[Ray Dhanadyaksa]
Kami berempat melangkah menuju timur. Adara juga membawa kompas, jadi yang membawa kompas bukan hanya Meysha. Tapi, kompas yang kali ini kami gunakan adalah kompas milik Meysha. Kompas milik Adara kami jadikan cadangan, jika terjadi hal buruk dengan kompas Meysha.
Banyak warga yang memerhatikan kami dengan tatapan aneh, penuh selidik. Namun, berhasil kami hiraukan. Kami berniat untuk mampir sebentar ke rumah Mbok Yu, untuk pamit. Bagaimanapun juga, Mbok Yu sudah membantu kami dengan memberikan petunjuk walaupun dengan teka-teki yang rumit.
"Kalian semua dapat izin untuk pergi, kan?" Kendra bertanya, membuka pembicaraan.
"Kecuali gue."
Langkah kami berempat terhenti. Gue menatap Meysha yang berdiri di samping gue. Begitu pun juga dengan Kendra dan Adara.
"Kan orang tua gue lagi pergi. Gue telepon nggak diangkat, ya udah, gue tinggalin surat aja di rumah. Semoga mereka bisa mengerti, deh."
"Itu artinya sama aja lu belum dapat izin, Mey," ucap Adara pelan.
"Apa kita tunda aja pencarian obat hyrexinnya sampai orang tua Meysha pulang dan dia dapat izin?" Kendra memberi usul.
Gue sedari tadi hanya diam. Tidak tahu mau bicara apa. Pikiran gue masih berada saat gue melihat Gabriel dengan sengaja memasukkan kertas yang dilipat kecil ke saku jaket Meysha. Rasanya, ingin sekali gue ambil dan baca surat itu diam-diam. Tetapi tidak sopan, itu privasi Gabriel dan Meysha.
"Jangan dong. Jangan ditunda, gue udah pernah bahas hal ini sebelumnya sama Ibu. Dan Ibu gue setuju-setuju aja, asal gue bisa pulang dengan selamat."
Gue mengerutkan alis. "Lo nggak lagi bohong kan, Mey?"
Meysha menatap gue. "Nggak, gue nggak bohong. Gue serius."
Tapi gue tetap beranggapan kalau Meysha sedang berbohong. Sepertinya, Meysha memang sudah terobsesi akan kesembuhan Gabriel. Gue nggak tahu hal ini akan berakibat baik atau buruk.
"Apapun resiko dari ucapan tadi, lo siap tanggung kan, Mey?" tanya Kendra serius.
Meysha langsung mengangguk kuat-kuat. "Iya."
"Kita jadi ke rumah Mbok Yu?" tanya Adara.
Gue mengangguk. "Jadi."
"Berarti kita ubah arah dong," tambah Kendra.
Meysha yang sedang fokus dengan kompasnya menggeleng. "Rumah Mbok Yu searah dengan arah mata angin yang ingin kita tuju."
"Syukurlah," lega Kendra.
"Eh, sebentar. Memangnya arah timur itu dimulai dari sini? Kita tidak tahu tepatnya itu dimulai dari mana, kan?" komentar gue.
"Eh, benar juga, ya," balas Meysha.
"Terus gimana?" Adara bertanya.
Kendra berkata, "Hmm, kita tanya Mbok Yu aja kali ya, mungkin dia tahu jawabannya."
"Nah, semoga Mbok Yu tahu jawabannya, deh," ucap gue setuju.
Lalu, kami melanjutkan langkah menuju rumah Mbok Yu, yang sudah tidak jauh lagi.
Kami melihat Mbok Yu, Bu Wina dan Dimas sedang berdiri di depan teras rumah Mbok Yu. Mereka semua tersenyum senang menatap kehadiran kami.
"Sudah Ibu duga kalau kalian pasti mampir ke sini dulu sebelum pergi untuk memulai," ucap Bu Wina bahagia.
Kami berempat hanya tersenyum kikuk.
"Semoga kalian berhasil, ya," ujar Dimas penuh harapan.
"Saran dari Mbok, kalian terus berjalan ke arah timur, sampai kalian menemukan sesuatu yang sesuai dengan teka-teki itu. Tetap fokus, jangan sampai kalian sudah bertemu dengan sesuatu yang dimaksud teka-teki itu, tapi malah kalian hiraukan."
Kendra berdeham sambil melirik gue. Oke, gue mengerti. "Maaf Mbok, kami mau bertanya satu hal lagi."
"Silakan, selagi Mbok tahu jawabannya, maka akan Mbok bantu."
"Gini, Mbok, kami berempat bingung, dari mana lokasi awal perjalanan kami menuju timur itu di mulai."
"Oalah, memangnya itu tidak dijelaskan di petunjuk?" tanya Bu Wina.
Meysha menggeleng. "Tidak ada, Bu."
Mbok Yu terdiam sebentar. Terlihat memikirkan sesuatu. Setelahnya, ia menatap gue. "Karena semua ini berkaitan dengan Desa Tiwa, mungkin perjalanan kalian menuju arah timur dimulai dari gerbang Desa Tiwa."
Kami berempat saling tatap sambil memasang raut bahagia.
Gue mengangguk sopan. "Baik, Mbok. Terima kasih atas jawabannya."
Kendra mengangkat tangan. "Maaf, Mbok, saya mau bertanya."
Gue menatap Kendra bingung. Dia ingin bertanya apa? Bukankah pertanyaan kami berempat sudah terjawab?
"Iya, Kendra?"
"Apa ketika kami berhasil menemukan obat hyrexin, itu berarti kami bisa menghentikan kekacauan di Desa Tiwa yang disebabkan oleh daun hyrex? Sesuai dengan isi ramalan."
Mbok Yu dan Bu Wina terdiam seketika. Mereka terlihat sedang bergulat dengan isi kepala masing-masing. Gue pun begitu. Entah kenapa, hal yang Kendra sampaikan tidak pernah terlintas di pikiran gue.
Sepersekian detik sesudahnya, Bu Wina berucap, "Sepertinya belum. Menurut Ibu, daun hyrex hanya permulaan dari kekacauan yang dimaksud ramalan. Tetapi, bisa juga daun hyrex kekacauan yang dimaksud ramalan. Itu semua masih terlalu abu-abu untuk dijelaskan."
"Tetapi jika kalian berhasil menemukan obat hyrexin, hal itu akan menjadi lebih mudah untuk diterangkan," sambung Mbok Yu.
"Kenapa begitu?" tanya Kendra.
Bu Wina yang menjawab, "Dengan ditemukannya penawar hyrexin, Ibu dan Mbok Yu bisa meneliti sedikit bagian dari obat itu. Dan semoga kita bisa menemukan jawabannya."
"Maaf, Mbok, dengan mengambil sedikit bagian dari obat hyrexin apa itu tidak berpengaruh pada proses penyembuhannya?" tanya Meysha terdengar penasaran sekali.
Mbok Yu tersenyum. "Tenang saja, Mey. Gabriel tetap bisa sembuh walau kami meneliti secuil bagian obat hyrexin."
Adara yang sedari tadi diam ikut bersuara, "Maaf, Mbok bisa tahu hal itu dari mana? Bisa saja obat hyrexin yang kami temukan semuanya harus diminum oleh satu orang saja. Kalau tidak diminum semua, efeknya tidak akan sempurna."
Astaga. Bisa-bisanya Adara terlihat tidak percaya dengan perkataan Mbok Yu dan Bu Wina.
"Daripada kalian berdebat dengan hal ini, lebih baik kalian langsung berangkat mencari obat hyrexin. Seperti yang sudah Mbok Yu dan Bu Wina katakan, kita akan mengetahuinya ketika obat hyrexin berhasil kalian temukan. Berharap saja soal dosis yang akan berefek sempurna itu tertera di kertas ajaib kalian," komentar Dimas yang mungkin mulai jengah mendengar percakapan kami.
Gue melihat Mbok Yu menyenggol lengan Dimas, mungkin menurutnya perkataan Dimas terdengar tidak sopan.
"Baik, saya meminta maaf atas pertanyaan saya yang tadi."
"Tidak apa, Adara. Kami memaklumi. Dan, apa yang dibilang Dimas memang benar adanya. Semua akan terlihat lebih jelas ketika obat hyrexin ditemukan. Kalian harus hati-hati di perjalanan dan jangan lupa saling menjaga, ya? Pulanglah dengan selamat."
"Iya Bu, terima kasih sarannya. Akan kami lakukan semampu kami," ujar Kendra sopan.
Gue mengangguk. "Kalau gitu, kami pamit, ya. Terima kasih untuk semua bantuannya Mbok Yu, Bu Wina, dan Dimas. Dan maaf atas percakapan yang sedikit mengganggu barusan."
"Iya, kami sangat memaklumi," kata Mbok Yu lembut.
"Saya tunggu kabar baik dari kalian," tambah Dimas.
Kami berempat bergantian berjabat tangan dengan Mbok Yu, Bu Wina, dan Dimas.
Setelahnya, kami melanjutkan langkah menuju gerbang Desa Tiwa. Beberapa menit kemudian, kami tiba di tujuan pertama. Meysha melihat kompas dengan serius, lalu ia mengarahkan kami menuju timur. Kami berjalan dengan penuh fokus dan siaga, seperti sosok kesatria, yang telah lama gue idolakan.
Satu jam sudah kami berjalan dari rumah gerbang Desa Tiwa. Kini, kami sudah berada cukup jauh di luar Desa Tiwa. Satu jam berjalan sudah sangat melelahkan, apalagi sekarang langit sudah mulai gelap. Kami harus lebih waspada. Walaupun sudah sejauh ini, kami belum menemukan kendala apa pun. Satu jam awal, berjalan sangat lancar.
"Kita istirahat dulu aja gimana?" Kendra memberi usul.
"Gue setuju," Adara dengan cepat berucap.
Setelah gue perhatikan, sepertinya Kendra sengaja mengusulkan itu demi Adara yang wajahnya sudah lesu.
"Iya udah, kita istirahat di sana aja," ujar gue sambil menunjuk tempat di bawah pohon yang cukup besar. Walau di sekitar kami memang pepohonan semua, tetapi setidaknya tempat yang gue tunjuk tadi terlihat aman dan nyaman untuk beristirahat.
Meysha mengangguk setuju.
Sepanjang perjalanan satu jam ini, kondisi fisik Meysha bisa dibilang masih paling oke di antara gue, Adara dan Kendra. Ia masih terlihat semangat, sama sekali tidak terlihat mengeluh sepanjang perjalanan. Di antara kami tidak ada yang terlalu terlihat mengeluh memang, tapi dari penilaian gue, Meysha yang masih terlihat sangat bugar, seakan semangatnya tidak pernah padam karena apa pun, selalu panas membara.
Kami berempat duduk di bawah pohon rindang yang gue maksud. Adara langsung mengeluarkan botol air yang ia bawa, lalu menenggaknya, terlihat sekali ia sangat kehausan.
"Untuk menghemat perbekalan, bagaimana kalau kita bergilir minum dari botol satu orang. Karena pertama yang membuka botol minumnya adalah Adara, berarti kita minum air dari botol Adara, sampai airnya habis, lalu bergantian setelahnya. Gimana?" gue memberi usul.
Meysha mengangguk. "Setuju. Begitu pun juga dengan bekal makanannya. Supaya bisa hemat. Karena dengan saling berbagi, kita tidak akan rakus memakan bekal yang dibawa."
"Kalau kalian setuju, gue juga setuju," tambah Kendra.
Adara tersenyum. "Ide bagus." Lalu ia menyerahkan botol minumnya kepada Kendra. "Bergilir, kan?"
Iya, gue paham. Pertama-tama yang paling utama adalah sang kekasih hati.
Gue dan Meysha hanya saling tatap dan mengulum senyum.
Gue meminum setelah Meysha. Hanya dua tenggak. Setelahnya, memberikan botol itu kembali kepada Adara.
"Lanjut lagi, yuk!" ajak Meysha.
Gue mengangguk setuju.
Kendra menatap Adara. "Udah nggak apa, kan?"
Dibalas tatapan bingung Adara. "Aku dari tadi emang nggak kenapa-napa kok."
Gue terkekeh.
Kendra berdiri dan mengulurkan tangan untuk Adara yang langsung ia sambut dengan senang hati.
Gue juga ikut berdiri dan melakukan persis seperti yang dilakukan Kendra kepada Adara. Meysha tersenyum sepintas dan membalas uluran tangan gue. Syukurlah.
Meysha memerhatikan kompasnya sekali lagi. Lalu dengan yakin menunjukkan arah timur kepada kami. Setelahnya, kami mulai berjalan ke arah yang ditunjuk Meysha. Semoga kami bisa dengan cepat menemukan sesuatu yang dimaksud teka-teki itu.
Entahlah apa yang terjadi setelah sekitar tiga puluh menit berjalan. Kini, kami berjalan dua-dua. Gue dan Meysha berjalan paling depan. Sedangkan Kendra dan Adara di belakang. Sesekali gue menoleh, memastikan bahwa pasangan itu masih mengikuti gue dan Meysha.
"Kendra dan Adara serasi, ya?" ujar Meysha.
Gue mengangguk. Lalu, mencari senter di dalam tas. Karena hari sudah gelap. Begitu pun dengan Meysha, ternyata persiapannya yang gue lihat sejauh ini cukup matang untuk mencari obat hyrexin demi Gabriel.
Gue dan Meysha menengok ke belakang dan ternyata Kendra serta Adara sudah siap dengan senternya. Sepertinya tidak ada tanda-tanda kalau Kendra dan Adara mau menyamakan langkah dengan gue dan Meysha. Pasti mereka ingin menghabiskan waktu di perjalanan ini, berdua. Tidak salah, sih. Tapi kan, gue iri. Gue juga harus mengajak ngobrol Meysha. "Mey."
Meysha menoleh. "Ya?"
"Menurut lo, sesuatu yang tinggi dan sulit dijangkau itu apa?"
Dia mengangkat bahu. "Gue belum ada bayangan tentang itu."
Berarti sama.
"Tapi Mey. Kan teka-tekinya itu sesuatu yang tinggi dan sulit dijangkau, untuk menjangkau itu, kalian harus bekerja sama. Berarti itu menunjukkan tentang sebuah tempat. Ya nggak, sih?"
"Setuju," kata Kendra tiba-tiba yang sudah berada di samping gue.
Bentar, sejak kapan dia berada di samping gue? Dan Adara juga sudah berada di samping Meysha. Posisi kami sekarang, Adara, Meysha, gue dan Kendra.
"Apa, ya, kira-kira?" monolog Meysha.
Kami berempat kembali terdiam, namun terus melangkah. Meysha sesekali melihat kompasnya, memastikan arah yang kami tuju benar. Dua jam sudah kami terus melangkah tanpa henti. Sesekali mengobrol untuk menghilangkan rasa penat. Gue sadar, kini kami semua sudah lelah. Dan harus segera beristirahat.
"Kita berhenti dulu aja, gimana?" saran gue.
Mereka mengangguk dan langsung berhenti saat ini juga, dan terduduk di tempat gue mengucapkan kalimat itu. Adara mengeluarkan botol minumnya, kami minum secara bergilir lagi.
"Kita mau makan bekal siapa dulu?" Kendra bertanya.
Gue menutup botol Meysha. "Bekal gue aja, gue bawa buah, banyak banget."
"Boleh tuh," tambah Adara.
Setelah memberikan botol minum kembali kepada Adara, gue langsung membuka tas. Dan mengeluarkan empat macam buah-buahan, yaitu apel, pisang, dua buah jambu berwarna merah dan lima buah anggur.
"Tenang, buah-buahannya sudah dijamin bersih, semuanya higienis, jadi kita nggak perlu buang air untuk mencuci ini lagi." Gue melanjutkan, "Oh iya, satu orang dari kita hanya mengambil dua macam buah. Kecuali jika orang itu mau berbagi, nggak masalah."
Mereka semua mengangguk.
Adara mengambil buah apel dan pisang. Kendra mengambil dua buah anggur dan jambu. Meysha mengambil buah jambu dan apel. Gue mengambil sisanya, buah pisang dan tiga buah anggur. Kami makan dalam hening.
"Kita lanjut lagi atau langsung istirahat tidur?" tanya Meysha.
Adara mengangkat bahu. "Gue ikut aja."
"Gimana, Ray?" tanya Kendra.
Dan mereka bertiga menatap gue. Lah, kenapa mereka malah meminta pendapat gue? "Kenapa gue?" bingung gue sambil menunjuk diri sendiri.
Meysha terkekeh. "Karena kami percaya sama keputusan yang lo ambil, Ray."
"Ibaratnya, lo itu pemimpin kami," tambah Kendra.
Gue menaikkan kedua alis. "Aduh, jadi nggak enak gue."
"Santai aja, Ray. Walaupun lo nyebelin, tapi keputusan yang lo ambil selalu masuk akal," Adara menanggapi.
Gue tersenyum. "Ya udah, kita lanjut jalan lagi. Sebentar. Sekitar satu jam mungkin? Baru setelah itu kita istirahat, tidur. Dan jaga bergantian. Gimana?"
Mereka bertiga mengangguk.
Setelah buah yang kami makan sudah habis semua, kami melanjutkan perjalanan kembali. Kami berjalan sambil menyorotkan cahaya senter ke depan, dengan tetap fokus dan bersiaga. Hari sudah malam, suasana hutan pun sekarang sudah sedikit menyeramkan. Kami berjalan berempat, saling rapat, sekaligus saling menjaga.
Sesekali kami melihat beberapa cahaya kecil yang terbang melintas, itu kunang-kunang. Angin malam sudah mulai terasa, gue yang tidak memakai jaket merasa sedikit kedinginan. Beberapa kali suara jangkrik menemani langkah kami, sebelum akhirnya hilang ditelan jarak. Dan muncul lagi, hilang lagi, begitu seterusnya.
Kami juga melihat beberapa kelelawar terbang melintas. Namun tidak terlihat berbahaya, mereka hanya sekadar lewat. Ranting pohon yang panjang seringkali menjadi halangan langkah kami. Begitu juga dengan tanah tidak rata yang kami pijak. Meysha bahkan sempat hampir terjatuh, kalau Adara yang di sampingnya tidak sigap menahannya.
Di sekeliling kami banyak pohon pinus yang tumbuh jauh lebih rapat dari yang sebelumnya. Membuat kami sedikit kesulitan dalam melangkah. Sambil berjalan, Meysha tetap berulang kali mengecek kompasnya, supaya kami tidak salah arah.
Sudah cukup lama kami berjalan. Dan beberapa hewan yang memang aktif di malam hari lebih sering terlihat. Pohon pinus yang tadi tumbuh rapat pun kini sudah terlihat menciptakan jarak, sehingga memudahkan kami untuk kami melangkah.
Dan anehnya, gue menjadi lebih sering nengok ke belakang, gue merasa seperti ada yang mengikuti langkah kami. Namun gue tidak menemukan siapa pun di belakang.
"Kenapa, Ray?" tanya Kendra yang menyadari tingkah aneh gue.
"Hmm, nggak, nggak kenapa-napa." Gue memilih berbohong, gue tidak ingin membuat yang lain cemas. Bisa jadi ini cuma perasaan gue saja, kan?
***