorang, Shilla mendongak untuk melihat siapa yang ditabraknya dan ia cukup terkejut.
"YOU!"