Kabar kehamilanku, rupanya telah tersebar di puskesmas. Siang ini teman-teman di puskesmas mengabarkan akan datang ke rumahku. Radit pun kuberitahu, dan dia berjanji akan menjadi tuan rumah yang baik. Menyambut tamu dengan hidangan yang istimewa, seperti kebiasaannya.
Setelah pulang mengajar, kami berdua pun membuat kue di dapur. Kue bolu s**u dan kue puding lumut. Radit lebih pandai dan telaten dalam membuatnya, aku yang perempuan merasa sudah kalah sekali dibanding dia.
Kue baru saja dingin, ketika terdengar ramai suara motor di pekarangan rumah.
Teman-temanku dari puskesmas sudah tiba. Ada bidan dan beberapa perawat yang datang. Mereka pun bersemangat langsung mengucap salam dan kusambut di rumahku.
Rumah yang tadinya sepi, sekarang menjadi ramai dengan suara riuh obrolan dan candaan. Radit tak merasa minder ketika harus menyuguhkan minuman dan makanan ke hadapan teman-temanku. Teman-temanku pun akhirnya menghujani Radit dengan banyak pujian, seorang suami dan calon ayah idaman.
“Makan dulu nih, kuenya. Radit yang bikin, dijamin mantap jiwa rasanya,” ucapku.
“Eummm, luar biasa. Suami kamu memang gak ada lawan, Dhea,” sahut Bidan Hana.
“Haduh, dari tadi dipuji terus. Berasa mau terbang rasanya,” sahut Radit.
Kami pun membincangkan banyak hal, terutama perihal kesehatan. Bidan Hana membuka perbincangan tentang virus baru yang sekarang baru ditemukan di luar negeri. Di tanah tirai bambu, virus itu lahir dan berkembang biak. Kami pun langsung membuka media sosial, mencari kabar terbaru tentang virus itu.
Korban dari virus itu, biasanya akan batuk-batuk parah hingga kehabisan oksigen dalam darah. Beberapa video menunjukkan orang-orang yang berjatuhan di jalanan. Dan narasinya mengatakan itu karena serangan virus itu. Namun, kami tak bisa cepat menarik setiap kesimpulan karena takutnya termakan hoak.
“Mungkin gak virus itu bakal nyebar ke indonesia?” gumam Bidan Santi.
“Mungkin aja, tapi jangan sampai lah,” sahut Bidan Hana.
“Virus apa tadi namanya?” sambungku.
“Corona, corona virus,” jawab Bidan Hana.
“Keren ya namanya,” lanjutku.
“Mau pakai nama itu buat baby kalian nanti?” lirik Bidan Santi.
“Dih, enggak lah. Amit-amit!”
“Weka. Kali aja. Biar beda.”
“Hemmm.”
Corona virus, sesuatu yang tak disangka akan menggoyahkan sistem di China. Negara adidaya yang menggila dengan kekuasaan dan teknologi canggihnya. Mereka bisa tak berdaya mengalami kelumpuhan karena virus kecil tak kasat mata itu. Sungguh besar kuasa Allah subhanahuwataala. Betapa pun usaha manusia untuk menyaingi ciptaan-Nya. Allah tetap akan menjadi juaranya.
Usai puas mengobrol hingga makan-makan bersama, teman-teman puskesmas akhirnya pamit pulang. Rumah kembali sepi, tanpa gurauan yang meledak-ledak yang sempat membanjiri tadi. Memang menyenangkan bisa mengobrol dengan teman-teman sefrequensi.
.
Aku membantu Radit membereskan perabot sisa menyambut tamu. Kami mencuci pirinf bersama walau Radit bersikeras ingin melakukannya sendiri. Sekarang aku telah terbiasa dengan masa-masa ngidam, tubuhku mulai terbiasa dan sepertinya sudah bisa menghadapinya.
“Virus itu kemungkinan akan menyebar ke Indonesia, mengingat di negara lain mulai ada berita yang sudah terjangkit juga,” ucap Radit sembari menyusun piring-piring dan gelas ke rak perabot dapur.
“Eumm, semoga bisa dikendalikan,” sahutku.
“Iya, kita juga harus makin jaga kesehatan,” lanjut Radit.
“Iya, Sayang.”
Setelah beres-beres, aku dan Radit tiduran di kamar, tak lupa menyalakan kipas angin. Kurebahkan kepala di atas lengan Radit, menghidu aroma wanginya yang selalu jadi candu rindu.
“Sayang, aku kadang heran sama kamu. Kenapa sih, hidup kamu kayaknya teratur banget. Apa dari kecil kamu dilatih kayak gitu?” tanyaku iseng pada Radit.
“Hemm, iya. Mungkin memang kebiasaan dari kecil. Orang tua aku itu rapi banget di rumah, apa-apa dikerjakan bareng-bareng. Cuma sekarang karena udah tua aja, orang tua aku jadi gak terlalu mau capek-capek di rumah. Belum ada cucu juga kan di rumah,” jelas Radit.
“Hemm, kalau ada cucu pasti rumah berantakan tuh,” kataku lagi.
“Iya, tapi kan tetap bahagia lihatnya pasti. Tapi kalau pun nanti anak kita sudah lahir, ya kebiasaan rapi itu jangan diabaikan, justru harusnya jadi warisan. Habis main, bantu kasih dia belajar untuk ngerapiin mainannya, latih dia mandiri juga,” ujar Radit lagi.
“Iya, iya.”
“Kamu gak ngantuk? Tidur gih.”
“Kamu ngantuk, Dit?”
“Banget.”
“Kenapa gak bilang dari tadi, kan aku jadi gak perlu ngajak ngobrol.”
“Ya gak apa-apa. Udah ya, aku mau merem dulu.”
“Iya, iya.”
Radit sepertinya benar-benar mengantuk, tak lama dia pun tertidur pulas. Aku yang merasa gerah langsung mengambil posisi yang lebih luas. Rasanya belum ingin tidur siang, kupilih untuk kembali memainkan gawai, aku masih penasaran pada kasus virus yang sedang viral.
Virus corona, atau yang pada mulanya disebut virus Wuhan. Karena pertama kali ditemukan kasusnya terjadi di kota Wuhan, China. Dari video-video unggahan di media sosial, banyak yang mengatakan virus itu datang dari pasar yang biasa menjual hewan-hewan liar. Hingga akhirnya, banyak yang mengatakan virus itu berasal dari Kalelawar dan juga hewan-hewan liar yang biasa dijual di pasar Wuhan.
Rasanya cukup geli melihat video orang-orang yang sedang menyantap hewan-hewan liar itu. Ada yang memakan kalelawar, tikus, kodok, dan parahnya mereka memakan itu bisa dalam keadaan hewan itu masih hidup.
Entah apa yang membuat hewan-hewan itu dipilih untuk jadi makanan. Biasanya karena mitos bahwa hewan itu bisa membuat kuat pada kaum adam. Namun, bukankah masih banyak sumber nutrisi yang tidaj ekstrim dan biasa dimakan. Tak perlu memakan hewan-hewan dengan cara bar-bar seperti itu.
Banyak video beredar, simpang siur entah itu video asli atau hoak. Di masa pandemi pun banyak yang masih iseng membuat berita palsu, entah untuk menghasilkan uang atau sekedar membuat rusuh saja. Harus jeli untuk mencari informasi, dan tidak buru-buru menyebarkan sesuatu yang belum jelas kebenarannya.
Tentunya negara maju dan canggih seperti itu, tidak akan melamun dan duduk diam ketika masalah menimpa negaranya. Dengan banyak uang dan kecanggihan teknologi, mereka lantas siap siaga untuk menanggulangi bencana. Walau masih berupaya pengobatan medis, dan sialnya, penyakit virus corona ini belum bisa dipastikan obatnya.
Virus ini berkembang dengan cepat, bila terlambat ditangani, bisa sampai membuat paru-paru berlendir. Menjadikan komplikasi pada tubuh yang telah terinfeksi. Gejalanya sama seperti flu biasa, akan tetapi karena cepatnya penularan, kasus pasien karena virus ini pun dengan cepat menyebar. Hingga rumah sakit pun mulai penuh, dan menjadi terror yang membuat panik semua orang.
Kuelus perutku, berharap segala virus tak terjadi pada negeriku. Semoga Allah melindungi kami, dari segala mara bahaya yang terjadi di dunia.
Merasa cukup mencari informasi tentang virus corona, aku pun mematikan data seluler. Meletakkan gawai di atas nakas dan mulai mencoba untuk terpejam. Tidur siang adalah jalan kesehatan yang murah. Bangun dari tidur siang, rasanya sama seperti sembuh dari demam. Mampu membuat tubuh kembali segar.
..
Adzan ashar sayup terdengar, kubuka mata dan Radit sudah tak terlihat lagi di tempat tidur. Dia pasti sudah bangun tadi dan pergi ke masjid. Laki-laki sholeh yang hampir tak pernah terlambat untuk pergi salat ke Masjid.
Aku segera meraih handuk dan pergi ke kamar mandi, untuk menyegarkan diri setelah tidur sebentar yang rasanya cukup pulas tadi.
Setelah mandi, kukenakan daster yang kemarin baru dibelikan Radit. Rasanya sangat nyaman dan mampu membuatku sedikit terlihat menarik.
Duduk aku di depan cermin, merapikan rambut yang potongannya tampak berantakan. Sepertinya aku lebih baik potong rambut saja, agar menjadi lebih rapi dan tidak mudah gerah. Aku harus meminta bantuan Radit nanti.
“Bidan ...?”
Terdengar suara Bella dari depan pintu rumah, aku segera memakai kerudung dan menghampirinya. Entah apa lagi makanan yang dibawanya kali ini.
“Ada apa, Bella?” tanyaku.
“Gak ada apa-apa, Cuma mau main,” jawab Bella sambil cengengesan.
“Tumben main ke sini,” sahutku lagi lalu membawanya masuk ke rumah.
“Mama sama Kak Ayu lagi di hutan, cari sayur.”
“Ehmm, kamu kenapa gak ikut?”
“Malas.”
“Dih, gak boleh malas dong.”
“Bidan, aku kangen sama Ayahku.”
Bella tiba-tiba membicarakan Ayahnya yang telah tiada, seketika hatiku menjadi ikut sedih mendengarnya.
“Bella kangen sama Ayah?”
“Iya.”
Bella sekarang menangis dan menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan. Sesekali dia mengelap air mata dengan kaus bajunya yang sudah mulai pudar warnanya.
“Kalau Bella kangen, Bella harus banyak kirim doa buat Ayah. Semoga Ayah tenang di sana.”
“Iya, Bidan. Bella selalu doain ayah kok.”
“Alhamdulillah kalau gitu. Bella kan anak yang pintar.”
Untuk menghibur Bella, aku mengajaknya untuk jalan-jalan dan jajan ke warung. Kebetulan Radit sudah pulang dari masjid, aku pun pamit dengannya. Radit memberiku izin untuk jalan-jalan sore dengan Bella.
Suasana sore di desa sangat sejuk. Masih bisa terlihat pemandangan anak-anak sedang bermain bola di lapangan, Ibu-ibu yang sedang mengobrol di salah satu rumah, juga mulai terlihat ramai kendaraan yang lewat. Entah mengapa saat sore, makin banyak motor dan mobil yang lewat. Itu yang membuat kadang ngeri kalau tak mengawasi anak-anak yang akan menyeberang jalan.
Tiba di warung, aku membebaskan Bella untuk membeli apa yang dia mau. Namun, tiba-tiba dia bilang ingin membeli beras karena di rumahnya kehabisan beras. Aku ingin belikan, akan tetapi uang yang kubawa tidak cukup untuk itu.
“Nanti Bidan suruh Pak Radit yang beli berasnya. Sekarang beli jajan aja dulu,” ucapku pada Bella. Dia pun mengangguk setuju.
Tak kusangka mereka akan kehabisan beras juga. Memang Kak Rina pekerjaannya tidak menentu. Kasihan juga. Harusnya sebagai hantuen mereka tak perlu makan nasi. Iya kan? Haha.
Bella terlihat senang bisa membeli banyak makanan, aku memintanya tak lupa berbagi dengan Ayu di rumah nanti. Aku hampir saja lupa ingin meminta Radit memotong rambutku sore ini. Segera kuantar Bella pulang ke rumahnya, Kak Rina dan Ayu juga sudah pulang rupanya. Kulihat tak banyak sayur liar yang mereka dapatkan. Ayu sedang mengikat sayur itu untuk dijual.
..
Saat kembali rumah, Radit rupanya tengah mencuci motor. Kutunggu dia sampai selesai, lalu kukatakan untuk memintanya memotong rambutku.
“Kok suruh aku yang potong?” tanya Radit.
“Emang kamu gak bisa?”
“Bisa sih, tapi kan aku biasanya gunting rambut anak-anak cowok.”
“Ya sama aja lah. Potong terserah aja. Potong pendek biar gak gerah.”
“Ke salon aja, ya?”
“Gak mau, kan semua salon di sini yang motong cowok. Bukan mukhrim.”
“Hemm, iya juga. Ya sudah kalau gitu, aku ambil gunting sama sisir dulu.”
“Guntingnya di teras dapur belakang aja, Dit.”
“Iya, ayuk.”
Aku pun duduk bersila di teras dapur, menghadap ke cermin ukuran sedang yang kubawa dari kamar. Cermin yang biasa dipakai Radit kalau ada anak-anak yang memintanya untuk mencukur rambut.
Radit terlihat masih bingung ketika memulai menyisir rambutku, harusnya dia tidak perlu secanggung itu. Toh, kalau pun tidak sesuai dengan keinginanku, aku tidak mungkin akan marah besar.
“Yakin nih, mau digunting sama aku?”
“Udah deh, Dit. Gunting aja.”
“Hemm. Oke. Bismillah.”
Akhirnya Radit pun mulai menggunting rambutku, rambut yang semula panjangnya sepinggang, kini telah semakin pendek. Sekarang rambutku di atas bahu panjangnya, potongan terpendek yang baru pertama kali kucoba.
“Gak mau bikin poni?” tanya Radit yang tertawa melihat hasil potongannya.
“Memangnya mau bikin aku kayak Dora?”
“Ya, kali aja mau.”
“Udah, segini aja.”
“Makin cantik kamu, Sayang.”
“Kayak anak SMP gak?”
“Bukan lagi, udah kayak anak paud. Imut-imut.”
“Jiahahaha. Ngeledek!”
“Beneran. Jadi imut, jadi pengen cium.”
“Dih, apaan.”
Potongan rambut pendek, sekarang membuat kepalaku terasa lebih ringan. Aku juga menjadi lebih rapi dan tidak gerah lagi. Wajahku juga terlihat sedikit menjadi awet muda. Karena memang aku belum tua.
Radit masih senyum-senyum sendiri melihat potongan rambut baruku, entah apa yang membuatnya merasa lucu. Meski begitu aku senang, bisa membuatnya bahagia.
Rambut yang telah terpotong, Radit kumpulkan dan simpan di dalam potongan kain. Lalu dia pun menguburkannya di kebun belakang. Karena rambut adalah aurat, bila sudah terpotong pun tetap menjadi aurat bila terlihat yang bukan mukhrim. Dengan dikubur akan menjadi lebih aman.
..
Malam pun menjelang, Radit membuat sambal cumi asin untuk menu makan malam ini. Dan anehnya, aku bisa makan dengan lahap. Saat tengah makan, aku baru teringat janjiku pada Bella. Aku lupa untuk memberitahukannya pada Radit.
“Sayang,” ucapku.
“Hemm?”
“Tadi kan waktu aku ke warung sama Bella, aku suruh dia beli apa yang dia mau. Dia bilang dia mau dibeliin beras karena di rumahnya lagi habis beras,” jelasku.
“Ohya? Terus?”
“Aku janji mau beliin buat dia, aku lupa cerita sama kamu, Dit.”
“Hemm, ya udah. Habis ini aku ke warung buat beliin beras.”
“Beras dan sembako, ya.”
“Iya, Sayang. Ehmm. Aku pikir kamu gak mau peduli sama keluarga Kak Rina.”
“Aku peduli kok, apalagi ada anak-anaknya.”
“Alhamdulillah, kalau begitu.”
“Memangnya aku kelihatan sejahat itu?”
“Ya enggak lah, kamu mah selalu baik, Sayang.”
“Hemm.”
Memang benar, harusnya aku tidak perlu peduli pada orang yang telah beberapa kali mencoba untuk mencelakakanku. Namun, aku juga masih seorang manusia, aku menyayangi Bella dan Ayu. Mereka tak berdosa sama sekali atas apa yang telah dilakukan oleh ibu mereka.
..
Setelah makan malam, aku dan Radit pergi ke warung. Kami membelikan sekarung beras, juga banyak sembako kebutuhan dapur. Setidaknya bisa meringankan sedikit beban Kak Rina, meski dia tak pernah meminta bantuan siapa pun selama ini.
Dengan menggunakan motor, kami tiba di depan rumah Kak Rina. Mereka ternyata sedang menonton TV, kulihat ada sepiring singkong rebus dan ikan asin di tengah-tengah mereka. Kak Rina terlihat kaget dengan kedatangan aku dan Radit.
“Kak, ini ada sedikit rejeki untuk keluarga kakak,” ucap Radit. Radit membawa semua belanjaan ke dalam rumah Kak Rina.
“Ya Allah. Bagaimana bisa ini, Pak? Kami gak mau merepotkan,” sahut Kak Rina dengan bicaranya yang canggung.
“Gak ngerepotin kok, Kak. Ini sudah kewajiban kita untuk saling berbagi.”
“Masya Allah, alhamdulillah. Terima kasih ya, Bidan. Pak Guru.”
Kak Rina terlihat terharu mendapatkan pemberian dari kami. Aku memilih untuk diam saja melihat mereka. Lalu tak lama kami pun pamit pulang. Aku merasa lega telah mewujudkan janjiku pada Bella. Bella dan Ayu terlihat senang bisa mendapatkan rejeki mereka melalui tangan kami hari ini.
..
Dengan berbagi tak akan membuat rejekimu berkurang, sebaliknya, Allah akan menambahnya dengan yang lebih baik. Ketenangan hati dan rasa bahagia di hati setelah berbagi, itu juga pemberian dari Allah yang harus disyukuri.
Sepulang dari rumah Kak Rina, aku dan Radit kembali ke rumah. Radit mulai sibuk di depan laptopnya, menyelesaikan pekerjaannya di sekolah. Aku memilih untuk menonton TV. Dan rupanya, berita tentang virus corona tengah marak juga di layar kaca.
Banyak netizen mulai menyarankan pemerintah untuk menutup jalur akses bandara atau pun laut. Agar orang-orang asing, terutama dari tempat yang sedang terkena virus untuk tidak masuk dulu ke Indonesia. Semua orang mulai khawatir virusnya akan terbawa ke Indonesia.
Melihat berita korban yang semakin bertambah, juga penyebaran yang semakin luas. Aku mendadak jadi merinding. Rasa takut mulai menghantuiku juga. Radit yang tadi masih duduk di depan laptop, sekarang sudah ikut duduk di sampingku.
“Kenapa, Dit?”
“Serem beritanya.”
“Iya. Aku jadi khawatir.”
“Kalau begitu cepat kamu ambil cuti hamil dan melahirkan. Jangan ke mana-mana kalau gak perlu banget. Aku juga akan mulai pakai masker ke luar rumah. Biasanya pakai apa kalau menghadapi virus begitu?”
“Eum, masker. Masker, cairan anti bakteri, dan pastinya minum banyak vitamin untuk kekebalan tubuh.”
“Kalau gitu aku akan mulai setok itu di rumah.”
“Setok seperlunya aja, karena bukan Cuma kita yang perlu.”
“Iya, Sayang. Naudzubillah, sih. Cuman kalau kata aku, virus itu sudah pasti akan ada juga di Indonesia. Kamu tahu kan orang asing bisa bebas ke sini kapan aja.”
“Iya. Kayaknya juga gitu.”
“Ya Allah. Lindungi lah negeri kami ya Allah. Aamiin.”
“Aamiin.”
Radit kemudian memintaku untuk berhenti menonton TV, agar pikiranku tidak menjadi stres kareba terlalu memikirkan virus corona. Kepanikan juga akhirnya menjalar lebih cepat, meski virus itu belum sampai di Indonesia.
..
Virus yang paling indah di dunia, tahu kah kamu itu apa? Ya, virus cinta. Berwarna merah muda, dan dipenuhi motif-motif manis seperti hati dan bunga. Itu cinta atau daster emak-emak sih? Haha. Lucu juga.
Aku suka sekali memandangi wajah Radit yang tengah tertidur. Wajahnya bersih, walau sedikit berminyak. Dagunya sepertinya sulit sekali dipenuhi janggut, walau dia tak pernah mencabutnya dan bahkan ingin menyuburkan janggutnya.
Radit itu tampan, cerdas, soleh dan baik hati. Aku benar-benar merasa tak bisa lagi mengobati rasa sayangku padanya, selain dengan ucapan cinta dan rindu. Bahkan ketika wajahnya berada tepat di hadapanku, aku masih suka rindu. Rindu melihatnya menatapku, rindu mendengar suaranya menyebut namaku.
“Hemm,” gumam Radit. Sepertinya dia tahu kalau aku sedang memperhatikan wajahnya sejak tadi.
“Kenapa, Sayang? Jatuh cinta lagi sama aku?”
lanjutnya. Lalu dia pun tersenyum, membuat hatiku meleleh seketika.
“Kamu itu seperti virus, Dit. Bereaksi cepat untuk melumpuhkanku dalam perasaan penuh gairah,”lirihku
“Eaaaa,” sahutnya.
“Haha, udah meleleh belum?”
“Receh banget segitu doang udah meleleh.”
“Dih. Sok ganteng.”
“Ya emang ganteng.”
“Iya, ganteng gak ada obat.”
“Iya. Bisa bikin kamu jatuh cinta parah separah ini.”
“Parah banget, dan gak mungkin sembuh.”
“Kita lagi ngomongin apa sih?”
“Haha. Au ah.”
“Tidur, Sayang. Udah malem.”
“Tumben kamu mau langsung tidur.”
“Memangnya mau ngapain?”
“Ya gombalin aku kek gitu.”
“Aih, yang pengen digombalin.”
“Pengen lah. Biar aku seneng.”
“Oke, aku gombalin. Jangan kejang-kejang tapi.”
“Jiahaha.”
“Eum, istriku. Kamu tahu gak apa bedanya kamu sama virus corona?”
“Haha. Gak tahu. Apa dong?”
“Virus korona, adanya di china. Kalau kamu adanya di hatiku.”
“Hidih. Receh banget.”
“Kok receh sih. Aih, gagal dong aku ngegombalnya.”
“Kamu gombalnya gak ikhlas sih.”
“Ikhlas kok. Emang kamunya gak perlu digombalin.”
“Iya, aku perlunya selalu dicintai dan disayangi.”
“Perlu duit gak?”
“Enggak.”
“Bohong banget.”
“Haha. Perlu lah, Dit.”
“Lebih perlu duit atau aku?”
“Ya masa kamu dibandingin sama duit, Dit.”
“Jadi aku lebih penting dibanding duit?”
“Ya iya lah, Sayang.”
“Kalau aku gak kerja, kamu masih mau sama aku?”
“Masih.”
“Kalau aku gak punya duit?”
“Rejeki itu kan sudah diatur sama Allah. Dan kamu juga rejeki buat aku. Jadi gak perlu lah aku takut gak ada duit kalau masih bisa menjalani hidup sama kamu.”
“Hemm, kamu gombalnya lebih bakat dibanding aku.”
“Jiahaha. Masa?”
“Iya. Aku sampai gak bisa berkata-kata.”
“Heleh.”
“Udah lah, tidur.”
“Mau tidur?”
“Belum sih.”
“Mau ngapain dong?”
“Mau digombalin lagi.”
“Dih. Ogah.”
“Weka weka.”
Malam pun semakin jompo, akan tetapi biasa cahaya rembulan begitu terang menyusup dari pori-pori jendela rumah. Berada di taman dalam keadaan langit malam yang seindah malam ini, pasti rasanya sangat menyenangkan.
Aku jadi teringat pada masa perkemahan pramuka, malam api unggun yang sangat indah dan tak akan mungkin bisa aku lupakan. Bersama Radit dan anak-anak, hari-hari yang sangat berkesan dan akan selalu menjadi kenangan.
Radit menggombal tak lagi dengan kata-kata, menghabiskan malam kami dengan paduan rasa cinta yang sempurna. Ditambah dengan hadirnya sang buah hati dalam diri ini, semakin lah rasa cinta dan kasih sayang kami makan menjadi-jadi. Aku semakin bahagia dan bersyukur dengan kehidupan yang aku jalani, penuh limpahan kasih sayang dari Allah.
Sungguh romantis dan indah. Aku berharap ini tak akan berjalan singkat, akan ku ukir sejuta kenangan hebat. Bersama Radit, indah cerita kujalani hingga merasa tak akan pernah ada kata tamat.