PART 3
.-"*"-.
Cakka menatap kepergian Shilla, ia hanya memandang punggung gadis itu yang mulai menjauh. Tidak seperti yang dibayangkannya, ia pikir Shilla akan bicara panjang lebar lalu mengumpatinya atau meninjunya dengan brutal tapi lihat, ia bahkan hanya berbicara sedikit lalu pergi begitu saja.
Dan untuk kalimat terakhir Shilla, Cakka merasa bodoh sekali karena berfikir bahwa Shilla adalah makhluk sempurna tanpa cela, tidak memiliki satu masalah pun.
Nyatanya didunia ini tidak ada manusia yang sempurna, tidak ada seorangpun yang tidak punya masalah.
Lamunannya buyar ketika mendengar ribut-ribut diluar cafe, ia berusaha tidak peduli tapi matanya terfokus pada satu titik, cewek itu-Shilla- sudah dikelilingi para wartawan.
Cakka buru-buru berdiri dan berjalan cepat kearah Shilla. Para wartawan itu seperti memenangkan emas didalam undian, mereka berulang kali mengambil gambar Cakka dan Shilla, berita ini akan jadi hot news besok pagi.
"Apa benar gadis ini, gadis yang sama yang baru-baru ini diberitakan sebagai pacar baru Mas Cakka?" tanya seorang wartawan.
"Ya," jawab Cakka singkat, sementara itu disampingnya Shilla masih syok dengan apa yang terjadi padanya.
Ia ingin menjerit lalu mengatakan kalau Cakka menjebaknya tapi mendadak lidahnya kelu, untuk mengucapkan sepatah kata saja pun ia tak bisa.
"Siapa Mas namanya?"
"Apa Mas Cakka sama si Mbak ini punya hubungan khusus?"
"Apa benar putusnya Mas Cakka dengan Amanda karena adanya pihak ketiga?" Pertanyaan bertubi-tubi itu membuat Cakka menoleh kearah Shilla, tatapannya seperti dimana-mobil-lo?
"Namanya Shilla, bukan, kami putus bukan karena adanya pihak ketiga," Shilla tersentak begitu Cakka tau namanya, ia tersenyum palsu pada wartawan-wartawan itu dengan langkah cepat ia menarik -terkesan seperti menggandeng- Cakka menuju mobilnya.
"Maaf kami buru-buru," ucap Cakka lalu memasuki mobil Shilla.
"Kunci lo?" Shilla menyerahkan kunci mobilnya pada Cakka ketika mereka berdua berhasil masuk kedalam mobil.
Shilla memijat pelipisnya begitu Cakka melajukan mobil, hari ini terasa begitu panjang untuknya.
Cakka melirik Shilla, sadar kalau Cakka meliriknya ia pun menatap garang cowok itu.
Shilla baru saja berfikir untuk melupakan kejadian dan gosip yang terjadi padanya, tapi dengan apa yang barusan terjadi, ia tau gosip ini akan berakhir panjang, Cakka pasti merasa menang sekarang.
"How i see, lo hanya mau bermain-main," sindir Shilla.
Cakka mendengar setiap ucapan Shilla dengan jelas, ia mengangkat sebelah alisnya, tidak ingin menyela setiap ucapan cewek itu, bukankah yang diucapkan Shilla itu benar?
"Lo salah kalau milih gue sebagai lawan lo," Shilla tesenyum tipis, lalu pandangannya mengarah ke jalanan didepannya.
"Gue ikuti permainan lo."
--
Shilla memandang langit-langit kamarnya, hari ini benar-benar menguras emosinya.
Mungkin setelah ini ia akan sering terlibat pertemuan dengan Cakka, mereka melakukan permainan bodoh, oh, bisakah Shilla menyebutnya seperti itu? Matanya menyipit begitu mendengar suara berisik diluar kamarnya.
Shilla memakai kimono nya lalu keluar kamar, ia menuruni tangga satu persatu, seperti yang diduganya, itu suara Papanya dan... seorang wanita.
Shilla mengamati keduanya dengan muak, satu yang ditangkap Shilla, Papanya sudah berani membawa minuman beralkohol kerumah.
"Pesta minuman, hmm?" Shilla bergumam dengan nada rendah, keduanya menoleh kearah Shilla yang berdiri ditangga terakhir.
Wanita itu menatap Marvel dengan wajah bertanya-tanya.
"Pintu keluar disebelah sana," telunjuk Shilla mengarah kearah pintu utama rumahnya.
"Pilih keluar sendiri atau gue yang seret?" Suara itu datar, namun mampu membuat orang yang mendengarnya merinding.
Marvel terlihat terpaku ditempatnya, ia minum banyak sejak tadi tapi ia masih sadar, cukup sadar untuk mendengar setiap ucapan putrinya.
"Babe, kasih tau dia siapa aku," ucap wanita itu, Marvel tidak merespon ucapan wanita itu, selama ini Shilla selalu melakukan hal itu-mengusir- setiap wanita yang ia bawa kerumah, dan setiap Shilla melakukannya ia tidak akan memarahi Shilla.
"Didn't you hear me? Papa juga boleh keluar sama dia, kalian boleh melakukan apapun diluar sana, but not here," Sudah lama sekali Marvel tidak mendengar panggilan itu dari bibir Shilla, ia menatap wanita disampingnya.
"Pulanglah," ucap Marvel lalu mengeluarkan uang dari dompetnya dan memberikan pada wanita itu.
"What? Kita belum melakukan apapun," balas wanita itu tidak terima, Shilla berjalan mendekati wanita yang kira-kira umurnya awal 30 an, lalu ia menyeret lengan wanita itu hingga keluar dari rumahnya.
"Shilla," panggil Marvel ketika Shilla hanya melewatinya dan menaiki beberapa anak tangga.
Shilla berhenti melangkah walau tidak menoleh namun mampu membuat Marvel menyunggingkan senyuman, ini untuk yang pertama kali.
"Selamat malam, Princess," Hanya ucapan selamat malam, lalu Shilla kembali melangkah.
Setelah masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu, Shilla menyandarkan punggungnya di dinding pintu, perlahan tubuhnya merosot dan detik berikutnya tangisan itu pecah, menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
Panggilan itu, masihkah ia menjadi putri kesayangan Papanya?
Shilla ingat sekali bagaimana bisa Papanya berubah, Mamanya meninggalkan mereka begitu saja, menggugat cerai Papanya lalu tidak pernah lagi memunculkan diri, ia sering mendengar suara tangisan bercampur suara barang yang dilempar dari kamar utama, kamar orang tuanya, kejadian itu berulang-ulang, bertahun-tahun terjadi, sampai kemudian Papanya melewati jalur yang ia batasi, mabuk juga berganti-ganti pasangan wanita.
Sejak itu Shilla tidak lagi seorang gadis yang ceria, keceriaannya membuatnya lemah, membuat orang-orang menggunjing keluarganya dan mengasihaninya.
Tidak, dia tidak butuh rasa kasihan, tidak butuh omongan palsu mereka, do what you wanna do, seperti itulah prinsip hidup Shilla sejak saat itu.
Shilla berjalan menuju tempat tidurnya, ia duduk disisi ranjang. Shilla mengambil pulpen dan selembar kertas dari laci lemari kecil di dekat tempat tidurnya, perlahan tangannya bergerak menuliskan sesuatu di atas kertas putih itu.
"Hai, Ma. I'm writing this letter and wishing you well. Banyak waktu berlalu, yang Shilla habiskan tanpa Mama. Shilla bertanya-tanya pada diri sendiri, sebenarnya kita ini saling menyayangi atau saling membenci? Tidak ada yang berusaha untuk mencari kan?..."
Air mata Shilla membasahi kertas putih itu, tangannya bergetar tapi Shilla tetap melanjutkan tulisannya.
"Kita belum pernah mengucapkan kata paling menyedihkan itu, kata 'selamat tinggal' jadi masih ada kesempatan untuk kita berjumpa kan? Mama cuma perlu peluk Shilla, cukup dengan itu..."
Shilla meremas kertas itu, tangisannya semakin pecah.
"I'm good," Shilla berbisik pada dirinya sendiri.
Cukup dirinya yang tau, orang-orang tidak akan pernah tau selemah apa dirinya.
--
"Sempat tertangkap kamera tengah berciuman dengan seorang gadis, kini nama Cakka tak henti-hentinya jadi perbincangan panas masyarakat, pasalnya kemarin Cakka kembali tertangkap basah disebuah cafe bersama gadis yang sama." Lalu rekaman ketika Cakka diwawancarai muncul ditelevisinya.
Pagi-pagi sekali dan Cakka sudah mendapatkan gossipnya beredar, tentu saja masih seputar 'pasangan baru'nya. Cakka tersenyum tipis, kali ini ia benar-benar menikmati gossip itu dan melihat wajah panik Shilla dari layar kaca membuatnya terkekeh.
Entah mengapa ia benar-benar ingin tau tentang Shilla, tidak ada orang yang seketus Shilla ketika pertama kali bertemu dengannya, biasanya gadis-gadis akan meminta foto bersama setelah terkaget beberapa detik ketika melihatnya.
Shilla berbeda, banyak sekali sisi kehidupan Shilla yang membuatnya penasaran setengah mati pada cewek itu, atau, bolehkan ia sedikit jujur karena merasa tertarik untuk mengenal Shilla?
Ponsel disaku Cakka bergetar, panggilan dari Maya.
"Halo," sapanya. Diseberang sana Maya terlihat menghela nafas.
"Gue nonton infotaiment pagi ini, dan gue tau alasan kenapa lo minta dianterin ke cafe Flowers kemarin," ucap Maya.
"Terus?"
"Lo harus klarifikasi siapa cewek itu,"
"Kenapa harus?"
"Karena lo bikin handphone gue gak berhenti bunyi sejak semalam,"
"Lo bisa bilang kalau lo gak tau apa-apa,"
"Cakka please, kalau lo gak mau ngasih tau fans, lo bisa kasih tau gue," Cakka terkekeh.
"Sebenarnya lo penasaran juga kan?"
"Hmm, walaupun enggak tapi lo boleh anggap gitu,"
"1 jam lagi gue ke lokasi pemotretan, gue harap lo nggak telat, bye," Dan Cakka pun memutuskan panggilannya lalu beranjak dan mematikan televisinya.
--
"Gimana bisa lo dekat sama dia?" Ify tak habis pikir ketika Shilla mengaku dia memang kenal dengan Cakka.
Tanpa mereka sadari perbincangan mereka ini mengundang setiap mata dan juga telinga yang ada dikantin untuk melirik juga mengupingi mereka.
"Lo bahkan gak mau repot-repot buat sekedar liat foto Cakka di majalah punya Ify," sambung Sivia.
"Gue dekat baru-baru ini, gue pernah nabrak mobil dia, dan yah akhirnya kita kenalan," Aku Shilla dan itu semua bukanlah kebohongan.
Shilla merasa tidak nyaman, sekarang satu kampus mengenalnya dan itu tidak mengenakkan.
"Dan foto ciuman lo? Gue yakin itu bukan editan, itu beneran lo pas kita ke konser," Shilla menelan ludahnya, ia tau Ify dan Sivia akan menanyakan ini.
"Gue.. emm, waktu itu," ucapan Shilla terputus ketika mendengar suara deheman didekat meja mereka.
3 orang cewek berdiri disamping meja mereka, Shilla mengenal ketiganya, Natalie, Jessie dan Chelsea. 3 cewek yang selalu jadi bahan perbincangan dikampusnya karena kekayaan mereka, kecantikan dan satu lagi, berkuasa.
Mungkin Shilla harus bersyukur karena dapat mengelakkan pertanyaan Ify dan Sivia.
"Hai Shilla," sapa salah satu dari mereka, Jessie.
"Just to topic," ucap Shilla, tidak tertarik berbasa basi.
"Calm, sis," ucap Natalie.
Jessie mengangkat bahu acuh, tangannya menyodorkan sebuah undangan kepada Shilla.
"My party, lo dan kedua temen lo boleh dateng," katanya, lalu Jessie melakukan gerakan memutar pada rambut ikalnya dengan telunjuknya.
"Lo juga boleh bawa pacar baru lo itu," Shilla berdecak, selama ini Jessie dan teman-temannya tidak pernah mengundangnya ke acara apapun, dan sepertinya Shilla paham kenapa mereka sekarang terlihat ramah kepadanya.
Ada udang dibalik batu, hmm?
"Kita senang kalau lo ajak Cakka," sambung Chelsea dan tersenyum manis.
"Gue cuma mau bilang itu, have fun Shilla," Natalie, Jessie dan Chelsea pun melangkah menjauhi mereka.
"Mau dateng?" Ify yang pertama buka suara ketika ketiganya pergi.
"Ya," jawab Shilla singkat.
"Mereka hanya mengukur seberapa kayanya lo, Shilla," kata Ify, menebak pikiran Jessie dan teman-temannya.
"Atau alasan lain kenapa lo bisa digossipin pacaran sama Cakka," sambung Sivia.
Mungkin Ify dan Sivia benar, beberapa kali Jessie dan teman-temannya memandang mereka bertiga dengan tatapan mencemoh, tapi kali ini mereka terlihat 'sangat baik' pada Shilla, kemana tatapan merendahkan itu pergi?
"Mereka nggak akan dapat apapun informasi tentang Cakka dan gue, kecuali bagian sebererapa kayanya gue, menarik, gue juga mau lihat seberapa kaya dan berkuasanya mereka," ucap Shilla, Ify dan Sivia ternganga, bukan karena ucapan Shilla yang terkesan sombong tapi karena kalimat panjang cewek itu, ternyata Shilla bisa bicara sepanjang itu.
"Dan persiapkan diri kalian, girls, besok kita belanja," ucap Shilla, Ify dan Sivia bersorak riang, tak usah heran jika Shilla sudah mengajak keduanya belanja itu pertanda kalau Shilla yang akan membayar semuanya.
Ify memang hanya gadis biasa saja walaupun demikian, kedua orang tuanya adalah dokter, Ify masih memiliki seorang Kakak yang masih kuliah dan empat orang adik yang semuanya masih dalam tanggungan, mereka big family.
Begitupun Sivia, keluarganya memang bukan termasuk kalangan kelas bawah, Papanya seorang jaksa dan Mamanya seorang anggota dewan tapi lagi-lagi fakta bahwa ia bukanlah anak satu-satunya membuatnya membatasi pengeluaran keuangannya, Sivia anak pertama dari tiga bersaudara ia dan kedua adik kembarnya hanya berjarak 1 tahun 9 bulan, masalahnya adik kembarnya sedang kuliah di London membuat kedua orang tuanya harus mengeluarkan kocek lebih besar untuk biaya kedua adiknya itu.
Shilla pun memutuskan untuk pulang, lagi pula ia harus ke kantor jadi ia tidak bisa berlama-lama nongkrong sambil mengobrol ria seperti sekarang.
"Gue pulang," ucap Shilla lalu meninggalkan Ify dan Sivia, keduanya hanya meng-iya-kan, Shilla memang selalu pamit duluan jika mereka sedang bersantai seperti ini.
Ketika dimobil, Shilla pun meraih ponselnya lalu mengirimkan pesan singkat pada seseorang.
To: Cakka
'Ada sesuatu yang mau gue omongin, tonight 7pm, Cafe Flowers.'
Send.
--
Cakka baru saja selesai mandi, selesai pemotretan cowok itu langsung pergi ke tempat gym dan ia baru pulang ketika langit mulai berwarna jingga.
Cakka membaca pesan singkat dari Shilla, pemuda itu tidak membalasnya, tapi ia akan datang.
Sebenarnya Cakka tidak mempermasalahkan, tapi entah mengapa ia merasa tidak aman jika mereka ke Cafe Flowers, mengingat betapa banyaknya paparazi yang berkeliaran didaerah cafe.
Tapi Cakka tidak mau menolak, akhirnya ia pun menyetujuinya. Jam tujuh lewat empat menit Cakka sudah sampai di cafe, Shilla sudah datang lebih dulu, kali ini Shilla tidak duduk dimeja pertama kali mereka bertemu, ia duduk di meja paling sudut cafe ini.
Cakka duduk dihadapan Shilla, ia tersenyum formal pada cewek itu.
"Udah lama?" tanyanya basa basi, Shilla menggeleng pelan.
"Gue cuma mau lo datang ke acara party temen gue," ungkap Shilla langsung menyuarakan tujuannya meminta bertemu dengan Cakka.
Cakka tidak menyangka Shilla akan langsung bicara seperti itu.
"Gue pikir ini acara dinner," ucap Cakka mengalihkan ucapan Shilla.
"Lo hanya perlu jawab Ya dan Tidak setelah itu lo bisa pesan apapun,"
"Apa keuntungan dan kerugian gue kalau bilang Ya dan Tidak,"
Shilla tampak berfikir sejenak, "Kalau lo bilang Iya, gue gak akan buka suara tentang penjebakan lo ke gue sama wartawan, tapi kalau lo bilang Tidak, gue akan bilang sama semua orang lo mau ngelakuin pelecehan seksual waktu itu,"
Mata Cakka terbelak, yang benar saja, pelecehan seksual? Shilla tau Cakka tidak bisa menolak.
"Lo hanya perlu jadi pacar bohongan gue, sesuai dengan gossip yang beredar, dan dampingi gue ke party itu besok malam, selesai,"
Hal yang tentu saja tidak merugikan Cakka, bukankah keinginannya jika dekat-dekat dengan Shilla?
"Gue terima dengan satu syarat, dan lo harus penuhi," kata Cakka, Shilla mengerutkan kening.
"What?"
"Mulai sekarang lo jadi pacar resmi gue,"
---
Pagi-pagi sekali Shilla sudah sampai dikantornya, hal ini dilakukannya untuk menghindari tatapan aneh para karyawannya, dia mendadak sangat terkenal sekarang dan itu bukanlah kabar baik.
Shilla duduk dikursinya, Angel juga belum datang hanya ada petugas kebersihan yang sedang bersih-bersih, mata Shilla menerawang tentang percakapannya dengan Cakka semalam, mungkin ini terdengar t***l tapi Shilla benar-benar menyetujui persyaratan Cakka.
Oh, mereka sudah resmi? Resmi dalam tanda kutip.
"Surprise me, untuk pertama kali lo datang ke kantor lebih dulu dari gue," Angel masuk kedalam ruangan lalu menghampiri Shilla yang terlihat muram.
"Gue males diperhatikan para karyawan karena gossip gak penting itu," ucap Shilla.
"Lo gak sadar ya? Sebelum gossip tentang lo dan si penyanyi itu beredar lo juga selalu diperhatikan para karyawan," Shilla mengerutkan kening.
"Gue gak tau,"
"Karena lo gak peduli, anyway gue ngerasa gak tau apa-apa, lo dekat dengan seorang artis lalu jadian tapi gue nggak pernah tau kalian pernah PDKT,"
"Perkenalan gak disengaja,"
"Mungkin lo bisa jelasin lebih detail,"
"Gue gak punya waktu untuk itu," Angel tersenyum tipis, banyak hal yang ia tidak tau dari Shilla, Shilla terlalu tertutup tidak ada yang benar-benar bisa mengetahui cewek itu, Angel mengerti, ia maklum dengan sifat ketus Shilla.
Lagi pula mereka berada dikantor, lebih baik ia bersikap profesional.
"Lo bisa mimpin briefing pagi ini," ucap Angel mengalihkan pembicaraan.
"15 menit lagi gue ke meeting room, siang ini gue ada kelas," ucap Shilla.
"Oke, kalau gitu gue keluar dulu," Shilla mengangguk lalu Angel pun melenggang meninggalkan Shilla.
--
Shilla mengoleskan lipstick merah muda kebibirnya, ia mengeluarkan cincin dan gelang berlian miliknya dari kotak perhiasan.
Semua sudah lengkap, Shilla memperhatikan penampilannya, make up tipis, rambutnya ia buat gelombang, tergerai indah dengan jepitan berlian kecil menghiasinya, gaun yang ia beli bersama kedua temannya tadi siang, gaun panjang dengan belahan tinggi dibagian kiri kakinya berwarna hitam, dan hanya ada tali penyilang yang menutupi punggung polosnya, heels 10 senti, dan semuanya benar-benar sempurna.
Ponsel Shilla bergetar, ia keluar dari kamarnya setelah mengangkat telefon.
"Sebentar," ucapnya ketika orang diseberang sana bertanya keberadaannya.
Shilla memutuskan panggilannya secara sepihak, lalu ia membuka pintu utama rumahnya dan tertegun melihat siapa yang ada dihadapannya.
Cakka, pemuda itu berada tepat dihadapannya, mengenakan kaus polos putih yang dilapisi jas sporty warna hitam dan jeans, terlihat sangat trendi dan, emm.. Menawan.
Beberapa saat Shilla terpukau dengan penampilan Cakka, namun ia menggeleng pelan.
"Ready?" tanya Cakka, Shilla mengangguk.
Shilla memang sengaja tidak membawa mobilnya, dia dan Cakka memutuskan untuk pergi dengan mobil Cakka, karena itu Shilla menyuruh pemuda itu menjemput langsung kerumahnya.
Mungkin ini terdengar licik, Shilla ingin melihat reaksi Jessie dan teman-temannya ketika melihat Shilla bersama Cakka.
Shilla tidak suka diremehkan, ia tidak suka orang-orang menganggapnya lemah.
Didalam mobil mereka hanya saling diam, tidak ada yang berusaha untuk buka suara, Shilla dan Cakka, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
Ponsel Shilla kembali bergetar, satu panggilan dari Ify.
"Shilla lo dimana? Gue sama Via gak pede masuk berdua aja nih," cerocos Ify ketika telefonnya diangkat Shilla.
"Bentar lagi gue sampe," ucap Shilla.
"Btw lo sama Cakka ya?"
"You can see there," Shilla pun memutuskan panggilannya.
15 menit kemudian mereka pun sampai dikawasan perumahan elit, rumah Jessie tentu saja rumah yang paling banyak mobil terparkir.
Shilla memandang rumah Jessie dari luar, sangat kecil dibandingkan rumahnya yang besar.
Mereka turun dari mobil Cakka, dari halaman rumah Ify dan Sivia dapat melihat kehadiran Shilla, mereka tidak bergerak, keduanya melongo melihat Cakka.
"Temen lo?" tanya Cakka.
"Ya, dua fans lo yang membawa gue ke konser bodoh itu," Cakka terkekeh, Cakka memang sudah menebak Shilla terpaksa datang ke konsernya saat itu dan sepertinya Cakka sudah tau alasannya.
"Hai," sapa Cakka pada Ify dan Sivia, keduanya tampak syok.
"Ca..kka..?" ucap mereka terbata, Ify tiba-tiba memeluk cowok itu, sangkin senangnya, ia bahkan melompat-lompat.
"Gue Ify," ucap Ify.
"Gue Sivia, gue sama Ify Cakkalovers," Ify dan Sivia pun bergantian menjabat tangan Cakka.
"Cakka foto bareng dong," ucap mereka, Shilla memutar bola matanya melihat ketiga nya sedang berpose ria.
"Fy, Via, lo masih punya banyak waktu untuk itu," ucap Shilla.
Ify dan Sivia menatap Shilla sekilas, "Cie, lo cemburu kan?" goda Sivia, Shilla menggeleng kuat.
"Nggak," bantah Shilla.
"Nggak salah lagi," ucap keduanya tertawa puas dan masuk ke dalam rumah Jessie.
"Akting lo bagus," bisik Cakka, akting?
"I'm not," Cakka mengangkat bahu acuh lalu melingkarkan tangannya dipinggang Shilla.
"Act like kita pasangan yang sedang dimabuk cinta,"
--
Cakka masuk bersama Shilla disampingnya, baru saja mereka melangkah masuk hampir setiap mata menoleh kearah mereka.
Tidak ada yang terang-terangan menghampiri Cakka, tapi semua tatapan yang mereka tolehkan pada Shilla adalah tatapan tidak suka dan iri.
"Hai Shilla, dan Cakka kan?" Seorang gadis seumuran Shilla datang menyambut mereka, Cakka tebak gadis itu adalah tuan rumah, Cakka sepertinya tau alasan Shilla mengajaknya kesini, terlihat dari senyuman palsu gadis itu.
Mereka saling mengamati dan menilai satu sama lain dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gadis itu memang cantik, tapi Cakka akui Shilla jauh lebih cantik hanya saja sifat sombong Shilla mengurangi nilai kecantikannya.
Sebenarnya ketika ia menjemput Shilla kerumahnya, Cakka ingin memuji Shilla.
Penampilan Shilla benar-benar luar biasa, tapi ia tidak mungkin langsung mengutarakan pikirannya itu.
"Ya, gue Cakka," balas Cakka.
"Jessie," Jessie mengulurkan tangannya pada Cakka, mereka saling berjabat tangan.
"Have fun di party gue, emm gue kesana sebentar," kata Jessie lalu meninggalkan mereka.
"Gue muak disini," bisik Shilla.
"Kalau gitu kenapa lo dateng?" tanya Cakka.
"Lo pikir gue bisa nolak?" Shilla memutar bola matanya.
"Gue ambil minuman dulu," Shilla pun melangkah menjauhinya.
Dari ekor matanya Cakka dapat melihat Shilla mengambil jus, padahal disini ada minuman beralkohol kesukaannya kenapa Shilla memilih jus? Cakka dapat melihat Shilla bicara dengan 2 orang gadis lain, bukan Ify dan Sivia.
Tiba-tiba ia dikerumuni para gadis-gadis, membuat pandangannya pada Shilla teralihkan.
"Hai Cakka, boleh minta foto bareng?"
"Cakka gue Lena, boleh minta nomor handphone nggak?"
"Cakka gue Cakkalovers, boleh tau alamat rumah lo?"
"Kalau boleh tau lo sama Shilla punya hubungan apa ya?"
Cakka tersenyum tipis. "Mungkin lain kali kita bisa foto bareng, sorry banget tapi gue harus cari Shilla," ucap Cakka.
"Kalian pacaran?" tanya salah satu dari mereka.
"Something like that," Lalu Cakka meninggalkan mereka yang kemudian bergossip ria.
Sial!
Cakka tidak menemukan Shilla ditempatnya berdiri tadi, mata Cakka menyapu setiap sudut ruangan dan ia tidak menemukan Shilla dimana pun.
"Lo cari Shilla?" Ify dan Sivia menghampiri Cakka, gelagatnya tadi cukup membuktikan kalau Cakka sedang mencari seseorang, siapa lagi kalau bukan Shilla.
"Dia ke toilet di belakang," ucap Sivia.
"Ok, thank you Ify, Sivia," balas Cakka tersenyum tipis.
Tidak sulit menemukan toilet di rumah ini, ada tanda didekat dinding. Cakka merutuki dirinya karena merasa begitu protective pada Shilla. Tidak, dia hanya merasa ada yang tidak beres.
"What are you looking for?" tiba-tiba Shilla keluar dari toilet dan menemukan Cakka tepat berada didepan pintu.
"You," jawab Cakka jujur. Tatapan Shilla terlihat tidak fokus, Cakka memandang kearah ekor mata cewek itu.
Ada yang mengintip mereka, hanya satu orang dan sepertinya Cakka tau siapa, Jessie.
"Kiss me," ucap Shilla, semula Cakka tidak menyangka Shilla akan mengucapkan itu, lalu bibirnya terangkat keatas.
Shilla menarik kerah cowok itu, tangannya ia lingkarkan dileher Cakka.
"Kiss me, Cakka," untuk pertama kali Shilla memanggil nama Cakka, dan entah mengapa itu terdengar sangat manis ditelinga Cakka.
Cakka ikut menarik pinggang Shilla, tubuh mereka merapat, tangannya mengelus punggung polos cewek itu, membuatnya merasa seperti terbakar ketika merasakan kulit lembut Shilla.
"I do," katanya, sebelum bibir mereka saling bertautan.