Pagi

1067 Kata
Hari masih begitu gelap ketika Ratih, seorang penata rambut memasuki kediaman Aksa. Perempuan itu mengomel tanpa henti dengan telepon yang terjepit antara telinga dan bahunya. “Gila ya, Lo. Jam segini lo manggil gue cuma buat-” “Ssshhhh! Gak usah banyak cincong kalo akhirnya lo setuju juga buat dateng. Pagi- pagi banget gue mau ke tempatnya Risa dulu, jadi mbak penata rias tolong cepetan masuk, gak usah berlagak cupu!” sentak pria cantik itu menyela keluhan Ratih. “Gak tau diri emang... temen modelan lo begini nih yang harusnya dijual di pasar gelap.” cerca Ratih begitu Aksa membukakan pintu untuknya. “Selamat pagi.” Aksa tersenyum simpul ketika melontarkan sapaan itu kepada Ratih yang sudah setengah mati kesal. Pasalnya jam yang ia letakkan di meja kerja masih menunjukkan pukul 04.30 ketika panggilan Aksa masuk ke ponselnya dan menawarkan kerja kilat seharga satu minggu full job. Ratih yang notabenenya masih karyawan kontrak di sebuah salon ternama itu tentu akan dengan senang hati menerima sogokan Aksa, kalau saja pria itu tidak banyak menuntut tentunya. “Buruan lo rebahan biar gue gilas habis uban lo yang bawel itu!” sungutnya masih kesal dan menepuk kursi yang sudah Aksa siapkan dengan gemas. Aksa mencebikkan bibirnya dan duduk dengan patuh sesuai arahan Ratih. “Kenapa mendadak banget sih lo-” “Ya namanya juga baru kepikiran. Kalo udah direncanain mah ga bakal sudi juga gue denger suara soak lo pagi-pagi.” bela Aksa setengah acuh. Ia sedang sibuk berbalas pesan dengan Risa. Merencanakan sebuah ide yang baru saja melintas di kepalanya satu jam yang lalu. Perempuan itu tidak jauh berbeda dengan Ratih ketika bereaksi atas panggilan darinya. Sedikit mengumpat dan mengomel. Setelah melewati waktu yang panjang, Aksa berdecak kagum ketika menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sosok tinggi itu terlihat mempesona bahkan untuk dirinya sendiri. “Ini yang bikin gue males make warna hitam... ganteng banget gue, Anj-” “Terserah deh apa kata lo. Gue mau pulang.” serobot Ratih sembari mengemas peralatannya, terlalu malas mendengar puja puji Aksa pada diri sendiri. Langkahnya baru akan keluar dari rumah bak istana itu ketika seruan Aksa kembali menginterupsi. Pria yang sudah menjelma menjadi manusia tampan tersebut menawarinya tumpangan karena tujuan mereka searah. Bokongnya baru saja mendarat di jok penumpang ketika Aksa kembali membuka mulut. “Dimana lagi lo nemuin klien yang ngejemput lo pagi buta pake sopir pribadi dan nganterin lo balik secara cuma-cuma, ha?” Ratih memutar bola matanya dengan malas mendengar ocehan Aksa yang kembali membanggakan dirinya sendiri. “Ya ngga bakal ada, lah. Mereka cukup ngotak buat ngasih gue waktu istirahat dan gak manggil jam setengah lima pagi. Kalo pun lo bersikap baik, itu udah sewajarnya karena di sini gue yang paling berjuang. Oke?” balas Ratih setelah membiarkan Aksa terus-menerus membagus-bagusi diri sendiri. “Walaupun lo berlumur darah dan ga bisa ngomong lagi karena lidah lo udah kepotong habis,,, transferan gue gak bakal bertambah nominalnya. Tetap sesuai kesepakatan. Gak ada gunanya lo mengeluh. Kita sama-sama happy, kan?” Ratih meringis ngilu mendengar penjabaran Aksa tentang relasi mereka. Tidak bisakah pria itu memilih bahasa yang lebih sesuai untuk suasana pagi yang cerah? Well, dia baru saja teringat tentah kasus pembunuhan berantai yang semua jasad akan ditemukan di pagi hari dalam sebuah w******l karya si gila di sebelahnya itu. Setelah mengantarkan Ratih ke tempat kerjanya, Aksa segera menuju kediaman Risa. Di sana Vanilla juga telah menunggunya. Ide yang ia sampaikan beberapa jam lalu sempat mendapat makian dari suara lembut milik perempuan itu membuatnya tidak sabar. “I’m home!” soraknya ketika memasuki apartemen Risa yang ternyata sunyi. Alisnya menukik sebelah dengan otomatis ketika menyadari bahwa dua perempuan yang ia harap akan menyambutnya justru entah menghilang kemana saat ini. “Bunnylla?” panggilnya sekali lagi, tapi masih belum terdengar tanda kehidupan dari ruang yang didominasi warna merah putih tersebut. Kakinya kemudian terusik untuk menjejal kamar tidur Risa. Meski tak terhitung kali ia menginap di tempat perempuan itu, Aksa tidak pernah menginjakkan kakinya di daerah tersebut kecuali dengan izin Risa. Maka dari itu jantungnya kini bekerja keras untuk tidak kehilangan fungsi ketika sesosok yang dicarinya muncul secara tiba-tiba dari arah belakang. “Ngapain?” ketus suara itu membuat Aksa terlonjak dan berbalik secara otomatis. Gerakan tiba-tiba tersebut membuat keseimbangan tubuhnya goyang dan sebagai insting penyelamatan diri, Aksa segera meraih tubuh kecil Risa ke dalam pelukannya. Mereka terpaku cukup lama dalam posisi yang canggung. “Kenapa lo gak pake- Aaaaaak!” pekiknya ketika tanpa aba-aba pijakan kaki perempuan setinggi dadanya itu meruncing dan menggilas kakinya. “Ngapain pagi banget ke sini?” “Ish! Kan gue udah bilang ada yang mau gue bahas bareng lo sama Vanilla. Mana tuh bu dokter?” Risa melarikan tangannya ke pinggang dan mendesah kesal serta membuang wajah ke samping bersamaan. “Ya lo pikir aja sendiri, masih jam 8, gak mungkin dia ada di sini sekarang.” jelasnya menarik lengan Aksa agar pria itu menyingkir dari depan pintu kamarnya. Perempuan yang masih lengkap dengan jubah mandi dan rambut basah itu jelas salah tingkah saat ini. Penampilan baru Aksa sudah cukup membuatnya susah bernapas, ditambah dengan jarak yang setipis benang tentu akan segera menjerumuskannya pada pikiran-pikiran buruk. Sayangnya kecepatan bersembunyi Risa kalah cepat dengan kepekaan Aksa sehingga yang terjadi selanjutnya adalah senyuman usil yang terbit di wajah pria itu beserta hentakan kuatnya yang mendominasi Risa, menghadirkan pekikan kecil dari rasa kejut yang Aksa berikan. “Kenapa menghindariku?” tanyanya mulai menggoda Risa yang masih bertahan untuk tidak balas menatap Aksa. Pria itu semakin mendekat dan menahan gerakan tangan Risa yang siap menekan hendel pintu. “I-ini gak lucu, ya Manda. Gue-” “Ssssh! Mulai hari ini Manda udah mati dan belajar buat ngomong aku-kamu, oke?” sela Aksa meletakkan jari telunjuk pada bibir pucat Risa. Perempuan itu masih enggan menatapnya. Aksa terkekeh geli kemudian membiarkan Risa menghilang di balik pintu setelah mendengar suara Vanilla samar-samar mendekat ke arah mereka. “Mana Ris- hey! Apa kabar?!” seru Vanilla ketika menyadari perubahan Aksa. Berbeda dengan Risa yang merasa canggung karena pertama kali dalam 4 tahun saling mengenal dengan Aksa, pria itu tidak pernah memangkas rambutnya lebih pendek dari bahu apalagi mengembalikan warna surainya menjadi hitam. Vanilla justru terlihat lebih gembira dan bersuka cita. “Darimana saja, hm?” imbuhnya sembari menatap perubahan Aksa dengan seksama. Senyumnya merekah tanpa bisa dicegah. Tatapan berbinar itu menular pada Aksa yang kemudian ikut tersenyum cerah. “DASAR GILA!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN