1. Stubborn Girl
Aku nggak akan lupa saat itu. Musim dingin yang membuat gigiku bergemeletuk sekalipun sudah memakai baju tebal dan penghangat. Tanganku digandeng Heath Grahamm menuju bagian belakang Bentley hitam bersama Archie Syailendra. Hari itu aku seperti tiba-tiba buta warna. Yang terlihat di mataku cuma salju putih dan orang-orang yang memakai baju hitam.
Rasanya, baru semalam Daddy mengusap kepalaku sambil mengatakan kalau dia sangat ingin melihatku memakai seragam sekolah. Senyumnya masih melekat walau sudah bertahun-tahun digerogoti serial killer yang nggak bisa ditangkap polisi, kanker.
“Why you not cry?” tanya Archie yang masih satu tahun tiga bulan dan bahasanya masih nggak keruan. Dia bingung harus pakai bahasa Indonesia atau Inggris.
“Why should I cry?”
“Your Dad death.”
“Ayahku pergi ke tempat ibuku, seperti yang selama ini diinginkannya,” kataku santai. “Aku nggak punya alasan buat nangis.”
Sudah dua tahun Dad nggak pernah lepas dari selang alat bantu pernapasan di kamarnya. Setiap helaan napasnya seperti angin musim dingin yang membekukan kulit. Waktu Drey, Mom, Archie, Heath, dan Glacie datang, Dad melepas selang pernapasannya, demi terlihat lebih sehat di depan mereka. Padahal, Dad sudah sangat kesakitan sampai minta bantuan Tuhan. Waktu kutemukan meninggal di kamarnya, Dad menggenggam rosario yang diberi tetangga kami saat baru pindah ke flat itu. Kematian Dad mengangkat semua penyakitnya. Nggak perlu ada kesedihan. Justru seharusnya aku sedih pada hidupku.
“Claire, mulai hari ini kamu adalah anak kami. Kamu bakal tinggal di rumah kami dan jadi kakaknya Archie. Kami sudah mengurus surat-surat adopsimu. Nggak apa-apa, kan, Claire? Kamu mau, kan, ke Los Angeles sama kami?” Mom menatapku dengan matanya yang basah. Mata Mom memang selalu berkaca-kaca. Tertawa atau menangis, mata hitam itu selalu basah.
“Aku tahu, Mom. Dad sudah bilang, kok. Aku bakal ikut ke mana pun kalian pergi.”
Mom tersenyum. “Sebelum ke LA, kita akan ke New York dulu. Kita menjemput Glacie yang lagi ada masalah di sana.”
Memangnya, aku punya pilihan lain? Anak-anak nggak punya hak suara. Yang penting, keinginan kami soal makanan dan mainan terpenuhi selama perjalanan ke New York. Bukan masalah, kami pakai pesawat pribadi Drey. Cuma kami yang ada di pesawat. Archie bisa menangis menjerit-jerit selama empat belas jam tanpa gangguan. Ini enaknya jadi orang kaya.
Perusahaan pengolahan logam yang didirikan Dad dan ibuku memang bagus. Kami bisa hidup di rumah besar di Surabaya. Dad punya tiga mobil besar dan aku punya semua mainan yang kuinginkan. Yang nggak kami punya Irene Kusumaningsih—ibuku yang meninggal saat melahirkanku—dan pesawat pribadi seperti ini.
Eh? Nggak. Kami nggak punya banyak hal yang dimiliki Drey Syailendra, pemilik Syailendra Group yang memiliki perusahaan besar di seluruh dunia. Sebut saja Oilco, Allegra Industry, Clover Bank, dan entahlah. Aku nggak berniat menghapal yang bukan milikku.
Hari ini, lima tahun setelah kematian Dad, kami berkumpul di ruang kerja. Lihat baik-baik anak enam tahun yang menatap layar monitor dengan wajah hampir menangis itu? Namanya Arcturus Drean Syailendra, Archie kecil yang kuceritakan tadi. Nggak perlu pusing mengeja namanya, anak itu juga nggak bisa mengeja namanya sendiri, kok. Perhatikan saja pipinya yang tembem dan mata cokelat bulat basahnya itu.
“Archie, kamu nggak bakal bisa mengerti yang dijelaskan Daddy kalau terus menangis begitu,” keluh Mom yang duduk bersidekap di meja paling dekat dengan Drey.
Mom itu bertubuh mungil dan cantik. Pipinya tembem seperti Archie. Bibirnya selalu memakai lipstik pink beraroma stroberi dan wanginya selalu seperti mawar. Kata Dad, dia punya senyum malu-malu khas gadis Jawa. Walau sebenarnya sangat pintar karena suka membaca, kadang Mom bertingkah seperti anak kecil dan mudah lupa. Tingkat kebucinan Mom pada Drey seratus persen, sama dengan Heath yang memuja Glacie sampai ke DNA.
Mom sama sekali nggak berubah sejak pertama kali aku melihatnya waktu berumur empat tahun. Aku menyukai Mom sejak pertama melihatnya di pesta pernikahan kakak Mom, Tundra dan Karin. Berbeda dengan orang lain yang tertawa ceria di pesta, Mom malah duduk sendirian, muram dan sedih.
“Lihat gadis itu, Dad?” tanyaku sambil menarik jasnya.
Dad menelan makanannya. “Which one?”
“Girl in pink. Matanya hitam, kayak habis menangis.”
“Dia adik mempelai laki-laki.” Dad menunjuk mempelai pria, lelaki setinggi Dad berambut keriting dengan mata sayu yang tertawa bersama temannya.
“Dad mau ke sana dan kenalan sama dia?”
“No, thanks. Kakaknya bisa menghabisiku.”
“Dad takut? Kukira Dad jagoan.”
“Claire! Aku hanya ....”
“Come on, Dad. Apa Dad butuh dorongan dari anak empat tahun cuma buat kenalan sama cewek? Lihat, dia dikenalkan ke cowok itu. Dia tampan sekali. Dad kalah.”
Aku menunjuk Mom yang berkenalan dengan cowok tampan bertubuh tinggi besar. Belakangan aku tahu namanya Dave Malik, model yang alih profesi jadi COO Rockwood Energy. Kalau melihatnya, kalian pasti bisa menyebutkan ratusan pujian untuknya. Bertahun-tahun kemudian dia menikahi adik Mom, Glacie.
Dad menarik bibir ke bawah dengan gaya yang jelek sekali. “Laki-laki itu pecundang.”
“Pecundang itu kalau Dad diam aja dan cuma berani membayangkan gadis manis itu.”
Dad menggeleng keras, lalu menggosok wajahnya dengan tangan beberapa kali. “Seharusnya kucabut TV di kamarmu agar tidak menonton Netflix atau Iflix atau... Kamu baru empat tahun, Claire.”
“Kukira Dad bukan orang yang membedakan umur?” gerutuku.
Dad tertawa. “Baiklah. Baiklah. Aku akan ke sana dan berkenalan dengannya asal kamu berjanji memijatku selama seminggu setiap pulang kerja.”
Aku selalu berhasil memaksa Dad mengikuti keinginanku. “Deal.”
“Good girl,” katanya sebelum berdiri dan berbicara pada Mom dengan gaya kaku. Aku sampai berpikir Dad butuh kursus komunikasi.
Waktu itu aku senang sekali. Kukira mereka bakal jadian. Mereka sempat dekat selama beberapa hari sebelum kami kembali ke Surabaya. Tapi, Dad bilang mereka hanya teman. Aku nggak mengerti apa yang dipikirkan orang dewasa. Dad kelihatannya menyukai Mom. Kenapa nggak jadian?
Tiga tahun kemudian, dalam kondisi hamil, Mom meminta pekerjaan pada Dad. Karena kecerdikanku, Dad berhasil memintanya menjadi pengasuh dan guru privatku. Makanya kupanggil dia 'Mom'. Awalnya, Mom dan Dad nggak suka dengan panggilan itu, tapi siapa sih yang sampai hati menolak permintaan anak kecil piatu?
Tinggal dengan Mom memberi banyak perubahan padaku. Mom menjelaskan tentang apa yang seharusnya dilakukan anak cewek. Menurut Mom, kebiasaanku menghajar anak nakal itu nggak baik. Kata Mom sebagai cewek aku harus lebih sabar dan pemaaf. Mom memberi tahu banyak hal baru, hal-hal yang nggak mungkin diajarkan laki-laki berumur 36 tahun yang sibuk mengembangkan bisnisnya.
Di antara banyak alasanku menyayangi Mom, kesederhanaannya yang paling kusuka. Buat Mom, buku adalah sahabat paling setia dan manusia itu menakutkan. Mom selalu gemetar kalau berasa di tempat ramai. Kata Drey itu social anxiety. Setiap menjelaskan soal kondisi traumatik Mom, selalu berakhir dengan Drey berwajah sedih dan berkata, “Salahku. Ini semua salahku. Aku yang merusaknya.”
Aku nggak tahu apa yang terjadi, sepertinya perjalanan hidup mereka nggak menyenangkan. Orang dewasa punya cerita yang nggak dimengerti anak-anak. Mereka memilih cara paling ribet untuk menyelesaikan masalah.
Dulu, aku sering berkhayal Archie adalah anak Dad. Aku sering berpikir kami adalah keluarga. Kupikir Tuhan sudah berbaik hati mengembalikan ibu yang nggak pernah kulihat. Tapi, di dalam hati Mom hanya ada Drey. Hatiku hancur waktu Mom memutuskan kembali ke Jakarta untuk ketemu Drey.
Dad nggak banyak bicara setelah Mom pergi. Mulanya, kupikir Dad patah hati. Ternyata Dad nggak mendekati Mom karena dia sakit. Kanker paru-paru Dad sudah cukup parah. Wajar, sih. Dad cowok bertato yang punya kebiasaan merokok dan suka minum bir dingin. Sebagai tambahan, Dad sering nggak tidur untuk mabuk sambil menangisi ibuku.
Nggak usah dipikirkan. Dad nggak butuh apa-apa lagi. Justru aku yang masih hidup ini yang butuh banyak perhatian. Aku masuk ke kehidupan remaja, fase hidup paling mematikan. Kalau aku gagal di fase ini, aku bakal jadi orang dewasa yang buruk. Mungkin aku bakal gila, jadi psikopat, ketergantungan obat, atau jadi asosial kayak Mom.
Satu hal yang agak kusyukuri, aku nggak lagi sekolah di Indonesia. Di sana, aku sudah puas dibilang 'Anak Karbitan'. Mereka pikir jadi lebih dewasa dari anak seusiaku itu adalah masalah. Tapi, mereka juga sering mengutuk anak-anak yang bersikap kekanakan. Terus, apa maunya orang dewasa di sana?
Pernah waktu aku salah mengerjakan PR, aku berkata, “Maaf, Miss. Saya pikir hari ini pelajaran Bahasa Inggris seperti yang Miss bilang minggu lalu. Jadi, saya mengerjakan PR Bahasa Inggris dulu. Kalau Miss mau, saya bisa mengerjakan PR Sosial sekarang. Saya sudah mengerjakan sebagian. Semalam saya ketiduran jadi nggak bisa menyelesaikan semua.”
Aku mendapat detensi menulis 'Saya tidak akan melawan guru lagi.'
Kenapa alasan begitu disebut melawan?
Aku paling nggak suka kalau mereka mengaitkan perilakuku dengan tato Dad. Apa yang salah dengan bule bertato? Dad bukan preman atau mafia. Dad cuma lelaki berhati lembut yang jadi bucin[1] sejati. Dad menggambar wajah ibuku di lengannya dan membuat gambar-gambar yang melambangkan ibuku dan aku di seluruh tubuhnya.
Drey juga punya tato di kepala bagian belakang yang bertuliskan nama mom, Savanna. Di tangannya juga ada tato inisial S besar. Glacie dan Dave juga punya tato kecil di jari mereka. Mereka semua orang baik, kok.
Waktu Dad bilang kami akan pindah ke London dan aku akan homeschooling selama masa pengobatannya, aku bahagia banget. Aku nggak perlu menghadapi anak-anak International school yang suka pamer, para orangtua yang berlomba memamerkan kekayaan di sekolah, hingga guru-guru yang berharap anak-anak itu semuanya adalah anak baik seperti Mary Sue[2]. Dengan homeschooling, aku bisa menari balet dan melukis sesukaku.
Untungnya, Drey juga seperti itu. Aku boleh belajar apa saja yang kumau. Di ruang belajar kami biasa “bersekolah”. Drey memanggil guru privat untuk mengajarkan kami bahasa Inggris, bahasa Perancis, dan ilmu sosial. Sisanya, Drey, Mom, Kakek Rinto, dan Heath (sebelum dia ke Stoneberg setelah menikahi Glacie) bergantian mengajari kami. Seperti saat ini, saat Archie ribut soal sunat, Drey dan Mom menjelaskan melalui sudut pandang agama dan medis.
“Ini pelanggaran HAM,” protes Archie muram. Dia menghapus air matanya dengan kerah kaus. “Seharusnya nggak boleh potong p***s manusia. Itu menyakitkan, Dad.”
“Laki-laki sejati melakukannya, Archie.” Drey mengembuskan napas panjang.
“Kakek Rinto? Heath? Om Dave? River? Bukannya cuma Dad yang sunat?”
“Mereka semua sunat. River baru akan sunat tahun depan. Om Tundra sudah mengatakan padaku.”
“Kenapa dia tahun depan dan aku sekarang?”
“Karena kamu sakit, Archie. Tuhan, apa kamu tidak mendengarkan? Ini sudah lebih dari satu jam.” Drey akhirnya melotot kesal, membuat anak tunggalnya makin menangis.
“Archie, kamu mengalami fimosis.” Mom akhirnya bersuara. “Kulit di bagian ujung penismu menjepit lubang untuk kencing. Ini yang membuatmu terkena infeksi saluran kencing. Kamu mau minum antibiotik itu terus menerus? Mommy yakin nggak, Sayang. Mommy sedih melihatmu mengompol dan demam.”
Ini kesempatanku menggoda anak itu. “Apalagi kalau kamu kena parafimosis. Suatu hari, kamu iseng menarik kulit di penismu ke belakang, lalu kepala penismu terjebak lipatan kulit. Rasanya seperti waktu jarimu terjepit lubang kaleng jus.”
Dia menatapku kesal. “Kamu cewek, Claire. Cewek nggak punya p***s. Sok tahu!”
Aku mengangkat bahu. “Aku cuma mendengarkan presentasi ayahmu dari tadi.”
Dia berbalik pada ayahnya. “Dad, tolong jangan menyiksa anak kecil dengan sunat ini. Tanyakan dokter, pasti ada cara lain. Heath dulu pernah bilang soal second opinion.”
“Tidak ada cara lain, Nak. Laki-laki memang harus sunat.” Kelihatannya tinggal menunggu waktu, Drey bakal meledak.
“Aku mau lihat punya Daddy.”
“Tidak ada yang boleh melihat kemaluan orang selain istri atau suaminya.”
Archie berpaling pada ibunya. “Mommy?”
Wajah Mom merah, mati-matian berjuang biar nggak tertawa. “Benar, Sayang. Daddy sudah sunat.” Mom menutup wajah dengan bantal duduk yang dari tadi dipeluknya.
“Mommy yakin? Mommy benar-benar sudah lihat? Apa Mommy nggak salah lihat?”
Aku memutar mata. “I’m done,” Semburku kesal. “Saranku, sih, bius saja anak ini dengan klorofom, lalu bawa ke rumah sakit dan bius total. Biarkan dia bangun setelah penisnya terpotong empat.”
Aku keluar dari ruang belajar. Archie menangis sekeras dia bisa. Biasanya butuh berjam-jam untuk membujuk anak itu. Itu tangisan khasnya, tangis minta perhatian.
Ini buang-buang waktu. Jam tiga nanti kami harus ke ulang tahunnya Mel Zachary. Aku nggak kenal siapa Mel Zachary. Drey yang mewajibkan kami datang untuk belajar bersosialisasi. Sekarang sudah jam setengah dua dan mereka belum selesai.
Kakek Rinto berjalan tergopoh-gopoh. Pasti karena tangisan Archie yang terdengar seperti anak dicambuki.
“Belum selesai?” tanya Kakek Rinto dengan wajah khawatir. Walau cuma orangtua angkat Drey, Kakek Rinto memperlakukanku dan Archie seperti cucunya sendiri; memanjakan dan membela kami kalau lagi dimarahi begini.
“Archie mempersulit keadaan.”
Kakek terkekeh. “Drey itu nggak ingat dia dulu juga nangis-nangis kayak mau disembelih waktu mau sunat. Sudah dibius aja masih lari sembunyi di WC, padahal umurnya dua belas tahun. Sekarang kok berharap anak enam tahun bisa cepat mau,” gerutu Kakek yang dengan sadar membuka aib anaknya seperti kakek-kakek lain.
Daripada menguping drama p***s itu, aku ke kamar. Paling nggak, aku bisa menyelesaikan lukisan yang sedang kubuat.
Di kamar, aku hampir menjerit. Heath berdiri menyilangkan tangan di d**a, memandangi lukisanku. Wajahnya serius. Walau pengetahuannya tentang seni sangat rendah, Heath selalu memandangi lukisanku dengan serius.
Aku menyukainya. Aku lebih suka dia daripada Drey. Sikapnya yang pemalu itu berbanding terbalik dengan tampang koboinya yang sangar. Dengan kulit cokelat terbakar matahari dan berewok yang sewarna dengan rambut cokelat, dia lebih pantas memegang senjata di medan perang seperti cerita-ceritanya dulu daripada menjadi bapak tiga cewek.
Dia berpaling dan tersenyum padaku. “Maaf aku masuk tanpa izin. Kamarmu terbuka,” katanya dengan senyum lebar. “Aku baru membuka kiriman orang-orang yang membereskan barang ayahmu di Surabaya. Lalu, kupikir kamu akan menyukai hadiah ini,” katanya lagi sambil menunjuk kotak di tempat tidur.
“Terima kasih,” jawabku dengan tambahan senyum manis. Heath memang selalu baik dengan semua anak. “Kamu nggak ketemu Drey?”
Dia menarik bibir ke bawah. “Aku tidak ingin bertemu Archie yang menangis karena sunat itu. Sejak kemarin dia menelepon untuk memintaku menunjukkan kemaluan kepadanya.”
Dia tertawa sebentar, lalu beranjak ke luar kamar.
“Kalian tidak ke luar rumah?” tanya heath lagi. “Ini musim panas. Anak-anak tidak seharusnya ada di dalam rumah.”
“Sebentar lagi kami akan ke ulang tahun Mel Zachary.”
Dia tertawa. “Aku senang Drey dan Savanna memaksa kalian ke luar rumah. Semoga kalian juga betah dengan sekolah baru kalian nanti.”
“Sekolah?” Apa lagi ini?
Dia mengangkat alis terkejut. “Kamu belum tahu?” setelah menepuk dahi, dia melanjutkan lagi, “Maaf, aku mendahului mereka. Biar mereka yang menjelaskan padamu. Sekarang, bersiaplah ke ulang tahun Mel Zachary. Mengingat ini sekaligus Bar Mitzvah[3], sebaiknya kalian memakai pakaian resmi.”
Astaga! Dia benar. Aku juga belum menyiapkan kado.
Setelah Heath menutup pintu, aku buru-buru mandi. Nggak ada waktu memikirkan Shawn itu. Aku harus siap sebelum Archie selesai. Anak itu kalau bad mood suka marah-marah. Aku nggak mau dimarahi anak sebesar biji kuwaci itu.
Waktu masih memakai handuk, aku membuka kotak pink pemberian Heath sambil menggerutu, kenapa anak cewek selalu diasosiasikan dengan pink? Kenapa bukan biru tua?
Hadiah ulang tahun yang terlalu cepat dariku. Aku tidak perlu memberimu hadiah lagi sampai ulang tahun yang ke 1.476 nanti.
HG
Kotak itu berisi foto lama Dad memakai jaket jins dan di bawah foto itu ada jaket jins milik Dad. Jaket usang yang sudah pudar karena terlalu sering dipakai. Bagian lengannya belang karena sering ditekuk. Ada bagian yang sangat pudar di bagian punggungnya karena matahari. Dad selalu memakai jaket ini saat menjemputku sekolah. Dia juga memakai jaket ini untuk memancing. Sudah lama kami melupakan jaket ini karena tertinggal di Surabaya.
Kupakai jaket itu di depan cermin dan tersenyum sendiri. Ini alasan aku nggak bisa mengingat wajah ibuku. Aku terlalu mirip dengan Dad. Kalau rambutku pendek, hidungku lebih besar, dan punya brewok, aku pasti berubah jadi Dad.
“Thanks, Dad. Aku mencintaimu.”
Paling tidak, aku nggak butuh foto untuk mengingat detail wajah Dad. Dengan bercermin saja aku bisa melihatnya hidup lagi.
Kukirimkan pesan untuk Heath dengan HP Mom yang tadi kupinjam: Makasih buat hadiahnya. Aku suka banget. Hati-hati di jalan dan cium sayang untuk Sophia-ku.
Jangan heran kenapa aku memakai HP Mom. Di rumah ini nggak ada yang boleh punya HP sebelum umur lima belas tahun. Jadi, kalau ada perlu dengan komunikasi, kami harus memakai HP bersama di ruang kerja atau meminjam HP orang dewasa yang ada di sini.
Setelah pesan itu terkirim, aku mengirim pesan selanjutnya: Pertimbangkan lagi untuk memakai insial HG. Kamu tahu kan kalau itu artinya merkuri? Aku lebih suka firefly yang pantatnya nyala.
Dia nggak menjawab. Mungkin dia masih di perjalanan. Biasanya, setelah naik pesawat ke Houston, dia naik helikopter lagi ke Stoneberg, peternakannya.
Sebelum ke lemari, aku berhenti di depan jendela. Ada wajah anak laki-laki di jendela seberang. Memang ada halaman besar dan pohon yang menghalangi jendela kami, tapi aku nggak mungkin salah lihat. Itu wajah anak laki-laki. Mungkin anak SMA.
Setahuku rumah Erickson itu kosong. Mereka semua pindah ke New Haven karena anak kembar mereka kuliah di Yale. Lalu, siapa anak laki-laki yang sedang menusuk kaca jendela dengan pisau dapur itu? Kepalanya memakai hoodie. Aku nggak bisa lihat wajah dan rambutnya.
Dia melihatku. Aku yakin. Walau cuma bisa melihat dari hidung hingga bibirnya, aku yakin dia melihatku. Dia mengacungkan pisau yang dipegangnya. Perlahan bibir itu menyeringai.
Apa aku baru jadi saksi kejahatan?