CHAPTER XXX | Insiden

2054 Kata
[Ray Dhanadyaksa] "DARA!" teriak Kendra panik Sedangkan Adara dengan perlahan terbawa arus sungai yang cukup deras ini. Kepalanya pun sempat terbentur bebatuan. Sangat mengerikan. Tanpa pikir panjang, Kendra langsung menjatuhkan diri ke sungai yang cukup dalam ini, berenang mengejar Adara yang belum terlalu jauh terbawa arus dengan kondisi pingsan. "Kita harus ngapai, Ray?" tanya Meysha sama paniknya dengan Kendra. "Kita lanjut ke daratan aja, di sana kita siapin bantuan untuk Adara. Api unggun mungkin? Supaya ia bisa menghangatkan tubuh." Meysha mengangguk patuh, lalu melanjutkan langkah dengan sangat pelan dan hati-hati. "Kendra! Gue sama Meysha lanjut jalan, ya! Nanti kita bantu di daratan, oke?!" gue berteriak, berharap Kendra mendengar. Gue yakin Kendra bisa menyelamatkan Adara. Sambil berjalan, gue melihat Kendra yang berenang dengan sangat lincah, menghindari batu untuk mencapai Adara yang semakin jauh dari dirinya. Kendra pasti bisa. Tas di punggungnya pasti menghambat laju renang Kendra, tapi dia tidak boleh melepaskan tas itu. Tas dia penting untuk kami semua. Namun benar saja, ia melepas tas itu dan melanjutkan berenang mengejar Adara. Baiklah, Adara jauh lebih penting daripada tas. Sedikit lagi gue dan Meysha sampai di daratan. Dari sini, gue melihat tubuh Adara yang pingsan terhenti karena batu yang menghadang laju tubuhnya yang terbawa arus. Gue tersenyum lega, hal ini pasti lebih memudahkan Kendra untuk menolong Adara. Meysha sudah sampai di daratan, gue menyusul beberapa detik setelahnya. "Mey, bantu gue cari kayu ya!" ujar gue. Meysha mengangguk, dan kami pun mulai mencari kayu di sisi hutan yang bersebrangan dengan hutan sebelumnya. Setelah kami mendapat kayu yang sekiranya cukup untuk menghangatkan tubuh Adara. Kami dengan cepat menyusunnya, membuat api unggun. Pekerjaan kami jauh lebih mudah karena gue membawa korek api. Ibu, terima kasih banyak telah mengusulkan Ray membawa korek api! Kami berdiri di tepi sungai, melihat Kendra dengan susah payah membawa Adara ke tempat kami berada. Gue melihat tas Kendra berada tak jauh dari tempat gue berdiri dan di sana juga ada tas milik Adara. "Mey, nanti lo bantu Kendra. Gue mau ke sana dulu." Raut Meysha berubah bingung saat gue mengatakan ingin pergi, namun langsung berubah karena ia mengerti apa yang akan gue lakukan, ia mengangguk. Gue berlari ke arah kiri, melompati dua batu dan sampai ke tempat tas Kendra tertambat, melompati satu batu lagi untuk mengambil tas Adara. Setelah itu dengan satu tas di punggung dan satu tas yang gue pegang, gue melangkah kembali menghampiri Kendra, Adara dan Meysha. Mereka terlihat cemas karena Adara tak kunjung sadarkan diri. Gue melihat memar di kepala Adara saat telah berada di antara mereka. "Mey, lebih baik lo tolong Adara ganti baju dulu aja, sepertinya dia kedinginan. Siapa tahu saat suhu badannya sudah hangat, ia kembali sadar." Gue meletakkan tas Kendra dan Adara. "Cari baju Adara yang masih kering di sini, kalau sekiranya nggak ada, pakai baju lo dulu nggak apa, kan?" Meysha mengangguk dan membuka tas Adara mencari baju kering di dalamnya. "Lo juga Ken, ganti baju, cari baju yang kering. Kalau nggak ada, bisa pakai baju gue." Kendra dengan sangat lesu mencari baju kering di dalam tasnya. Gue mengerti perasaan Kendra, ia pasti khawatir akan Adara yang tak kunjung sadarkan diri. "Gue pinjam baju lo, Ray," ucapnya masih sama lesunya. "Baju Adara juga basah semua. Jadi pakai baju gue aja," ujar Meysha menimpali. Gue mengangguk dan membuka tas memberikan baju serta celana ke Kendra yang langsung ia terima. "Lo ganti bajunya di sana aja. Gue temani," ucap gue kepada Kendra. Kendra mengangguk mengerti, lalu kami berjalan menjauh dari Meysha dan Adara, memberi ruang kepada mereka. Gue duduk di tempat yang lumayan jauh dari Adara dan Meysha. Di depan gue ada Kendra yang sedang berganti pakaian, membelakangi gue. Gue menunduk, menatap tanah. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk lain yang akan terjadi. Tetapi mau bagaimana lagi, kami sudah memutuskan ini, siap tidak siap kami harus siap menghadapi masalah di depan. "Ray, gue cemas sama Adara." Gue menoleh, ternyata Kendra sudah duduk di samping gue dengan memakai pakaian milik gue. "Adara baik-baik saja. Percaya sama gue. Lo harus yakin, kan lo udah berhasil menyelamatkan dia." Kendra menunduk. "Gue tadi takut banget, Ray." "Gue mengerti, kok. Itu wajar, karena Adara perempuan yang sangat lo sayang." "Sekarang Adara udah sadar belum, ya?" "Yang jadi pertanyaan utama sekarang adalah, apakah Meysha sudah selesai mengganti pakaian Adara? Supaya kita bisa melihat langsung keadaannya." Dia terkekeh. "Benar juga." "Ray, apa menurut lo yang kita lakukan sekarang ini sudah benar?" Gue mengernyitkan alis. "Maksud lo?" Dia mengangkat bahu. "Gue menjadi sedikit ragu dengan perjalanan ini." "Karena kejadian yang menimpa Adara tadi?" Dia mengangguk. "Saat itu gue benar-benar takut, Ray. Gue nggak mau kehilangan Adara." "Maka, itu menjadi alasan kenapa lo ada di sini, Ken. Menjaga dan membantu Adara, seperti tadi itu. Pikiran perempuan itu berbeda dari pikiran kita, sudah seharusnya kita mencoba mengerti jalan pikiran mereka. Kalau sekiranya gagal untuk mengerti, setidaknya kita ada, menemani mereka. Menjaga mereka dari halangan yang ada, dari setiap hal buruk yang melanda. Untuk membuktikan, bahwa rasa yang lo punya ini tulus, supaya lo dapat membuktikan kepada Adara, lo akan selalu ada di samping dia, apa pun yang terjadi." Kendra tersenyum lebar, menepuk pundak gue. "Lo cocok jadi Ray Tegar." Jujur, gue kaget dengan ucapan Kendra, gue tertawa. "Nanti kalau gue udah buka tempat curhat Ray Tegar, setiap kali lo ada masalah, datang aja ke tempat gue. Tenang, gue kasih harga teman. Oke?" Kendra ikut tertawa. "Meysha udah selesai kali ya?! Kita ke sana yuk," ajak Kendra saat tawanya sudah berhenti. Gue mengangguk, lalu kami berjalan menuju tempat di mana tadi kami meninggalkan Meysha dan Adara berdua. Dari sini, kami melihat Adara sudah duduk bersama Meysha yang sedang memberikan air minum kepada Adara. Gue menoleh, menatap Kendra yang kini raut wajahnya sudah kembali ceria dan tersenyum lembar, seperti wilayah gersang yang tiba-tiba tersiram hujan dan setelah itu menampilkan pelangi. Ia langsung berlari menghampiri Adara. Gue mengikuti dari belakang, tetap dengan langkah yang sama. Adara langsung memeluk Kendra saat Kendra berada di depan matanya. Mereka berpelukan cukup lama. Gue dan Meysha hanya berdiri, memandangi mereka dengan senyum, juga perasaan lega. "Dia baru sadar, atau udah dari lama?" bisik gue. Meysha menoleh. "Beberapa detik sebelum kalian datang." Gue mengangguk. "Keadaannya baik-baik saja, kan?" "Selain memar di keningnya, Adara akan baik-baik aja, kok." "Udah dikasih obat?" "Udah, pokoknya Adara udah aman sekarang. Dia sudah sangat baik-baik aja." Gue menghadap Meysha, memberikan dua jempol kepadanya, sekaligus tersenyum. Dia balas tersenyum dengan begitu indah. "Ray, kita langsung lanjutin perjalanan atau tunggu sampai Adara siap?" "Sampai kondisi Adara siap saja, sepertinya itu pilihan yang terbaik. Kita tunggu tiga puluh menit lagi, ya?" Meysha mengangguk. "Setuju." Kendra dan Adara masih sibuk berbincang-bincang, seolah gue dan Meysha tidak ada di sini. "Kamu baik-baik aja, kan? Maaf, aku nggak bisa jaga kamu dengan baik," kata Kendra menyesal. "Kamu nggak salah kok, Ken. Aku yang harusnya minta maaf karena telah membuat kamu dan kalian panik. Terima kasih semuanya." "Tahu nggak sih, Ra. Dari tadi pas kita di sana, Kendra berkali-kali bilang takut kehilangan lo. Sebenarnya bukan cuma Kendra aja sih, Meysha dan gue juga pasti merasakan hal yang sama." "Benar banget, Ra. Kami sekarang lega banget ketika tahu Kendra berhasil menyelamatkan lo," timpal Meysha. "Kalau gue sih, udah tahu pasti Kendra bisa menyelamatkan Adara. Gue sama sekali nggak meragukan insting penyelamatan Kendra terhadap kekasih hatinya." Kendra terkekeh. "Bisa aja lo, Ray. Tapi itu nggak salah sama sekali, sih." Adara menyenggol lengan Kendra. "Apaan sih, Ken?" "Eh, itu benar, kok." "Iya, deh. Maaf perkataan gue tadi terdapat unsur meragukan insting penyelamatan kekasih hati lo, Ken," ujar Meysha seperti meledek. Kami semua tertawa. "Hmm, Ken, gue sama Ray ke sana dulu, ya. Kalian di sini aja, biar Kendra bisa temani Adara istirahat." Meysha mengambil tangan gue dan langsung menariknya. "Ayo, Ray!" Mau tidak mau, tubuh gue mengikuti Meysha yang tangannya menarik gue. "Mau ke mana, Mey?" "Jangan jauh-jauh lo berdua! Kalau hilang, gue dan Adara yang nanti repot mencari kalian." Meysha menoleh, berteriak, "Iya, tenang aja." Kemudian melanjutkan perkataan yang tertuju untuk gue. "Tadi gue sempat lihat tempat yang bagus banget dan pas untuk melatih sasaran panah gue. Temani gue ya, Ray?" ucapnya sambil terus melangkah. Tanpa diminta, gue akan selalu menemani lo, Mey. Ke mana pun lo pergi, gue akan selalu ada di sisi lo. Karena sebagian besar kebahagiaan gue ada di dalam diri lo, Mey. "Iya, lagian juga gue udah lo tarik," balas gue bertolak belakang dengan suara hati. Meysha terkekeh. "Terima kasih, Ray." Meysha berhenti, melepas tangannya yang tadi sempat menggenggam tangan gue untuk menarik tubuh gue. Di sinilah kami berada, di tempat seperti yang Meysha jelaskan secara singkat kepada gue. Gue baru menyadari, hutan tempat gue berdiri sekarang ini, sangat jauh berbeda dengan hutan yang berada di seberang sungai tadi. Di sini, terdapat banyak bunga yang cantik (namun Meysha tetap jauh lebih cantik), dengan berbagai warna. Rumputnya pun terlihat jauh lebih terawat dari hutan yang sebelumnya. Sungguh hal yang menakjubkan. "Keren ya, Ray, keadaan hutan di sana dengan yang di sini jauh berbeda. Hutan di sini, lebih terlihat seperti taman yang sangat luas. Indah." Dia tersenyum dengan tatapan yang memukau. Gue mengangguk antusias. Apa pun yang membuat Meysha senang, gue juga akan ikut senang dengan hal itu. "Lo mau kelapa?" dia bertanya sambil menunjuk buah kelapa yang tinggi di atas kami. Tunggu, buah kelapa? "Bahkan gue nggak sadar di sini ada buah kelapa." Dia terkekeh. "Ray, lo tuh harus jauh lebih memerhatikan sekitar. Di sekitar kita banyak hal-hal yang indah dan menakjubkan, sayang sekali untuk dilewatkan barang sedetik." Sekarang gue mengerti kenapa gue telat sadar akan keadaan sekitar. Yaitu karena perhatian gue hanya tertuju kepada Meysha seorang. Meysha sudah menjadi pusat dunia gue. Gue ibarat bumi dan Meysha mataharinya. Bumi yang hanya terfokus untuk selalu mengelilingi matahari, salah satu sumber kehidupan terbesar bagi planetnya. "Ray?" Panggilan Meysha berhasil mengalihkan pikiran gue. "Kenapa?" "Kok diam aja? Mau kelapa nggak?" "Tapi anak panah lo aman, kan? Hmm, maksud gue tetap cukup sampai beberapa waktu ke depan, kan? Perjalanan kita masih sangat jauh lo, Mey." "Tenang aja, ini cukup kok. Dan gue punya rencana hanya akan melesatkan tiga anak panah, kalau meleset dan nggak terlalu jauh, bisa diambil lagi. Ya kan?" Gue mengangguk. "Oke, tolong ambilkan gue kelapa." Meysha tersenyum lebar. "Siap kapten," ucapnya sambil meletakkan telapak tangan di tepi dahi. Gue terkekeh dan mengambil jarak dari Meysha, supaya dia bisa fokus. Pohon kelapa yang menjadi target latihan Meysha mempunyai buah kelapa yang sangat banyak. Gue rasa, hal ini cukup memudahkan Meysha. Walaupun jarak pohon kelapa ini sangat tinggi. Meysha terlihat sangat fokus dengan busur panahnya, sepuluh detik setelahnya, ia melepaskan anak panah ke atas, melesat tinggi, namun tidak mengenai buah kelapa satu tandan pun. Dia menarik napas dan mencoba anak panah yang kedua. "Semangat, Mey!" ujar gue. Meysha mengangguk tanpa menatap ke gue, kembali terlihat memfokuskan busur, anak panah dengan buah kelapa yang menjadi target sasarannya. Setelahnya, ia melepaskan anak panah, dan nyaris saja anak panah itu mengenai satu tandan buah kelapa. "Sedikit lagi, Mey!" teriak gue penuh semangat. Kini Meysha terlihat menarik napas dalam-dalam, meregangkan tangan. Ia mengambil anak panah ketiga dari tempat yang berada di punggungnya. Berfokus menjajarkan anak panah dengan target. Kali ini waktu Meysha untuk melepas anak panah cukup lama. Tangannya terlihat sedikit bergetar. Wajah Meysha juga terlihat sangat serius, gue jadi terbawa suasana yang diciptakan Meysha. Dua menit setelahnya, ia melepas anak panah yang melesat dengan sangat cepat dan kini berhasil mengenai satu tandan buah kelapa. Enam buah kelapa jatuh dari pohon. Gue bertepuk tangan ikut senang melihat wajah gembira Meysha. Sebelum akhirnya gue sadar, kalau satu buah kelapa yang sedang jatuh itu, bergerak turun mendekati tempat di mana Meysha berdiri. Dengan gesit gue berlari, menarik paksa tubuh Meysha untuk menjauh. Menyebabkan kami berdua terjatuh. Gue menatap Meysha sekilas dan mendongak, melihat sekitar empat buah kelapa bergerak turun dengan sangat cepat ke arah kami berdua. Gue salah arah menarik tubuh Meysha. Seharusnya gue menarik tubuh Meysha ke tempat yang aman. Bukan ke tempat di mana kami sekarang terjatuh. Saat buah kelapa sudah berjarak sangat dekat dengan kami, gue langsung mendekap tubuh Meysha. Menenggelamkan kepala Meysha ke d**a gue. Mengamankan dia dari buah kelapa yang kini terjatuh mengenai punggung gue. Rasanya cukup sakit, namun menyadari bahwa Meysha baik-baik saja, itu sudah cukup untuk memudarkan rasa sakit itu. Keselamatan Meysha jauh lebih penting dari pada keselamatan diri gue sendiri. Gue berhasil menyelamatkan Meysha dari kecelakaan tak terduga ini. Syukurlah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN