[Ray Dhanadyaksa]
"Ray, kita istirahatnya masih lama, ya?" tanya Kendra.
Gue menoleh, menatapnya. Dan bergantian menatap Adara serta Meysha. Sepertinya mereka sudah lelah dan gue juga tidak bisa memungkiri kalau gue sama lelahnya dengan mereka. "Dari tadi, sepanjang jalan, gue sambil cari tempat yang pas untuk istirahat. Tapi, ya belum ketemu," jujur gue.
Kendra menghela napas.
Gue tersenyum. "Sabar ya, kita akan istirahat kalau kita sudah menemukan tempat yang pas. Oke?"
"Iya, Ray," sahut Meysha.
Kendra dan Adara mengangguk setuju.
Langit malam sudah semakin pekat gelapnya. Pohon-pohon yang kami lewati juga semakin besar, sangat menambah kesan horor dalam perjalanan kami. Lima belas menit kami berjalan, namun tak kunjung menemukan tempat bermalam yang aman.
Sebenarnya, gue kasihan melihat Meysha dan Adara yang mungkin tenaganya sudah habis, sepertinya juga, mereka sedang berusaha kuat-kuat menahan kantuk.
Kendra menyenggol lengan gue, berbisik. "Kayaknya tempat itu pas deh buat bermalam. Gue kasihan sama Adara dan Meysha, mereka kelihatan capek banget."
Gue memandang menelisik tempat yang dimaksud Kendra. Sepertinya di sana aman, tanah di sana juga lumayan luas. "Iya, kita bermalam di sana," ucap gue sambil menunjuk tempat yang tadi disarankan Kendra.
Wajah Adara dan Meysha langsung berubah menjadi cerah. Mengetahui, tak lama lagi kita akan beristirahat. Kami melanjutkan langkah menuju tempat yang dimaksud.
Adara dan Meysha langsung duduk di sana.
Sedangkan gue dan Kendra melepas tas untuk mencari kayu untuk perapian sebagai penerangan. Setelah selesai, Adara dan Meysha masing-masing mengambil satu buah anggur dari tas gue. Tidak masalah.
"Ya udah, kalian tidur aja. Biar gue yang jaga pertama, nanti gantian setiap dua jam sekali."
"Nanti kalau udah dua jam, bangunin gue aja ya, Ray," ujar Kendra sambil memberikan arloji yang ia bawa.
Gue mengangguk. "Siap."
Setelahnya, Adara dan Meysha berbaring, memejamkan mata. Begitu juga dengan Kendra, ia tidur di seberang tubuh Adara. Sedangkan gue, tengah duduk di dekat api unggun yang tadi telah berhasil dibuat oleh Kendra dengan sedikit bantuan dari gue. Gue membuka tas, mencari jaket dan segera memakainya. Jujur, gue belum merasakan ngantuk, tetapi tubuh gue cukup lelah. Untungnya, perjalanan kali ini kami belum menemukan kesulitan yang berarti.
Lagi-lagi gue memikirkan soal apa yang dilakukan Gabriel ke Meysha tadi saat kami sedang berpelukan secara bergantian. Apa Meysha sudah membaca surat itu? Apa isi suratnya? Mudah-mudahan bukan surat cinta, walau kemungkinan tidak mungkinnya sangat kecil.
Gue kesal dengan diri gue sendiri. Kenapa gue harus menjadi laki-laki pengecut seperti ini? Laki-laki yang tidak mampu mengungkap, bahkan menunjukkan rasa yang gue miliki kepada Meysha. Gue gak mau kehilangan Meysha, tapi gue juga gak mampu untuk mengklaim Meysha menjadi milik gue seutuhnya.
Gue menggeleng keras-keras. Gue tidak seharusnya seperti ini. Bersama dengan siapa pun Meysha nanti, gue akan dengan ikhlas ikut bahagia. Dan sepertinya gue harus mengalihkan pikiran gue ke apa maksud dari teka-teki itu.
Gue mengeluarkan gulungan kertas itu dari dalam tas, membaca ulang. Dan betapa bodohnya gue, karena baru ingat kalau gulungan kertas yang isinya teka-teki petunjuk untuk mencari obat hyrexin yang pertama berada di Meysha.
Sesuatu yang tinggi, sulit dijangkau. Untuk menjangkaunya membutuhkan kerja sama yang kuat. Setidaknya itu bait dari teka-teki yang gue tangkap dan masih gue ingat sampai sekarang. Gue masih tetap tidak memiliki ide akan jawaban dari teka-teki itu. Menyebalkan. Padahal kan, kalau sudah tahu apa yang dimaksud teka-teki itu, perjalanan kami menjadi jauh lebih mudah, karena tahu apa yang kami cari. Namun sekarang? Masih terlalu abu-abu.
Gue melempar kayu ke api unggun, supaya api unggun tetap menyala terang sekaligus memberi kehangatan. Sudah satu jam gue berjaga sambil memikirkan jawaban dari teka-teki itu, namun sama sekali tidak membuahkan hasil.
Gue berbalik, menatap wajah Meysha yang sedang tidur dengan tenang. Dia selalu terlihat cantik dalam kondisi apa pun. Ingin rasanya gue menghampiri Meysha, mengelus pipinya lembut. Tapi gue tidak akan pernah mampu untuk melakukan itu. Meysha hanyalah angan yang terlalu sulit untuk gue jadikan kenyataan.
Meysha pernah bilang kalau perempuan yang gue sukai itu beruntung. Apa jadinya kalau dia tahu perempuan itu adalah diri dia sendiri? Apa dia akan tetap menyebut dirinya beruntung? Mungkin dia akan bilang kalau gue menyukai orang yang salah. Apa mungkin Meysha membalas rasa yang gue miliki untuknya?
Yang gue takuti saat gue menyatakan rasa yang gue miliki ke Meysha adalah penolakan, yang berujung saling canggung. Gue sama sekali nggak mau kayak gitu. Menurut gue, persahabatan jauh lebih pentint di atas rasa cinta. Lebih baik seperti ini, gue berpura-pura tidak memiliki rasa kepada Meysha, namun kami tetap dekat dan tidak ada kemungkinan untuk menjadi sepasang canggung. Ternyata, jatuh cinta dengan sahabat sendiri sesulit ini. Begitupun juga untuk mengungkapkannya, sangat sulit.
Gue sendiri sampai bingung dengan laki-laki yang punya banyak mantan pacar. Apa menurutnya menyatakan perasaan ke perempuan seperti membuka pintu yang tidak terkunci? Meysha sudah menjadi pusat dunia bagi gue. Tanpa Meysha, mungkin gue akan kehilangan arah tujuan. Berlebihan? Namun itu kenyataan yang ada.
Terkadang, gue sering bertanya. Apakah Meysha pernah berpikir bahwa gue mencintainya?Apakah Meysha tahu, ada seseorang yang selalu mengharapkan kehadiran ia dalam hidupnya?
Apakah Meysha tahu, kalau ada seseorang yang tidak pernah absen untuk mendoakan kebahagian dalam hidupnya?
Apakah Meysha sadar, bahwa ia selalu ada di pikiran gue?
Mungkin jawabannya tidak. Karena dia hanya menganggap gue sebagai sahabatnya yang paling pengertian. Pahit sekali.
Gue menatap arloji yang dititipkan Kendra, sepuluh menit lagi gue akan tidur. Tapi gue belum merasakan kantuk. Gue kembali berbalik, menghadap api unggun, melempar kayu lagi, supaya api unggun tetap menyala terang.
Dua hal yang ada di pikiran gue saat ini. Yang pertama, teka-teki petunjuk. Yang kedua, tentu saja Meysha, yang selalu ada di setiap detik gue diam termenung. Tiba-tiba gue berpikir untuk menyatakan cinta kepada Meysha, sebelum ia membaca surat dari Gabriel yang kemungkinan besar isinya surat cinta. Padahal beberapa saat sebelumnya, gue berpikir hal itu tidak mungkin gue lakukan. Tapi, kalau Meysha menolak gue, setelah itu dia membaca surat dari Gabriel, pasti dia akan berpikir untuk tidak menerima salah satu dari kami.
Gue sama sekali tidak mau menjadi penghalang bahagia untuk Meysha. Sepertinya hal ini tidak jadi gue lakukan, gue tidak pernah mau menjadi penghalang senyum Meysha yang manis. Gue kembali menghela napas lelah. Harapan gue sepertinya sudah hilang.
Gue kembali melihat arloji dan sekarang sudah saatnya gue tidur. Gue menghampiri Kendra, menepuk pundaknya pelan, supaya tidak membangunkan Adara dan Meysha yang sedang tertidur lelap.
Untung saja, Kendra langsung bangun dengan sigap. "Udah bagian gue, ya?"
Gue mengangguk. "s*****a tetap di tangan ya, untuk jaga-jaga," pesan gue sambil menyerahkan arloji kepadanya, yang langsung ia sambut.
Kendra langsung mengambil senjatanya dan berdiri. "Selamat malam." Lalu melanjutkan langkah menuju api unggun.
Gue membaringkan tubuh, memaksa diri untuk terlelap. Karena gue memerlukan istirahat, supaya besok tenaga gue sudah pulih seratus persen.
***
"Ray, bangun. Udah pagi, nih."
Gue membuka mata, dan menemukan Meysha yang tersenyum menatap gue. Ya ampun, ini adalah hal yang selama ini gue impikan. Meysha, wajah pertama yang gue lihat saat bangun tidur.
Gue beranjak duduk.
"Mending lo cuci muka dulu, biar seger. Sembari nunggu Kendra sama Adara yang lagi siapin sarapan."
Gue menurut dan menerima botol dari Meysha. Membasuhkan sedikit air ke wajah, bagaimana pun juga, kita harus tetap hemat.
"Sekarang jam berapa?"
"Jam enam pagi."
"Yang jaga setelah Kendra siapa?"
"Gue, setelah itu Adara."
Gue mengangguk.
"Kendra dan Adara kompak banget, ya," komentar Meysha sambil melihat Kendra dan Adara yang sedang membakar sesuatu di api unggun.
"Kan merkea pacaran."
Meysha tersenyum. "Iya sih, tapi gue senang aja gitu lihatnya. Jadi pengen kayak gitu juga."
Sama gue aja gimana?
Gue terkekeh. "Emang udah ada bayangan pengen kayak mereka sama siapa?"
Dia menoleh, menatap gue. "Mungkin," jawabnya ragu.
"Siapa tuh?"
"Ada deh."
Kami berdua terkekeh.
"Ke sana yuk, bantu-bantu," ajak Meysha.
Gue menurut dan kami pun berjalan menghampiri Kendra dan Adara.
Adara mendelik. "Bisa banget ya kalian, baru ke sini pas udah mateng."
Gue melihat ada empat sosis bakar dan jagung bakar. Sangat menggiurkan.
"Padahal gue tadi pengen bantu-bantu."
"Cuih," ujar Adara.
Meysha menggeleng kepala heran. "Udah, daripada ribut, mending kita makan. Mumpung masih panas."
Dan kami pun memulai makan dengan khidmat. Rasanya enak, tidak hambar. Pasti pakai bumbu. Siapa pun yang membuat bumbu ini, pasti jago masak. "Ini bekal siapa? Rasanya enak banget."
"Bekal gue. Takjub kan lo sama rasanya?" jawab Adara.
"Oh, paling yang masak ini Bunda lo, ya, kan?" kata gue sambil terus memakan.
"Enak aja. Ini murni bikinan gue sendiri. Gue di rumah suka bikin ini. Kendra juga udah sering makan dan lihat gue bikin ini. Ya kan, Ken?"
Kendra memberikan dua jempol tanda setuju. Dia terlihat sedang sangat menikmati.
"Jadi ceritanya pamer nih, bisa bikin sosis dan jagung bakar dengan bumbu rahasia?" komentar Meysha.
"Tadinya sih nggak mau pamer, eh tapi dipancing sama Ray," balas Adara sombong.
Gue mengangguk. "Iya dah, gue percaya."
"Harus, dong," sahut Adara.
Setelah lima belas menit lagi kami bergelut dengan sarapan, akhirnya kami berdiri, siap melanjutkan perjalanan dengan s*****a yang juga sama siapnya. Kami berempat mulai berjalan bersama. Sudah siap dengan apa pun hal yang akan menghadang perjalanan kami di depan nanti.
Setelah dua jam berjalan ke arah timur, kami menemukan sungai yang terletak tepat di depan kami, hanya berjarak beberapa meter saja dari tempat kami berdiri.
"Ini benar arah timur, Mey?" tanya Adara yang tampak gusar dengan sungai yang ada di depannya.
Meysha mengangguk. "Iya, dan kita harus menyebrangi sungai itu untuk terus lanjut."
Kendra terlihat terkejut. "Menyeberangi sungai? Serius?"
Dengan penuh keraguan, kami terus melangkah mendekati sungai itu. Dan ternyata aliran sungai ini cukup deras, juga ada bebatuan besar di sana. Angin dengan kencang menerpa wajah kami, membuat rambut kami berterbangan, menghalangi pandangan.
"Ke arah timur, kita harus tetap lurus. Yang berarti menyebrangi sungai ini, untuk tiba di daratan sana," ucap Meysha.
"Apa kita memutar saja?" tanya Adara
Meysha menggeleng. "Terlalu jauh dan akan sulit lagi untuk mencari arah timur yang sesuai."
Adara menghela napas, Kendra langsung merangkulnya, memberi ketenangan. Sepertinya Adara gugup sekali dengan sungai yang ada di depan kami.
"Sepertinya kita bisa gunakan batu-batu itu sebagai pijakan. Berarti kita perlu kerja sama yang kuat," gue memberi saran.
"Ide bagus," sahut Kendra.
"Berarti gini, Kendra duluan, setelah itu Adara, Meysha dan gue. Kendra jaga di depan, gue jaga di belakang," usul gue.
Kendra mengangguk setuju. Begitu juga dengan Meysha dan Adara.
Sebelumnya, Adara dan Meysha terlihat mengikat rambut mereka ke belakang terlebih dahulu. Sepertinya supaya rambut mereka tidak terbang dan menghalangi pandangan.
Kendra melompat menuju batu pertama, merentangkan tangan, supaya tetap seimbang, lalu melangkah menuju batu selanjutnya, yang jaraknya dekat dengan batu yang baru saja ia pijak. Adara menyusul dan langsung berpegangan erat dengan Kendra. Kendra langsung melangkah menuju batu selanjutnya, Adara menyusul.
Meysha melompat menuju batu pertama dan berpegangan dengan Adara supaya jauh lebih seimbang, lalu bergerak ke batu selanjutnya. Gue menyusul mereka, melompat ke batu pertama, menyambut tangan Meysha yang terulur. Lalu masing-masing dari kami berjalan menyusuri sungai yang cukup besar ini. Sesekali Meysha menoleh ke belakang.
Kami sudah setengah perjalanan, sebelum akhirnya, Adara terpeleset dan jatuh. Membuat kami semua panik tiada kira. Kendra termasuk yang paling panik dan khawatir akan kejadian itu.
***