[Ray Dhanadyaksa]
Kami berlima sedang berkumpul, beristirahat dari kegiatan bela diri yang cukup melelahkan. Sekarang sudah mulai gelap.
"Saya sarankan kalian berangkat sekitar siang menjelang sore, supaya kalian cukup beristirahat."
Gue mengangguk setuju.
"Enaknya jam berapa, ya?" Kendra bertanya.
"Jam dua atau tiga siang, gimana?" Meysha memberi pendapat.
"Boleh, tuh," tambah Adara.
Gue meminum air putih dalam botol. "Jam segitu juga udah nggak begitu panas biasanya."
"Berarti jam dua siang, nih?" Kendra bertanya memastikan.
Meysha mengangguk. "Iya, sekitar jam dua. Eh, kita mau ke rumah Gabriel dulu, kan?"
"Harus dong, kan dia yang minta seperti itu," ujar Adara.
Gue melanjutkan. "Berarti kita ke rumah Gabriel jam dua siang, berangkat dari rumah Gabriel sekitar jam tiga kurang, gimana?"
Mereka semua mengangguk setuju.
"Orang tua kalian sudah tahu soal ini?" Dimas bertanya.
Membuat gue diam mematung. Gue sama sekali belum meminta izin atau membicarakan hal ini kepada Ibu. Tadi pagi-pagi saja gue langsung dipaksa keluar oleh Meysha.
Kami berempat menunduk.
"Sebaiknya kalian meminta izin. Supaya perjalanan kalian jauh lebih lancar," Dimas memberi saran.
"Iya Dim, pasti," balas Adara.
Pembahasan ini menjadi hal yang paling gue semogakan saat di rumah. Mudah-mudahan Ibu memberi izin perjalanan ini dengan lapang hati.
"Dim, kami pamit pulang ya. Terima kasih banyak untuk pelajaran singkatnya dan senjatanya," Kendra pamit.
Gue mengangguk. "Terima kasih banyak, Dim."
Kami semua berdiri. Dan berjabat tangan bergantian dengan Dimas. Mengucapkan terima kasih sekali lagi. Ketika bertemu Mbok Yu kami juga mencium tangannya, menunjukkan rasa hormat kami, juga mengucapkan terima kasih.
"Semoga kalian berhasil, ya!"
Kami tersenyum dan mengangguk kepada Mbok Yu.
Semoga kami tidak jadi perhatian di jalan pulang, karena membawa s*****a ini. Gue dan Kendra harus bersikap sebiasa mungkin dengan pedang yang berada di genggaman kami. Juga anak panah yang berada di bahu Meysha dan Adara, serta busur yang juga berada dalam genggaman mereka. Untungnya, hari sudah gelap, jadi di sekitar kami sepi, sehingga tidak ada yang terlalu memerhatikan.
Di sepanjang perjalanan, gue terus memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikan hal yang akan gue lakukan esok. Apa Ibu akan mengizinkan gue? Atau malah menghalangi gue? Kenapa gue tidak memikirkan masalah ini sebelumnya. Gue sama sekali tidak ingin mengecewakan sahabat gue. Tapi gue juga tidak ingin mengecewakan Ibu, orang yang gue sayang.
"Gue duluan, ya." Kendra terlebih dulu berpisah jalan dengan gue, Adara dan Meysha. Kami saling melempar senyum.
Kami melanjutkan jalan dengan penuh keheningan. Mungkin mereka sama seperti gue, sedang menyusun kalimat yang pas untuk izin ke orang tua masing-masing.
"Gue duluan, sampai jumpa besok." Kini Adara yang memisahkan diri dari gue dan Meysha. Kami saling melempar senyum lagi.
Tinggal gue dan Meysha. Sebentar lagi Meysha juga akan berpisah jalan dengan gue.
"Sampai besok ya, Ray," pamitnya sambil menatap gue.
"Sampai besok. Tidur yang nyenyak ya, Mey!"
Dia mengangkat kedua alis sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk. "Lo juga."
Gue mengangguk.
Saat telah memastikan Meysha sudah tidak lagi terlihat. Gue menepuk mulut gue sendiri. Kenapa gue bisa mengatakan itu sih?
Gue melanjutkan langkah dengan ragu. Ibu pasti kaget melihat gue pulang dengan membawa pedang yang sangat mencolok ini. Apa yang Ibu lakukan saat ini, ya?
Menurut gue, pasti Ibu sedang menunggu di luar rumah. Mengingat gue yang tadi pagi pergi begitu saja tanpa pamit kepada Ibu. Walau gue yakin Ibu tahu kalau gue pasti akan bertemu dengan Meysha, Adara, Kendra dan Gabriel. Tapi Ibu pasti cemas menunggu kehadiran gue.
Dan benar saja, Ibu sedang berdiri, mondar-mandir, sambil melipat lengan di d**a, rautnya terlihat cemas. Mata gue dan Ibu bertemu. Raut wajah Ibu yang tadinya cemas berubah menjadi lebih cerah, seolah seluruh beban yang ada di pundak Ibu lepas.
Ibu langsung menghampiri gue, memegang bahu gue. "Kamu kemana aja, Ray? Kok pulangnya malam? Tadi pergi kenapa gak izin dulu ke Ibu?"
Gue tersenyum kikuk.
"Ini apa, Ray?" tanya Ibu bingung sambil mengangkat tangan gue yang menggenggam pedang.
"Ray ceritain di dalam ya, Bu."
Ibu langsung mengangguk setuju dan menggiring bahu gue memasuki rumah.
"Kamu udah makan? Mau Ibu sediain makan?"
Gue menggeleng ramah. "Ray udah makan Bu. Terima kasih."
Ibu mengangguk. "Kamu seharian ini ngapain aja, Ray? Ke mana aja?"
Gue menarik napas, bersiap untuk menceritakan semuanya kepada Ibu. "Ibu tahu kan, kalau Gabriel, sahabat aku, terkena penyakit hyrexin?"
Raut wajah Ibu berubah menjadi murung, ia mengangguk.
"Dan Ray ingin minta izin ke Ibu. Untuk membantu Gabriel."
"Apa pun yang akan kamu lakukan dan itu demi kebaikan, pasti Ibu izinkan, Ray."
"Tapi Bu, Ray, Meysha, Kendra dan Adara ingin membantu Gabriel dengan cara yang paling menjanjikan."
Ibu terdiam. "Maksud kamu?"
"Ray boleh ya, bantu Gabriel dengan mencari obat hyrexin di dalam hutan?"
Ibu terlihat sangat terkejut. "Ibu kira hal itu hanya mitos."
"Nyatanya memang ada, Bu," jawab gue sedikit tidak yakin.
"Terlalu berbahaya, Ray."
Gue menunduk, gue sudah menduga Ibu akan mengatakan hal ini. "Bu, Ray mohon. Ray baru pulang sekarang karena Ray tadi sedang menyiapkan diri untuk hal itu. Ray udah siap Bu. Ray janji, akan kembali ke Desa Tiwa dengan selamat dan membawa serta obat penawar hyrexin."
"Ray, Ibu tahu, rasa solidaritas kalian sangat besar dan tinggi untuk Gabriel. Tapi, Ibu sangat sulit untuk mengizinkan kamu. Ibu khawatir. Kamu anak Ibu satu-satunya Ray, kebanggan Ibu."
"Ayah setuju."
Gue menatap takjub ke arah Ayah yang baru saja tiba di ruang tamu. "Ayah serius?"
"Ayah kagum sama persahabatan kalian."
Ibu berdiri. "Yah, tapi ini terlalu beresiko."
Ayah tersenyum, memandang wajah Ibu, terlihat menenangkan. "Ray sudah besar Bu, Ayah yakin Ray mampu menjaga diri sendiri, juga sahabatnya. Mereka akan saling menjaga. Anggap saja, ini sebagai kegiatan sangat mulia yang Ray lakukan, sebelum ia memutuskan untuk kuliah. Biar dia mendapatkan banyak pelajaran dari perjalanannya. Supaya dia belajar dewasa dari alam."
Gue memandang Ayah dengan sorot penuh kekaguman. Ayah selalu bisa menjelaskan dan memberi pengertian kepada Ibu, sampai Ibu terdiam luluh.
Ibu menatap gue. "Ibu harap kamu penuhi janji kamu, Ray." Setelah itu, Ibu pergi meninggalkan gue dan Ayah berdua.
Gue berdiri, mendekati Ayah. "Maksud Ibu apa, Yah?"
Ayah terkekeh. "Ibu sudah mengizinkan kamu, Ray."
Gue memandang Ayah dengan melotot tak percaya, penuh dengan kegembiraan. "Serius Yah?"
Ayah mengangguk.
Gue tersenyum lebar dan memeluk Ayah penuh kasih sayang dan rasa terima kasih yang tak terhingga. "Terima kasih banyak Yah, udah mah bantu Ray."
Ayah balas memeluk gue. "Ayah selalu bangga dengan kamu, Ray."
Gue mengangguk, melepas pelukan. "Aku temui Ibu dulu ya, Yah."
Ayah membalas dengan menepuk pundak gue.
Gue melangkah menuju dapur, Ibu pasti sedang berada di sana. Dan gue menemukan Ibu sedang duduk di meja makan, sedang menghapus air matanya, yang berkali-kali turun. Hati gue terasa sangat sesak melihat itu.
Gue langsung mendekati Ibu, duduk di sampingnya, menepuk pundaknya. "Ibu kenapa nangis? Kalau Ibu mau Ray nggak berangkat, Ray...."
"Bukan karena itu, sayang," Ibu memotong ucapan gue.
Kami saling tatap.
"Lalu, Ibu kenapa?"
"Ibu hanya baru sadar, bahwa Ray yang selama ini bersama Ibu sudah tumbuh dewasa dan mengagumkan. Ibu bangga sama kamu, Ray, sama sahabat-sahabat kamu juga, karena kalian rela melakukan apapun demi satu sahabatnya yang terbaring lemah. Ibu sangat mengerti dan Ibu bangga dengan kalian. Tali persahabatan kalian sangat kuat. Ibu harap, tali itu tidak pernah putus ya, walau dengan pedang yang kamu punya sekalipun." Ibu terkekeh di akhir kalimat.
Gue ikut terharu mendengar kalimat Ibu. "Ray akan menepati janji Ray. Dan tidak akan mengecewakan Ibu. Terima kasih, Bu." Gue memeluk Ibu setelahnya.
Ibu membalas pelukan gue, sambil mengelus pundak gue sayang, ia masih menangis.
"Ray ke kamar dulu ya, Bu. Mau istirahat."
Ibu mengangguk cepat-cepat. "Iya. Iya. Kamu harus istirahat, mau Ibu buatkan s**u hangat dulu?"
Gue menggeleng. "Ray mau langsung tidur aja, Bu."
Ibu tersenyum. "Selamat malam, Ray. Tidur yang nyenyak."
Gue mengecup singkat pipi Ibu. "Selamat malam juga, Bu." Setelahnya gue bangkit berdiri, beranjak menuju kamar.
Gue membaringkan diri di atas kasur. Membayangkan berbagai macam hal yang mungkin berbahaya, yang akan gue lakukan besok dan beberapa hari ke depan. Gue sudah siap. Tentu saja. Namun, gue mencemaskan hal buruk apabila kami gagal menemukan obat hyrexin. Gue menggelengkan kepala kuat-kuat.
Semuanya akan baik-baik saja dan berjalan lancar Ray, percaya itu.
Gue memejamkan mata, membiarkan diri gue terlelap dalam hening yang menenangkan.
***
Gue membuka mata saat gue merasa atmosfer di sekitar gue terasa panas. Ternyata atmosfer panas ini berasal dari jendela kamar yang telah dibuka. Gue bergerak duduk, memandang jam dinding dan terbelalak. Sekarang sudah pukul sembilan lewat tiga puluh menit? Siang sekali gue bangun.
Gue langsung berdiri, mengambil handuk dan berjalan keluar kamar menuju kamar mandi. Gue melihat Ibu sedang sibuk dengan masakannya di dapur dan Ayah yang sibuk mengganggu Ibu. Mungkin mereka berpikir anak laki-lakinya masih terbuai dalam alam mimpi. Gue terkekeh tanpa suara, lalu melanjutkan berjalan menuju kamar mandi.
Setelah selesai mandi, gue akan berkemas. Gue berpikir barang-barang apa yang setidaknya perlu untuk dibawa, sambil jalan menuju kamar.
"Eh kamu udah bangun, Ray. Baru aja mau Ibu bangunin."
Gue tersenyum.
"Udah berkemas?"
"Belum, Bu."
"Mau Ibu bantu?"
"Boleh, Bu."
"Ayo Ibu bantu. Setelah kamu selesai makan."
"Eh, kita berkemas sekarang saja, Bu. Setelah itu Ray akan makan."
"Baiklah," balas Ibu.
Lalu kami melangkah menuju kamar gue.
Gue meletakkan handuk, sedangkan Ibu langsung membuka lemari, mengambil tas besar di sana.
"Sepertinya kamu hanya perlu membawa dua atau tiga pakaian saja deh Ray. Supaya tidak berat dan merepotkan," Ibu memberi saran.
Gue mengangguk setuju. "Ibu ada ide, untuk barang yang nanti akan sangat dibutuhkan dalam hutan?"
"Senter?"
Gue langsung mengambil senter yang ada di kamar gue dan keluar kamar untuk mengambil senter yang lain. Dan kembali membawa tiga senter. "Ray tinggalin satu senter di rumah aja, nggak apa, kan?"
Ibu tersenyum dan mengangguk.
"Ada lagi nggak, Bu?"
"Korek api."
Gue segera bergerak, namun tertahan. "Korek api di mana ya Bu?"
Ibu terkekeh. "Di lemari dapur. Cari aja, pasti ketemu."
Gue mengangguk dan mulai mencari korek api di tempat yang tadi Ibu sampaikan. Lalu kembali, memberikan dua korek api untuk Ibu kemas.
"Apa lagi?"
Ibu mengambil selimut yang ada di atas kasur. "Ibu rasa, kamu akan memerlukan ini."
Gue menurut. Ada baiknya gue mendengarkan dan melakukan saran Ibu. Karena, feeling seorang Ibu tidak pernah keliru.
"Terus apa lagi?"
"Perbekalan yang sudah Ibu siapkan."
Gue tersenyum dan mendekati Ibu. "Terima kasih banyak, Bu."
Ibu mengangguk. "Kamu periksa lagi aja tas ini. Sekaligus mengingat letak barangnya. Dan siapa tahu ada barang lain yang baru terpikirkan. Kalau sudah, keluar, makan."
"Siap, Bu."
Lalu Ibu melangkah keluar kamar dan menutup pintunya.
Gue duduk di tepi kasur. Tinggal beberapa jam lagi sebelum petualangan besar gue dimulai. Gue membuka tas, melihat isinya yang sudah Ibu tata dengan begitu rapi. Sepertinya ini sudah cukup.
Gue sama sekali tidak pernah berpikir akan melakukan ini. Menjelajah hutan untuk mencari sesuatu yang masih menjadi misteri. Semoga petualangan gue ini dapat memberi banyak pelajaran dan membuat gue jauh lebih dewasa, seperti yang Ayah katakan.
Gue berdiri mengambil kaos hitam lengan panjang di dalam lemari, melepas kaos biasa yang gue pakai, menggantinya dengan kaos hitam lengan panjang tersebut. Gue mengambil tas dan pedang, lalu berjalan keluar kamar.
Di meja makan, sudah duduk Ayah dan Ibu dengan tatapan sendu. Gue tersenyum kikuk kepada mereka berdua. Meletakkan tas dan pedang di kursi samping yang kosong.
"Kamu mau makan apa? Biar Ibu ambilkan."
"Ray ambil sendiri aja, Bu."
Ibu menggeleng, mengambil piring dan berdiri. Meletakkan dua sendok nasi di piring. "Mau ayam?"
Gue mengangguk.
"Pakai sayur, ya. Kamu harus makan yang banyak." Setelah itu, Ibu memberikan piring itu ke gue.
"Terima kasih, Bu. Kalian nggak makan juga?"
"Kami sudah makan, Ray. Kamu saja." Ayah yang menjawab.
Lalu gue mulai makan dengan tenang. Masakan Ibu selalu menjadi favorit gue.
"Tambah, Ray," tawar Ibu saat makanan di piring gue tinggal sedikit.
Gue menggeleng. "Cukup, Bu. Ray sudah kenyang."
Setelahnya, gue melanjutkan makan sampai habis tak bersisa, supaya Ayah dan Ibu senang.
"Kamu berangkat jam berapa, Ray?" Ayah bertanya.
"Mungkin jam tiga sore. Tapi kami juga mau mampir ke rumah Gabriel dulu sebentar."
"Ray, kamu mau bekal apa?"
Sebentar, gue merasa aneh ditanya seperti ini oleh Ibu. Gue merasa seperti anak SD yang ditanya bekal oleh Ibunya untuk makan siang. Tapi, ya sudahlah.
"Buah-buahan aja, Bu. Biar sehat."
"Ya sudah, kamu bawa ini semua aja. Ibu bisa beli lagi nanti."
"Ini terlalu banyak, Bu."
"Perjalanan kamu pasti menyebabkan kamu lelah, jadi perlu banyak energi. Sudah bawa semua saja."
"Tapi nanti Ray berat bawa tasnya, Bu."
Karena, bayangkan saja, buah-buahan di depan gue ini banyak sekali. Mungkin beratnya tiga kilo lebih jika gue bawa semua.
"Sudahlah Bu, biar Ray pilih, buah apa yang ingin ia bawa," lerai Ayah.
Ekspresi Ibu berubah menjadi lesu. "Ya sudah, terserah kamu saja."
Yah, gue jadi merasa tidak enak sekarang.
Gue membuka tas bagian tengah, yang hanya berisi tiga senter. Kini bertambah dengan buah-buahan dan air minum dua liter. Gue memilih memasukkan semua buah-buahan, karena ingin Ibu senang. Dan benar saja, Ibu langsung tersenyum sempurna, melihat gue melakukan itu.
"Permisi, Ray."
Sepertinya itu mereka.
Gue langsung buru-buru memakai tas di punggung. Ayah dan Ibu mendekati gue, mereka memeluk gue bergantian. Gue tersenyum menatap mereka.
"Ray sayang kalian."
Setelah itu, gue mengambil pedang dan berjalan menuju pintu depan. Gue membuka pintu dan melihat Meysha yang terlihat cantik berdiri di depan gue. Poni depannya ia ikat ke belakang, ia memakai jaket dan scarf berwarna jingga. Tak lupa dengan anak panah di bahu kirinya dan busur di genggamannya. Ia tersenyum cerah menatap gue.
"Sudah siap, Ray?"
Gue mengangguk.
Ayah dan Ibu sekarang berada di belakang gue. Tersenyum menyapa Meysha.
"Kalian hati-hati. Semoga berhasil," ujar Ayah.
"Kendra dan Adara mana?" tanya Ibu yang memang mengetahui bahwa gue akan pergi bersama mereka.
"Mungkin mereka sudah di rumah Gabriel, Bu," Meysha menjawab sopan.
Ibu mengangguk mengerti.
Gue berbalik menatap Ibu dan Ayah, berpamitan, mencium tangan mereka bergantian. "Ray pamit ya, Yah, Bu."
Meysha juga ikut berpamitan, mencium tangan Ibu dan Ayah. "Meysha juga pamit."
"Hati-hati," ucap Ibu terdengar parau.
Gue dan Meysha saling tatap, tersenyum dan mengangguk.
Lalu kami berdua berjalan menuju rumah Gabriel.
Di jalan, gue memakai ikat pinggang khusus untuk meletakkan pegang di samping kanannya. Setelah selesai, gue memasukkan pedang di sana.
"Kira-kira sesuatu yang tinggi di timur apa, ya?" tanya Meysha.
Gue baru ingat. "Mey, gue lupa bawa kompas."
Meysha menatap gue tenang, merogoh sakunya. "Gue ada kok, Ray," ucapnya sambil mengangkat kompas tersebut.
Gue terkekeh. "Lagian gue juga nggak ingat punya kompas sih, Mey."
Dia ikut terkekeh dan menggeleng heran.
Pintu rumah Gabriel terbuka begitu kami sampai. Tanpa ragu, kami memasukinya. Dan terlihat Adara yang sedang menahan tangis di ruang tamu, juga Zanna yang menangis. Sedangkan Kendra, ia berusaha menenangkan Adara dan Zanna.
"Ada apa?" tanya Meysha tanpa basa-basi.
"Terbawa suasana," jawab Kendra. "Kalian langsung masuk saja ke kamar Gabriel. Nanti kami nyusul."
Gue mengangguk, bersama Meysha, kami melangkah menuju kamar Gabriel. Di sana, terlihat Gabriel yang sedang duduk sambil menatap kami.
Gue tersenyum, kondisi Gabriel sangat tidak terlihat baik-baik saja. Dengan ini, gue semakin yakin dengan keputusan yang gue ambil.
"Riel, bertahan ya," ujar Meysha.
Gabriel hanya tersenyum.
Gue tersenyum. "Kami janji akan kembali dengan selamat, jika lo mampu bertahan dengan sekuat tenaga."
"Seharusnya kalian tidak perlu melakukan ini, gue hanya ingin bersama kalian sampai akhir hidup gue."
Gue dan Meysha kompak menggeleng.
"Jangan ngomong begitu, Riel," ucap Meysha sendu.
Gue menghela napas. "Riel, kita akan sama-sama dengan keadaan yang jauh lebih baik, dengan keadaan yang membahagiakan bagi kita semua. Trust me, okay?"
Kendra, Adara dan Zanna menyusul, berdiri di sebelah gue.
"Gue sangat setuju dengan apa yang Ray bilang," ujar Adara yakin.
"Kami semua setuju dan percaya hal itu akan menjadi kenyataan. Lo juga harus percaya Riel," tambah Kendra.
Gabriel memandang kami satu per satu, ia tersenyum. "Iya, gue percaya."
Kami saling tersenyum.
"Semoga kalian berhasil," ujar Gabriel.
Kami berempat mengangguk. Lalu, memeluk Gabriel bergantian. Gue yang berada di belakang Meysha, melihat Gabriel dengan sengaja memasukkan lipatan kertas kecil ke saku jaket Meysha. Perasaan gue mendadak menjadi tidak enak.
Gue dan Gabriel saling melempar senyum dan berpelukan.
"Kendra pasti akan menjaga Adara semampunya. Maka, gue titip Meysha ke lo, Ray. Jaga dia."
"Pasti, tanpa lo suruh pun, gue akan menjaga Meysha, juga Adara jika Kendra sedang lengah. Kami akan saling menjaga. Gue tidak akan membiarkan salah satu di antara kami terluka tanpa bantuan sedikit pun."
Kami melepas pelukan.
"Hati-hati dan pulanglah dengan selamat," pesan Gabriel
Kami berempat mengangguk.
"Lo jaga diri baik-baik ya, Riel, bertahan. Sampai kami pulang," ucap Kendra.
Gabriel mengangguk. "Gue akan berusaha."
Lalu, kami berlima keluar dari kamar Gabriel. Di depan pintu, kami berpamitan dengan Zanna. Adara dan Meysha sempat berpelukan lama dengan Zanna.
Gue menepuk pundak Zanna. "Jaga Gabriel. Gue yakin lo kuat dan mampu untuk tidak bersedih di depannya."
Zanna mengangguk dan tersenyum. "Kalian hati-hati."
Kami mengangguk.
"Pamit ya, Zan," ujar Kendra.
Lalu, kami berempat melangkah, meninggalkan rumah Gabriel, yang sebentar lagi mungkin, kami akan meninggalkan Desa Tiwa.
Petualangan besar sudah dimulai.
***