bc

SURGERY OF LOVE

book_age16+
1.1K
IKUTI
9.2K
BACA
arranged marriage
sensitive
self-improved
doctor
twisted
genius
medieval
office/work place
self discover
lonely
like
intro-logo
Uraian

Tentang seberapa besar cinta mampu mengikis luka

.

Tentang seberapa besar ikhlas mampu menciptakan puas

.

Tentang seberapa besar suka mampu menyingsing duka

.

Tentang seberapa besar pilu mampu menumpu rindu

.

Tentang seberapa besar asa mampu menggenggam rasa

.

Tentang seberapa besar candu mampu menikam ragu

.

Tentang seberapa besar harapan mampu obati kehilangan

.

Tentang seberapa besar jiwa mampu merelakan nyawa

.

Surgery of Love

sebelumnya berjudul "Surgical of Love"

.

By NisaAtfiatmico

.

Kisah cinta tak biasa seorang dokter residen bedah. Berjuang merelakan kehilangan. Cinta yang dia perjuangkan hampir delapan tahun harus berakhir perpisahan. Tuhan merampas Shinta dari dunia, tersisalah Hazmi dengan berjuta luka dan trauma. .

Romantis, mistis, sampai konflik psikologis. Disajikan dengan latar dunia kedokteran.

.

.

#psikologistory #sadstory #lovestory #solnisaatfiatmico #odoc #wattpadindo #wattpadtodaysharing #bucinberkelas #baperstory #bukuwattpad #novelindonesia #romance #sedihbanget #bucinstory #baper

chap-preview
Pratinjau gratis
Hadiah atas Kesabaran Kami
Mencintaimu.... Adalah hal terbesar di hidupku Jadi jangan kecewakan aku Memilikimu.... Harta terbesar di dalam hidupku Semoga ini selamanya Bersama Armada - Hal Terbesar .  .  . "Mas, Mas Hazmi." Suara renyah juniorku, Naura, membangunkan aku yang sempat terlelap sejenak di nurse station. "Ponsel Mas kayaknya bunyi deh," lanjutnya memberi informasi. Aku merogoh saku celana jeans hitamku. Memunggut ponsel pintar yang cukup tipis dari dalam sana. Benar saja, ada tiga panggilan tak terjawab dari ayah. "Kok bisa kamu mendengar suara getaran ponselku, sementara aku yang mengantonginya tidak merasakan getaran sama sekali?" tanyaku heran sambil menatapnya sekilas. Pipi putih Naura langsung menyemburkan rona merah. Malu-malu ia menjawab, "Ya aku kan peka. Enggak kayak Mas Hazmi. Hehe!" Beberapa perawat yang ada di sekitar kami langsung kompak menyahuti, "Eaaaaaaa." Gemes banget sama cewek model gini, nih. Berisik, agresif, suka nyindir tapi pandai mencairkan suasana. Bukannya geer, sudah lama aku mendengar gosip berhembus tentang Naura yang kabarnya menaruh rasa padaku. Jadi aku mahfum dengan sikapnya yang malu-malu, tapi nantangin. Mungkin jika aku belum memiliki pacar sesempurna Shinta, pasti sosok Naura yang kuat dan hangat mampu mencuri hatiku. Jarang lho ada PPDS bedah wanita. Langka, atau lebih tepatnya keterbatasan stok, membuat PPDS bedah wanita lumayan diagungkan. Oke, cukup Hazmi, lupakan soal Naura! Jangan memiliki cita-cita mendua. Fokusku kembali ke layar ponsel pintar yang kugengam. Aku mencoba menghubungi balik ayahku. Tidak biasanya ayah menelepon sampai beberapa kali. Aku yakin ada hal penting yang ingin dikatakan. Subhanallah aku mencintainya... Subhanallah aku menyayanginya... Dari ufuk timur hingga ke barat Selalu di hatiku... Kepalaku menggeleng samar saat mendengar nada tunggu panggilan milik ayah. Lagu dari Indah Dewi Pertiwi yang tidak kuketahui judulnya, sukses membuatku menyadari bahwa ayah adalah sosok romantis nan religius. Hahaha, ini menggelitik. Nada tunggu ayah membuatku membayangkan yang iya-iya tentang beliau dan bunda. "Assalamualaikum, Hazmi." "Waalaikumussalam, Yah," jawabku hangat sambil berjalan di koridor rumah sakit. Usai laporan pagi, aku hanya perlu memastikan kondisi pasienku stabil. Barulah bisa ambil liburku dengan perasaan tenang. "Ayah sehat?" "Alhamdulillah sehat, le. Kamu hari ini libur 'kan?" "Lho ayah kok tua, eh kok tau?" candaku menggoda ayah. "Hazmi!" Intonasi Ayah sedikit meninggi. "Kamu itu kapan tobat menggoda Ayah?" "Haha, jangan emosi dulu, Yah. Nanti cepat tua loh." Aku melepas jas putihku, mengapit ponsel ke pundak dengan kepalaku. "Ada apa nih, kok tumben Ayah telepon duluan?" "Ayah ingin mengundang nak Shinta makan malam di rumah. Sekalian membicarakan persiapan pernikahan kalian," jelas Ayah dengan suara khasnya yang sedikit serak. Gerakanku menggantung jas putih ke hanger langsung terhenti. Aku letakkan begitu saja jas berlengan panjang yang merupakan kebangganku di atas meja. Apa aku sedang bermimpi?  Apa ini benar-benar kenyataan?  Apa ayah dengan sadar mengucapkan kalimat barusan? "A-ay... Ayah serius?" tanyaku lemas. Kebahagiaan ini rasanya mustahil. "Inshallah, Hazmi." "Ya, Allah. Ini sungguhan, Yah? Ayah tidak sedang nge-prank 'kan?" "Nge-prank itu opo?" Ayah balik bertanya pakai dialek Jawa Timurnya. Pertanda bahwa beliau mulai kesal. "Ayah, merestui Hazmi dan Shinta? Ta-tapi kenapa, Yah?" Air mata sudah tidak mengenal kata kompromi. Aku dengan perkasa menangis tanpa suara. Kutarik kursi kayu di depan meja ruang PPDS. Untung jam segini sejawatku sibuk dengan pekerjaan dan tugasnya, sehingga ruang ini sepi. Bayangkan bagaimana mereka mem-bully aku jika tahu saat ini aku sedang mewek karena terlalu bahagia. Di seberang sana, ayah juga hening. Beliau diam sejenak sebelum menjawab, "Jadi Nak Shinta belum cerita ke kamu, Le?" "Cerita tentang apa, Yah?" "Satu minggu yang lalu, Shinta didampingi Azizah telah mengucapkan kalimat syahadat. Shinta resmi masuk islam, Hazmi." "Hah, kok bisa?" Kok bisa aku tidak tahu? "Shinta bahkan belajar tentang islam ke Azizah sejak enam bulan yang lalu." Kenapa Shinta tidak pernah cerita apapun padaku? Kak Azizah, kakak iparku memang dekat dengan Shinta. Mereka tidak hanya berteman, tetapi juga bekerja di rumah sakit yang sama. Berkat Kak Azizah pulalah, aku bisa mempertahankan Shinta di sisiku, meski seluruh keluarga besar menentang cinta kami. "Halo, Hazmi?" "Iya, Yah. Hazmi dengar kok." "Ayah cuma mau bilang, kami telah merestui kalian. Ayah sudah yakin bahwa Nak Shinta adalah wanita yang terbaik untukmu, Le." Tawa berselimut haru membuatku nyaris gila. Aku menangis dan tertawa secara bersamaan, sambil berlari sekencang-kencangnya menuju parkiran. Aku harus menemui Shinta. Kami harus secepatnya bicara. *** "Kamu kenapa lihatin aku kayak gitu?" Shinta bertanya tanpa menatapku, fokusnya masih tertuju pada cermin dan tisu basah yang tengah berputar di wajahnya. Dia memutuskan merias wajahnya di mobil supaya tidak telat untuk kunjungan pertama ke rumahku. "Mashaallah, cantiknya calon istriku yang kini sudah berhijab." Aku tak henti kagum menatap Shinta. Shinta tampak menggeleng pelan, ia mengulum senyum manis sebelum memulaskan lipstik merah jambu ke bibirnya. Benar-benar cantik. Apakah bidadari surga telah terlepas ke bumi? Kilau mata hitam beningnya, bagai danau yang menenangkan. Hidung mancung dengan ujung mungil, yang selalu didamba setiap wanita. Senyum polos ketika wajahnya tak tersentuh riasan, seakan menghilang tergantikan aura dewasa. Shinta benar-benar mendorongku untuk berlangganan NSP lagu "Bukti" yang dinyanyikan oleh Virgoun. "Kamu beneran mau nyetir sendiri, Bi?" tanya Shinta ketika aku mulai menyalakan mesin mobil.  Bi, diambil dari Nobita. Panggilan sayang Shinta untukku, soalnya aku dulu sering pakai kacamata mirip Nobita. Karena itu pula aku memanggilnya Sizuka, biar kami berasa syuting Doraemon. Hehe. "Tenang aja, Zu, aku ini driver yang hebat. Jangan ragukan kemampuanku." "Aku cuma khawatir kamu ngantuk setelah jaga malam selama dua hari berturut-turut." Shinta mengusap punggungku pelan. "Aku enggak apa-apa naik taksi, Gocar, atau Grabcar, Bi. Jangan memaksakan diri. Jakarta ke Bogor itu enggak deket lho!" Aku tersenyum, menatapnya yang terlihat lebih bersinar ketika mengkhawatirkanku. Shinta semakin cantik saja. Saat diam, cantik. Saat merajuk, lebih cantik. Dan saat mengkhawatirkanku dengan penuh perhatian-seperti saat ini-semakin cantik. Perjalanan menuju rumah orang tuaku dihiasi perasaan sukacita. Aku tak henti tersenyum dan bersyukur. "Biiiiiiiiiii...." Shinta mengibaskan tangannya di depan mataku. "Kok ngelamun? Udah dong, jangan pandang aku seperti itu. Ngeri tau." "Aku tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apa ke kamu, Zu. Kamu sudah setia di sisiku selama hampir delapan tahun. Kamu mau berjuang bareng aku untuk mendapatkan restu ayah. Kamu bahkan pindah agama, mengikuti jalanku." "Jangan geer kamu, Bi. Aku masuk islam tuh karena Allah, bukan karena kamu." Dia menjulurkan lidahnya diakhiri cengiran halus. Oke, aku tidak akan membahas keyakinannya untuk saat ini, biar kami tidak menjadi canggung. "Ehh, tadi tadi ada insiden nyebelin lho, Bi." Seiring perkataan itu, wajah semringah gadis kesayanganku perlahan berubah muram. "Nyebelin gimana?" tanyaku penuh perhatian. Kami duduk bersebelahan di dalam mobil tanpa alunan musik-mendengar Shinta bercerita lebih menarik ketimbang cuap-cuap penyiar Radio. Tangan kiriku menggenggam erat tangannya. Ia terlihat menggigit bibir merahnya, hidungnya kembang kempis menahan kesal. Shinta menggeleng kesal, pipinya menggembung, bibirnya mengerucut. Persis ikan buntal. "Udah aku jaga sendirian, cuma ditemani adek koass. Pasien bertubi-tubi datang. Sampai kadang yang gawat enggak ketanganin. Eh keluarga pasien pada minta cepet-cepet. Pakai acara bikin video apalah gitu buat menyudutkan kami. Padahal 'kan udah ada aturan dilarang merekam di RS." Aku mengangguk, sebagai respon bahwa aku mengerti kekesalannya. Sudah biasa bagi kami berbagi keluh kesah. Nyaman sekali memiliki pasangan yang seprofesi dengan kita. Sebab apa yang ia keluhkan adalah apa yang sering aku rasakan juga. Jujur saja, kemudahan akses internet membuat pasien maha benar semakin merajalela. Google membuat mereka kaya akan dalih, sehingga seenaknya menyalahkan atau bahkan menghakimi petugas kesehatan, tanpa tahu fakta sebenarnya. "Zu," panggilku lembut. Semakin aku membahas pasien menyebalkan tadi, Shinta hanya akan semakin kesal. Fungsiku di sini hanyalah menjadi pendegar yang baik. "Ya." Shinta menoleh, memperhatikanku dengan serius. "Kenapa kamu ambil spesialis penyakit dalam, Zu?" tanyaku mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Agar kekesalan Shinta sedikit berkurang. "Untuk ngimbangin kamu, Bi." Shinta menjawab mantap. "Mengimbangiku?" Aku bertanya, ia mengangguk dengan bibir kerucut. "Interna mendiagnosis dan mengobati penyakit dalam, dokter bedah membedah dan mengangkat penyakit pada organ dalam. Kita sama-sama main di zona dalam, Nobi." Alisku terangkat tinggi lalu berkata, "Iya, tapi pada kenyataannya dokter bedah dan interna selalu berdebat. Kamu sering lihat, 'kan?" "Sans, Bi. Aku nggak berniat berdebat sama kamu. Malas! Kamu terlalu sabar untuk dijadikan patner debat." Shinta nyengir ketika aku pasang muka bingung bin bloon. Aku tidak tahu harus bahagia atau merasa rendah diri. Terlalu sabar hingga tidak asik dijadikan patner debat, it's me? Suara Shinta melunak. "Kamu harus segera lulus dan jadi dokter bedah yang hebat, menyelamatkan banyak pasien, dan-" "Dan setelah itu kita menikah," potongku cepat, senyumku kian lebar. Shinta balas tersenyum sambil memperhatikan wajahku dari samping. "Ide bagus," sahutnya. "Aku lelah, Bi. Boleh aku istirahat?" Shinta bertanya sambil menyandarkan kepalanya di pundaku. Aku mengelus puncak kepalanya. "Baiklah, istirahat dengan tenang, Zu sayang. Tapi pakai dulu sabuk pengamanmu, ya," kataku lembut sambil mendorong kepalanya dari bahuku. Aku meminta Shinta memakai sabuk pengamannya dan istirahat dengan benar. Namun ia menolak, Shinta tetap menyandarkan kepalanya di bahuku dan tak mengaitkan sabuk pengamannya. "Bi, berjanjilah, kamu harus segera jadi dokter bedah dan menyelamatkan banyak nyawa," kata terakhir Shinta sebelum terlelap dalam tidurnya. Jalanan Jakarta ke Bogor pagi ini tidak terlalu macet, tak banyak kendaraan lalu lalang. Entah kenapa, jalanan senggang ini membuat laju mobilku terburu-buru. Rasa kantuk kembali datang. Kakiku menekan pedal gas semakin dalam agar kami bisa segera sampai. Shinta benar, aku butuh tidur. Mataku sedikit buram, kelopak mataku berkali-kali turun. Bersyukur aku masih bisa melihat arah dengan jelas. Tapi tak cukup awas untuk menyadari truk besar yang tiba-tiba berbelok tajam dari lawan arah. Dalam kecepatan tinggi aku tak bisa menghindari truk yang tiba-tiba memotong jalanku. Kami melayang-aku, Shinta, dan mobilku-untuk beberapa detik, dan detik berikutnya kurasakan hantaman hebat pada lengan kananku. Tangan Shinta sudah terlepas dari genggamanku. Hal yang terakhir kulihat adalah Shinta, yang terpejam dan berlumuran darah. Selanjutnya gelap. Aku kehilangan kesadaranku. ***    

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Bukan Cinta Pertama

read
59.0K
bc

Everything

read
283.5K
bc

Super Psycho Love (Bahasa Indonesia)

read
88.6K
bc

Skylove

read
115.1K
bc

You're Still the One

read
119.4K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
484.2K
bc

My Sweet Enemy

read
49.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook