Pagi baru saja tiba, disambut gerimis yang menambah hawa dingin. Bidan Santi dan Perawat sepertinya terlalu lelah, mereka tertidur nyenyak di ruang istirahat khusus perawat.
Aku yang baru selesai mencuci muka, langsung melihat keadaan pasien yang baru saja bersalin. Suami pasien tetap siaga, memangku bayi kecilnya yang sama sekali tidak rewel. Sedangkan Si Ibu, terlihat tengah menyisir rambut di atas tempat tidurnya. Infus kedua yang dipakainya terlihat sudah tinggal sedikit, kondisi tubuhnya pasti sudah jauh lebih baik.
“Tunggu gerimisnya reda, kita pulang sama-sama, ya,” ucapku sambil melihat bayi kecil yang tidur nyenyak.
“Naik ambulans apa kendaraan pribadi kami saja, Bidan?” tanya Suami pasien.
“Naik mobil suami saya, saya sudah suruh dia untuk jemput,” jawabku.
“Terima kasih banyak, Bidan.”
“Sama-sama, Pak.”
“Tidak, saya tidak mau ke mana-mana. Saya mau tetap di sini,” kata Pasien tiba-tiba.
Aku berbalik menatap pasien itu, tatapannya terlihat berbeda ketika kami menatapnya. Jari-jarinya masih menyisir rambut, rambut panjangnya itu tergerai begitu saja dan sedikit membuat bergidik.
“Kamu mau ngapain lagi di sini? Emang sudah waktunya pulang, kamu malah mau tinggal,”
sahut Suami pasien dengar nada bergurau.
“Tempat saya di sini, saya mau di sini saja,” lirih pasien itu lagi.
Entah kenapa aku merasa merinding, merasa ada yang aneh pada pasien itu. Aku lalu menggendong bayi, sementara suami Pasien mulai mengemas barang-barang, juga tak lupa membawa bungkusan ari-ari bayi yang telah kubungkus semalam.
“Sini, saya bantu ikat rambutnya.”
Ketika suami pasien akan membantu mengikat rambut pasien, tiba-tiba saja tangan pasien itu mendorong keras tubuh suaminya hingga terjatuh dan membentur dinding.
“Sudah saya bilang, saya tidak mau pulang!”
“Ya ampun, kamu kenapa Della?”
Aku dan suami pasien pun menjauh dari Della yang tengah menatap marah dari atas tempat tidur. Kami sekarang menyadari kalau Della sedang tidak normal.
Aku segera membaca dzikir dan ayat kursi dengan keras, suami pasien yang bernama Della itu pun mengikuti.
Della terlihat gelisah mendengar bacaan ayat-ayat kami. Lalu tiba-tiba saja menjatuhkan tubuhnya ke lantai, ingin mendekati kami. Kami tak berhenti membaca, hingga angin kencang tiba-tiba datang dan benda-benda di ruangan pun berjatuhan.
Mendengar kegaduhan itu, Bidan Santi dan Perawat langsung ke ruangan. Aku meminta bidan Santi untuk membawa bayi keluar Puskesmas. Aku berharap Radit segera sampai dan dapat memulihkan keadaan Della.
“Hentikan!!!” Della berteriak dengan suara mengerikan.
Kami tak berhenti membaca dzikir dan ayat kursi, lalu pemandangan mengerikan pun terlihat. Saat Della yang baru saja melahirkan, menggeliatkan tubuhnya sampai di posisi kayang, merayap ke dinding dengan gerakan tubuh seperti serangga. Ini sangat menakutkan, mengingat Della yang baru saja selesai melahirkan. Darah-darah segar pun mulai terlihat menetes di lantai.
“Astaghfirullah!”
“Radit, kamu datang!”
“Terus berdzikir, Dhea!”
Aku terus berdzikir, sembari memperhatikan Della. Tiba-tiba terdengar suara jeritan dari luar, ternyata perawat yang menjerit setelah melihat Della.
Aku lega karena Radit dan Ustaz Ibrahim datang, mereka pun segera dapat memulihkan keadaan dan mengusir semua gangguan. Jin yang mengganggu Della berhasil keluar, Della muntah darah dan pingsan. Kondisi Della membuat kami panik, terjadi pendarahan hebat yang membuat kami harus segera membawanya ke Rumah Sakit pusat.
Kesurupan tadi bertepatan dengan para perawat dan staff puskesmas berdatangan, warga-warga sekitar juga akhirnya banyak yang berkumpul untuk melihat. Suami Della terlihat shock, hingga fokusnya kini hanya tertuju pada Della, istrinya.
“Pak, bapak temani istri Bapak ke rumah sakit, ya. Ada perawat kami yang akan membantu,” ucapku pada Suami Della.
“Anak saya bagaimana, Bidan? Di rumah Cuma ada Ibu saya, dia sudah tua, gak akan bisa ngurus anak kami, Bidan.”
“Jangan khawatir, nanti saya akan bantu urus.”
“Terima kasih, Bidan.”
Aku merasa sedikit lega, karena Della telah dibawa ke rumah sakit untuk mendapat penanganan. Ustazah Anna dan Ustaz Ibrahim ikut ke rumah sakit, biar bagaimana pun mereka punya rasa tanggung jawab dan peduli sebagai tetangga.
“Sayang, kamu gak apa-apa, kan?” tanya Radit sembari menggendong bayi baru lahir yang kini sementara menjadi tanggung jawab kami.
“Gak apa-apa, Dit. Untung aja kamu segera datang. Aku takut banget Della kenapa-napa,” jawabku.
“Mungkin Della terlalu lelah, sampai pikirannya menjadi kosong. Kekosongan itu yang biasa dijadikan kesempatan oleh setan dan jin untuk mengganggu,” jelas Radit.
“Della gak akan kenapa-kenapa kan, Dit?”
“Insya Allah, kita doakan saja.”
“Aamiin. Kalau begitu, ayok sekarang kita pulang.”
“Bayi ini ikut kita?”
“Iya, kalau kamu gak keberatan.”
“Gak mungkin lah aku keberatan.”
“Hemm, yaudah yuk.”
Aku dan Radit segera pulang, dengan bayi mungil yang masih merah dalam pangkuanku. Kasihan sekali dia, harusnya saat ini dia bisa selalu dekat dengan orang tuanya.
“Ari-ari bayinya gimana, Dhea?” tanya Radit.
“Aku sudah minta perawat yang urus, mungkin akan dibawa pulang ke Menduing dan dikuburkan di sana.”
“Eum, kamu tanyakan lagi nanti. Takutnya mereka lupa.”
“Iya.”
“Terus, sekarang kita mau gimana? Masa kita gak beli apa-apa buat bayi ini?”
“Kita singgah di rumah bayi ini dulu, kita ambil perlengkapan bayinya. Nanti baru beli s**u formula.”
“Gitu? Oke, deh.”
Sejak baru lahir, bayi merah ini belum mengkonsumsi apa-apa selain ASI ibunya. Itu pun sedikit karena ASI-nya belum lancar. Karena keadaan, terpaksa kami harus memberinya s**u formula.
Sesampai di rumah bayi, banyak tetangga yang menyambut. Nenek bayi yang sudah paruh baya pun menangis melihat cucunya yang pulang tanpa kedua orang tuanya. Aku menjelaskan apa yang terjadi, mereka pun mengerti dan mempercayakan bayi itu diurus sementara olehku.
Setelah mengambil perlengkapan bayi, kami pun langsung pulang ke desa Dahian Tunggal, desa tempat tinggal kami. Radit terlihat bersemangat dan langsung jatuh hati pada bayi yang kami bawa. Melihat antusiasnya aku jadi merasa terharu.
“Sayang, kamu jangan bawa masuk dulu. Biar aku bersihin dulu di dalam. Biar gak debu,” ucap Radit.
“Iya, Sayang.”
Aku pun menunggu di selasar rumah, menunggu Radit membersihkan rumah dan mempersiapkan kamar yang bersih untuk bayi titipan ini. Aku jadi berpikir untuk memberinya nama sementara nanti.
“Udah, Sayang. Yuk, masuk.”
Aku meletakkan bayi di atas tempat tidur, lalu mulai menata perlengkapan bayi yang kami bawa. Radit terlihat gemas hingga terus ingin memandangi bayi itu, juga sesekali menciuminya dengan lembut.
“Dit, kamu gak mau kasih nama bayi itu?” tanyaku.
“Eum, boleh?”
“Boleh, dong. Ya, meskipun mungkin sementara.”
“Eum, ini bayinya cewek apa cowok sih?”
“Cowok.”
“Masya Allah, jagoan. Siapa ya, namanya. Kalau Muhammad?”
“Muhammad?”
“Eumm, Hamzah.”
“Hamzah?”
“Kenapa? Kesannya tua gitu gak sih?”
“Haha. Gak tahu ah, terserah kamu aja.”
“Ahmad, ya, Baby Ahmad.”
“Ahmad, lucu juga tuh.”
“Oke, fix. Namanya bayi kita ini Ahmad.”
Ketika mendengar Radit mengatakan bahwa Ahmad adalah bayi kami, rasanya ada yang tersentil di dalam hatiku. Tak kusangka dia bisa secepat itu jatuh hati pada bayi yang baru dilihatnya. Apa lagi kalau nanti benar kami punya bayi yang memang bayi kami sendiri.
“Radit, jagain Ahmad, ya. Aku mau bikin s**u dulu,” ujarku.
“Eh, tunggu. Kan kamu capek, Sayang. Kamu tiduran aja di sini sama Ahmad, biar aku yang bikin.”
“Emang kamu bisa, Dit?”
“Bisa dong.”
“Emm, ya udah.”
Radit mengambil botol dot dari genggamanku, lalu membawa kotak s**u ke dapur. Radit cukup cerdas untuk tidak perlu diberitahu cara menyiapkan botol s**u bayi.
Aku lupa bahwa Ahmad belum mandi hari ini, bahkan aku lupa melihat tali pusarnya. Segera aku melepas semua pakaiannya.
“Radit!”
“Iya, Sayang. Susunya bentar lagi siap!”
“Eum, tolong siapkan air hangat dong, buat dedek ahmad mandi.”
“Oh, mau mandi?”
“Iya.”
“Oke, tunggu bentar.”
Aku menggendong Ahmad menuju dapur, dan Radit terlihat sibuk mempersiapkan semuanya. Botol s**u sudah jadi, walau aku tidak yakin apa Ahmad akan bisa langsung mengkonsumsinya.
Ketika air hangat siap, aku pun mulai memandikan Ahmad. Radit duduk di dekatku, melihat dengan seksama bagaimana aku memandikan Ahmad, akan sangat membahagiakan kalau Ahmad adalah bayi kami. Tak disangka, bayi pertama yang kami urus adalah bayi orang lain.
“Pelan-pelan, Sayang,” ucap Radit.
“Kamu mau coba mandiin?”
“Ah, enggak ah. Takut kelelep.”
“Ya jangan sampai kelelep lah, sekalian biar kamu belajar, Sayang.”
“Eumm, enggak ah. Ini jadi tugas kamu aja dulu.”
“Dih.”
Setelah memandikan Ahmad, kami pun bersama-sama memakaikannya baju. Radit membantu memasangkan kaos kaki, kaos tangan, juga topi. Calon ayah yang baik, penuh cinta dan kelembutan.
Awalnya agak sulit bagi Ahmad untuk bisa menghisap s**u dengan dot, akan tetapi dengan pemberian sering dia akan mulai terbiasa. Bayi yang baru lahir belum perlu banyak asupan, lambungnya masih sangat kecil dan sensitif. s**u formula sejatinya juga tidak baik untuk bayi, akan tetapi dalam keadaan terpaksa seperti ini terpaksa memberinya s**u formula dulu.
Setelah Ahmad kembali tidur, aku pun pergi mandi. Membersihkan diriku sendiri. Sedangkan Radit dengan siaga berbaring di tempat tidur, tak jauh dari tempat tidur Ahmad. Kehadiran Ahmad mungkin akan mengganggu sedikit rutinitas kami.
Sekembalinya dari kamar mandi, kulihat Radit juga sudah tertidur. Bahagia sekali melihat mereka bisa tidur sama-sama.
[Bidan Santi, gimana keadaan Della?] Kukirim pesan pada Bidan Santi yang menemani Della ke rumah sakit.
[Sudah ditangani, Kak. Dapat donor dua kantung darah, untung ada yang cocok darahnya jadi langsung aja.] balas Santi cepat.
[Dia sudah sadar?]
[Sudah, Kak. Tapi masih lemas. Kata dokter harus istirahat total beberapa hari. Pendarahannya parah, hampir saja rahimnya keluar.]
[Ya Allah. Jadi sudah ditangani semua kan?]
[Sudah, Kak. Tinggal tunggu pemulihan.]
[Kamu stand bye dulu di sana, ya.]
[Iya, Kak. Pasti.]
Kusudahi balasan pesan, lalu menyisir rambutku yang masih basah. Saat menatap diriku di cermin entah kenapa rasanya jadi takut, aku jadi teringat pada saat kesurupan tadi.
Aku segera mengeringkan rambut dan pergi ke samping Radit yang tengah tidur, bayi Ahmad juga terlihat sangat pulas. Kubaringkan tubuhku yang baru terasa sekali lelahnya. Tak kusangka akan ada kejadian seperti ini hari ini. Namun, aku dan Radit juga merasa bahagia karena kehadiran Ahmad bersama kami.