Tengah malam, suara teriakan membangunkanku. Sekilas jeritan yang sekali saja terdengar lalu menghilang. Berbeda denganku, Radit masih tidur dengan lelap. Aku berpikir mungkin ini hanya halusinasi saja. Namun, suara ketukan pintu membuatku ingin beranjak dari tempat tidur dan menghampirinya.
Rupanya yang mengetuk pintu adalah Bella, dia menangis sesegukan dan memelukku. Entah apa yang terjadi padanya kali ini.
“Ada apa, Bel?” tanyaku.
“Mama sama kakak gak ada,” jawab Bella.
“Ke mana? Mungkin lagi manyauk undang.”
“Gak tahu, aku takut di rumah sendirian, Bidan.”
“Ya udah, kalau gitu masuk dan tinggal di sini aja dulu.”
“iya, Bidan.”
Aku mengintip Radit yang tidak terbangun juga di kamar, sepertinya dia benar-benar kelelahan. Aku juga menjadi penasaran, ke mana Kak Rina dan Kakaknya bella malam-malam begini.
“Bella, kita ke rumah kamu aja yuk,” ucapku.
Bella hanya mengangguk, seolah ragu mendengar ucapanku. Namun, aku memberanikan diri untuk keluar rumah setelah mengambil gawai dan baju hangat. Dengan pelan aku menutup pintu agar Radit tak terbangun.
Menyusuri gang, aku tak melihat apa pun. Meski masih ragu, aku pun masuk ke rumah Kak Rina bersama dengan Bella. Menyalakan semua lampu dan menunggu, bisa saja Kak Rina tak lama lagi datang dan sedang pergi ke suatu tempat.
“Kamu tadi udah tidur, Bel?” tanyaku.
“Iya. Aku kebangun, terus mama sama kakak gak ada,” jawab Bella.
“Ke mana ya, kira-kira?”
“Gak tahu.”
Aku lalu iseng melihat-lihat setiap sudut rumah Kak Rina, tidak ada yang mencurigakan. Namun, ketika di dapur. Aku melihat pintu dapur mereka dalam keadaan terbuka. Aku dan Bella pun melihat ke belakang dapur, berharap menemukan Kak Rina di sana. Ternyata ada cahaya senter dari kandang ayam belakang rumah.
Rupanya di sana ada sebuah gubuk dari daun pinang dan kardus, Bella bilang itu tempat main mereka siang hari. Untuk main pondok-pondokan. Aku curiga kenapa ada cahaya senter di sana, kami pun berjalan perlahan mendekatinya.
Betapa terkejutnya aku, ketika aku hampir terjatuh setelah kakiku seperti menyandung sesuatu. Bella mengambil sumber cahaya senter, rupanya dari korek api yang biasa mereka mainkan.
Aku menyenter lantai gubuk dan menemukan tubuh seseorang di sana. Rupanya kaki Ayu, kakak Bella. Anehnya bagian kepala tertutup oleh kain jarik. Aku pun segera menepis kain itu, hingga akhirnya aku menyadari Ayu sedang dalam keadaan tanpa kepala. Hanya ada tubuhnya yang terbujur begitu saja. Bella pun ketakutan dan memelukku. Kami berdua pun segera pergi kembali ke rumah, dan ternyata di dalam rumah sudah ada Kak Rina.
“Mama!” Bella berlari memeluk Ibunya.
Kak Rina menatap tajam padaku, seperti ketakutan aku melakukakan sesuatu.
“Bidan, kenapa bidan ada di sini?” tanya Kak Rina.
Aku mencoba untuk tenang, tidak mungkin aku bersikap gegabah. Bisa-bisa Kak Rina akan kontan mencelakaiku.
“Tadi Bella ke rumah, katanya dia ketakutan. Jadi saya temani dia,” jawabku.
“Ma, Kak Ayu, Ma. Ada di gubuk,” gumam Bella yang masih ketakutan.
“Kakak kamu pasti ketiduran di sana,” ucap Kak Rina.
Lalu tiba-tiba, Ayu terlihat datang dari arah dapur. Kini keadaannya sudah dengan kepala, tubuh yang utuh. Aku yakin tadi aku tidak salah lihat, karena Bella juga melihatnya.
“Tadi Kak Ayu gak ada kepalanya, Ma,” kata Bella melihat Ayu ketakutan.
“Kamu ngomong apa, sih. Kamu pasti ngigo!” bentak Ayu. Ayu lalu melewatiku dan langsung masuk ke kamar juga menutup pintunya dengan kasar.
“Maaf, Bidan. Bella memang suka ngaco kalau ngomong. Ayu pasti tadi ketiduran di pondok mainan mereka,” jelas Kak Rina.
“Iya, Kak. Kalau gitu aku pulang dulu.”
Aku lalu berlalu pergi, tanpa ingin tahu apa-apa lagi. Karena bagiku semua sudah jelas, Ayu adalah hantuen. Bukan kah memang hantuen bisa menjadi keturunan, bisa jadi Kak Rina mewariskan ilmu hantuen itu pada Ayu, atau terjadi secara alami.
Ketika kembali ke gang, kulihat nyalak senter dari kejauhan. Cahaya senter itu makin mendekat cepat padaku, hingga bisa kupastikan bahwa yang memakai senter itu adalah Radit. Rupanya dia datang mencariku dengan wajahnya yang super duper cemas.
“Dhea? Kamu dari mana?” tanya Radit yang langsung memelukku.
“Nanti aku ceritain di rumah,” jawabku.
“Kamu bikin aku hampir pingsan ketakutan!”
“Maaf, Dit.”
Aku dan Radit pun kembali ke rumah, kembali ke kamar kami. Radit masih terlihat khawatir padaku, hingga memeriksa keadaan tubuhku.
“Sekarang kamu cepat cerita, tadi dari mana?”
tanya Radit.
“Tadi itu, ada Bella datang ke sini, Dit. Dia nyariin Kak Rina sama Ayu, kakaknya,” jawabku.
“Terus?”
“Ya, aku anterin aja dia pulang sambil nungguin siapa tahu Kak Rina dan Ayu udah balik.”
“Dan kamu gak kasih tahu aku?”
“Aku kasihan sama kamu, kamu capek banget kayaknya.”
“Tapi aku bisa gila tahu kamu gak ada, Dhea.”
“Ya kan sekarang aku udah balik.”
“Terus, Kak Rina dan Ayu udah ada?”
“Udah. Ada cerita lain waktu aku di rumah mereka.”
“Kenapa?”
“Jadi, aku sama Bella nyariin ke dapur karena melihat pintu dapur kebuka. Terus aku datang ke gubuk, kata Bella tempat dia sama Ayu biasa main kalau siang.”
“Hem, terus?”
“Pas digubuk, aku lihat tubuh Ayu terbujur kaku. Dan kamu tahu, Dit?”
“Apa?”
“Ayu gak ada kepalanya!”
Radit terlihat bingung ketika kuberitahu tentang itu, melongo saja tepatnya.
“Maksud kamu apa gak ada kepalanya?”
“Ya, gak ada. Cuma ada badannya. Bella juga lihat dan dia langsung meluk aku ketakutan.”
“Terus?”
“Terus kami pergi dari situ, balik ke rumah, ternyata Kak Rina sudah datang. Dia langsung kayak kaget gitu melihat aku dan Bella dari dapur.”
“Terus?”
“Aku yakin Ayu itu juga hantuen. Walau Ayu gak ngaku, Kak Rina juga gak ngaku. Aku diem aja, seolah gak tahu apa-apa.”
“Ya Allah. Kok bisa ya.”
“Mungkin karena memang keturunan mereka.”
“Kasihan Ayu.”
“Ya mau gimana lagi."
“Mungkin waktu itu Ayu lagi berubah, terus Kak Rina panik nyariin.”
“Bisa jadi sih, Dit.”
“Kasian sekali mereka, harus menjadi manusia yang seperti itu.”
Ya, kalau dipikir-pikir kasihan juga. Pasti tidak menyenangkan ketika seseorang tidak bisa menjadi manusia normal sepenuhnya. Apa lagi kekurangannya adalah menjadi hantuen. Entah apa yang membuat Ayu sampai berubah, apa ada yang sedang melahirkan? Sejak kapan Ayu menjadi seperti itu? Apa Bella akan menjadi sama seperti dia? Lalu bagaimana rasanya saat kepala dan organ tubuh lepas dari tubuh? Bukankah berarti sama saja dengan mati. Ah, ada banyak sekali pertanyaan yang berputar dalam kepalaku. Seandainya bisa dengan mudah kutemukan jawabannya.
Adzan subuh masih dua jam lagi, aku kembali membaringkan diri di atas tempat tidur. Sedang Radit memilih untuk melakukan salat tahajud. Wajah paniknya tadi ketika mencariku, sekilas terlihat lucu. Membuatku berpikir bahwa memang dia setulus itu menganggapku sebagai seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.
Aku juga merasa aneh, biasanya aku selalu takut. Jangankan keluar malam, ke kamar mandi ingin buang air kecil saja biasa minta temani Radit. Mungkin rasa penasaran telah mengalahkan rasa takut dalam diriku. Atau juga karena aku sudah terbiasa pada adegan-adegan yang membuat merinding.
Radit membaca Al-quran dengan suara pelan, seolah tak ingin mengganggu waktu tidurku. Namun, rasa kantukku tak kunjung kembali datang. Akhirnya aku pun memilih memeriksa ponsel.
[Ada yang mau lahiran di kampung sebelah, mau gabung gak?] Rupanya lima jam yang lalu ada pesan dari Bidan Hana. Dan aku baru membukanya sekarang.
[Maaf, Kak. Aku baru lihat pesannya.] Balasku segera. Meski aku tahu nomernya sudah tidak online. Mungkin persalinannya juga sudah selesai.
Bisa jadi karena ada yang melahirkan, membuat Ayu dan Kak Rina tak bisa menahan diri dan bergentayangan. Hantuen senior dan junior, astaga! Mengerikan sekali.
Untung saja hantu Zombie itu Cuma fiksi. Coba bayangkan kalau virus zombi juga bisa diwariskan, menjadi penyakit keturunan. Naudzubillah. Akan banyak zombi di dunia, dan tak ada yang bisa menghindarinya. Untung lah itu hanya ada di film.
Harusnya hantuen juga ada di film saja, tak perlu ada di dunia nyata dan membuat terror di mana-mana. Tak bisa kubayangkan, wajah cantik Kak Rina berubah mengerikan dengan taring-taring panjang. Wajah Ayu yang imut dan lucu, berubah memiliki taring juga. Pasti sangat mengerikan. Untung yang kulihat tadi hanya tubuhnya, bukan kepalanya yang sedang terbang. Bisa pingsan mungkin aku.
.
Matahari pagi kembali terbit, aku pun masih berbaring nyaman di dalam selimut. Masih hari libur, Radit tak pernah libur mengerjakan pekerjaan rumah. Padahal sudah keberitahu, bahwa kami hanya tinggal berdua. Tak masalah kalau rumah sebentar berantakan. Namun, memang dasarnya Radit pecinta kebersihan. Dia tidak akan pernah membiarkan rumah kami berantakan.
Ketika aku ke dapur, sudah ada s**u hangat dan roti panggang bertabur keju dan telur mata sapi di atas meja makan. Sudah pasti itu untukku, sedang Radit sedang menggantung pakaian setelah menggunakan pengering.
“Udah bangun? Sarapan gih,” ujar Radit yang hanya sekilas menoleh padaku.
“Bareng yuk, Dit,” sahutku.
“Aku udah, itu buat kamu.”
“Eum, makasih ya.”
“Sama-sama.”
Aku duduk di kursi meja makan dan mulai menyantap sarapan. Sarapan saja sudah membuatku merasa kenyang, untung saja tidak datang rasa mual yang biasanya akan datang di pagi hari dan membuatku harus memuntahkan semua.
.
Setelah mandi, aku membaca buku yang waktu itu pernah Radit minta aku membacanya. Dan seperti biasa, hanya dapat beberapa lembar sampai rasa kantuk pun datang.
Aku menyimpan lagi buku ke dalam rak, lalu menghampiri Radit yang sedang merawat tanaman bunga-bunganya. Aku duduk saja melihatnya, dan dia fokus saja dengan pekerjaannya.
“Assalamualaikum.”
Aku sangat terkejut ketika melihat siapa yang barusan mengucapkan salam, ternyata Ayu dan Bella. Ayu terlihat memegangi sebungkus bambu muda di tangannya.
“Waalaikumsalam,” sahutku dan Radit bersamaan.
“Bidan, ini ada rebung dari Mama,” ucap Ayu.
“Ehm, dikasih?”
“Iya, Bidan.”
“Aku beli aja ya.”
“Gak, Bidan. Kata mama dikasih aja.”
“Emm, ya udah. Makasih ya, kalau gitu.”
“Iya, Bidan.”
Kupikir setelah memberikan rebung, Ayu dan Bella akan langsung pulang. Rupanya mereka ikut duduk melihat Radit merawat tanaman.
“Ayu, kenapa semalam kamu sampai ketiduran di pondok belakang rumah?” tanyaku.
“Hehe, iya, Bidan. Ayu ketiduran dari sore,” jawab Ayu dengan canggung.
“Oh, gitu. Emangnya gak berasa nyamuk?”
“Hehe, ya nyamuk bidan. Tapi di pondok rasanya adem. Gak panas.”
“Tetap aja. Sebaiknya kalau malam tidur di rumah.
“hehe, iya, Bidan.”
“Mama kamu ke mana semalam?” tanyaku lagi.
“Eum, anu, Bidan. Katanya mau coba nyauk undang. Tapi ternyata gak bisa.”
“Oh, gitu.”
Bella hanya diam mendengar jawaban kakaknya. Di raut wajah Bella seperti berusaha untuk menahan diri untuk tidak mengatakan apa-apa. Ternyata Ayu pandai menyembunyikan kebenaran, sama seperti Ibunya.
Setelah Radit selesai merawat tanaman, Ayu dan Bella pun pamit pulang. Radit berkata akan menyimpan saja dulu rebung itu di kulkas, karena dia tidak sedang ingin memakannya. Apa lagi aku.
Kami pun istirahat berdua di kamar, Radit merapikan pakaian di lemari. Aku juga ikut membantunya. Walau sebenarnya isi lemari kami masih rapi-rapi saja.
Aku yang mulai sakit kepala karena menahan kantuk, akhirnya pasrah berbaring lagi di tempat tidur. Sementara Radit masih berlanjut membuka laptopnya, memeriksa pekerjaannya di sekolah. Akan ada ujian akhir semester, dia juga akan sibuk menyiapkan soal-soal untuk ujian.
“Dit, Ahmad apa kabar ya?” tanyaku setelah melihat foto Ahmad di ponsel.
“Kamu belum pernah nelpon lagi?” tanya Radit balik.
“Biasanya kan mamanya sering bikin status, pasang foto Ahmad. Akhir-akhir ini jarang,” jawabku.
“Mungkin lagi habis kuota, Sayang.”
“Bisa jadi sih, apa aku kirimin aja ya?”
“Telepon dulu lah ke nomernya.”
“Hemm, iya, deh.”
Aku mencari nomer ponsel Adel, dan kangsung menghubunginya. Tak menunggu lama, panggilan pun tersambung.
“Apa kabar, Bidan?” tanya Adel. Terdengar antusiasnya ketika kutelepon. Selama ini kami hanya sering saling melihat status media sosial.
“Alhamdulillah, baik, Adel. Kamu dan keluarga bagaimana?"
“Alhamdulillah baik juga Bidan. Ahmad sekarang sudah mau mulai bisa tiarap.”
“Ohya?”
“Iya, Bidan. Kapan Bidan mau main ke sini?”
“Hemm. Kayaknya belum bisa sekarang. Aku lagi gak enak badan.”
“Katanya tadi sehat bidan.”
“Hehe, aku lagi ngidam, Del.”
“Masya Allah. Bidan hamil?”
“Iya, Del.”
“Alhamdulillah ya Allah. Semoga bidan dan bayinya selalu sehat dan dilindungi sama Allah.”
“Aamiin. Makasih, ya, Del.”
“Sama-sama, Bidan.”
“Kamu kok gak aktif We A nya?”
“Maaf, Bidan. Lagi belum isi paket kuota.”
“Kalau gitu aku kirimin ya.”
“Gak usah bidan, nanti saya isi sendiri.”
“Udah, gak apa-apa. Aku mau minta fotonya Ahmad yang baru.”
“Hemm, ya udah kalau bidan maunya gitu.”
“Oke deh, udah dulu ya.”
“Iya, Kak Bidan.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Setelah menelepon Adel, aku langsung mengirim kuota ke nomernya. Dan tak lama media sosialnya pun aktif, lalu mengirimkan foto dan video terbaru Ahmad.
Ahmad sekarang makin gemuk saja, dia juga sudah mau bisa tiarap. Sungguh lucu dan menggemaskan. Tak sabar rasanya melihat bayi dalam perutku ini nanti lahir, lalu dia dan Ahmad akan bermain bersama seperti saudara. Seperti adik dan Kakak meski dari orang tua yang berbeda.